Apa jadinya jika mereka melanggar? Ikuti terus kelanjutannya, ya, Guys!
Keduanya pun menoleh dan saling melempar pandang. Merasa ada sesuatu yang janggal. Namun, entah apa. Hingga lamunan mereka terpecah saat Kang Sukir kembali mengatakan sesuatu. "Saya bawakan kalian senter, takutnya terjebak malam di sana. Syukur-syukur sih sebelum adzan maghrib berkumandang, kalian sudah sampai di padepokan dan bertemu dengan Mas Cipto," katanya sambil memberikan dua senter berukuran kecil pada Arvin dan Farhan. Namun, saat dicoba, cahaya yang keluar sangatlah terang. "Iya, Kang. Terima kasih. Kalau begitu, kita langsung berangkat sekarang saja sebelum keburu maghrib," ujar Arvin. Laki-laki paruh baya itu mengangguk. "Hati-hati dan ikuti petunjuk yang ada di peta saja. Karena banyak percabangan di sana." Dia kembali mengingatkan. Kali ini giliran Arvin dan Farhan yang mengangguk. Kemudian mereka pamit untuk memulai pendakian. Mereka memulai pendakian dengan jalur tanah campur batu dengan jalur yang lumayan landai. Sehingga tampak mudah untuk didaki. Sedangkan ka
Seketika itu mereka bisa bernapas lega saat seseorang yang menepuk bahunya itu ternyata adalah orang yang mereka kenal, Cipto. “Kalian itu kenapa sih? Orang dipanggil-panggil dari tadi kok malah kayak orang ketakutan?” Laki-laki bertubuh gempal itu menatap kakak adik itu dengan kening berkerut. “Duh, Mas. Aku kira sampean itu hantu,” sahut Arvin sambil mengembuskan napas lega. Karena ternyata sosok yang mereka takuti itu hanya manusia, bukan hantu seperti yang ada dipikirannya. “Iya lho, Mas. Bikin kaget saja.” Farhan menimpali. “Apalagi ini suasana kan gelap banget,” imbuhnya.Cipto terkekeh mendengar celotehan mereka. “Ya sudah, ayo masuk! Ini sudah adzan Maghrib. Bahaya kalau masih berkeliaran di luar. Banyak yang mengintai,” ujarnya menatap keduanya serius. Kedua kakak adik itu saling melempar pandang. Lalu mengangguk dan mengikuti langkah Cipto yang masuk ke dalam bangunan yang lebih mirip dengan bangunan kerajaan pada zaman dulu.Mata mereka terus mengamati sekitar, memperha
Cipto pun mengamankan barang-barang berharga yang dibawa Arvin dan Farhan di tempat yang aman. Senyumnya terkembang sempurna saat apa yang sudah dia rencanakan akhirnya berhasil. “Sudah kamu simpan barang mereka, Cipto?” tanya Eyang Adiwangsa menatap Cipto yang kembali ke ruang di mana Arvin dan Farhan masih duduk di sana. “Sudah, Eyang. Aman pokoknya,” sahutnya dengan senyum merekah. “Bagus. Sekarang antar Arvin dan Farhan ini ke kamarnya. Biar mereka istirahat. Besok kalau baru kita mulai terapinya, ya,” kata Eyang Adiwangsa menatap kedua kakak adik itu dengan senyum tipis. “Baik, Eyang,” sahut Arvin dan Farhan hamper bersamaan. “Juga untuk administrasi, selesaikan besok. Karena pengurusnya sudah pulang tadi jam lima,” imbuh laki-laki yang berpenampilan seperti syeikh itu. “Baik, Eyang. Kami nurut saja.” Arvin menimpali. Sedangkan Farhan hanya menganggukkan kepalanya. “Ya sudah. Antar mereka ke kamarnya, Cipto.” Cipto menganggukkan kepalanya. Lalu mengajak Arvin dan Farhan ke
Kedua mata Arvin mengerjap perlahan. Dia berusaha menajamkan indera pendengarannya saat gendang telinganya menangkap suara rintihan seseorang. Kesadarannya yang belum sempurna kembali membuat Arvin belum menyadari apa yang terjadi pada adiknya. Dia tolehkan kepalanya ke arah kiri, seketika itu kedua matanya membelalak dengan sempurna saat menyadari jika suara rintihan itu berasal dari mulut adiknya. Saking lelahnya, dia bahkan sempat lupa jika dirinya kini berada di Padepokan Tapak Medi. Kelelahan membuat Arvin tidur begitu nyenyak hingga dia tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Arvin bangun terduduk, tangannya terulur dan menyentuh bahu sang Adik. Dia goyangkan tubuh yang kini sedikit terlihat kurus dari biasanya. Sejak teror itu datang dan sering menghantui Farhan, nafsu makan Farhan menurun. Makannya sering tak habis dan asal masuk mulut saja. “Farhan, bangun, Han! Kamu kenapa?” Arvin menatap adiknya dengan cemas. Mulutnya masih mengeluarkan rintihan yang tertahan.
Arvin dan Farhan keluar bersamaan dari dalam kamar. Mereka menatap Cipto yang masih berdiri di depan pintu kamarnya, rupanya sedang menanti kakak beradik itu keluar.“Ayo cepat! Farhan sudah ditunggu sama Eyang Adiwangsa di tempat khusus pensucian. Kamu akan dimandikan sebagai tahap awal terapi pengobatan untuk menghilangkan gangguan gaib yang ada di tubuh kamu,” papar Cipto menatap Farhan serius.Farhan mengernyitkan keningnya. Lalu menoleh pada kakaknya yang juga memberikan reaksi yang sama. Sesaat mereka saling melempar pandangan dengan tatapan bingung. Hingga interupsi dari Cipto membuat keduanya memutuskan kontak mata.“Ayo! Kita nggak punya banyak waktu. Kamu sudah ditunggu dari tadi!” Cipto menarik tangan Farhan agar mengikuti langkahnya menuju tempat yang sudah disediakan oleh Eyang Adiwangsa yang sering disebut dengan tempat penyucian.Tempat yang biasanya digunakan Eyang Adiwangsa untuk memandikan pasiennya yang baru datang sebagai awal terapi pengobatan.Eyang Adiwangsa dik
Usai dimandikan dengan air bunga, Farhan disuruh kembali ke kamarnya untuk mengganti baju dan bersiap untuk salat subuh di mushola. Dia pun kembali ke kamar dengan tubuh yang gemetaran. Karena saking dinginnya. “Astaga, Farhan. Bibir kamu sampai biru begitu!” pekik Arvin saat melihat adiknya baru saja masuk ke dalam kamar. Dia menatap adiknya dengan cemas. Karena bibir Farhan sampai berwarna biru karena kedinginan. “Dingin banget, Mas,” keluhnya sambil merapatkan tubuhnya yang terasa menggigil. “Sini Mas pakaikan minyak kayu putih biar badan kamu hangat.” Arvin mendudukkan tubuh adiknya di atas tempat tidur setelah sebelumnya memberikannya handuk untuk mengeringkan sisa air yang masih menempel di tubuh Farhan. Dengan telaten, Arvin mengusapkan minyak kayu putih di area dada hingga perut. Kemudian memutar hingga punggungnya agar tubuh Farhan tidak lagi kedinginan karena efek minyak kayu putih yang memberi kehangatan. Setelahnya, dia memakaikan baju panjang dan tebal di tubuh adikny
Merasa kesal dengan pertanyaan-pertanyaan yang Arvin lontarkan, Cipto hanya bisa menahan geram. Sebab, mereka adalah ladang uang baginya. Jadi, dia harus sabra dalam menghadapi pasien barunya itu agar tetap bertahan di Padepokan Tapak Medi.Cipto mengepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat demi meredam emosinya agar tidak mencuat ke permukaan. Lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan agar emosi yang hampir meluap itu terbuang bersama aliran napas.Dan cara itu selalu berhasil. Jika tidak, maka semua rencananya akan hancur berantakan.“Adik kamu tidak akan kenapa-kenapa. Kamu santai saja. Namanya juga terapi. Aku yakin jika Eyang Adiwangsa pasti bisa mengatasinya. Apalagi, bagi Eyang, apa yang terjadi pada adik kamu itu masalah kecil. Karena ada yang lebih parah dari adikmu ada pulang dalam keadaan sembuh,” papar Cipto berusaha menyakinkan Arvin jika adiknya akan baik-baik saja. Bahkan dia memberikan beberapa testimoni agar Arvin semakin percaya.“Tapi, Mas, aku-“
Farhan mengerang kesakitan. Namun, tatapan matanya malah semakin tajam ke arah Eyang Adiwangsa yang tengah mencengkeram lehernya dengan sedikit kuat. Ternyata, laki-laki berjubah itu gelap mata, dia tidak terima diperlakukan kurang ajar oleh orang yang sedang dia tolong. Lupa jika memang itu bukanlah jiwa asli pasiennya.“Lebih baik kamu mati saja!” geramnya sembari terus menekan leher Farhan. Sedang tubuh Farhan sudah terjebak oleh dinding bangunan tersebut.Tidak semua bangunan yang ada di Padepokan Tapak Medi itu terbuat dari anyaman bambu berbentuk panggok. Ada juga bangunan permanen yang biasanya digunakan untuk ruangan khusus bagi Eyang Adiwangsa atau ruangan yang dipakai untuk ritual dan memang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Dan, ruangan itu dibuat kedap suara agar orang yang ada di dalam tetap fokus pada ritual yang tengah dijalankannya.Seketika itu tubuh Eyang Adiwangsa terpental ke belakang hingga punggungnya membentur dinding dan jatuh ke lantai saat tubuhnya didorong
Arvin menatap Kiyai Fathur dengan tak percaya. Dia masih sedikit syok mendengar kalimat yang keluar dari mulut orang yang paling dia percaya saat ini.“I-ini sungguhan, Kiyai?” tanyanya memastikan. Dia khawatir jika ini adalah prank. Tapi tidak mungkin jika Kiyai Fathur mengerjai Arvin tentang lamaran. Bahkan itu lamaran anaknya sendiri.Laki-laki setengah baya itu membetulkan letak sorbannya yang agak jatuh dari bahunya. Lalu mengangguk dan membalas tatapan Arvin dengan seulas senyum.“Arvin, saya tidak pernah bercanda soal pernikahan. Apalagi, pernikahan itu sesuatu yang sacral. Tanggung jawabnya besar di hadapan Allah,” katanya sungguh-sungguh.“T-tapi, Kiyai. Ap-apa Kiyai yakin menyerahkan putri bungsu Kiyai pada saya?” tanyanya sedikit ragu. “Ma-maksud saya, Kiyai Fathur tahu sendiri kondisi saya seperti apa saat ini. Tidak punya pekerjaan tetap. Bahkan … ilmu agama pun saya masih harus belajar banyak. Saya takut tidak bisa menjadi imam rumah tangga yang baik untuk Dek Latifah. S
Belum habis keterkejutan Farhan dengan memberikannya fasilitas gratis selama memperdalam ilmu agama di pesantren ini. Sekarang, dia kembali dikejutkan dengan niat Kiayi Fathur untuk menikahkan anak sulungnya dengan kakak tercintanya.Dia masih tertegun. Merasa tidak percaya jika Kiyai Fathur, seorang pemuka agama yang terkenal di daerahnya ingin menikahkan putri kesayangannya dengan orang biasa macam Arvin? Bahkan kerjaan pun Arvin tidak punya pasca dipecat gara-gara dirinya.“Farhan!” panggilan dan tepukan kecil tangan Kiyai Fathur menyadarkan laki-laki berusia dua puluh tiga tahun dari lamunannya.Farhan mengerjapakan kedua matanya beberapa kali. Lalu berkata, “Apa saya mimpi, Kiyai?” tanyanya setelah sadar beberapa saat. “Barangkali saya masih berada di tempat Eyang Adiwangsa dan tengah bermimpi indah dalam tidur saya?” tanyanya lagi menatap Kiyai Fathur serius.“Saya tidak pernah main-main soal pernikahan , Fa
Satu Minggu di pondok pesantren, kondisi Farhan berangsur membaik. Meski dia yang paling mendapat terapi paling eksklusif untuk mengendalikan dirinya.Jiwanya yang kosong mulai terisi dengan mendengarkan tausyiah-tausyiah juga bacaan-bacaan ayat suci Al-Quran.Ibadah mereka pun semakin baik. Arvin bahagia melihat perubahan adiknya itu.Arvin baru saja keluar dari kamar mandi usai mandi karena hendak salat ashar berjamaah. Sengaja dia mandi lebih awal agar tidak terlalu antre.Saat dia hendak kembali ke kamarnya, dia tak sengaja bertemu dengan Kiyai Fathur yang baru saja pulang dakwah di luar pondok pesantren. Dua santri yang mengawalnya terlihat masing-masing membawa dua kantong plastic hitam besar.“Assalamu’alaikum, Kiyai,” sapanya sambil sedikit membungkukkan punggungnya. Mengikuti kebiasaan para santri jika bertemu dengan Kiyai Fathur atau guru-gurunya yang lain sebagai bentuk penghormatan.“Wa’alaikumsalam,” balas Kiyai Fathur menatap Arvin dengan senyuman. Mereka pun berjabat ta
Pihak kepolisian mendatangi lokasi pesantren yang akan menampung para korban kebejatan Eyang Adiwangsa. Tentu setelah mendapat persetujuan dari keluarga korban. Ada yang menurut, ada juga yang membawanya pulang dan merasa trauma karena takut mengalami hal yang sama.Tak apa, polisi tidak akan memaksa. Toh, itu hak mereka. Pihak kepolisian hanya akan memasukkan yang mau saja.“Assalamu’alaikum,” sapa seorang polisi bernama Suseno. Dia diantar oleh seorang santri menuju rumah dari pemilik pondok pesantren yang kini semakin banyak saja muridnya.“Wa’alaikumsalam,” sahut seorang laki-laki dari dalam.Sosok laki-laki setengah baya yang memakai kemeja warna merah bata yang dipadu dengan sarung polos berwarna hitam. Tidak lupa, sebagian kepalanya tertutup peci hitam. Senyum laki-laki bermata teduh itu menghiasi wajahnya.Sebelumnya, dia sudah diberitahu oleh besannya, dokter yang menangani kasus Eyang Adiwangsa di rumah sakit jika akan ada pihak kepolisian yang datang ke pesantrennya karena
Pintu pun didobrak secara paksa. Cipto dan Eyang Adiwangsa yang tidak bisa kabur pun akhirnya pasrah saat ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan bersama beberapa anak buah Eyang Adiwangsa. Pasien lain pun merasa ketakutan dan kebingungan. Ada yang langsung disambut keluarganya, ada juga yang sempat ditenangkan dan disadarkan oleh warga sekitar karena keluarganya belum mengetahuinya. Polisi yang tersisa juga masyarakat setempat menggeledah ruang pribadi milik Eyang Adiwangsa dan menemukan bukti-bukti kebusukan laki-laki paruh baya itu, berupad bukti transfer yang banyak dari para pasiennya. “Pak, katanya di sini ada penjara yang digunakan Eyang Adiwangsa untuk mengurung orang-orang yang sudah mengetahui kebusuukkannya,” ujar salah satu warga yang diberi info oleh salah satu pasien yang keluarganya juga dimasukkan ke dalam penjara, tapi sudah meninggal karena kelaparan. Dan mirisnya, dia tidak tahu akan hal itu. Polisi pun langsung mencari tempat tersebut dan
Semakin hari, kondisi Farhan semakin parah. Meski ada yang bisa mengobati, namun Farhan bisa sampai tiga kali kerasukan setiap harinya. Tubuhnya yang tadinya berisi pun kini terlihat kurus. Beban mental yang terus menggerogoti hati dan pikirannya membuatnya semakin tertekan dengan kondisi sekarang ini.Bukan hanya Farhan yang mengalaminya, Arvin pun demikian. Dia tidak bisa berbuat apapun demi menyelamatkan adiknya. Yang ada hanya rasa bersalah karena telah menjebloskan adiknya ke dalam penjara seperti ini dan membuat hidupnya semakin menderita.Sesama penghuni penjara pun tidak bisa membantu banyak. Karena mereka juga sudah begitu lama berada di ruangan pengap tersebut dan tidak bisa keluar karena tidak ada akses keluar dari sana.“Maafkan Mas, Farhan ….” Arvin mengusap rambut kepala adiknya yang sudah gondrong karena tak dirawat. Padahal, Farhan adalah tipe orang yang paling rajn dengan rambut.Dia baru saja tenang setelah hampir setengah jam meraung-raung karena kerasukan makhluk
Farhan pun akhirnya mengaku dan dia merasa sangat hina karena sudah dinodai. Dia pun menangis dan merasa sangat menyesal. Arvin sendiri langsung mencelos. Dia pun merasa sangat menyesal juga merasa paling bersalah karena telah membawa adiknya pada tempat mengerikan seperti ini. Dia pun ikut menangis menyesali apa yang sudah terjadi. Bukannya menyembuhkan sang Adik, dia malah justru semakin menjerumuskan adiknya pada lembah kenistaan. Bahkan mereka malah tersesat pada ajaran sesat. Beruntung, mereka cepat menyadari. Tidak seperti pasien lain yang sudah berbulan-bulan berada di padepokan yang menganut ajaran sesat itu. “Maafkan Mas, ya, Han. Maafkan Mas …,” lirih Arvin sambill memeluk adiknya dengan isak tangis. Farhan menggeleng pelan. “Nggak, Mas. Mas nggak salah,” sahutnya diikuti isakan kecil. “Mas sudah berusaha untuk menyembuhkanku,” sambungnya. “Harusnya Mas nggak langsung percaya saja sama Mas Cipto. Brengsek memang itu orang!” geramnya sambil menatap lurus ke arah dinding
Tubuh lemah Farhan didorong begitu saja masuk ke dalam ruangan khusus terapi. Eyang Adiwangsa pun sudah menunggunya di sana. Senyum penuh kemenangan menyambut kehadiran Farhan.Laki-laki itu pun hanya diam dengan tatapan kosong. Farhan ada dalam pengaruh hipnotis yang dilakukan oleh salah satu anak buah Eyang Adiwangsa.“Keluar!” titah laki-laki berjubah itu sambil menatap kedua anak buahnya.Tanpa menjawab. Kedua anak buahnya itu menganggukkan kepalanya cepat. Lalu memutar tubuhnya dan keluar dari ruangan tersebut. Membiarkan Eyang Adiwangsa bersama dengan Farhan berdua saja.Mereka pun tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh Eyang Adiwangsa pada Farhan. Terpenting, tugasnya sudah selesai.Tatapan Eyang Adiwangsa mengelilingi tubuh Farhan. Senyumnya mengembang sempurna. Dia kini merasa menang karena bisa melemahkan orang-orang yang sudah mengetahui kebusukkannya.“Sekarang kamu sudah tahu apa yang aku lakukan saat ini, Farhan,” ujarnya sambil berjalan mengitari tubuh Farhan
“Kalian nggak dengar suara iqomah apa? Malah ngobrol di sini!” ujar Cipto sembari menatap keduanya dengan sedikit sinis. Karena dia mendengar apa yang tengah kakak beradik itu bicarakan. Meski tidak semua, paling tidak, dia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Seketika itu Arvin dan Farhan menatap ke sekitar dan memang hanya tinggal mereka berdua yang masih ada di depan. Para jamaah sudah bersiap untuk salat Subuh pada tempatnya masing-masing. Kali ini, shaf antara laki-laki terpisah dengan perempuan. Baik pasien maupun yang menemani berbaur menjadi satu. Tidak seperti saat selepas ashar yang dipisah agar lebih mudah membedakan mana pasien dan keluarga yang menemani. “I-iya, Mas,” sahut Arvin yang langsung menarik ujung baju Farhan agar segera masuk ke dalam mushola dan bergabung dengan lainnya untuk salat subuh.Mereka berjalan melewati Cipto begitu saja. Membuat laki-laki bertubuh gempal itu berdecak kesal. “Sudah mulai berani rupanya kalian? Eyang harus tahu agar lebih hat