"Mama merindukan kakakmu, Edwin." Sarah yang sedang menonton TV, duduk di samping putranya yang sedang menyetrika pakaian, bersuara. Hampir sebulan, sejak saat pernikahan itu terakhir kali dia bertatap muka dengan Shena. Meskipun komunikasi tidak pernah absen mereka lakukan, namun tetap saja hanya melihat dari layar HP serta mendengar suaranya saja belum mampu memadamkan kerinduannya pada putri tercintanya itu. Edwin menatap ke samping, di mana sang ibu tengah berbaring dengan pandangan kosong melihat ke layar televisi. "Kakak kan sudah bilang kalau dia ada di luar negeri. Nanti, kalau kakak sudah kembali, aku hubungi dia agar datang menemui kita." ujar pemuda itu dengan nada membujuk. Baru beberapa hari lalu ibunya itu menelpon Shena, tapi berkata masih rindu padanya. Sepertinya, dia harus memberitahu kakak perempuannya itu agar cepat pulang dan menemui mama mereka. "Kalau aku telepon sekarang, kira-kira kakakmu sudah bangun atau belum?" Menghadapi tatapan dari ibunya yang penu
"Mama baru saja mengirimi aku pesan. Dia berterima kasih atas oleh-oleh yang kamu berikan." Di dalam kamar, Shena memberitahu pada Mahendra tentang pesan yang barusan di bacanya dari Sarah. Rupanya, Rossa benar-benar datang mengunjungi Sarah dan Edwin untuk membantu memberikan barang-barang yang telah dibelinya khusus untuk keluarganya tersebut. Mahendra yang baru saja selesai berolahraga membuka kaos ketatnya yang dibasahi keringat. Bertelanjang dada, dia mengambil sebotol air dari kulkas yang ada di dalam kamar, meminumnya setengah lalu meletakkannya di atas meja berbahan marmer. "Kapan tante pergi ke sana? Kenapa aku tidak tahu kalau dia pergi menemui mama Sarah?" respons Mahendra sembari menyeka keringat dari badannya yang dipenuhi otot menggunakan handuk. "Dua hari lalu. Waktu kau datang ke pesta, Edwin menelpon mama Rossa." Balasnya singkat tanpa mengangkat kepalanya. Tidak ada tanggapan lain, hanya ada embusan napas ringan yang berasal dari Mahendra. Semakin besar kehamila
"Apakah Anda yakin, Presdir?""Hem, hubungi dia sekarang. Aku ingin tahu apakah dia bersungguh-sungguh atau tidak dengan proposalnya." kata Surya sembari menyeruput kopi di tangan. Meletakkan cangkir itu di atas meja, ia melanjutkan membaca koran bisnis di ruang tengah. Jendela di sisi kanannya terbuka lebar tatkala dia menikmati waktu santainya di pagi hari itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan, saat asisten Surya menghubungi nomor Mahendra. Di waktu itu, Mahendra sendiri baru selesai mengajak Shena jalan-jalan sebentar mengitari taman mini yang ada di kompleks gedung apartemen. Setelah keduanya menyelesaikan sarapan, Mahendra membawa Shena pulang, tapi tidak langsung naik ke kediaman mereka. Melainkan, keduanya menghabiskan waktu di pagi itu bersantai di taman. Taman mini itu dipenuhi orang-orang dari kalangan berbagai usia. Ada yang sedang berolahraga, sedang bermain basket, dan sekumpulan anak-anak asyik bercanda ria menikmati fasilitas yang gedung tersebut sediakan. Dan k
Mahesa masih belum percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Ia menatap lama pada laki-laki di hadapannya. Kemudian bertanya untuk memastikan lagi kalau dia tidak salah dengar. "Anda bilang, Tuan Surya sedang ada tamu dan menyuruh saya menunggu di sini?"Dia baru saja tiba di kediaman mewah yang ada di pusat kota milik Tuan Surya. Ia pikir, pria itu akan ada di tempat begitu dia sampai di sini. Tetapi tak tahunya, pria ini berkata apabila sang pemilik rumah sedang ada kesibukan yang mendadak.Asisten itu mengangguk, "Maafkan saya karena terlambat memberitahu Anda, Tuan Mahesa. Saya harap Anda tidak keberatan menunggu sampai tuan selesai." Memang, selain menunggu apa lagi yang bisa dirinya perbuat? Pergi dari sini dengan sia-sia? Dan mengecewakan ayahnya? Dia sudah kadung bilang pada ayahnya kalau hari ini memiiki pertemuan pribadi dengan perusahaan yang ingin sekali mereka dapatkan kerjasamanya. Apabila dia memilih pergi sekarang, kedatangannya hanya berakhir tak berguna."Baiklah
Mulanya samar, lalu berubah terdengar jelas suara-suara dari sekitarnya. Sepasang mata terpejam secara perlahan terbuka. Shena menyesuaikan netranya dari kegelapan yang memasuki bidang penglihatannya. "Di mana aku?" gumamnya lirih, lalu tersentak dengan napas tertahan saat perut bagian kanannya di tendang oleh bayinya. Ketika Shena berusaha bangun dari berbaring miringnya di lantai yang dingin, ia mendapati kedua tangannya telah terikat di belakang, dan kedua kakinya juga mengalami hal serupa, terikat, membuat dia sulit bergerak, menyebabkan bahunya mati rasa dan sakit.Suara pintu yang dibuka kemudian terdengar, dan lampu dinyalakan oleh orang yang masuk itu."Dia bangun." Shena mengangkat kepalanya untuk melihat siapa orang tersebut. Ada tiga orang pria, dan tak satupun dari mereka dikenalnya.Pria yang memiliki tato berjalan mendekat, menghampiri Shena yang menatapnya ketakutan, lantas membungkuk."Kau Shena? Kekasihnya Mahesa, benar?"Shena tidak menjawab, malah ia menundukkan
Plak! Wajah Shena terpelanting ke samping begitu tamparan keras kembali diterimanya. Pandangannya seketika berubah buram, napasnya terengah-engah dan rasa sakit pada wajah serta sudut bibirnya membuat dia meringis tertahan. "Sialan!" Maki pria itu marah. "Seandainya kau tidak hamil, sudah kuperkosa sampai mati di sini!" "Hentikan, Jon! Jangan ganggu wanita itu lagi. Kalau Mahendra sampai melihat ada luka lain pada istrinya, kita sendiri yang akan rugi. Jadi cukup, tenangkan amarahmu." Rimba yang sedari tadi diam angkat bicara, menghentikan rekannya itu dari melecehkan Mahendra. Bagas mendengkus jijik, melihat kelakuan Joni. Meski mereka bisa dibilang rekan dalam melakukan kejahatan, itu dilakukan karena dia terpaksa berteman dengan pria ini. Selagi ketiga orang itu sibuk mengawasi sebuah bangunan kosong dari layar tablet di tangan Bagas, terdengar langkah kaki dari luar. "Bos, target sudah tiba di lokasi." Dengan pernyataan itu, ketiganya langsung bersiap. "Kau jaga di sini. I
Di ruang pemeriksaan, Mahendra memejamkan matanya. Luka sayat yang dia terima sudah mendapatkan jahitan, dan kini lengannya terbalut perban. Pria itu tadi kehilangan banyak darah. Setibanya mereka di sebuah klinik, klinik itu telah tutup. Bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari ketika mereka tiba di klinik. Untungnya, klinik itu mencakup rumah tinggal yang mana memungkinkan Hedy bisa dengan cepat berurusan dengan luka Mahendra. Di sisinya, Hedy kelihatan bercakap-cakap dengan dokter pemilik klinik. Dia mengajukan beberapa pertanyaan sebagai pencegahan apabila kekasih bosnya mengalami kecelakaan waktu di selamatkan. "Jaraknya cukup jauh dari sini. Sekitar sepuluh kilometer menggunakan mobil." ujar dokter pria itu pada Hedy. "Terima kasih atas informasinya. Apa dia sudah bisa saya bawa pergi? Kami harus ke kota sekarang." Beritahu Hedy seraya melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. Perjalanan kembali ke kota membutuhkan waktu hampir dua jam lamanya. Saat i
Pertama kali Hedy membuka mata, yang terlihat di atasnya adalah pelat-pelat baja sebuah badan pesawat. Dia tidak dapat mendengarkan suara apa pun walau di sekitarnya terdapat beberapa orang tengah mengelilinginya. Dari bagaimana mulut mereka bergerak, mereka tampaknya sedang membicarakan sesuatu. Dia mencoba menyinkronkan pikirannya yang terbelah, mengingat mengapa berbaring di sini dengan seluruh tubuh yang terasa remuk redam. Butuh waktu lama baginya untuk memproses seluruh kejadian dan saat dia dapat mengingat tentang apa yang terjadi padanya, kedua matanya mulai lunglai kembali. Hal terakhir yang dia ingat, ia menjadikan tubuhnya sendiri untuk melindungi kekasih bosnya yang tengah mengandung dari ledakan. Dan setelah itu, semua menjadi kacau, penuh teriakan, desingan peluru mendesis di udara serta rintihan wanita itu. Lalu kemudian, gelap. Di sebuah rumah sakit umum, di ruang operasi. Lampu menyala yang menandakan operasi sedang berlangsung.Di depan pintu kaca geser, sosok pri
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan