Sebuah limousine berwarna hitam berhenti di sebuah hotel bintang lima, The Paradise. Dari luar halaman, terdapat banyak orang berkeliaran. Mobil-mobil mewah berbagai merek dapat ditemukan di teras pula. Mahendra keluar dari kursi penumpang. Pria itu dibalut setelan formal dari merek kenamaan Perancis. Sepasang kaki ditutupi sepatu pantofel mengilap kala menginjak karpet merah yang hotel sediakan. Wajah tampannya seketika menjadi incaran para reporter dan paparazi yang hadir. Kilatan cahaya dari kamera tak pernah padam memotret, bahkan suara shutter begitu nyaring terdengar. Memasang ekspresi dingin serta acuh tak acuhnya, Mahendra melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalam."Tuan Mahendra, tolong hadap kemari!" "Bagaimana dengan nona Michelle? Kenapa Anda datang sendirian?""Mengapa Anda tidak membawa pasangan pada pesta malam ini?" Beberapa pertanyaan terlontar saat pria itu berjalan melewati sekumpulan wartawan. Mahendra berhenti sejenak, tubuh tegapnya berpaling menghadap re
"Mama merindukan kakakmu, Edwin." Sarah yang sedang menonton TV, duduk di samping putranya yang sedang menyetrika pakaian, bersuara. Hampir sebulan, sejak saat pernikahan itu terakhir kali dia bertatap muka dengan Shena. Meskipun komunikasi tidak pernah absen mereka lakukan, namun tetap saja hanya melihat dari layar HP serta mendengar suaranya saja belum mampu memadamkan kerinduannya pada putri tercintanya itu. Edwin menatap ke samping, di mana sang ibu tengah berbaring dengan pandangan kosong melihat ke layar televisi. "Kakak kan sudah bilang kalau dia ada di luar negeri. Nanti, kalau kakak sudah kembali, aku hubungi dia agar datang menemui kita." ujar pemuda itu dengan nada membujuk. Baru beberapa hari lalu ibunya itu menelpon Shena, tapi berkata masih rindu padanya. Sepertinya, dia harus memberitahu kakak perempuannya itu agar cepat pulang dan menemui mama mereka. "Kalau aku telepon sekarang, kira-kira kakakmu sudah bangun atau belum?" Menghadapi tatapan dari ibunya yang penu
"Mama baru saja mengirimi aku pesan. Dia berterima kasih atas oleh-oleh yang kamu berikan." Di dalam kamar, Shena memberitahu pada Mahendra tentang pesan yang barusan di bacanya dari Sarah. Rupanya, Rossa benar-benar datang mengunjungi Sarah dan Edwin untuk membantu memberikan barang-barang yang telah dibelinya khusus untuk keluarganya tersebut. Mahendra yang baru saja selesai berolahraga membuka kaos ketatnya yang dibasahi keringat. Bertelanjang dada, dia mengambil sebotol air dari kulkas yang ada di dalam kamar, meminumnya setengah lalu meletakkannya di atas meja berbahan marmer. "Kapan tante pergi ke sana? Kenapa aku tidak tahu kalau dia pergi menemui mama Sarah?" respons Mahendra sembari menyeka keringat dari badannya yang dipenuhi otot menggunakan handuk. "Dua hari lalu. Waktu kau datang ke pesta, Edwin menelpon mama Rossa." Balasnya singkat tanpa mengangkat kepalanya. Tidak ada tanggapan lain, hanya ada embusan napas ringan yang berasal dari Mahendra. Semakin besar kehamila
"Apakah Anda yakin, Presdir?""Hem, hubungi dia sekarang. Aku ingin tahu apakah dia bersungguh-sungguh atau tidak dengan proposalnya." kata Surya sembari menyeruput kopi di tangan. Meletakkan cangkir itu di atas meja, ia melanjutkan membaca koran bisnis di ruang tengah. Jendela di sisi kanannya terbuka lebar tatkala dia menikmati waktu santainya di pagi hari itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan, saat asisten Surya menghubungi nomor Mahendra. Di waktu itu, Mahendra sendiri baru selesai mengajak Shena jalan-jalan sebentar mengitari taman mini yang ada di kompleks gedung apartemen. Setelah keduanya menyelesaikan sarapan, Mahendra membawa Shena pulang, tapi tidak langsung naik ke kediaman mereka. Melainkan, keduanya menghabiskan waktu di pagi itu bersantai di taman. Taman mini itu dipenuhi orang-orang dari kalangan berbagai usia. Ada yang sedang berolahraga, sedang bermain basket, dan sekumpulan anak-anak asyik bercanda ria menikmati fasilitas yang gedung tersebut sediakan. Dan k
Mahesa masih belum percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Ia menatap lama pada laki-laki di hadapannya. Kemudian bertanya untuk memastikan lagi kalau dia tidak salah dengar. "Anda bilang, Tuan Surya sedang ada tamu dan menyuruh saya menunggu di sini?"Dia baru saja tiba di kediaman mewah yang ada di pusat kota milik Tuan Surya. Ia pikir, pria itu akan ada di tempat begitu dia sampai di sini. Tetapi tak tahunya, pria ini berkata apabila sang pemilik rumah sedang ada kesibukan yang mendadak.Asisten itu mengangguk, "Maafkan saya karena terlambat memberitahu Anda, Tuan Mahesa. Saya harap Anda tidak keberatan menunggu sampai tuan selesai." Memang, selain menunggu apa lagi yang bisa dirinya perbuat? Pergi dari sini dengan sia-sia? Dan mengecewakan ayahnya? Dia sudah kadung bilang pada ayahnya kalau hari ini memiiki pertemuan pribadi dengan perusahaan yang ingin sekali mereka dapatkan kerjasamanya. Apabila dia memilih pergi sekarang, kedatangannya hanya berakhir tak berguna."Baiklah
Mulanya samar, lalu berubah terdengar jelas suara-suara dari sekitarnya. Sepasang mata terpejam secara perlahan terbuka. Shena menyesuaikan netranya dari kegelapan yang memasuki bidang penglihatannya. "Di mana aku?" gumamnya lirih, lalu tersentak dengan napas tertahan saat perut bagian kanannya di tendang oleh bayinya. Ketika Shena berusaha bangun dari berbaring miringnya di lantai yang dingin, ia mendapati kedua tangannya telah terikat di belakang, dan kedua kakinya juga mengalami hal serupa, terikat, membuat dia sulit bergerak, menyebabkan bahunya mati rasa dan sakit.Suara pintu yang dibuka kemudian terdengar, dan lampu dinyalakan oleh orang yang masuk itu."Dia bangun." Shena mengangkat kepalanya untuk melihat siapa orang tersebut. Ada tiga orang pria, dan tak satupun dari mereka dikenalnya.Pria yang memiliki tato berjalan mendekat, menghampiri Shena yang menatapnya ketakutan, lantas membungkuk."Kau Shena? Kekasihnya Mahesa, benar?"Shena tidak menjawab, malah ia menundukkan
Plak! Wajah Shena terpelanting ke samping begitu tamparan keras kembali diterimanya. Pandangannya seketika berubah buram, napasnya terengah-engah dan rasa sakit pada wajah serta sudut bibirnya membuat dia meringis tertahan. "Sialan!" Maki pria itu marah. "Seandainya kau tidak hamil, sudah kuperkosa sampai mati di sini!" "Hentikan, Jon! Jangan ganggu wanita itu lagi. Kalau Mahendra sampai melihat ada luka lain pada istrinya, kita sendiri yang akan rugi. Jadi cukup, tenangkan amarahmu." Rimba yang sedari tadi diam angkat bicara, menghentikan rekannya itu dari melecehkan Mahendra. Bagas mendengkus jijik, melihat kelakuan Joni. Meski mereka bisa dibilang rekan dalam melakukan kejahatan, itu dilakukan karena dia terpaksa berteman dengan pria ini. Selagi ketiga orang itu sibuk mengawasi sebuah bangunan kosong dari layar tablet di tangan Bagas, terdengar langkah kaki dari luar. "Bos, target sudah tiba di lokasi." Dengan pernyataan itu, ketiganya langsung bersiap. "Kau jaga di sini. I
Di ruang pemeriksaan, Mahendra memejamkan matanya. Luka sayat yang dia terima sudah mendapatkan jahitan, dan kini lengannya terbalut perban. Pria itu tadi kehilangan banyak darah. Setibanya mereka di sebuah klinik, klinik itu telah tutup. Bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari ketika mereka tiba di klinik. Untungnya, klinik itu mencakup rumah tinggal yang mana memungkinkan Hedy bisa dengan cepat berurusan dengan luka Mahendra. Di sisinya, Hedy kelihatan bercakap-cakap dengan dokter pemilik klinik. Dia mengajukan beberapa pertanyaan sebagai pencegahan apabila kekasih bosnya mengalami kecelakaan waktu di selamatkan. "Jaraknya cukup jauh dari sini. Sekitar sepuluh kilometer menggunakan mobil." ujar dokter pria itu pada Hedy. "Terima kasih atas informasinya. Apa dia sudah bisa saya bawa pergi? Kami harus ke kota sekarang." Beritahu Hedy seraya melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. Perjalanan kembali ke kota membutuhkan waktu hampir dua jam lamanya. Saat i