Pertama kali Hedy membuka mata, yang terlihat di atasnya adalah pelat-pelat baja sebuah badan pesawat. Dia tidak dapat mendengarkan suara apa pun walau di sekitarnya terdapat beberapa orang tengah mengelilinginya. Dari bagaimana mulut mereka bergerak, mereka tampaknya sedang membicarakan sesuatu. Dia mencoba menyinkronkan pikirannya yang terbelah, mengingat mengapa berbaring di sini dengan seluruh tubuh yang terasa remuk redam. Butuh waktu lama baginya untuk memproses seluruh kejadian dan saat dia dapat mengingat tentang apa yang terjadi padanya, kedua matanya mulai lunglai kembali. Hal terakhir yang dia ingat, ia menjadikan tubuhnya sendiri untuk melindungi kekasih bosnya yang tengah mengandung dari ledakan. Dan setelah itu, semua menjadi kacau, penuh teriakan, desingan peluru mendesis di udara serta rintihan wanita itu. Lalu kemudian, gelap. Di sebuah rumah sakit umum, di ruang operasi. Lampu menyala yang menandakan operasi sedang berlangsung.Di depan pintu kaca geser, sosok pri
Hannah melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit. Di tangannya, ia membawa tas yang berisikan pakaian baru untuk sang presdir.Dua hari telah berlalu sejak operasi dilakukan oleh istri bosnya tersebut. Setelah operasi selesai di lakukan, pihak keluarga Mahendra memutuskan untuk memindahkan Shena ke rumah sakit swasta yang lebih lengkap dan canggih.Memasuki ruang VIP, Hannah mengetuk pintu lebih dulu sebelum dia masuk ke dalam bangsal. Terdengar suara dari mesin EKG di dalam ruangan itu dan pendingin ruangan yang menyala konstan tiap detiknya. Selain itu, dia tidak melihat kehadiran presdirnya di dalam bangsal nan luas tersebut.Dari kamar mandi, Mahendra membuka pintu. Pria itu tampaknya baru saja selesai mandi dan begitu keluar kejutan terlintas di sepasang matanya yang memerah akibat kekurangan tidur."Kau datang." katanya seraya menalikan jubah mandinya lalu menghampiri Hannh."Saya membawa pesanan Anda." kata wanita itu seraya menyerahkan tas di tangannya pada Mahendra.M
"Emh...." Shena mengerang begitu dia tak sengaja menggerakkan anggota badannya.Khawatir mendengar suara itu, Mahendra mencondongkan tubuhnya ke depan, "Ada apa? Ada yang kau butuhkan? Atau merasa sakit? Beritahu aku dimana kau merasa tak nyaman, Shena."Sakit? Seluruh tubuhku terasa sakit, batinnya lalu kembali memejamkan mata sebentar.Sapuan tangan nan lembut kemudian membelai keningnya, membuat dia membuka mata dan di depannya, wajah Mahendra terpampang. Raut pria itu tampak cemas, frustasi, dan lelah. Dari jarak sedekat itu, dia dapat melihat dengan jelas jambang di dagu sang suami yang belum di cukur.Ia ingin menyentuhnya, tapi tangannya terlalu lemah untuk di gerakkan."Mau minum?" tanya Mahendra lagi saat dilihatnya Shena hanya diam saja dan malah menatap lurus padanya.Shena mengangguk.Mahendra mengambil minum, menggunakan sendok untuk memberi Shena minum beberapa teguk. Ia juga mengolesi madu pada bibir sang istri yang kering."Terima kasih." ucapnya lirih."Aku mengantuk.
Aku mau pipis. Hal pertama yang muncul dalam benak Shena waktu dia setengah bangun adalah keinginan besar buang air kecil. Padahal dia sudah dipasangi kateter, dan dalam beberapa hari saat dia tak sadarkan diri pun, dia buang air kecil menggunakan itu. Tetapi, setelah dia bangun, dia ingin pergi ke kamar mandi. Langit di luar sudah malam dan jam di dinding bangsal menunjukkan pukul sembilan malam saat Shena secara perlahan membuka kedua matanya. Ruangan itu tampak remang-remang. Tidak dilihatnya siapa pun ada di bangsalnya. Namun, ketika dia menolehkan kepalanya ke sofa panjang di mana tadi malam dia melihat sang suami, ia mendapati pria itu ada di sana, kepala menunduk menghadap laptop yang sedang menyala. Cahaya layar dari laptop itu membuat Shena bisa melihat bibir sang suami yang mengetahui segaris serta rahangnya yang dipenuhi janggut. Mulanya Shena tidak mau menganggu apa yang Mahendra sedang lakukan. Dia berencana mengintip sang suami yang sedang bekerja bahkan di malam ha
Setelah selesai diperiksa oleh dokter, dan dokter berkata bahwa kondisi wanita itu baik-baik saja, dokter dan suster tersebut tidak lama tinggal. Di dalam bangsal tersisa Shena dan Mahendra saja. Pria itu kembali menuju ke ranjang Shena setelah mematikan lampu utama dalam bangsal, hanya menyisakan lampu tidur di sisi ranjang. Dia sudah mematikan laptopnya sejak dokter datang dan tidak mau lagi melanjutkan menangani pekerjaannya. Sebelum duduk di pinggir ranjang, ia kembali menanamkan ciuman di kening sang istri. "Hey," sapanya sedikit gugup. Perasaannya berubah campur aduk, antara senang, lega dan sakit. Ia merasa sakit setelah melihat betapa sengsaranya wanita di hadapannya yang telah berjuang mempertahankan anak mereka. Sedangkan dia sendiri, tidak ada yang bisa dia lakukan selain terus menemani wanita ini di sini, sampai bangun. Shena menatap lama pada wajah tampan di mana kecemerlangannya sedikit berkurang. Menggunakan tangannya yang tanpa IV, dia mengelus rahang Mahendra yang
Pagi hari, gorden sudah terbuka lebar. Sinar mentari yang cerah dan semilir angin masuk ke celah-celah jendela. Di dalam bangsal, Mahendra yang bangun lebih awal seperti biasa dan sudah membersihkan dirinya, bahkan telah bercukur juga, duduk di kursi sambil menyilangkan tangannya di dada. Penampilan kasualnya pagi itu sungguh menarik perhatian. Dibandingkan dengan tadi malam dan beberapa hari yang lalu, pria itu kembali pada penampilan rapinya seperti biasa. Sambil menunggu Shena bangun, Mahendra lebih awal melakukan pekerjaan. Serangkaian intruksi harian telah diberikannya pada bawahannya melalui email. Satu cup kopi espresso terdapat di atas meja, dan sarapan setengah di makan pun telah di pinggirkan. "Selamat pagi, Pak Mahendra. Kelihatannya hari ini Anda jauh lebih hidup. Tampaknya bangunnya nyonya Shena memberikan dampak besar ya pada Anda." Seorang suster senior datang dan menyapa Mahendra seperti biasa. Suster itu tersenyum lebar, terlihat senang karena akhirnya masuk ke dal
Rafael menghentikan langkahnya, membuat Karina sang ibu menatap heran padanya."Ada apa? Mengapa kau berhenti?"Pria itu menghadap ibunya, berkata, "Mama jalan duluan. Tunggu aku di mobil, aku mau ke toilet sebentar. Ini kuncinya." Karina tidak curiga apa pun. Ia mengambil kunci mobil dari tangan sang putra dan pergi dari koridor menuju ke lantai bawah rumah sakit. Selepas kepergian sang ibu, Rafael buru-buru berjalan ke depan. Dia tak mungkin salah melihat seorang wanita dan pria lewat di depannya. Wanita itu mirip Shena. Dan dari pakaian rumah sakit yang dikenakan oleh wanita itu, hanya dapat diartikan kalau Shena juga di rawat di rumah sakit ini. Tapi sakit apa?Sejak terakhir kali mereka bertemu, dia tidak mendapat kabar apa pun yang berkaitan dengan Shena. Sejak saat dia tahu kalau Shena tak akan pernah membuka hati untuknya lagi, dia memutuskan melupakan cintanya juga. Meski sulit, tapi ia tahu hanya itu satu-satunya cara membuat dia terhindar dari rasa sakit berkelanjutan yan
"A-Apa yang terjadi di sini?" Edwin nampak terkejut melihat ibunya tengah menangis terisak di dekat Rafael.Edwin sudah salah paham dengan mengira kalau Rafael telah menyakiti sang ibu, dan hampir saja memberondongi pria itu dengan banyaknya pertanyaan. Namun, niatannya berhenti tatkala Hera menarik lengannya agar ikut duduk di sampingnya."Maafkan aku Edwin, aku tak bermaksud membuat tante Hera seperti ini. Aku pikir kalian tahu kalau Shena sekarang berada di rumah sakit." ungkap pria itu dengan raut wajah bersalah.Tak mengerti dengan maksud percakapan keduanya, Edwin menatap bolak-balik pada Hera dan Rafael."Kak Shena di rumah sakit kau bilang? Apa maksudnya itu?" tanyanya dengan ekspresi tak mengerti. Jelas-jelas yang ia tahu kalau kakaknya itu berada di luar negeri sekarang bersama dengan kakak iparnya. Lalu, tiba-tiba Rafael datang dan bilang kalau kakaknya sedang ada di rumah sakit? Lelucon macam apa yang kiranya Rafael lakukan?Menyadari tatapan tak percaya yang dilayangkan