Mulanya samar, lalu berubah terdengar jelas suara-suara dari sekitarnya. Sepasang mata terpejam secara perlahan terbuka. Shena menyesuaikan netranya dari kegelapan yang memasuki bidang penglihatannya. "Di mana aku?" gumamnya lirih, lalu tersentak dengan napas tertahan saat perut bagian kanannya di tendang oleh bayinya. Ketika Shena berusaha bangun dari berbaring miringnya di lantai yang dingin, ia mendapati kedua tangannya telah terikat di belakang, dan kedua kakinya juga mengalami hal serupa, terikat, membuat dia sulit bergerak, menyebabkan bahunya mati rasa dan sakit.Suara pintu yang dibuka kemudian terdengar, dan lampu dinyalakan oleh orang yang masuk itu."Dia bangun." Shena mengangkat kepalanya untuk melihat siapa orang tersebut. Ada tiga orang pria, dan tak satupun dari mereka dikenalnya.Pria yang memiliki tato berjalan mendekat, menghampiri Shena yang menatapnya ketakutan, lantas membungkuk."Kau Shena? Kekasihnya Mahesa, benar?"Shena tidak menjawab, malah ia menundukkan
Plak! Wajah Shena terpelanting ke samping begitu tamparan keras kembali diterimanya. Pandangannya seketika berubah buram, napasnya terengah-engah dan rasa sakit pada wajah serta sudut bibirnya membuat dia meringis tertahan. "Sialan!" Maki pria itu marah. "Seandainya kau tidak hamil, sudah kuperkosa sampai mati di sini!" "Hentikan, Jon! Jangan ganggu wanita itu lagi. Kalau Mahendra sampai melihat ada luka lain pada istrinya, kita sendiri yang akan rugi. Jadi cukup, tenangkan amarahmu." Rimba yang sedari tadi diam angkat bicara, menghentikan rekannya itu dari melecehkan Mahendra. Bagas mendengkus jijik, melihat kelakuan Joni. Meski mereka bisa dibilang rekan dalam melakukan kejahatan, itu dilakukan karena dia terpaksa berteman dengan pria ini. Selagi ketiga orang itu sibuk mengawasi sebuah bangunan kosong dari layar tablet di tangan Bagas, terdengar langkah kaki dari luar. "Bos, target sudah tiba di lokasi." Dengan pernyataan itu, ketiganya langsung bersiap. "Kau jaga di sini. I
Di ruang pemeriksaan, Mahendra memejamkan matanya. Luka sayat yang dia terima sudah mendapatkan jahitan, dan kini lengannya terbalut perban. Pria itu tadi kehilangan banyak darah. Setibanya mereka di sebuah klinik, klinik itu telah tutup. Bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari ketika mereka tiba di klinik. Untungnya, klinik itu mencakup rumah tinggal yang mana memungkinkan Hedy bisa dengan cepat berurusan dengan luka Mahendra. Di sisinya, Hedy kelihatan bercakap-cakap dengan dokter pemilik klinik. Dia mengajukan beberapa pertanyaan sebagai pencegahan apabila kekasih bosnya mengalami kecelakaan waktu di selamatkan. "Jaraknya cukup jauh dari sini. Sekitar sepuluh kilometer menggunakan mobil." ujar dokter pria itu pada Hedy. "Terima kasih atas informasinya. Apa dia sudah bisa saya bawa pergi? Kami harus ke kota sekarang." Beritahu Hedy seraya melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. Perjalanan kembali ke kota membutuhkan waktu hampir dua jam lamanya. Saat i
Pertama kali Hedy membuka mata, yang terlihat di atasnya adalah pelat-pelat baja sebuah badan pesawat. Dia tidak dapat mendengarkan suara apa pun walau di sekitarnya terdapat beberapa orang tengah mengelilinginya. Dari bagaimana mulut mereka bergerak, mereka tampaknya sedang membicarakan sesuatu. Dia mencoba menyinkronkan pikirannya yang terbelah, mengingat mengapa berbaring di sini dengan seluruh tubuh yang terasa remuk redam. Butuh waktu lama baginya untuk memproses seluruh kejadian dan saat dia dapat mengingat tentang apa yang terjadi padanya, kedua matanya mulai lunglai kembali. Hal terakhir yang dia ingat, ia menjadikan tubuhnya sendiri untuk melindungi kekasih bosnya yang tengah mengandung dari ledakan. Dan setelah itu, semua menjadi kacau, penuh teriakan, desingan peluru mendesis di udara serta rintihan wanita itu. Lalu kemudian, gelap. Di sebuah rumah sakit umum, di ruang operasi. Lampu menyala yang menandakan operasi sedang berlangsung.Di depan pintu kaca geser, sosok pri
Hannah melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit. Di tangannya, ia membawa tas yang berisikan pakaian baru untuk sang presdir.Dua hari telah berlalu sejak operasi dilakukan oleh istri bosnya tersebut. Setelah operasi selesai di lakukan, pihak keluarga Mahendra memutuskan untuk memindahkan Shena ke rumah sakit swasta yang lebih lengkap dan canggih.Memasuki ruang VIP, Hannah mengetuk pintu lebih dulu sebelum dia masuk ke dalam bangsal. Terdengar suara dari mesin EKG di dalam ruangan itu dan pendingin ruangan yang menyala konstan tiap detiknya. Selain itu, dia tidak melihat kehadiran presdirnya di dalam bangsal nan luas tersebut.Dari kamar mandi, Mahendra membuka pintu. Pria itu tampaknya baru saja selesai mandi dan begitu keluar kejutan terlintas di sepasang matanya yang memerah akibat kekurangan tidur."Kau datang." katanya seraya menalikan jubah mandinya lalu menghampiri Hannh."Saya membawa pesanan Anda." kata wanita itu seraya menyerahkan tas di tangannya pada Mahendra.M
"Emh...." Shena mengerang begitu dia tak sengaja menggerakkan anggota badannya.Khawatir mendengar suara itu, Mahendra mencondongkan tubuhnya ke depan, "Ada apa? Ada yang kau butuhkan? Atau merasa sakit? Beritahu aku dimana kau merasa tak nyaman, Shena."Sakit? Seluruh tubuhku terasa sakit, batinnya lalu kembali memejamkan mata sebentar.Sapuan tangan nan lembut kemudian membelai keningnya, membuat dia membuka mata dan di depannya, wajah Mahendra terpampang. Raut pria itu tampak cemas, frustasi, dan lelah. Dari jarak sedekat itu, dia dapat melihat dengan jelas jambang di dagu sang suami yang belum di cukur.Ia ingin menyentuhnya, tapi tangannya terlalu lemah untuk di gerakkan."Mau minum?" tanya Mahendra lagi saat dilihatnya Shena hanya diam saja dan malah menatap lurus padanya.Shena mengangguk.Mahendra mengambil minum, menggunakan sendok untuk memberi Shena minum beberapa teguk. Ia juga mengolesi madu pada bibir sang istri yang kering."Terima kasih." ucapnya lirih."Aku mengantuk.
Aku mau pipis. Hal pertama yang muncul dalam benak Shena waktu dia setengah bangun adalah keinginan besar buang air kecil. Padahal dia sudah dipasangi kateter, dan dalam beberapa hari saat dia tak sadarkan diri pun, dia buang air kecil menggunakan itu. Tetapi, setelah dia bangun, dia ingin pergi ke kamar mandi. Langit di luar sudah malam dan jam di dinding bangsal menunjukkan pukul sembilan malam saat Shena secara perlahan membuka kedua matanya. Ruangan itu tampak remang-remang. Tidak dilihatnya siapa pun ada di bangsalnya. Namun, ketika dia menolehkan kepalanya ke sofa panjang di mana tadi malam dia melihat sang suami, ia mendapati pria itu ada di sana, kepala menunduk menghadap laptop yang sedang menyala. Cahaya layar dari laptop itu membuat Shena bisa melihat bibir sang suami yang mengetahui segaris serta rahangnya yang dipenuhi janggut. Mulanya Shena tidak mau menganggu apa yang Mahendra sedang lakukan. Dia berencana mengintip sang suami yang sedang bekerja bahkan di malam ha
Setelah selesai diperiksa oleh dokter, dan dokter berkata bahwa kondisi wanita itu baik-baik saja, dokter dan suster tersebut tidak lama tinggal. Di dalam bangsal tersisa Shena dan Mahendra saja. Pria itu kembali menuju ke ranjang Shena setelah mematikan lampu utama dalam bangsal, hanya menyisakan lampu tidur di sisi ranjang. Dia sudah mematikan laptopnya sejak dokter datang dan tidak mau lagi melanjutkan menangani pekerjaannya. Sebelum duduk di pinggir ranjang, ia kembali menanamkan ciuman di kening sang istri. "Hey," sapanya sedikit gugup. Perasaannya berubah campur aduk, antara senang, lega dan sakit. Ia merasa sakit setelah melihat betapa sengsaranya wanita di hadapannya yang telah berjuang mempertahankan anak mereka. Sedangkan dia sendiri, tidak ada yang bisa dia lakukan selain terus menemani wanita ini di sini, sampai bangun. Shena menatap lama pada wajah tampan di mana kecemerlangannya sedikit berkurang. Menggunakan tangannya yang tanpa IV, dia mengelus rahang Mahendra yang