Rianti tercengang melihat beras berceceran di hdapannya, memenuhi lantai kamar dan jadi kotor karena memang lantainya juga belum disapu.
"Makan tuh beras! Menantu kurang ajar! Udah dikasih tinggal gratis, tapi pelit banget sama keluarga!" Maki Halimah, belum puas.Air mata menitik di kedua belah pipi Rianti, dia berjongkok untuk memunguti beras satu per satu, mengumpulkannya di atas plastik bekas dengan hati-hati. "Kebangetan banget sih, Bu? Padahal kalo kesel enggak usah buang berasnya kayak begini. Emangnya kalo cuma dua liter kenapa? Kan masih bisa cukup buat makan sehari?" Perempuan muda itu mengomel sendiri, menahan sakit hati yang tak terperi. Tetesan air matanya sebagian jatuh ke lantai, membasahi butiran beras yang masih tercecer di atas karpet plastik.Kamar Rianti dan suaminya ini memang belum pakai keramik, hanya lantai plester semen dan dia membeli karpet plastik meteran untuk pelapis lantai. Terdengar Halimah masih mengomel macam-macam, menyumpahi Rianti dan kandungannya, padahal Rianti tak salah sama sekali namun harus menanggung semua sumpah serapah yang tak pantas diucapkan itu.Tak lama Halimah keluar rumah, membanting pintu dengan keras. Entah pergi ke mana, yang jelas perempuan itu sudah pergi."Ya Allah, lindungi aku. Engkau Maha Mengetahui, aku tak sejahat itu sampai harus disumpahi macam-macam.." batinnya menangis.Lalu Rianti teringat lauk pemberian bosnya, karena Halimah sedang keluar maka berarti lauknya tak dia bawa. Rianti buru-buru ke dapur, mencari bungkusan yang tadi dirampas Halimah. "Di mana, ya? Kok enggak ada sih? Apa dibawa juga sama dia?" Dengan gelisah Rianti membuka lemari satu per satu, mencari bungkusan lauk yang tak juga dia temukan. Padahal dia sudah berharap bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil separuh lauk untuknya sendiri.Tapi percuma, Rianti tak kunjung menemukan apa ya g dia cari. Kantong plastik berisi aneka lauk itu raib bagai ditelan bumi."Ah ya sudahlah, bukan rezekiku.. emang harusnya aku ikhlasin aja." Gumamnya sambil menahan tetes air mata.Pintu rumah terbuka, nampak Toni masuk dengan muka marah."Ti? Rianti?!" Panggilnya dengan nada tinggi."Iya Mas?""Bagi duit!"Baru juga datang, lelaki itu sudah minta uang. Padahal Rianti sama sekali tak pegang uang, dia sudah merasa panik dan khawatir.Bukan sekali dua kali kejadian seperti ini, Toni meminta uang lalu dia tak bisa memberikannya karena memang tak ada pegangan. Bukannya maklum, yang ada Toni malah menyiksa dirinya.Mungkin lelaki itu pikir dengan menyiksa istrinya dia bisa mendapatkan uang tambahan."Ma-maaf Mas, tapi uangku udah abis..""Bohong kamu! Mana duitmu! Kamu kerja tiap hari masa enggak ada melulu duitmu?!"Lelaki itu menghampiri Rianti, menarik tangannya dan merogoh setiap kantong dalam pakaian istrinya itu. Tapi dicari sampai kapanpun tetap tak akan ditemukan, karena Rianti sama sekali tak punya uang lagi."Mana duitmu, Ti?!""Udah kubilang enggak ada Mas, aku udah enggak pegang uang!""Halah tukang bohong!" Toni mendorong tubuh Rianti, lalu pergi ke kamar untuk mencari uang yang mungkin terselip di sana.Namun baru menginjak depan kamar, Toni sudha berteriak dengan marah,"Ini kenapa beras berceceran begini sih, Ti?!" "I-itu, tadi dilempar sama ibu..""Hahhh bener-bener! Emangnya ibuku anak kecil ngelempar beras?!" Bentak Toni dengan mata melototDia tak jadi masuk ke kamar, karena masih berantakan beras di mana-mana."Beresin cepetan Rianti! Jangan malah keluyuran nggak jelas!!" Toni lalu masuk ke kamar Halimah, ibuya sendiri. Mencari uang yang disimpan ibunya itu, terdengar suara berisik dari dalam kamar, dan Rianti tahu jika Toni sedang menggasak lemari pakaian Halimah. Mencari selembar Rupiah yang mungkin disimpan di sana."Mas, jangan ambil uang ibu. Nanti aku yang disalahin..""Berisik! Suruh siapa kamu enggak punya duit? Kan aku butuh, jadi harus pake duit yang ada dulu!""Buat apaan sih, Mas? Judi?""Berisik! Bukan urusanmu, Ti! Urus rumah aja yang becus sana!"Toni sudah menemukan apa yang dia cari, dan tak tanggung-tanggung, dia mengambil empat lembar seratus ribuan dari dalam laci kecil dalam lemari ibunya.Rianti cuma bisa menghela napas dan berharap kali ini Halimah tak akan meminta dirinya yang ganti rugi.Tina pulang berbarengan dengan Toni yang mau keluar, adik perempuannya itu menjinjing plastik berisi makanan. Mukanya nampak sedih dan lusuh."Mukamu kenapa begitu?" Tanya Toni iseng, dan Tina hanya menggeleng sambil menghela napas."Pusing aku, jangan banyak tanya.""Dih, aneh. Bawa apa tuh?" "Martabak.. makan aja, abisin. Aku bener-bener enggak mau makan." Tina menyerahkan plastik yang dibawanya pada sang kakak.Toni mengintip isinya dan malah menjengit, "Martabak ketan item, najis enggak enak. Nih kamu aja yang makan Ti!"Lelaki itu melemparkan martabak ke hadapan Rianti, dan jatuh di depan kakinya. Segera Rianti memungutnya dan bersyukur dalam hati, dia jadi punya makanan untuk malam ini dan besok.Makanan ini untuk dirinya seorang, karena Toni sama sekali tak suka martabak ketan hitam, Tina juga sudah memberikannya jadi tak masalah.Setelah membereskan kamar dari tumpahan beras, Rianti memasak nasi dan berniat mandi sebelum makan martabak dari Tina."Huhuhu, gimana ini? Gimana nanti ngomongnya?!"Sayup terdengar suara Tina dari dalam kamar mandi, dia menangis sambil mengobrol sendiri, seperti sedang bicara dengan seseorang.Rianti tak berniat menguping, tapi suara Tina cukup keras dan dinding kamar mandi tak seberapa tebal sehingga percakapan apapun di dalamnya pasti terdengar."Ya kamu lah datang ke sini! Ngomong sama ibuku sama kakakku!!" "Enggak mau? Jadi cuma mau enaknya aja, hah?!"Rianti menebak-nebak, sepertinya Tina sedang menelepon dan bertengkar dalam percakapan mereka.Entah siapa yang dia telpon dan apa masalahnya, Rianti tak bisa menerkanya.Dia berniat pergi saat pintu kamar mandi terbuka dan Tina muncul. Mereka berdua sama-sama kaget sampai Tina menjatuhkan benda kecil yang dipegangnya selain HP.Sebuah testpack.Keduanya sama-sama shock, kaget dan mematung. Khususnya karena Rianti melihat garis dua yang jelas dari testpack yang jatuh itu."Ee.. Ti-Tina, kamu.." Rianti tergagap, Tina berjongkok memungut alat tes kehamilan itu lalu melengos pergi."Awas kalo kamu ngomong sama siapapun soal ini, liat aja nanti balesanku, Mbak!" Ancam adik iparnya sambil melotot."Jadi penyebab kamu tadi pagi marah banget sama bau telur itu.. karena kamu lagi hamil muda?""Mbak Rianti! Udah kubilang enggak usah banyak cingcong! Pura pura buta dan bisu soal ini emangnya enggak bisa?!" Tina benar-benar marah saat mengatakan hal itu, dia bahkan sampai mendorong bahu kakak iparnya keras-keras.Kemudian setelah itu dia menangis meraung dan masuk ke kamar, testpack-nya lagi-lagi jatuh."Ternyata dia juga hamil.." gumam Rianti pilu."Kok listrik masih bunyi-bunyi aja sih, Ti?" Tanya Halimah.Dia buru-buru masuk ke dalam rumah mencari sang menantu, Rianti."Ti! Kamu belum beli token buat bulan ini?!" Tanya Halimah sekali lagi, dia mendorong pintu kamar menantunya dengan kencang sampai pintunya menjeblak terbuka.Rianti yang sedang berbaring langsung tersentak bangun, sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang ditempeli koyo cabe.Melihat kondisi menantu perempuannya, Halimah mendecakkan lidah kesal,"Malah tiduran, masih jam segini udah males-malesan!" Hardiknya."Maaf Bu, kepalaku pusing dari tadi subuh.. dibawa jalan juga enggak bisa, keleyengan.""Halah, aku juga sakit kepala tapi masih bisa ke mana-mana nih! Kamunya aja manja, Rianti!"Mendengar omelan sang mertua, membuat Rianti merasa sakitnya bertambah parah. Dia ingin menimpali ucapan Halimah, namun memilih untuk diam saja karena takut malah jadi ribut besar."Udah masak buat Toni sama Tina?"Rianti menggeleng, dan mata Halimah langsung melotot. Dia berka
"Aku isi token 300 ribu! Biar puas kamu sebulan enggak usah isi token. Makan sana duitmu sendirian, biar puas!" Omel Halimah.Rianti memungut secarik kertas yang tergeletak di hadapannya, tertulis beberasa angka di permukaannya."Sana isi! Keburu mati listriknya nanti!" Halimah menunjuk ke luar, mengisyaratkan supaya Rianti segera mengisi token sesuai dengan yang dia perintahkan.Sang menantu bangkit, lalu sedikit terhuyung menuju ke pintu depan. Di luar ada tetangga yang sedang mengasuh anaknya,"Mbak Rianti, kok pucet? Lagi sakit?""Iya Mbak Neti, sakit kepala dari pagi.. keleyengan.""Ya ampun, masuk angin mungkin?"Rianti mengangkat bahu,"Iya kali, Mbak. Nanti coba beli jamu deh.""Halahh mantuku ini emang badannya lemah banget Mbak Neti, dikit-dikit masuk angin, dikit-dikit beli obat. Udah tau duit pas-pasan.. suami lagi nganggur." Halimah malah ngomel-ngomel.Rianti tidak menimpali omongan mertuanya, dia memilih untuk konsentrasi mengisi token saja. Padahal beli ini itu pun pak
Tangan Rianti gemetar memegangi tespek di tangannya, dipandangnya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dia lihat itu benar.Iya, ada dua garis merah yang tegas.“Po-positif? Ini.. positif beneran?” gumamnya dengan suara bergetar.Air matanya menggenang, rasa haru dan bahagia meliputi dadanya. Rianti buru-buru keluar kamar mandi karena Tina kembali menggedor pintu dengan kencang.“Lama banget sih?! Habis ngapain di dalem? Kebiasaan nih suka boros aer!” omel Tina, saat pintu kamar mandi terbuka.Rianti tidak menimpali ucapan iparnya itu, dia sengaja menyembunyikan tespeknya dari Tina sebab ingin Toni yang pertama kali mengetahui kabar gembira ini.“Dih, diajak ngomong malah melengos aja. Dasar aneh!” umpat Tina sambil masuk ke kamar mandi, dan membanting pintu.Untuk kali ini Rianti tak mengambil hati kelakuan Tina, sebab dia sedang benar-benar bahagia!Perlahan Rianti masuk ke dalam kamar, dan ternyata Toni sudah bangun. Lelaki bertato itu duduk di tepi kasur sambil mengurut kepala
Rianti tercengang mendengar ucapan Toni, ditatapnya bungkusan plastik yang masih tergeletak di lantai."Gugurin kandungan, Mas?""Iya. Harus berapa kali kukasih tau? Aku enggak mau punya anak dulu!""Tapi Mas.. kita udah mau lima tahun lho. Apa Mas enggak takut ketuaan nanti kalo.. Mas!!"Rianti memekik kecil, karena tiba-tiba saja Toni menjambak rambutnya, membuat dia mendongak ke langit-langit.Rasa perih dan panas terasa menjalar dari bagian belakang kepalanya, cengkeraman Toni benar-benar kuat dan membuat kulit kepala Rianti terasa mau lepas."Kubilang gugurin, gugurin! Mau nurut apa enggak, hah?!" Bentak Toni, tepat di telinga istrinya.Suara keras Toni menbuat kuping Rianti berdengung keras, sampai pusing kepalanya."Milih minum jamunya, atau aku yang keluarin sendiri itu janinmu!"Rianti gemetar ketakutan, dia menangkupkan tangannya di depan muka,"Maafin aku Mas.. tolong jangan gugurin bayi ini Mas.. kumohon. Aku bakalan ngurus anak ini, aku..""Perempuan bodoh! Ngurus anak em
"Tina! Kenapa telurnya dibuang?! Kamu mau makan apa nanti?!" Tegur Rianti dengan nada tinggi.Dia tak sengaja menaikkan suaranya saat mengatakan hal itu, sebab dia kaget sekali dengan kelakuan Tina yang tiba-tiba saja membuang telur."Bau! Lagian kayak orang miskin aja makannya telur. Daging dong!"Rianti menggelengkan kepalanya, sambil menyembunyikan telur di saku baju yang ia kenakan. Jangan-jangan yang tersisa ini pun akan dibuang ke luar kalau Tina tahu. Ah sayang sekali, padahal itu uang terakhir Rianti."Buka jendelanya lebar-lebar Mbak! Hadeh baunya bikin mual, huek!! Huekk!"Seperti orang ngidam saja, Tina terus muntah-muntah sambil menutup hidung. Bau amis telur katanya, padahal bau telur goreng itu sedap sekali.Bisa-bisanya dia malah mual muntah seperti orang ngidam, Rianti yang hamil saja tidak seperti itu. Tapi Tina yang baik-baik saja malah kerepotan sendiri."Awas ya Mbak, kalo berani-berani ngegoreng telur lagi di sini!" Ancam Tina, matanya sampai melotot.Rianti tak m
Rianti tercengang melihat beras berceceran di hdapannya, memenuhi lantai kamar dan jadi kotor karena memang lantainya juga belum disapu."Makan tuh beras! Menantu kurang ajar! Udah dikasih tinggal gratis, tapi pelit banget sama keluarga!" Maki Halimah, belum puas.Air mata menitik di kedua belah pipi Rianti, dia berjongkok untuk memunguti beras satu per satu, mengumpulkannya di atas plastik bekas dengan hati-hati. "Kebangetan banget sih, Bu? Padahal kalo kesel enggak usah buang berasnya kayak begini. Emangnya kalo cuma dua liter kenapa? Kan masih bisa cukup buat makan sehari?" Perempuan muda itu mengomel sendiri, menahan sakit hati yang tak terperi. Tetesan air matanya sebagian jatuh ke lantai, membasahi butiran beras yang masih tercecer di atas karpet plastik.Kamar Rianti dan suaminya ini memang belum pakai keramik, hanya lantai plester semen dan dia membeli karpet plastik meteran untuk pelapis lantai. Terdengar Halimah masih mengomel macam-macam, menyumpahi Rianti dan kandungann
"Tina! Kenapa telurnya dibuang?! Kamu mau makan apa nanti?!" Tegur Rianti dengan nada tinggi.Dia tak sengaja menaikkan suaranya saat mengatakan hal itu, sebab dia kaget sekali dengan kelakuan Tina yang tiba-tiba saja membuang telur."Bau! Lagian kayak orang miskin aja makannya telur. Daging dong!"Rianti menggelengkan kepalanya, sambil menyembunyikan telur di saku baju yang ia kenakan. Jangan-jangan yang tersisa ini pun akan dibuang ke luar kalau Tina tahu. Ah sayang sekali, padahal itu uang terakhir Rianti."Buka jendelanya lebar-lebar Mbak! Hadeh baunya bikin mual, huek!! Huekk!"Seperti orang ngidam saja, Tina terus muntah-muntah sambil menutup hidung. Bau amis telur katanya, padahal bau telur goreng itu sedap sekali.Bisa-bisanya dia malah mual muntah seperti orang ngidam, Rianti yang hamil saja tidak seperti itu. Tapi Tina yang baik-baik saja malah kerepotan sendiri."Awas ya Mbak, kalo berani-berani ngegoreng telur lagi di sini!" Ancam Tina, matanya sampai melotot.Rianti tak m
Rianti tercengang mendengar ucapan Toni, ditatapnya bungkusan plastik yang masih tergeletak di lantai."Gugurin kandungan, Mas?""Iya. Harus berapa kali kukasih tau? Aku enggak mau punya anak dulu!""Tapi Mas.. kita udah mau lima tahun lho. Apa Mas enggak takut ketuaan nanti kalo.. Mas!!"Rianti memekik kecil, karena tiba-tiba saja Toni menjambak rambutnya, membuat dia mendongak ke langit-langit.Rasa perih dan panas terasa menjalar dari bagian belakang kepalanya, cengkeraman Toni benar-benar kuat dan membuat kulit kepala Rianti terasa mau lepas."Kubilang gugurin, gugurin! Mau nurut apa enggak, hah?!" Bentak Toni, tepat di telinga istrinya.Suara keras Toni menbuat kuping Rianti berdengung keras, sampai pusing kepalanya."Milih minum jamunya, atau aku yang keluarin sendiri itu janinmu!"Rianti gemetar ketakutan, dia menangkupkan tangannya di depan muka,"Maafin aku Mas.. tolong jangan gugurin bayi ini Mas.. kumohon. Aku bakalan ngurus anak ini, aku..""Perempuan bodoh! Ngurus anak em
Tangan Rianti gemetar memegangi tespek di tangannya, dipandangnya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dia lihat itu benar.Iya, ada dua garis merah yang tegas.“Po-positif? Ini.. positif beneran?” gumamnya dengan suara bergetar.Air matanya menggenang, rasa haru dan bahagia meliputi dadanya. Rianti buru-buru keluar kamar mandi karena Tina kembali menggedor pintu dengan kencang.“Lama banget sih?! Habis ngapain di dalem? Kebiasaan nih suka boros aer!” omel Tina, saat pintu kamar mandi terbuka.Rianti tidak menimpali ucapan iparnya itu, dia sengaja menyembunyikan tespeknya dari Tina sebab ingin Toni yang pertama kali mengetahui kabar gembira ini.“Dih, diajak ngomong malah melengos aja. Dasar aneh!” umpat Tina sambil masuk ke kamar mandi, dan membanting pintu.Untuk kali ini Rianti tak mengambil hati kelakuan Tina, sebab dia sedang benar-benar bahagia!Perlahan Rianti masuk ke dalam kamar, dan ternyata Toni sudah bangun. Lelaki bertato itu duduk di tepi kasur sambil mengurut kepala
"Aku isi token 300 ribu! Biar puas kamu sebulan enggak usah isi token. Makan sana duitmu sendirian, biar puas!" Omel Halimah.Rianti memungut secarik kertas yang tergeletak di hadapannya, tertulis beberasa angka di permukaannya."Sana isi! Keburu mati listriknya nanti!" Halimah menunjuk ke luar, mengisyaratkan supaya Rianti segera mengisi token sesuai dengan yang dia perintahkan.Sang menantu bangkit, lalu sedikit terhuyung menuju ke pintu depan. Di luar ada tetangga yang sedang mengasuh anaknya,"Mbak Rianti, kok pucet? Lagi sakit?""Iya Mbak Neti, sakit kepala dari pagi.. keleyengan.""Ya ampun, masuk angin mungkin?"Rianti mengangkat bahu,"Iya kali, Mbak. Nanti coba beli jamu deh.""Halahh mantuku ini emang badannya lemah banget Mbak Neti, dikit-dikit masuk angin, dikit-dikit beli obat. Udah tau duit pas-pasan.. suami lagi nganggur." Halimah malah ngomel-ngomel.Rianti tidak menimpali omongan mertuanya, dia memilih untuk konsentrasi mengisi token saja. Padahal beli ini itu pun pak
"Kok listrik masih bunyi-bunyi aja sih, Ti?" Tanya Halimah.Dia buru-buru masuk ke dalam rumah mencari sang menantu, Rianti."Ti! Kamu belum beli token buat bulan ini?!" Tanya Halimah sekali lagi, dia mendorong pintu kamar menantunya dengan kencang sampai pintunya menjeblak terbuka.Rianti yang sedang berbaring langsung tersentak bangun, sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang ditempeli koyo cabe.Melihat kondisi menantu perempuannya, Halimah mendecakkan lidah kesal,"Malah tiduran, masih jam segini udah males-malesan!" Hardiknya."Maaf Bu, kepalaku pusing dari tadi subuh.. dibawa jalan juga enggak bisa, keleyengan.""Halah, aku juga sakit kepala tapi masih bisa ke mana-mana nih! Kamunya aja manja, Rianti!"Mendengar omelan sang mertua, membuat Rianti merasa sakitnya bertambah parah. Dia ingin menimpali ucapan Halimah, namun memilih untuk diam saja karena takut malah jadi ribut besar."Udah masak buat Toni sama Tina?"Rianti menggeleng, dan mata Halimah langsung melotot. Dia berka