Rianti tercengang mendengar ucapan Toni, ditatapnya bungkusan plastik yang masih tergeletak di lantai.
"Gugurin kandungan, Mas?"
"Iya. Harus berapa kali kukasih tau? Aku enggak mau punya anak dulu!"
"Tapi Mas.. kita udah mau lima tahun lho. Apa Mas enggak takut ketuaan nanti kalo.. Mas!!"
Rianti memekik kecil, karena tiba-tiba saja Toni menjambak rambutnya, membuat dia mendongak ke langit-langit.
Rasa perih dan panas terasa menjalar dari bagian belakang kepalanya, cengkeraman Toni benar-benar kuat dan membuat kulit kepala Rianti terasa mau lepas.
"Kubilang gugurin, gugurin! Mau nurut apa enggak, hah?!" Bentak Toni, tepat di telinga istrinya.
Suara keras Toni menbuat kuping Rianti berdengung keras, sampai pusing kepalanya.
"Milih minum jamunya, atau aku yang keluarin sendiri itu janinmu!"
Rianti gemetar ketakutan, dia menangkupkan tangannya di depan muka,
"Maafin aku Mas.. tolong jangan gugurin bayi ini Mas.. kumohon. Aku bakalan ngurus anak ini, aku.."
"Perempuan bodoh! Ngurus anak emang tugas istri, tapi siapa yang mau kasih makan hah?!"
Rianti tidak menjawab, dia masih gemetar dan panik, di kepalanya terbayang berbagai kejadian buruk yang bisa saja terjadi.
Toni adalah lelaki yang nekat, menyakiti seseorang bukan hal yang sulit baginya. Jangankan melukai, membunuh pun dia mampu melakukannya.
“Aku Mas.. aku! Aku bakalan kerja lebih keras buat anak ini. Tapi kumohon jangan digugurin Mas.." pinta Rianti, suaranya gemetar.
Selama beberapa saat Toni masih menjambak rambut istrinya, dia sepertinya sedang memikirkan ucapan Rianti.
Perlahan pegangannya mengendur, hingga akhirnya terlepas sama sekali. Rianti langsung mundur, menjauh sambil mengusap-usap bagian belakang kepalanya yang masih nyeri.
"Terserah kamu saja, dasar perempuan bodoh. Tapi inget, jangan pernah minta duit barang sepeser pun sama aku buat anak itu. Karena aku enggak mau punya anak!"
Sambil meneriakkan kalimat itu, Toni memungut bungkusan jamu dan melemparkan benda itu ke wajah sang istri. Ujungnya mengenai mata Rianti,
"Aduh!" Ringisnya, matanya perih dan langsung berair.
Perempuan muda itu memegangi mata kanannya, tak bisa dibuka karena benar-benar sakit. Toni tak peduli, dia langsung keluar lagi dari kamar. Tak tahu mau ke mana dan Rianti tidak peduli lagi.
Dalam hati dia sangat bersyukur, Toni menyerah untuk menggugurkan kandungannya. Walau terasa pedih dan pilu, paling tidak Rianti masih bisa mempertahankan si kecil dalam kandungannya.
"Ibu bakalan jaga kamu, apapun yang terjadi sayang." Bisiknya sambil mengusap perut yang masih rata.
Kemudian dia ingat, bahwa dirinya belum makan sama sekali karena tak nafsu. Namun setelah sadar dirinya sedang hamil, mau tak mau dia harus makan.
"Harusnya sayur bayam dan bakwan jagungnya masih ada.. belum ada yang makan dari tadi." Batinnya sambil berjalan ke dapur.
Suasana rumah lengang, tidak ada suara apapun dari penghuni rumah. Tina tak tahu ke mana, Halimah sang mertua juga tak nampak batang hidungnya.
"Pada ke depan kali, di depan kan ada pasar malam." Rianti bicara sendiri dan menuju lemari makan.
Dibukanya lemari dari bahan alumunium dan plastik murah itu, mencari lauk yang tadi dia masak. Tapi tak ada.
"Lho, ke mana sayur sama bakwannya?"
Benar, tidak ada apa-apa di dalam lemari. Hanya ada satu piring kecil yang berisi ikan asin sisa selumbari, alias sisa dua hari yang lalu.
"Udah abis? Siapa yang makan? kapan ibu dan Tina makannya, ya?"
Rianti mencari-cari wadah yang tadi dipakainya menyimpan masakan, dan ternyata dia temukan teronggok di tempat cuci piring. Yang lebih membuatnya sakit hati adalah sayur bayam masih ada sisanya tapi sudah dibuang. Bakwan jagung juga masih tersisa dua buah.
"Kenapa dibuang, sih?" Gumam Rianti dengan hati kecewa.
Padahal dengan sisa sayur yang mungkin cuma dua centong itu, dan bakwan jagung, Rianti sudah bisa makan dengan kenyang.
"Nasinya.. jangan-jangan nasinya juga udah abis?"
Rianti membuka tutup magic com, dan menghela napas lega karena masih ada nasi yang tersisa, sekitar setengah mangkok dan itu pun sudah agak dingin karena magic com-nya dicabut.
"Ah sudahlah, daripada enggak makan sama sekali." Batin Rianti sambil mengambil piring, memindahkan nasi ke atas piring dan menggoreng lagi sisa ikan asin.
Malam ini dia makan dengan ikan asin, dan tak terasa air matanya menetes. Kehamilan yang dinantikan selama bertahun-tahun, ternyata tak disambut dengan bahagia. Melainkan dengan penolakan dan amarah.
"Maafin Ibu, Nak.. besok Ibu makan yang enak dan sehat ya?" Bisiknya pilu.
Keesokan harinya, Rianti harus berangkat kerja seperti biasa. Karena memang sudah jadwal masuk lagi, kemarin itu libur karena keluarga bosnya sedang ada acara.
"Waduh.. berasnya habis pula." Keluh Rianti saat mengecek gentong tempat beras sudah melompong tak ada isinya.
Dia lupa, beras yang kemarin dimasaknya itu beras terakhir dan dia belum membeli stok beras lagi.
"Keburu enggak ya? Kalo belanja ke warung koh Yusuf kejauhan, nanti aku kesiangan. Belanja ke mpok Minah aja deh yang deket, beli dua liter aja dulu.." dia berceloteh sendiri.
Warung mpok Minah memang lebih dekat, tapi harganya sedikit mahal dibandingkan warung besar koh Yusuf. Cuma ya itu, jaraknya jauh dan harus pakai motor juga untuk sampai ke warung sosok Tionghoa muslim itu.
"Berasnya dua liter ya Mpok, sama telor seperempat."
"Telor doang nih? Ga beli sayur, kangkung apa bayem gitu."
"Telor aja dulu Mpok, soalnya udah kesiangan nih.." sahut Rianti sambil tersenyum.
Mpok Minah pun menimbang dua liter beras, lalu membungkus telur yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
"Ini Mpok, makasih ya.."
"Iya sama-sama " sahut mpok Minah sambil menerima uang yang Rianti sodorkan.
Uang terakhirnya, semua habis dibelanjakan bulan ini. Besok tak tahu mau bagaimana, karena gajian belum waktunya. Rianti gajian dua minggu sekali, masih lama.
Sesampainya di rumah, dia langsung memasak nasi. Sambil menunggu nasi matang, dia mandi dan bersiap-siap untuk pergi kerja.
Karena nasi yang dimasak sedikit, jadi cepat matang dan dia bisa makan pagi dulu sebelum berangkat kerja.
"Alhamdulillah, bisa makan telur goreng.. telur kan bergizi ya Nak?" Bisik Rianti, mengusap perutnya.
Sempat terpikir bagaimana jadinya nanti jika sudah masuk mual muntah, makan pasti lebih sulit dan dirinya juga kepayahan memasak. Sementara ibu hamil harus mengonsumsi makanan sehat setiap harinya.
Tak akan ada yang melayaninya, atau sekadar menggantikan dia memasak, Rianti hanya bisa berdoa supaya kehamilannya ini tidak membuatnya kepayahan.
"Bismillah, selalu ada jalan.. semoga Allah mempermudah jalanku." Batinnya.
Tina baru bangun, dia berjalan sambil menggaruk rambutnya yang awut-awutan. Karena kamar mandi posisinya di area dapur, otomatis dia pun masuk ke dalam dapur dan tiba-tiba saja dia mengeluh,
"Aduhh pagi-pagi udah bikin bau rumah aja sih, Mbak?!"
Rianti yang sedang menyantap sarapan paginya menoleh,
"Bau gimana?"
"Bau amis telur! Huekk!"
Adik iparnya itu langsung mual muntah ke kamar mandi, membuat Rianti terheran-heran.
"Yang hamil aku, kok yang mual muntah dia, sih?" Gumamnya.
Setelah selesai makan, Rianti langsung mencuci piring dan membawa sebutir telur yang belum dimasak. Niatnya akan dia sembunyikan di dalam kamar karena pulang kerja pasti lapar, dan harus segera makan.
Jika sudah punya lauk, lumayan bisa langsung goreng telur lagi.
Tina keluar dari kamar mandi sambil menutup hidungnya, menghampiri kompor dan celingukan mencari sesuatu.
"Cari apaan?" Tanya Rianti bingung, dan Tina tidak menjawab.
Perempuan muda itu melihat telur di dekat magic com, tatapannya berubah menjadi benci dan tanpa basa basi dia meraih dua butir telur itu lalu..
Plok!
Plok!
Tina melemparkan keduanya ke luar jendela dapur, dia membuangnya!
"Tina! Kenapa telurnya dibuang?! Kamu mau makan apa nanti?!" Tegur Rianti dengan nada tinggi.Dia tak sengaja menaikkan suaranya saat mengatakan hal itu, sebab dia kaget sekali dengan kelakuan Tina yang tiba-tiba saja membuang telur."Bau! Lagian kayak orang miskin aja makannya telur. Daging dong!"Rianti menggelengkan kepalanya, sambil menyembunyikan telur di saku baju yang ia kenakan. Jangan-jangan yang tersisa ini pun akan dibuang ke luar kalau Tina tahu. Ah sayang sekali, padahal itu uang terakhir Rianti."Buka jendelanya lebar-lebar Mbak! Hadeh baunya bikin mual, huek!! Huekk!"Seperti orang ngidam saja, Tina terus muntah-muntah sambil menutup hidung. Bau amis telur katanya, padahal bau telur goreng itu sedap sekali.Bisa-bisanya dia malah mual muntah seperti orang ngidam, Rianti yang hamil saja tidak seperti itu. Tapi Tina yang baik-baik saja malah kerepotan sendiri."Awas ya Mbak, kalo berani-berani ngegoreng telur lagi di sini!" Ancam Tina, matanya sampai melotot.Rianti tak m
Rianti tercengang melihat beras berceceran di hdapannya, memenuhi lantai kamar dan jadi kotor karena memang lantainya juga belum disapu."Makan tuh beras! Menantu kurang ajar! Udah dikasih tinggal gratis, tapi pelit banget sama keluarga!" Maki Halimah, belum puas.Air mata menitik di kedua belah pipi Rianti, dia berjongkok untuk memunguti beras satu per satu, mengumpulkannya di atas plastik bekas dengan hati-hati. "Kebangetan banget sih, Bu? Padahal kalo kesel enggak usah buang berasnya kayak begini. Emangnya kalo cuma dua liter kenapa? Kan masih bisa cukup buat makan sehari?" Perempuan muda itu mengomel sendiri, menahan sakit hati yang tak terperi. Tetesan air matanya sebagian jatuh ke lantai, membasahi butiran beras yang masih tercecer di atas karpet plastik.Kamar Rianti dan suaminya ini memang belum pakai keramik, hanya lantai plester semen dan dia membeli karpet plastik meteran untuk pelapis lantai. Terdengar Halimah masih mengomel macam-macam, menyumpahi Rianti dan kandungann
"Kok listrik masih bunyi-bunyi aja sih, Ti?" Tanya Halimah.Dia buru-buru masuk ke dalam rumah mencari sang menantu, Rianti."Ti! Kamu belum beli token buat bulan ini?!" Tanya Halimah sekali lagi, dia mendorong pintu kamar menantunya dengan kencang sampai pintunya menjeblak terbuka.Rianti yang sedang berbaring langsung tersentak bangun, sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang ditempeli koyo cabe.Melihat kondisi menantu perempuannya, Halimah mendecakkan lidah kesal,"Malah tiduran, masih jam segini udah males-malesan!" Hardiknya."Maaf Bu, kepalaku pusing dari tadi subuh.. dibawa jalan juga enggak bisa, keleyengan.""Halah, aku juga sakit kepala tapi masih bisa ke mana-mana nih! Kamunya aja manja, Rianti!"Mendengar omelan sang mertua, membuat Rianti merasa sakitnya bertambah parah. Dia ingin menimpali ucapan Halimah, namun memilih untuk diam saja karena takut malah jadi ribut besar."Udah masak buat Toni sama Tina?"Rianti menggeleng, dan mata Halimah langsung melotot. Dia berka
"Aku isi token 300 ribu! Biar puas kamu sebulan enggak usah isi token. Makan sana duitmu sendirian, biar puas!" Omel Halimah.Rianti memungut secarik kertas yang tergeletak di hadapannya, tertulis beberasa angka di permukaannya."Sana isi! Keburu mati listriknya nanti!" Halimah menunjuk ke luar, mengisyaratkan supaya Rianti segera mengisi token sesuai dengan yang dia perintahkan.Sang menantu bangkit, lalu sedikit terhuyung menuju ke pintu depan. Di luar ada tetangga yang sedang mengasuh anaknya,"Mbak Rianti, kok pucet? Lagi sakit?""Iya Mbak Neti, sakit kepala dari pagi.. keleyengan.""Ya ampun, masuk angin mungkin?"Rianti mengangkat bahu,"Iya kali, Mbak. Nanti coba beli jamu deh.""Halahh mantuku ini emang badannya lemah banget Mbak Neti, dikit-dikit masuk angin, dikit-dikit beli obat. Udah tau duit pas-pasan.. suami lagi nganggur." Halimah malah ngomel-ngomel.Rianti tidak menimpali omongan mertuanya, dia memilih untuk konsentrasi mengisi token saja. Padahal beli ini itu pun pak
Tangan Rianti gemetar memegangi tespek di tangannya, dipandangnya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dia lihat itu benar.Iya, ada dua garis merah yang tegas.“Po-positif? Ini.. positif beneran?” gumamnya dengan suara bergetar.Air matanya menggenang, rasa haru dan bahagia meliputi dadanya. Rianti buru-buru keluar kamar mandi karena Tina kembali menggedor pintu dengan kencang.“Lama banget sih?! Habis ngapain di dalem? Kebiasaan nih suka boros aer!” omel Tina, saat pintu kamar mandi terbuka.Rianti tidak menimpali ucapan iparnya itu, dia sengaja menyembunyikan tespeknya dari Tina sebab ingin Toni yang pertama kali mengetahui kabar gembira ini.“Dih, diajak ngomong malah melengos aja. Dasar aneh!” umpat Tina sambil masuk ke kamar mandi, dan membanting pintu.Untuk kali ini Rianti tak mengambil hati kelakuan Tina, sebab dia sedang benar-benar bahagia!Perlahan Rianti masuk ke dalam kamar, dan ternyata Toni sudah bangun. Lelaki bertato itu duduk di tepi kasur sambil mengurut kepala
Rianti tercengang melihat beras berceceran di hdapannya, memenuhi lantai kamar dan jadi kotor karena memang lantainya juga belum disapu."Makan tuh beras! Menantu kurang ajar! Udah dikasih tinggal gratis, tapi pelit banget sama keluarga!" Maki Halimah, belum puas.Air mata menitik di kedua belah pipi Rianti, dia berjongkok untuk memunguti beras satu per satu, mengumpulkannya di atas plastik bekas dengan hati-hati. "Kebangetan banget sih, Bu? Padahal kalo kesel enggak usah buang berasnya kayak begini. Emangnya kalo cuma dua liter kenapa? Kan masih bisa cukup buat makan sehari?" Perempuan muda itu mengomel sendiri, menahan sakit hati yang tak terperi. Tetesan air matanya sebagian jatuh ke lantai, membasahi butiran beras yang masih tercecer di atas karpet plastik.Kamar Rianti dan suaminya ini memang belum pakai keramik, hanya lantai plester semen dan dia membeli karpet plastik meteran untuk pelapis lantai. Terdengar Halimah masih mengomel macam-macam, menyumpahi Rianti dan kandungann
"Tina! Kenapa telurnya dibuang?! Kamu mau makan apa nanti?!" Tegur Rianti dengan nada tinggi.Dia tak sengaja menaikkan suaranya saat mengatakan hal itu, sebab dia kaget sekali dengan kelakuan Tina yang tiba-tiba saja membuang telur."Bau! Lagian kayak orang miskin aja makannya telur. Daging dong!"Rianti menggelengkan kepalanya, sambil menyembunyikan telur di saku baju yang ia kenakan. Jangan-jangan yang tersisa ini pun akan dibuang ke luar kalau Tina tahu. Ah sayang sekali, padahal itu uang terakhir Rianti."Buka jendelanya lebar-lebar Mbak! Hadeh baunya bikin mual, huek!! Huekk!"Seperti orang ngidam saja, Tina terus muntah-muntah sambil menutup hidung. Bau amis telur katanya, padahal bau telur goreng itu sedap sekali.Bisa-bisanya dia malah mual muntah seperti orang ngidam, Rianti yang hamil saja tidak seperti itu. Tapi Tina yang baik-baik saja malah kerepotan sendiri."Awas ya Mbak, kalo berani-berani ngegoreng telur lagi di sini!" Ancam Tina, matanya sampai melotot.Rianti tak m
Rianti tercengang mendengar ucapan Toni, ditatapnya bungkusan plastik yang masih tergeletak di lantai."Gugurin kandungan, Mas?""Iya. Harus berapa kali kukasih tau? Aku enggak mau punya anak dulu!""Tapi Mas.. kita udah mau lima tahun lho. Apa Mas enggak takut ketuaan nanti kalo.. Mas!!"Rianti memekik kecil, karena tiba-tiba saja Toni menjambak rambutnya, membuat dia mendongak ke langit-langit.Rasa perih dan panas terasa menjalar dari bagian belakang kepalanya, cengkeraman Toni benar-benar kuat dan membuat kulit kepala Rianti terasa mau lepas."Kubilang gugurin, gugurin! Mau nurut apa enggak, hah?!" Bentak Toni, tepat di telinga istrinya.Suara keras Toni menbuat kuping Rianti berdengung keras, sampai pusing kepalanya."Milih minum jamunya, atau aku yang keluarin sendiri itu janinmu!"Rianti gemetar ketakutan, dia menangkupkan tangannya di depan muka,"Maafin aku Mas.. tolong jangan gugurin bayi ini Mas.. kumohon. Aku bakalan ngurus anak ini, aku..""Perempuan bodoh! Ngurus anak em
Tangan Rianti gemetar memegangi tespek di tangannya, dipandangnya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dia lihat itu benar.Iya, ada dua garis merah yang tegas.“Po-positif? Ini.. positif beneran?” gumamnya dengan suara bergetar.Air matanya menggenang, rasa haru dan bahagia meliputi dadanya. Rianti buru-buru keluar kamar mandi karena Tina kembali menggedor pintu dengan kencang.“Lama banget sih?! Habis ngapain di dalem? Kebiasaan nih suka boros aer!” omel Tina, saat pintu kamar mandi terbuka.Rianti tidak menimpali ucapan iparnya itu, dia sengaja menyembunyikan tespeknya dari Tina sebab ingin Toni yang pertama kali mengetahui kabar gembira ini.“Dih, diajak ngomong malah melengos aja. Dasar aneh!” umpat Tina sambil masuk ke kamar mandi, dan membanting pintu.Untuk kali ini Rianti tak mengambil hati kelakuan Tina, sebab dia sedang benar-benar bahagia!Perlahan Rianti masuk ke dalam kamar, dan ternyata Toni sudah bangun. Lelaki bertato itu duduk di tepi kasur sambil mengurut kepala
"Aku isi token 300 ribu! Biar puas kamu sebulan enggak usah isi token. Makan sana duitmu sendirian, biar puas!" Omel Halimah.Rianti memungut secarik kertas yang tergeletak di hadapannya, tertulis beberasa angka di permukaannya."Sana isi! Keburu mati listriknya nanti!" Halimah menunjuk ke luar, mengisyaratkan supaya Rianti segera mengisi token sesuai dengan yang dia perintahkan.Sang menantu bangkit, lalu sedikit terhuyung menuju ke pintu depan. Di luar ada tetangga yang sedang mengasuh anaknya,"Mbak Rianti, kok pucet? Lagi sakit?""Iya Mbak Neti, sakit kepala dari pagi.. keleyengan.""Ya ampun, masuk angin mungkin?"Rianti mengangkat bahu,"Iya kali, Mbak. Nanti coba beli jamu deh.""Halahh mantuku ini emang badannya lemah banget Mbak Neti, dikit-dikit masuk angin, dikit-dikit beli obat. Udah tau duit pas-pasan.. suami lagi nganggur." Halimah malah ngomel-ngomel.Rianti tidak menimpali omongan mertuanya, dia memilih untuk konsentrasi mengisi token saja. Padahal beli ini itu pun pak
"Kok listrik masih bunyi-bunyi aja sih, Ti?" Tanya Halimah.Dia buru-buru masuk ke dalam rumah mencari sang menantu, Rianti."Ti! Kamu belum beli token buat bulan ini?!" Tanya Halimah sekali lagi, dia mendorong pintu kamar menantunya dengan kencang sampai pintunya menjeblak terbuka.Rianti yang sedang berbaring langsung tersentak bangun, sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang ditempeli koyo cabe.Melihat kondisi menantu perempuannya, Halimah mendecakkan lidah kesal,"Malah tiduran, masih jam segini udah males-malesan!" Hardiknya."Maaf Bu, kepalaku pusing dari tadi subuh.. dibawa jalan juga enggak bisa, keleyengan.""Halah, aku juga sakit kepala tapi masih bisa ke mana-mana nih! Kamunya aja manja, Rianti!"Mendengar omelan sang mertua, membuat Rianti merasa sakitnya bertambah parah. Dia ingin menimpali ucapan Halimah, namun memilih untuk diam saja karena takut malah jadi ribut besar."Udah masak buat Toni sama Tina?"Rianti menggeleng, dan mata Halimah langsung melotot. Dia berka