Tangan Rianti gemetar memegangi tespek di tangannya, dipandangnya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dia lihat itu benar.
Iya, ada dua garis merah yang tegas.
“Po-positif? Ini.. positif beneran?” gumamnya dengan suara bergetar.
Air matanya menggenang, rasa haru dan bahagia meliputi dadanya. Rianti buru-buru keluar kamar mandi karena Tina kembali menggedor pintu dengan kencang.
“Lama banget sih?! Habis ngapain di dalem? Kebiasaan nih suka boros aer!” omel Tina, saat pintu kamar mandi terbuka.
Rianti tidak menimpali ucapan iparnya itu, dia sengaja menyembunyikan tespeknya dari Tina sebab ingin Toni yang pertama kali mengetahui kabar gembira ini.
“Dih, diajak ngomong malah melengos aja. Dasar aneh!” umpat Tina sambil masuk ke kamar mandi, dan membanting pintu.
Untuk kali ini Rianti tak mengambil hati kelakuan Tina, sebab dia sedang benar-benar bahagia!
Perlahan Rianti masuk ke dalam kamar, dan ternyata Toni sudah bangun. Lelaki bertato itu duduk di tepi kasur sambil mengurut kepalanya. Sepertinya dia baru bangun, mungkin karena suara berisik Tina.
Maklum, rumah dengan tiga kamar ini kecil sekali. Satu ruangan dengan ruangan yang lain berhimpitan, dinding tipis yang tak bisa meredam suara keras dari luar. Apalagi suara Tina memang mengalahkan speaker Agustusan, wajar jika sampai membangunkan Toni.
“Mas, aku ada kejutan.”
Toni bergeming, dia masih mengurut kepalanya. Rianti mendekati sang suami, menyembunyikan tespek di belakang tubuhnya.
“Mas..” panggil perempuan itu lagi.
“Mas.. ini lho..”
“Apa sih?! Kamu enggak liat aku baru bangun? Kepalaku masih sakit. Bukannya tawarin minum atau apaan kek! Malah ngajak ngomong yang enggak penting!” bentak Toni.
Matanya merah, melirik Rianti dengan tajam. Dia jelas tak bersahabat, namun Rianti merasa jika Toni pasti akan langsung berubah bahagia dan ramah saat melihat apa kejutan yang sedang disembunyikan.
“Mas, aku hamil!”
Dengan senyuman lebar Rianti menunjukkan tespeknya ke hadapan yang suami, tepat di depan muka Toni dengan harapan dia langsung melihatnya dan menunjukkan antusiasme yang sama.
Tetapi beberapa detik berlalu, Toni hanya menatap tespek itu dengan ekspresi yang datar.
“Mas.. aku hamil. Kamu, enggak seneng?”
Toni meraih tespek di hadapannya, mengecek benda itu bolak-balik dan ekspresinya masih tidak berubah.
“Ini punya kamu?”
“Iya. Alhamdulillah setelah empat tahun, Mas. Akhirnya kita bisa punya anak!”
Rianti duduk di sebelah sang suami, memeluk lengannya namun tiba-tiba saja Toni mendorong Rianti dan dia menjaga jarak sambil tetap memandangi tespek.
“Ini.. enggak salah kamu hamil?”
Perasaan bahagia Rianti sedikit berkurang, karena melihat ekspresi Toni yang sama sekali tak menunjukkan antusiasme.
“Beneran kok, Mas. Itu aku tespek tadi.. mas kok, kayak yang enggak seneng aku hamil?”
Toni menghela napas, dia melemparkan tespek ke lantai dan jantung Rianti seperti copot melihatnya. Lelaki yang dia kira akan menjadi orang yang paling bahagia kedua setelah dirinya, ternyata malah membuang tespek itu dengan enteng.
“Mas..”
“Kamu tuh ya gimana sih, Ti? Keuangan lagi begini, malah hamil!”
Tubuh Rianti langsung kaku mematung mendengar ucapan sang suami, dia mengerjapkan matanya beberapa kali karena tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Ma-maksudnya Mas?”
“Kalo kamu hamil, gimana mau kerja? Kalo kamu enggak kerja, kita mau makan apa? Sementara aku belum dapat kerjaan apapun!”
Toni berdiri, meraih jaketnya yang teronggok di sudut ruangan.
“Kalopun aku dapet kerja, kerja apaan buat mantan napi kayak aku, hah?! Emangnya bakalan cukup buat ngehidupin bayi? Aduh Rianti, Rianti.. bukannya pake KB atau apa kek.. hadeh!”
Tak henti-hentinya Toni mengomel, dia mengenakan jaketnya lalu bergegas keluar dari kamar. Rianti mengejarnya,
“Ke mana Mas? Kamu kan baru pulang!”
“Mumet aku di rumah. Punya istri enggak berguna banget!” makinya sambil terus pergi.
Rianti termenung di depan pintu kamar, kebahagiaannya menyambut garis dua pertamanya seumur perkawinan mereka, kini memudar sudah.
Halimah yang mendengar ribut-ribut keluar dari kamar sambil menenteng plastik bekas otak-otak,
“Kenapa lagi? Nyari ribut sama suami? Ckk ckk, jadi istri kok bisanya bikin suami emosi aja. Enggak guna memang kamu, Rianti.”
Mendengar ocehan mertuanya, menambah luka di dalam dada Rianti. Namun dia tak mau membalas omongan mertuanya. Dia masih cukup shock dengan reaksi yang Toni tunjukkan, sesuatu yang tak pernah dia kira akan dapatkan dari orang yang dia cintai.
“Kok ada bungkusan tespek di kamar mandi, Mbak Rianti kamu ngecek lagi? Dih, kurang kerjaan banget.. ngecek melulu, hamilnya kagak!” celetuk Tina.
Dia baru selesai mandi, mengenakan handuk sebatas dada dan handuk yang lebih kecil menutupi rambutnya yang basah. Mendengar ucapan sang anak, bola mata Halimah membulat dan dia menghampiri Rianti,
“Mana liat hasil tespeknya?”
Rianti bergeming, dia belum siap mendengar omelan lain, hatinya bahkan belum sembuh dari reaksi Toni yang sangat mengerikan itu. Jangan sampai dirinya kembali mendengar omelan lagi yang akan menambah luka dalam dadanya.
“Mana, Ti? Budek?” desak Halimah.
Perempuan itu melihat sesuatu di lantai, benda yang sangat kecil dan tipis itu rupanya bisa tertangkap pula oleh radar mata keponya. Dia langsung memungutnya, membaca garisnya dengan kening mengerut.
“Kamu hamil?”
Rianti mengangguk pelan, tanpa mengatakan apapun. Tatapannya kosong, bahkan saat Tina menghampiri Halimah untuk melihat tespek dan melanggar bahunya dengan keras. Rianti masih termenung.
“Wah beneran hamil ini, Bu?”
“Kayaknya sih iya, tapi.. ah, masa sih? Kamu kan mandul, Ti?”
“AKu enggak mandul, Bu. Siapa yang bilang aku mandul? Aku cuma belum dikasih amanah, dan sekarang Allah kasih aku amanah anak ini. Cucu ibu!” lawan Rianti, tak kuasa disalahkan melulu.
Genangan air matanya mulai luber, namun masih bisa ditahannya sedikit.
Halimah mendengus,
“Hahh, ya sukur deh kalo memang enggak mandul. Bisa kasih keturunan buat suamimu, kalo enggak suamimu bisa nyari yang baru.”
“Ah belum tentu juga jadi, paling keguguran sih kalo kayak gini. Badan ceking enggak keurus gitu, gimana mau sehat anaknya?”
Sepasang ibu dan anak itu sukses menorah luka begitu dalam di dalam hati Rianti, kehamilan yang sangat dia nanti-nantikan ternyata menjadi olok-olok terbesar dalam keluarga ini.
Rianti mengusap perutnya yang masih datar, di dalam rahimnya kini sedang bertumbuh segumpal darah yang kelak akan menjadi sesosok makhluk Allah yang pandai dan berakal. Kehadirannya harus disambut dengan kebahagiaan dan kalimat yang baik-baik.
Bukannya ucapan dari para iblis seperti yang baru saja Rianti dengar!
Tak mau terus menerus mendengar semua omong kosong itu, Rianti memasuki kamar dan mengusir mertua serta adik iparnya keluar.
“Aku harus istirahat.” Katanya tanpa menatap wajah sang mertua, maupun iparnya.
Kedua orang itu lantas bersungut-sungut, merasa diperlakukan tak sopan oleh Rianti. Padahal keduanya jauh lebih tak sopan dibandingkan dengan Rianti.
Perempuan muda itu lantas membaringkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamar yang catnya sudah kusam. Hatinya gundah, bagaimana kehamilannya nanti jika sekarang saja semua orang sudah tak mendukung hal itu?
Tanpa terasa Rianti tertidur, dan entah berapa lama dia memejamkan mata, dia terbangun karena sesuatu jatuh di dekatnya. Saat ia membuka mata, ternyata Toni melemparkan sebuah bungkusan.
“Apa ini, Mas?”
“Itu obat penggugur kandungan yang kudapat dari temanku, cepat minum sehari tiga kali supaya aku enggak perlu pusing ngeliat kamu hamil!” teriak lelaki itu, kejam.
Rianti tercengang mendengar ucapan Toni, ditatapnya bungkusan plastik yang masih tergeletak di lantai."Gugurin kandungan, Mas?""Iya. Harus berapa kali kukasih tau? Aku enggak mau punya anak dulu!""Tapi Mas.. kita udah mau lima tahun lho. Apa Mas enggak takut ketuaan nanti kalo.. Mas!!"Rianti memekik kecil, karena tiba-tiba saja Toni menjambak rambutnya, membuat dia mendongak ke langit-langit.Rasa perih dan panas terasa menjalar dari bagian belakang kepalanya, cengkeraman Toni benar-benar kuat dan membuat kulit kepala Rianti terasa mau lepas."Kubilang gugurin, gugurin! Mau nurut apa enggak, hah?!" Bentak Toni, tepat di telinga istrinya.Suara keras Toni menbuat kuping Rianti berdengung keras, sampai pusing kepalanya."Milih minum jamunya, atau aku yang keluarin sendiri itu janinmu!"Rianti gemetar ketakutan, dia menangkupkan tangannya di depan muka,"Maafin aku Mas.. tolong jangan gugurin bayi ini Mas.. kumohon. Aku bakalan ngurus anak ini, aku..""Perempuan bodoh! Ngurus anak em
"Tina! Kenapa telurnya dibuang?! Kamu mau makan apa nanti?!" Tegur Rianti dengan nada tinggi.Dia tak sengaja menaikkan suaranya saat mengatakan hal itu, sebab dia kaget sekali dengan kelakuan Tina yang tiba-tiba saja membuang telur."Bau! Lagian kayak orang miskin aja makannya telur. Daging dong!"Rianti menggelengkan kepalanya, sambil menyembunyikan telur di saku baju yang ia kenakan. Jangan-jangan yang tersisa ini pun akan dibuang ke luar kalau Tina tahu. Ah sayang sekali, padahal itu uang terakhir Rianti."Buka jendelanya lebar-lebar Mbak! Hadeh baunya bikin mual, huek!! Huekk!"Seperti orang ngidam saja, Tina terus muntah-muntah sambil menutup hidung. Bau amis telur katanya, padahal bau telur goreng itu sedap sekali.Bisa-bisanya dia malah mual muntah seperti orang ngidam, Rianti yang hamil saja tidak seperti itu. Tapi Tina yang baik-baik saja malah kerepotan sendiri."Awas ya Mbak, kalo berani-berani ngegoreng telur lagi di sini!" Ancam Tina, matanya sampai melotot.Rianti tak m
Rianti tercengang melihat beras berceceran di hdapannya, memenuhi lantai kamar dan jadi kotor karena memang lantainya juga belum disapu."Makan tuh beras! Menantu kurang ajar! Udah dikasih tinggal gratis, tapi pelit banget sama keluarga!" Maki Halimah, belum puas.Air mata menitik di kedua belah pipi Rianti, dia berjongkok untuk memunguti beras satu per satu, mengumpulkannya di atas plastik bekas dengan hati-hati. "Kebangetan banget sih, Bu? Padahal kalo kesel enggak usah buang berasnya kayak begini. Emangnya kalo cuma dua liter kenapa? Kan masih bisa cukup buat makan sehari?" Perempuan muda itu mengomel sendiri, menahan sakit hati yang tak terperi. Tetesan air matanya sebagian jatuh ke lantai, membasahi butiran beras yang masih tercecer di atas karpet plastik.Kamar Rianti dan suaminya ini memang belum pakai keramik, hanya lantai plester semen dan dia membeli karpet plastik meteran untuk pelapis lantai. Terdengar Halimah masih mengomel macam-macam, menyumpahi Rianti dan kandungann
"Kok listrik masih bunyi-bunyi aja sih, Ti?" Tanya Halimah.Dia buru-buru masuk ke dalam rumah mencari sang menantu, Rianti."Ti! Kamu belum beli token buat bulan ini?!" Tanya Halimah sekali lagi, dia mendorong pintu kamar menantunya dengan kencang sampai pintunya menjeblak terbuka.Rianti yang sedang berbaring langsung tersentak bangun, sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang ditempeli koyo cabe.Melihat kondisi menantu perempuannya, Halimah mendecakkan lidah kesal,"Malah tiduran, masih jam segini udah males-malesan!" Hardiknya."Maaf Bu, kepalaku pusing dari tadi subuh.. dibawa jalan juga enggak bisa, keleyengan.""Halah, aku juga sakit kepala tapi masih bisa ke mana-mana nih! Kamunya aja manja, Rianti!"Mendengar omelan sang mertua, membuat Rianti merasa sakitnya bertambah parah. Dia ingin menimpali ucapan Halimah, namun memilih untuk diam saja karena takut malah jadi ribut besar."Udah masak buat Toni sama Tina?"Rianti menggeleng, dan mata Halimah langsung melotot. Dia berka
"Aku isi token 300 ribu! Biar puas kamu sebulan enggak usah isi token. Makan sana duitmu sendirian, biar puas!" Omel Halimah.Rianti memungut secarik kertas yang tergeletak di hadapannya, tertulis beberasa angka di permukaannya."Sana isi! Keburu mati listriknya nanti!" Halimah menunjuk ke luar, mengisyaratkan supaya Rianti segera mengisi token sesuai dengan yang dia perintahkan.Sang menantu bangkit, lalu sedikit terhuyung menuju ke pintu depan. Di luar ada tetangga yang sedang mengasuh anaknya,"Mbak Rianti, kok pucet? Lagi sakit?""Iya Mbak Neti, sakit kepala dari pagi.. keleyengan.""Ya ampun, masuk angin mungkin?"Rianti mengangkat bahu,"Iya kali, Mbak. Nanti coba beli jamu deh.""Halahh mantuku ini emang badannya lemah banget Mbak Neti, dikit-dikit masuk angin, dikit-dikit beli obat. Udah tau duit pas-pasan.. suami lagi nganggur." Halimah malah ngomel-ngomel.Rianti tidak menimpali omongan mertuanya, dia memilih untuk konsentrasi mengisi token saja. Padahal beli ini itu pun pak
Rianti tercengang melihat beras berceceran di hdapannya, memenuhi lantai kamar dan jadi kotor karena memang lantainya juga belum disapu."Makan tuh beras! Menantu kurang ajar! Udah dikasih tinggal gratis, tapi pelit banget sama keluarga!" Maki Halimah, belum puas.Air mata menitik di kedua belah pipi Rianti, dia berjongkok untuk memunguti beras satu per satu, mengumpulkannya di atas plastik bekas dengan hati-hati. "Kebangetan banget sih, Bu? Padahal kalo kesel enggak usah buang berasnya kayak begini. Emangnya kalo cuma dua liter kenapa? Kan masih bisa cukup buat makan sehari?" Perempuan muda itu mengomel sendiri, menahan sakit hati yang tak terperi. Tetesan air matanya sebagian jatuh ke lantai, membasahi butiran beras yang masih tercecer di atas karpet plastik.Kamar Rianti dan suaminya ini memang belum pakai keramik, hanya lantai plester semen dan dia membeli karpet plastik meteran untuk pelapis lantai. Terdengar Halimah masih mengomel macam-macam, menyumpahi Rianti dan kandungann
"Tina! Kenapa telurnya dibuang?! Kamu mau makan apa nanti?!" Tegur Rianti dengan nada tinggi.Dia tak sengaja menaikkan suaranya saat mengatakan hal itu, sebab dia kaget sekali dengan kelakuan Tina yang tiba-tiba saja membuang telur."Bau! Lagian kayak orang miskin aja makannya telur. Daging dong!"Rianti menggelengkan kepalanya, sambil menyembunyikan telur di saku baju yang ia kenakan. Jangan-jangan yang tersisa ini pun akan dibuang ke luar kalau Tina tahu. Ah sayang sekali, padahal itu uang terakhir Rianti."Buka jendelanya lebar-lebar Mbak! Hadeh baunya bikin mual, huek!! Huekk!"Seperti orang ngidam saja, Tina terus muntah-muntah sambil menutup hidung. Bau amis telur katanya, padahal bau telur goreng itu sedap sekali.Bisa-bisanya dia malah mual muntah seperti orang ngidam, Rianti yang hamil saja tidak seperti itu. Tapi Tina yang baik-baik saja malah kerepotan sendiri."Awas ya Mbak, kalo berani-berani ngegoreng telur lagi di sini!" Ancam Tina, matanya sampai melotot.Rianti tak m
Rianti tercengang mendengar ucapan Toni, ditatapnya bungkusan plastik yang masih tergeletak di lantai."Gugurin kandungan, Mas?""Iya. Harus berapa kali kukasih tau? Aku enggak mau punya anak dulu!""Tapi Mas.. kita udah mau lima tahun lho. Apa Mas enggak takut ketuaan nanti kalo.. Mas!!"Rianti memekik kecil, karena tiba-tiba saja Toni menjambak rambutnya, membuat dia mendongak ke langit-langit.Rasa perih dan panas terasa menjalar dari bagian belakang kepalanya, cengkeraman Toni benar-benar kuat dan membuat kulit kepala Rianti terasa mau lepas."Kubilang gugurin, gugurin! Mau nurut apa enggak, hah?!" Bentak Toni, tepat di telinga istrinya.Suara keras Toni menbuat kuping Rianti berdengung keras, sampai pusing kepalanya."Milih minum jamunya, atau aku yang keluarin sendiri itu janinmu!"Rianti gemetar ketakutan, dia menangkupkan tangannya di depan muka,"Maafin aku Mas.. tolong jangan gugurin bayi ini Mas.. kumohon. Aku bakalan ngurus anak ini, aku..""Perempuan bodoh! Ngurus anak em
Tangan Rianti gemetar memegangi tespek di tangannya, dipandangnya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dia lihat itu benar.Iya, ada dua garis merah yang tegas.“Po-positif? Ini.. positif beneran?” gumamnya dengan suara bergetar.Air matanya menggenang, rasa haru dan bahagia meliputi dadanya. Rianti buru-buru keluar kamar mandi karena Tina kembali menggedor pintu dengan kencang.“Lama banget sih?! Habis ngapain di dalem? Kebiasaan nih suka boros aer!” omel Tina, saat pintu kamar mandi terbuka.Rianti tidak menimpali ucapan iparnya itu, dia sengaja menyembunyikan tespeknya dari Tina sebab ingin Toni yang pertama kali mengetahui kabar gembira ini.“Dih, diajak ngomong malah melengos aja. Dasar aneh!” umpat Tina sambil masuk ke kamar mandi, dan membanting pintu.Untuk kali ini Rianti tak mengambil hati kelakuan Tina, sebab dia sedang benar-benar bahagia!Perlahan Rianti masuk ke dalam kamar, dan ternyata Toni sudah bangun. Lelaki bertato itu duduk di tepi kasur sambil mengurut kepala
"Aku isi token 300 ribu! Biar puas kamu sebulan enggak usah isi token. Makan sana duitmu sendirian, biar puas!" Omel Halimah.Rianti memungut secarik kertas yang tergeletak di hadapannya, tertulis beberasa angka di permukaannya."Sana isi! Keburu mati listriknya nanti!" Halimah menunjuk ke luar, mengisyaratkan supaya Rianti segera mengisi token sesuai dengan yang dia perintahkan.Sang menantu bangkit, lalu sedikit terhuyung menuju ke pintu depan. Di luar ada tetangga yang sedang mengasuh anaknya,"Mbak Rianti, kok pucet? Lagi sakit?""Iya Mbak Neti, sakit kepala dari pagi.. keleyengan.""Ya ampun, masuk angin mungkin?"Rianti mengangkat bahu,"Iya kali, Mbak. Nanti coba beli jamu deh.""Halahh mantuku ini emang badannya lemah banget Mbak Neti, dikit-dikit masuk angin, dikit-dikit beli obat. Udah tau duit pas-pasan.. suami lagi nganggur." Halimah malah ngomel-ngomel.Rianti tidak menimpali omongan mertuanya, dia memilih untuk konsentrasi mengisi token saja. Padahal beli ini itu pun pak
"Kok listrik masih bunyi-bunyi aja sih, Ti?" Tanya Halimah.Dia buru-buru masuk ke dalam rumah mencari sang menantu, Rianti."Ti! Kamu belum beli token buat bulan ini?!" Tanya Halimah sekali lagi, dia mendorong pintu kamar menantunya dengan kencang sampai pintunya menjeblak terbuka.Rianti yang sedang berbaring langsung tersentak bangun, sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang ditempeli koyo cabe.Melihat kondisi menantu perempuannya, Halimah mendecakkan lidah kesal,"Malah tiduran, masih jam segini udah males-malesan!" Hardiknya."Maaf Bu, kepalaku pusing dari tadi subuh.. dibawa jalan juga enggak bisa, keleyengan.""Halah, aku juga sakit kepala tapi masih bisa ke mana-mana nih! Kamunya aja manja, Rianti!"Mendengar omelan sang mertua, membuat Rianti merasa sakitnya bertambah parah. Dia ingin menimpali ucapan Halimah, namun memilih untuk diam saja karena takut malah jadi ribut besar."Udah masak buat Toni sama Tina?"Rianti menggeleng, dan mata Halimah langsung melotot. Dia berka