"Aku isi token 300 ribu! Biar puas kamu sebulan enggak usah isi token. Makan sana duitmu sendirian, biar puas!" Omel Halimah.
Rianti memungut secarik kertas yang tergeletak di hadapannya, tertulis beberasa angka di permukaannya.
"Sana isi! Keburu mati listriknya nanti!" Halimah menunjuk ke luar, mengisyaratkan supaya Rianti segera mengisi token sesuai dengan yang dia perintahkan.
Sang menantu bangkit, lalu sedikit terhuyung menuju ke pintu depan. Di luar ada tetangga yang sedang mengasuh anaknya,
"Mbak Rianti, kok pucet? Lagi sakit?"
"Iya Mbak Neti, sakit kepala dari pagi.. keleyengan."
"Ya ampun, masuk angin mungkin?"
Rianti mengangkat bahu,
"Iya kali, Mbak. Nanti coba beli jamu deh."
"Halahh mantuku ini emang badannya lemah banget Mbak Neti, dikit-dikit masuk angin, dikit-dikit beli obat. Udah tau duit pas-pasan.. suami lagi nganggur." Halimah malah ngomel-ngomel.
Rianti tidak menimpali omongan mertuanya, dia memilih untuk konsentrasi mengisi token saja. Padahal beli ini itu pun pakai uangnya sendiri, bukan minta ke suami. Apalagi mertua.
Begini-begini, Rianti itu bekerja. Sebagai buruh di konveksi. Gajinya lumayan untuk ukuran pinggiran kota macam di sini, apalagi jika hanya untuk hidup berdua dengan suami. Rianti pasti masih bisa menabung, sayangnya semua uang dia pakai untuk kebutuhan dua rumah tangga. Ya sudahlah, anggap saja sedekah.
Setelah memasukkan dua puluh angka yang tertera di atas kertas, token pun bertambah dan meteran listrik tidak berbunyi lagi.
"Tapi kok cuma segini, ya?" Gumam Rianti bingung, karena biasanya dia membeli token 300 ribu jumlahnya lebih banyak dari yang dimasukkan sekarang.
Apa jangan-jangan mertuanya dibohongi tukang tokennya?
"Bu, tadi Ibu beli token yang berapa?"
Halimah mendelik, "300 lah! Tadi kan aku udah ngomong!"
"Tapi ini.. kok cuma sebanyak token yang 100?"
Ada sekilas muka panik terlihat di wajah Halimah, namun dia buru-buru membentak dan mengelak.
"300! Aku ngisi 300 enggak mungkin salah!" Dia bersikeras.
"Ya tapi ini tokennya cuma dikit, Bu. Takutnya Ibu ditipu, sayang uangnya. Ibu beli di mana emangnya? Biar aku tanyain nanti.."
"Enggak usah! Orang emang beli 300 kok! Kamu aja udah pikun kali, Ti!" Hardiknya.
Perempuan setengah baya itu lalu kembali ke dalam rumah, menghindar.
Rianti pun paham, mertuanya bukan ditipu tukang token melainkan dia yang sedang berusaha menipu. Jelas-jelas nominalnya kurang dari beli token 300 ribu, tapi keukeuh dengan kata-katanya.
"Ah, sudahlah.. paling seminggu lagi juga udah bunyi-bunyi tokennya." Batin Rianti, tak mau ambil pusing.
Tiba-tiba kepalanya kembali pusing, dan rasa mual membuat Rianti reflek menahan muntah.
"Huekk!"
Mbak Neti langsung menoleh, tatapannya antusias.
"Lho Mbak Rianti, jangan-jangan ngisi lho!"
Mendengar ucapan tetangganya itu, membuat Rianti tersenyum, lalu menggeleng.
"Enggak mungkin kayaknya, Mbak. Lagipula aku belum telat mens kok."
"Ehh gak perlu telat mens, Mbak. Kalo hamil ya hamil aja.. coba aja ke bidan, atau beli tespek."
Rianti tertegun, ucapan mbak Neti membuatnya jadi mulai menerka-nerka dan berharap. Di usia pernikahannya yang ke empat tahun ini, memiliki buah hati adalah keinginannya yang paling utama.
Bagaimana jika ternyata sekarang adalah waktu yang Tuhan pilih untuk Rianti dan Toni?
"Baiklah Mbak, kayaknya aku coba beli tespek aja deh. Kalo udah dites kan enak.. jelas ketauan hamil atau cuma masuk angin."
Akhirnya Rianti memutuskan untuk membeli tespek saja, di gang depan sana ada apotek dan dia akan membeli yang paling murah saja.
Karena semangat dan antusias yang dia rasakan, sakit kepalanya Rianti jadi tak terasa lagi. Dia buru-buru mandi dan ganti baju, kebetulan masih ada baju yang belum diangkat di jemuran. Jadi dia tak perlu masuk ke kamar untuk ganti baju dan membangunkan Toni. Bisa berabe nanti.
"Eh, mau ke mana kamu?!" Tanya Halimah, mencegat Rianti di pintu depan.
"Ke depan sebentar, Bu."
"Ngapain?"
"Ada perlu sedikit.."
Rianti tak bisa jujur pada mertuanya, sebab Halimah pasti malah akan mengejeknya lagi dan menjatuhkan semangatnya seperti yang sudah-sudah.
Apalagi jika nanti setelah tespek, ternyata hasilnya negatif pasti akan jadi bahan gunjingan ke mana-mana.
Lebih baik diam-diam saja.
"Sekalian belikan otak-otak di depan, sepuluh ribu. Sama tanyain ke si Susi, kenapa anakku belum pulang dari pabrik."
"Baik Bu." Sahut Rianti patuh, dia lalu menadahkan tangannya di depan mertua,
"Apa?" Halimah mendelik, "Buat beli otak-otak.."
"Ya pake duit yang ada aja lah bodoh! Uangku habis dipake beli token. Gimana sih?!" Hardiknya.
Rianti menghela napas, dia juga yang bodoh. Sudah pasti tak akan diberi, malah nekat minta. Kena semprot lagi, deh!
Perempuan bertubuh kurus kering itu lekas pergi ke depan gang, pertama-tama dia akan bertanya ke teman adik iparnya dulu yang sama-sama kerja di pabrik.
Saat Rianti sampai, pas sekali Susi sedang duduk-duduk di depan sambil main HP.
"Sus, kamu satu shift sama Tina kan?"
Susi mendongakkan kepalanya, menatap Rianti.
"Iya Mbak, kenapa?"
"Kok Tina belum pulang, ya? Kamu tau enggak dia ke mana? Soalnya ibunya nyariin."
Susi malah tersenyum sinis,
"Yaa palingan lagi kencan sama pacarnya, gatel banget dia di pabrik juga. Seruduk sana seruduk sini, pacar teman sendiri juga diembat." Gerutu Susi.
Rianti mengerutkan kening, bingung.
"Maksudnya?"
"Ahh enggak, nanti juga Mbak tau sendiri kelakuan adik iparnya kayak gimana. Cuman kalo dia pulang, titip nasehatin ya Mbak. Kasian aja.. takut dikira salome."
Mendengar ucapan Susi membuat Rianti makin bingung, dia hanya bengong sambil memegangi ujung pagar.
"Ehh atau sebenernya udah jadi salome, ya? Ups!" Susi menutup mulutnya, pura-pura keceplosan dan langsung masuk ke dalam rumah meninggalkan Rianti.
"Lho, maksudnya apa ngomong begitu? Ada-ada aja sih.." gumam Rianti, digaruknya kepala yang tak gatal.
Dia sebenarnya tak mau ikut campur dengan kehidupan adik iparnya itu, tetapi mendengar Susi yang notabene sahabat Tina sejak kecil jadi sesinis itu, Rianti jadi ke mana-mana pikirannya.
Apa jangan-jangan pacar Susi direbut Tina? Bisa saja.
"Ah sudahlah.."
Rianti menepis semua pikiran negatif di benaknya, lantas berjalan cepat menuju apotek yang tak jauh dari tempat itu. Membeli tespek murah.
Selepas membeli pesanan Halimah, dia pun pulang. Uang di tangannya sekarang tinggal 37 ribu Rupiah, masih cukup untuk bekal ngopi Toni nanti malam.
"Mana otak-otaknya?"
Halimah sudah mencegat di depan pintu, Rianti menyodorkan plastik kecil berisi otak-otak.
"Jajan apa kamu? Ngapain disembunyiin begitu?!"
"Ahh ini, enggak.. obat aja Bu." Elak Rianti, berbohong.
Dia buru-buru masuk ke dalam rumah, melesat menuju kamar mandi. Sudah tak sabar untuk segera mengecek apakah dia hamil atau tidak.
Ditampungnya air kencing dalam gelas kecil, lalu dia masukkan stik tipis itu ke dalamnya, hingga batas yang disarankan.
Selama beberapa saat Rianti menunggu dengan jantung yang berdebar. Penantian selama empat tahun, berkali-kali kena prank mual-mual palsu yang ternyata cuma masuk angin.
Apakah kali ini akan mendapatkan garis dua?
Brug!
Brug!
Rianti terkejut mendengar pintu kamar mandi digedor dari luar,
"Mbak, ngapain sih di kamar mandi lama-lama? Buruan aku mau mandi!!" Teriak seorang gadis dari luar, itu Tina.
Rianti mendecakkan lidah, karena gelas berisi air kencingnya tumpah dan tespeknya belum menunjukkan garis apapun.
"Aduh gimana ini? Ckk, ya sudah lah bersihin saja dulu.. nanti aku coba lagi."
Rianti buru-buru membersihkan sisa air kencing yang tumpah di lantai, lalu mengibaskan tespek yang niatnya mau dia simpan di dekat tempat sabun.
Namun sekilas dia melihat sesuatu, ada dua garis merah!!
Tangan Rianti gemetar memegangi tespek di tangannya, dipandangnya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dia lihat itu benar.Iya, ada dua garis merah yang tegas.“Po-positif? Ini.. positif beneran?” gumamnya dengan suara bergetar.Air matanya menggenang, rasa haru dan bahagia meliputi dadanya. Rianti buru-buru keluar kamar mandi karena Tina kembali menggedor pintu dengan kencang.“Lama banget sih?! Habis ngapain di dalem? Kebiasaan nih suka boros aer!” omel Tina, saat pintu kamar mandi terbuka.Rianti tidak menimpali ucapan iparnya itu, dia sengaja menyembunyikan tespeknya dari Tina sebab ingin Toni yang pertama kali mengetahui kabar gembira ini.“Dih, diajak ngomong malah melengos aja. Dasar aneh!” umpat Tina sambil masuk ke kamar mandi, dan membanting pintu.Untuk kali ini Rianti tak mengambil hati kelakuan Tina, sebab dia sedang benar-benar bahagia!Perlahan Rianti masuk ke dalam kamar, dan ternyata Toni sudah bangun. Lelaki bertato itu duduk di tepi kasur sambil mengurut kepala
Rianti tercengang mendengar ucapan Toni, ditatapnya bungkusan plastik yang masih tergeletak di lantai."Gugurin kandungan, Mas?""Iya. Harus berapa kali kukasih tau? Aku enggak mau punya anak dulu!""Tapi Mas.. kita udah mau lima tahun lho. Apa Mas enggak takut ketuaan nanti kalo.. Mas!!"Rianti memekik kecil, karena tiba-tiba saja Toni menjambak rambutnya, membuat dia mendongak ke langit-langit.Rasa perih dan panas terasa menjalar dari bagian belakang kepalanya, cengkeraman Toni benar-benar kuat dan membuat kulit kepala Rianti terasa mau lepas."Kubilang gugurin, gugurin! Mau nurut apa enggak, hah?!" Bentak Toni, tepat di telinga istrinya.Suara keras Toni menbuat kuping Rianti berdengung keras, sampai pusing kepalanya."Milih minum jamunya, atau aku yang keluarin sendiri itu janinmu!"Rianti gemetar ketakutan, dia menangkupkan tangannya di depan muka,"Maafin aku Mas.. tolong jangan gugurin bayi ini Mas.. kumohon. Aku bakalan ngurus anak ini, aku..""Perempuan bodoh! Ngurus anak em
"Tina! Kenapa telurnya dibuang?! Kamu mau makan apa nanti?!" Tegur Rianti dengan nada tinggi.Dia tak sengaja menaikkan suaranya saat mengatakan hal itu, sebab dia kaget sekali dengan kelakuan Tina yang tiba-tiba saja membuang telur."Bau! Lagian kayak orang miskin aja makannya telur. Daging dong!"Rianti menggelengkan kepalanya, sambil menyembunyikan telur di saku baju yang ia kenakan. Jangan-jangan yang tersisa ini pun akan dibuang ke luar kalau Tina tahu. Ah sayang sekali, padahal itu uang terakhir Rianti."Buka jendelanya lebar-lebar Mbak! Hadeh baunya bikin mual, huek!! Huekk!"Seperti orang ngidam saja, Tina terus muntah-muntah sambil menutup hidung. Bau amis telur katanya, padahal bau telur goreng itu sedap sekali.Bisa-bisanya dia malah mual muntah seperti orang ngidam, Rianti yang hamil saja tidak seperti itu. Tapi Tina yang baik-baik saja malah kerepotan sendiri."Awas ya Mbak, kalo berani-berani ngegoreng telur lagi di sini!" Ancam Tina, matanya sampai melotot.Rianti tak m
Rianti tercengang melihat beras berceceran di hdapannya, memenuhi lantai kamar dan jadi kotor karena memang lantainya juga belum disapu."Makan tuh beras! Menantu kurang ajar! Udah dikasih tinggal gratis, tapi pelit banget sama keluarga!" Maki Halimah, belum puas.Air mata menitik di kedua belah pipi Rianti, dia berjongkok untuk memunguti beras satu per satu, mengumpulkannya di atas plastik bekas dengan hati-hati. "Kebangetan banget sih, Bu? Padahal kalo kesel enggak usah buang berasnya kayak begini. Emangnya kalo cuma dua liter kenapa? Kan masih bisa cukup buat makan sehari?" Perempuan muda itu mengomel sendiri, menahan sakit hati yang tak terperi. Tetesan air matanya sebagian jatuh ke lantai, membasahi butiran beras yang masih tercecer di atas karpet plastik.Kamar Rianti dan suaminya ini memang belum pakai keramik, hanya lantai plester semen dan dia membeli karpet plastik meteran untuk pelapis lantai. Terdengar Halimah masih mengomel macam-macam, menyumpahi Rianti dan kandungann
"Kok listrik masih bunyi-bunyi aja sih, Ti?" Tanya Halimah.Dia buru-buru masuk ke dalam rumah mencari sang menantu, Rianti."Ti! Kamu belum beli token buat bulan ini?!" Tanya Halimah sekali lagi, dia mendorong pintu kamar menantunya dengan kencang sampai pintunya menjeblak terbuka.Rianti yang sedang berbaring langsung tersentak bangun, sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang ditempeli koyo cabe.Melihat kondisi menantu perempuannya, Halimah mendecakkan lidah kesal,"Malah tiduran, masih jam segini udah males-malesan!" Hardiknya."Maaf Bu, kepalaku pusing dari tadi subuh.. dibawa jalan juga enggak bisa, keleyengan.""Halah, aku juga sakit kepala tapi masih bisa ke mana-mana nih! Kamunya aja manja, Rianti!"Mendengar omelan sang mertua, membuat Rianti merasa sakitnya bertambah parah. Dia ingin menimpali ucapan Halimah, namun memilih untuk diam saja karena takut malah jadi ribut besar."Udah masak buat Toni sama Tina?"Rianti menggeleng, dan mata Halimah langsung melotot. Dia berka
Rianti tercengang melihat beras berceceran di hdapannya, memenuhi lantai kamar dan jadi kotor karena memang lantainya juga belum disapu."Makan tuh beras! Menantu kurang ajar! Udah dikasih tinggal gratis, tapi pelit banget sama keluarga!" Maki Halimah, belum puas.Air mata menitik di kedua belah pipi Rianti, dia berjongkok untuk memunguti beras satu per satu, mengumpulkannya di atas plastik bekas dengan hati-hati. "Kebangetan banget sih, Bu? Padahal kalo kesel enggak usah buang berasnya kayak begini. Emangnya kalo cuma dua liter kenapa? Kan masih bisa cukup buat makan sehari?" Perempuan muda itu mengomel sendiri, menahan sakit hati yang tak terperi. Tetesan air matanya sebagian jatuh ke lantai, membasahi butiran beras yang masih tercecer di atas karpet plastik.Kamar Rianti dan suaminya ini memang belum pakai keramik, hanya lantai plester semen dan dia membeli karpet plastik meteran untuk pelapis lantai. Terdengar Halimah masih mengomel macam-macam, menyumpahi Rianti dan kandungann
"Tina! Kenapa telurnya dibuang?! Kamu mau makan apa nanti?!" Tegur Rianti dengan nada tinggi.Dia tak sengaja menaikkan suaranya saat mengatakan hal itu, sebab dia kaget sekali dengan kelakuan Tina yang tiba-tiba saja membuang telur."Bau! Lagian kayak orang miskin aja makannya telur. Daging dong!"Rianti menggelengkan kepalanya, sambil menyembunyikan telur di saku baju yang ia kenakan. Jangan-jangan yang tersisa ini pun akan dibuang ke luar kalau Tina tahu. Ah sayang sekali, padahal itu uang terakhir Rianti."Buka jendelanya lebar-lebar Mbak! Hadeh baunya bikin mual, huek!! Huekk!"Seperti orang ngidam saja, Tina terus muntah-muntah sambil menutup hidung. Bau amis telur katanya, padahal bau telur goreng itu sedap sekali.Bisa-bisanya dia malah mual muntah seperti orang ngidam, Rianti yang hamil saja tidak seperti itu. Tapi Tina yang baik-baik saja malah kerepotan sendiri."Awas ya Mbak, kalo berani-berani ngegoreng telur lagi di sini!" Ancam Tina, matanya sampai melotot.Rianti tak m
Rianti tercengang mendengar ucapan Toni, ditatapnya bungkusan plastik yang masih tergeletak di lantai."Gugurin kandungan, Mas?""Iya. Harus berapa kali kukasih tau? Aku enggak mau punya anak dulu!""Tapi Mas.. kita udah mau lima tahun lho. Apa Mas enggak takut ketuaan nanti kalo.. Mas!!"Rianti memekik kecil, karena tiba-tiba saja Toni menjambak rambutnya, membuat dia mendongak ke langit-langit.Rasa perih dan panas terasa menjalar dari bagian belakang kepalanya, cengkeraman Toni benar-benar kuat dan membuat kulit kepala Rianti terasa mau lepas."Kubilang gugurin, gugurin! Mau nurut apa enggak, hah?!" Bentak Toni, tepat di telinga istrinya.Suara keras Toni menbuat kuping Rianti berdengung keras, sampai pusing kepalanya."Milih minum jamunya, atau aku yang keluarin sendiri itu janinmu!"Rianti gemetar ketakutan, dia menangkupkan tangannya di depan muka,"Maafin aku Mas.. tolong jangan gugurin bayi ini Mas.. kumohon. Aku bakalan ngurus anak ini, aku..""Perempuan bodoh! Ngurus anak em
Tangan Rianti gemetar memegangi tespek di tangannya, dipandangnya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dia lihat itu benar.Iya, ada dua garis merah yang tegas.“Po-positif? Ini.. positif beneran?” gumamnya dengan suara bergetar.Air matanya menggenang, rasa haru dan bahagia meliputi dadanya. Rianti buru-buru keluar kamar mandi karena Tina kembali menggedor pintu dengan kencang.“Lama banget sih?! Habis ngapain di dalem? Kebiasaan nih suka boros aer!” omel Tina, saat pintu kamar mandi terbuka.Rianti tidak menimpali ucapan iparnya itu, dia sengaja menyembunyikan tespeknya dari Tina sebab ingin Toni yang pertama kali mengetahui kabar gembira ini.“Dih, diajak ngomong malah melengos aja. Dasar aneh!” umpat Tina sambil masuk ke kamar mandi, dan membanting pintu.Untuk kali ini Rianti tak mengambil hati kelakuan Tina, sebab dia sedang benar-benar bahagia!Perlahan Rianti masuk ke dalam kamar, dan ternyata Toni sudah bangun. Lelaki bertato itu duduk di tepi kasur sambil mengurut kepala
"Aku isi token 300 ribu! Biar puas kamu sebulan enggak usah isi token. Makan sana duitmu sendirian, biar puas!" Omel Halimah.Rianti memungut secarik kertas yang tergeletak di hadapannya, tertulis beberasa angka di permukaannya."Sana isi! Keburu mati listriknya nanti!" Halimah menunjuk ke luar, mengisyaratkan supaya Rianti segera mengisi token sesuai dengan yang dia perintahkan.Sang menantu bangkit, lalu sedikit terhuyung menuju ke pintu depan. Di luar ada tetangga yang sedang mengasuh anaknya,"Mbak Rianti, kok pucet? Lagi sakit?""Iya Mbak Neti, sakit kepala dari pagi.. keleyengan.""Ya ampun, masuk angin mungkin?"Rianti mengangkat bahu,"Iya kali, Mbak. Nanti coba beli jamu deh.""Halahh mantuku ini emang badannya lemah banget Mbak Neti, dikit-dikit masuk angin, dikit-dikit beli obat. Udah tau duit pas-pasan.. suami lagi nganggur." Halimah malah ngomel-ngomel.Rianti tidak menimpali omongan mertuanya, dia memilih untuk konsentrasi mengisi token saja. Padahal beli ini itu pun pak
"Kok listrik masih bunyi-bunyi aja sih, Ti?" Tanya Halimah.Dia buru-buru masuk ke dalam rumah mencari sang menantu, Rianti."Ti! Kamu belum beli token buat bulan ini?!" Tanya Halimah sekali lagi, dia mendorong pintu kamar menantunya dengan kencang sampai pintunya menjeblak terbuka.Rianti yang sedang berbaring langsung tersentak bangun, sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang ditempeli koyo cabe.Melihat kondisi menantu perempuannya, Halimah mendecakkan lidah kesal,"Malah tiduran, masih jam segini udah males-malesan!" Hardiknya."Maaf Bu, kepalaku pusing dari tadi subuh.. dibawa jalan juga enggak bisa, keleyengan.""Halah, aku juga sakit kepala tapi masih bisa ke mana-mana nih! Kamunya aja manja, Rianti!"Mendengar omelan sang mertua, membuat Rianti merasa sakitnya bertambah parah. Dia ingin menimpali ucapan Halimah, namun memilih untuk diam saja karena takut malah jadi ribut besar."Udah masak buat Toni sama Tina?"Rianti menggeleng, dan mata Halimah langsung melotot. Dia berka