Waktu terus berlalu. Kondisi Edwin semakin membaik, karena dokter mengobatinya secara telaten dan tepat waktu. Kini, Fandi dan Lia pulang ke rumah karena administrasi sudah selesai. Audrey juga merasa lebih kuat dalam merawat sang suami. Kadang, juga ditemani Hana saat ada waktu luang.Sore hari selepas Salat 'Asar, Audrey membeli makanan di kantin, lalu dibawa ke ruang rawat inap Edwin. "Kamu mau, Mas?" tawar Mamanya Dianti."Enggak, makasih. Masih kenyang, tadi abis makan jatah dari rumah sakit, kan? Kamu sendiri yang menyuapi," kata Edwin.Audrey menyahut, "Baiklah. Aku makan, ya? Beneran nggak mau?"Edwin menggeleng.Tak lama kemudian, ada suster yang mengucap permisi sambil masuk ke ruangan itu."Maaf, Pak, Bu. Saya mau menginformasikan bahwa ada kekurangan administrasi yang harus dilunasi. Ini rinciannya," ujar perempuan berseragam serba putih itu, sambil menyerahkan secarik kertas kepada Audrey.Jantung istri Edwin itu berdebar, saat membaca nominal demi nominal yang tertera.
Audrey sudah kembali ke ruangan Edwin dirawat. Dia mengucap salam."Wa'alaikumussalaam wa rahmatullaah. Rudi mana?" tanya Edwin."Udah pulang, Mas. Beliau buru-buru, mau ada meeting katanya. O ya, Pak Rudi meminta alamat rumah kita sama nomor ponselmu, biar lebih mudah, kalau kelak mau menagih hutang," jelas Audrey, duduk di kursi, di hadapan Edwin yang masih setengah berbaring."Oh, iya benar. Aku belum minta nomor HP-nya. Syukurlah kalau Rudi udah tahu di mana rumah kita. Alhamdulillaah, Allah masih menolong kita." Edwin memegang tangan sang istri."Iya, Mas. Alhamdulillaah. Aku heran, masih ada orang sebaik Pak Rudi, padahal nominal uang yang kita pinjam itu nggak sedikit, loh, Mas. Masa mau gitu aja, tanpa pakai syarat apapun?" Audrey penasaran.Suaminya menyahut, "Itu mungkin karena Rudi sendiri pernah mengalami masa-masa keuangan lagi susah. Jadi, dia berusaha untuk menolong orang lain yang sedang kesulitan, terutama soal ekonomi keluarga."Audrey mengerutkan dahi. "Kok, Mas tahu
Perlahan, Audrey membuka matanya. Kepalanya terasa sangat pusing, badan pun seperti remuk semua."Alhamdulillaah, kamu sudah sadar, Nak?" Sayup-sayup terdengar suara ibunya, Lia."Apa yang terjadi, Bu?" tanya Audrey sambil memegangi kepalanya."Kata perawat, kamu tadi pingsan saat memeluk tubuh Edwin yang sudah tak bernyawa. Bapak, Ibu sama kedua mertuamu langsung menyusul ke rumah sakit." Lia berbicara dengan suara parau.Audrey menitikkan air mata. "Mas Edwin benar-benar meninggalkanku, ya, Bu?" Ibunya menghela napas berat, lalu mengembuskannya kembali. "Sabar, ya, Nak. Ini sudah waktunya Allah mengambil Edwin dari kita semua.""Tapi, Bu ... aku nggak percaya!"Audrey berusaha bangun, tetapi badannya lemas sekali. Punggung telapak tangannya berdenyut hebat dan terasa sakit, ternyata itu disebabkan oleh infus yang telah terpasang."Sabar, Nak! Sabar! Kamu masih dalam perawatan di rumah sakit. Nanti, kalau dokter sudah memperbolehkan pulang, baru kamu boleh bangun dan melihat almarh
Audrey menangis di pelukan sang ibu. Setelah dirasa cukup, dia bangkit dan menghapus air matanya."Biaya pemakaman untuk orang yang meninggal di sini memang mahal, Bu, mengingat sekarang jarang ada orang yang mau jadi penggali kubur. Aku ada uang, alhamdulillaah, tapi uang pinjaman," ujar Audrey, jujur."Pinjaman?" Lia penasaran.Mamanya Dianti menceritakan tentang kesepakatan dengan Edwin di rumah sakit kemarin sore, tentang meminjam uang kepada Rudi, salah satu teman Edwin."Ya sudah, kamu gunakan itu dulu. Beberapa hari ke depan, kita pikirkan bersama solusi untuk melunasinya, karena membayar hutangnya almarhum itu kewajiban keluarga, agar suamimu tenang di sana," saran Lia."Baik, Bu. InsyaaAllaah, akan segera aku lunasi," jawab Audrey, lalu segera mengambil uang di dalam lemari.Keduanya keluar dari kamar untuk menemui Bu RT.**Saatnya pemberangkatan jenazah Edwin. Semua orang berdiri, menunggu seorang pemuka agama membuka acara, lalu dilanjutkan mendoakan almarhum.Audrey yang
Audrey menghitung uang yang jumlahnya cukup banyak milik almarhum suaminya di lemari, yang merupakan hasil dari perusahaan Juna dalam beberapa hari terakhir. Penghasilan itu dikirimkan langsung ke rumah oleh seorang bendahara kantor.Beberapa hari kemudian, ada dua orang rekan kerja Edwin yang datang untuk menagih utang. Besoknya ada lagi, lalu beberapa hari berikutnya.Audrey menggunakan uang Edwin untuk melunasi hutang-hutang itu. Setelah lewat dua pekan, tak ada lagi yang menagih, Audrey membagi-bagi uang di dalam tas milik almarhum suaminya.Sepertiga untuk membayar hutang pada Rudi, sepertiga lagi untuk Dianti dan sepertiga sisanya Audrey pakai untuk menyambung hidup.Sementara surat tanah tempat berdiri rumah megah milik Edwin, Audrey biarkan supaya diambil oleh Juna, karena ada bagian warisan untuk keluarga almarhum suaminya.Beberapa hari kemudian, Rudi memberi pesan ke Audrey bahwa dia ingin datang ke rumah. Mamanya Dianti pun mengundang Hana untuk datang juga, supaya terhind
Satu bulan berlalu. Audrey menjalani rutinitasnya berjualan di toko baju bersama Hana. Zofia sudah tak mau peduli lagi pada menantunya itu, serta semakin ketat melarang Dianti untuk menemui Audrey, karena khawatir menantunya itu akan menghalangi perjodohan Dianti dengan Dino.Tak hanya itu, Juna juga meminta mobil Edwin yang terparkir di garasi rumah putranya. Audrey mempersilakan karena memang itu bukan miliknya, sekaligus legowo menyerahkan kunci, BPKP, STNK dan SIMnya tanpa meminta syarat apapun. Harta dunia memang titipan dan tak bisa dimiliki selamanya, sehingga Audrey ikhlas dan tidak melakukan protes apapun. Kini, mobil itu digunakan oleh Natasha dan Sinta secara bergantian jika ingin pergi ke manapun. Audrey tak pernah ambil pusing bagaimana sikap Juna, Zofia dan kakak-kakak iparnya, melainkan lebih fokus pada perkembangan tokonya. Modal dari uang Edwin, dia gunakan untuk memperbarui produk baju dan promosi di media sosial. Dalam tiga bulan, omsetnya pun naik pesat.Saat hari
Beberapa hari kemudian, Audrey mendapat kabar bahwa Juna meninggal. Semua kembali berduka. Audrey, Fandi dan Lia hanya melayat sebentar karena masih sakit hati dengan perlakuannya dulu. Zofia pun tidak memintakan maaf pada mereka. Dianti bersalaman dengan mereka bertiga, tetapi hanya terdiam saat ditinggal mereka pergi.**Lima bulan kemudian. Zofia kini sakit-sakitan dan sedikit linglung. Semua paman-bibi Dianti mulai mempersiapkan pernikahan Dianti. Audrey tak pernah diajak setiap kali kedua mertua dan semua kakak ipar membahas persiapan acara pernikahan anaknya sendiri.Pernikahan Dianti akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Audrey tahu bahwa semua anggota keluarga almarhum Edwin dibelikan kain seragam, kecuali dia.Akhirnya, Audrey membeli kain sendiri yang agak mirip, lalu menjahitkannya di tempat tetangganya dulu, bernama Nurin. "Jadi, Mbak beli kain sendiri buat gamis di hari pernikahan anak Mbak sendiri?" tanya Nurin."Iya. Sudah nasib. Entah, kapan kebahagiaan itu akan
Audrey sedang istirahat sesudah melayani pembeli toko baju, yang memang ramai seperti biasa. Dia bersyukur bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan kedua orang tua. Sebagian lagi disisihkan untuk orang yang tidak mampu.Ponselnya berdering berulang kali. Dia penasaran, lalu segera dicek.[Kasihan sekali, ya, Bu. Ternyata kita dulu sudah salah sangka, bukan Bu Audrey yang durhaka, melainkan mertua dan kakak-kakak ipar beliau yang kejam.] Isi pesan di grup warga komplek.[Saya benar-benar nggak menyangka, masa iya ada mertua sejahat itu? Memisahkan anak gadis bernama Dianti dari Mamanya sendiri?][Astagfirullaah. Kakak-kakaknya juga kejamnya minta ampun.][Benar pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Alias sama aja! Andai kita orang kaya, mungkin bisa bela Bu Audrey, supaya mendapatkan Dianti kembali. Diajak pulang kampung, biar nggak ketularan kejam!]Tanpa sadar, Audrey menitikkan air mata membaca pesan-pesan di grup ibu-ibu tersebut. Antara sedih meratapi keadaan, tetapi juga se