Pagi hari saat sarapan, Audrey memandangi putrinya yang begitu lahap memakan masakannya, walaupun sederhana. "Enak, Sayang?" tanya Audrey."Iya, enak banget, Ma!" sahut Dianti, antusias.Mamanya tersenyum. "Nambah, dong, kalau gitu."Dianti menggeleng. "Enggak, Ma. Udah kenyang.""Minum susu dulu, kalau nggak nambah," saran Edwin, yang sedang memakai kaus kaki dan sepatu, karena tadi sarapan terlebih dahulu, saat putrinya sedang mandi."Iya, Pa."Beberapa detik kemudian, Dianti selesai minum. Ratmi datang, lalu mengambil piring kotor untuk dicuci di wastafel.Audrey merasa tak nyaman, lalu melirik ke arah suaminya. "Nak, tolong kamu tunggu Papa di depan dulu, ya? Baca-baca buku cerita yang ada di meja pojok ruang tamu. Mama mau bicara masalah penting dulu sama Papa.""Oh. Masalah orang dewasa, ya, Ma? Oke! Tadi malam juga lupa belum dibacakan dongeng sama Mama. Hehe," jawab Dianti, mengembangkan senyum."Maaf, Mama lupa, Sayang." Audrey mengelus rambut anaknya dengan lembut.Dianti me
Edwin dan keluarganya menunggu azan masjid sembari memakan camilan hangat yang baru dibeli pria itu. Dianti menjauh, tak mau dekat-dekat dengan Mamanya. Audrey hanya bisa menahan sesak di dada, sambil berusaha untuk tidak menangis, karena tak mau menarik perhatian orang banyak."Sudah, Nyonya. Biarkan saja, Dianti masih belajar merasakan emosi dan kekesalannya. Dia belum paham tentang kesibukan orang tua," usul Ratmi.Audrey diam, tak membalas. Dia memilih menghabiskan camilan di tangannya, berharap mood baik segera menghampiri, agar tak sampai marah besar seperti tadi. "Pa, aku mau beli minum. Haus, nih! Minta uang, dong!" pinta Dianti.Edwin tersenyum, sambil memberikan sejumlah uang padanya dan gadis kecil itu berlari ke sebuah toko dekat masjid, diikuti oleh Ratmi."Namanya juga anak-anak, wajar kalau emosinya masih berubah-ubah, Audrey. Lagi pula, seharusnya kamu bisa kontrol kemarahan kamu tadi. Introspeksi diri, barangkali yang dibilang Dianti itu benar," saran Edwin, setelah
"Ma," panggil Dianti, pelan."Iya, Nak?" Audrey menanggapi, duduk di hadapan putrinya.Dianti meraih tangan Audrey, lalu menciumnya. "Aku minta maaf, Ma. Udah ngambek sama Mama, padahal kata Bu Guru, harus menghormati orang tua."Istri Edwin mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. "Iya, Sayang. Alhamdulillaah, akhirnya kamu mau berdamai. Mama juga minta maaf atas kesalahan Mama, yang mungkin menyakiti hati Dianti.""Tapi Mama janji, nggak akan mengabaikan aku lagi? Sepi nggak ada Bi Ratmi. Maka gantinya, Mama harus selalu ada buat aku. Ya, meskipun ada Tante Natasha sama Tante Sinta yang baik banget.""InsyaaAllaah, Mama minta maaf, masih mengulangi kesalahan yang kemarin, yaitu mengabaikan Nak Dianti. Sekarang, boleh minta peluk?" pinta Audrey, lembut.Dianti mengangguk sambil merentangkan tangan. Mereka berpelukan. Putri Fandi itu menitikkan air mata, akhirnya Dianti bisa memaafkannya.Setelah itu, mereka Salat Subuh berjamaah. Edwin pulang, lalu mereka saling menyimak bacaan Alqur
Akhirnya, Audey dan Edwin sampai di rumah, setelah tadi sempat mampir di sebuah warung makan. Tak lupa, mereka menjemput anaknya di tempat Opanya."Udah ngantuk? Boleh Mama temani tidur?" tanya Audrey.Dianti mengangguk. "Boleh, Ma. Bacakan dongeng dulu, ya!"Mamanya mengembangkan senyum. "Siap, Sayang. Gimana kalau kisah Nabi?""Kisah Nabi? Memangnya punya bukunya, Ma?"Audrey mengeluarkan buku yang masih bersampul plastik bening, dari dalam tasnya. "Tadaaaa! Buku baru, buat bacaan anak Mama yang paling pintar ini!"Mata Dianti berbinar. "Wih! MaasyaaAllaah! Makasih, Mama sayang.""Sama-sama, anak cantik! Kita bersih-bersih dulu, ganti baju, terus ke kamar," ajak Audrey, lalu meletakkan tas dan buku ke atas meja."Oke, Mama sayang!"Mereka berjalan menuju toilet untuk membasuh muka, cuci kaki dan tangan. Sementara itu, Edwin masih sibuk memasukkan belanjaan Audrey yang banyak sekali, ke dalam rumah."Kamu bisa ganti baju sendiri, kan?" tanya putri Fandi dan Lia itu.Dianti mengangguk
"Aku mau minta maaf sama kamu," ujar Athena tiba-tiba, sambil bersimpuh di kaki Audrey. "Ih! Apa-apaan, sih! Lepas!" teriak perempuan berjilbab itu.Athena menggeleng. "Enggak, Audrey. Nggak akan aku lepaskan, sebelum kamu maafin aku!"Mamanya Dianti pun membuang napas kasar. "Hei! Sadar! Kamu itu pelakor, nggak usah pura-pura baik. Aku nggak akan percaya. Paling ini akal bulusmu aja, untuk merebut Mas Edwin. Iya, kan?" balas Audrey, dengan badas."Aku beneran mau minta maaf sama kamu, nggak ada maksud apa-apa. Justru aku melakukan ini, saat Edwin nggak ada, supaya kamu percaya." Athena menangis, entah sungguhan atau pura-pura saja."Udah! Minggir! Buat apa kamu minta maaf? Merasa kalah, karena dulu perbuatan menjijikkan itu viral? Berusaha menggoda suami orang, waktu dinner! Sekarang, lagi berusaha memperbaiki nama baik, ya?" kata Audrey."Enggak! Ngapain bikin citra bagus di depan orang banyak? Ini khusus permintaan buatmu. Kalau mau cari muka, seharusnya di depan Edwin. Buktinya,
"Mau minum apa kalian?" tanya Natasha, setelah berbalik badan."Apa aja boleh," jawab Audrey, sambil duduk dekat Dianti, di ruang tamu.Natasha mengembangkan senyum palsu. "Oke. Kalau mau langsung belajar, masuk aja! Sean udah ada di dalam, lagi nggambar."Dianti pun berseru, "Asyik! Siap, Tante." "Ya udah, aku ke belakang dulu." Natasha berjalan ke arah dapur."Ma, aku masuk dulu, ya? Mama mau ikut?" tanya Dianti."Boleh, Nak. Hari ini mau belajar apa?" Audrey balik bertanya.Anak gadis itu tampak sedang berpikir. "Besok, ada PR menggambar dari Bu Guru.""Ayo!"Keduanya pun beranjak, lalu menuju ruang tengah. "Assalaamu'alaikum. Lagi gambar apa, Nak? Tante boleh gabung di sini?" sapa Audrey, ramah.Sean mendongak sejenak. "Halo, Tante! Gambar pemandangan ini. Boleh, silakan."Senyum di pipi istri Edwin memudar, karena Sean tak menjawab salamnya. Apa Natasha dan suaminya tidak membiasakan ucapan itu? "Kalau Sean gambar pemandangan, aku gambar apa, ya, Ma? Biar nggak sama?" Dianti m
Sampai di rumah, Audrey memeluk Dianti. "Maaf, ya, Nak. Bukannya kamu nggak boleh main, tetapi Tante Natasha itu punya niat buruk sama kamu. Mendingan main di rumah aja sama Mama. Ya?" pinta Audrey.Dianti mengangguk, lalu menangis di pangkuan sang Mama. Suasana di ruang tamu dalam rumah Edwin berubah menjadi sepi nanti sendu. Audrey menelan ludahnya berulang kali, terasa berat memang perjuangannya menjadi ibu. Apalagi anak seumuran Dianti yang sedang berpikir kritis dan merupakan usia emas. 'Ya Allah, semoga aku bisa mendidik Dianti dengan baik, serta tidak menyia-nyiakan usia emasnya. Meskipun kesibukan di pekan depan akan menyita waktuku, setidaknya aku berusaha selalu menemaninya bermain dan belajar,' harap Audrey, dalam hati.**Sejak saat itu, Dianti selalu mengerjakan PR dan bermain di rumah, ditemani Audrey. Tingkahnya yang semakin lincah dan kadang menjengkelkan, cukup membuat Audrey uring-uringan. Ditambah lagi, istri Edwin itu terus memikirkan biaya hidup yang semakin mah
Audrey mendatangi anaknya dengan tergopoh-gopoh, lalu bertanya, "Iya, Sayang. Ada apa?""Bantuin aku mainan ini, Ma," pinta Dianti, menunjukkan ponsel Audrey yang kini dibawanya, menampilkan sebuah game pakaian dan makanan untuk barbie."Loh, kok, ponsel Mama ada sama kamu?" tanya Audrey, sambil mendekat. "Begini mainnya.""Iya, tadi aku ambil pas Mama ke kamar. Hp-nya nggak dikunci, jadi aku bisa main game," jelas anak itu.Audrey membuang napas kasar, lalu mengajari putrinya bermain game."Makasih, Ma." Dianti tersenyum senang, lalu menerima ponsel itu.Mamanya sedikit merasa bersalah, karena waktu untuk Dianti menjadi semakin berkurang. Namun, semua juga demi ekonomi keluarga mereka.Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Audrey segera beranjak untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Sinta yang sepertinya baru pulang dari kantor."Eh, Kak Sinta. Masuk dulu, yuk!" ajak Audrey."Nggak usah, aku cuma mau ngasih ini buat kamu, tadi sudah dibolehin sama Edwin," kata Sinta, sambil menyerah
Di rumah sakit, Arumi sadar. Evan sudah membayar semua biaya perawatannya, serta meminta suster untuk menjaganya. Kini dia berbaring sendirian dalam ruangan serba putih.Arumi mengirimkan pesan pada Evan dan Sinta, bahwa dia tidak jadi mengungkit permasalahan tentang uang senilai tanah hak miliknya. Semua sudah dia ikhlaskan, karena tak mau rasa tamak menguasainya.Adik almarhum Juna takut, kalau itu akan mempengaruhi kesehatannya dan mendatangkan penyakit fisik, ataupun penyakit hati. Dia ingin sehat, hidup bahagia dan tak ada rasa benci, apalagi pada saudara sendiri. Zofia lega mendengarnya.Sejak sebulan lalu, sebenarnya perusahaan milik almarhum Juna mengalami penurunan omset. Gaya hidup Zofia dan keluarganya kini tak semewah dulu. Semua kebutuhan hidup yang bisa dipangkas, mereka kurangi sebisa mungkin. Mereka pun tak bisa menyombongkan harta lagi, seperti saat Juna masih hidup.Para tetangga seolah bahagia melihat mereka yang kini tak bisa menghina orang lain lagi, hanya karena
Satu pekan kemudian, Arumi kembali datang. Kali ini, ada Evan, Natasha dan Sinta yang menemani Zofia, agar tidak khawatir ketika menghadapi adik almarhum Juna."Aku tahu, Mbak Zofia tidak memberikan uang yang aku minta, karena tanah yang seharusnya menjadi milikku itu, tidak Mbak jual, tetapi justru dibagi rata pada anak-anak, yakni Evan, Sinta dan Edwin. Iya, kan?" tanya Arumi, membuat semua yang mendengarnya pun kaget setengah mati."Halah! Itu cuma akal-akalan kamu saja karena ada dendam tertentu sama kami. Iya, kan? Jangan fitnah, dong!" kesal Zofia.Arumi menyunggingkan senyum miring. "Kenapa, Mbak? Takut? Aku sudah punya banyak buktinya. Mulai dari foto-foto, terus salinan kepemilikan surat tanah dan juga sebuah flashdisk berisi banyak video saat pembagian itu. Kenapa Mas Juna memberikan sesuatu yang bukan haknya?"Wanita berjilbab itu menaruhsebuah map bersampul hijau dan sebuah flashdisk ke atas meja.Zofia menggertakkan gigi, lalu membuka dokumen itu. Semua bukti itu asli, te
Audrey sedang duduk di ruang tamu, berhadapan dengan Dianti dan Dino. "Alhamdulillaah, kalian kini bisa sadar bahwa perbuatan kalian itu salah. Mama sudah memaafkan kalian berdua.""Makasih, Ma," sahut Dianti."Terima kasih, Mama. Maafkan Dino yang selama ini mengekang Dianti. Kami sungguh anak yang durhaka," timpal Dino, dengan wajah tertunduk dalam.Sang Mama mangut-mangut. "Sudah, nggak perlu disesali. Mulai sekarang, Dino harus berbakti pada orang tua. Dianti juga, jangan mengulangi perbuatan yang salah!" "Iya, Ma. InsyaaAllaah," jawab keduanya, bersamaan.Dianti beranjak dari kursi, lalu memeluk Audrey dengan erat. Mulai terdengar tangisan keduanya. Sementara itu, air mata mulai menggenang di kedua netra Dino karena merasa sangat menyesal. Dari ruang tengah, Fandi muncul bersama Lia yang membawa tiga gelas minuman."Alhamdulillaah, akhirnya kalian semua berdamai. Kakek harap, kalian akan terus seperti ini dan tak ada lagi sandiwara atau sejenisnya, hanya karena silau harta," na
Pagi menjelang siang, cuaca cukup cerah. Galang mematut diri di depan cermin."Meskipun gue udah sedikit tua, tapi masih ganteng. Ya, siapa tahu, Audrey mau melabuhkan hatinya sama gue, meskipun kemarin sempat memuji-muji suaminya." Pria itu bergumam. Memang, dia belum menikah sampai sekarang. Dari sekian banyak perempuan yang pernah dekat dengannya, belum juga ada yang cocok dan klik di hati. Galang segera memacu mobilnya, setelah menyuruh satpam untuk menjaga rumah baik-baik.Sampai di depan rumah almarhum Edwin, semua sudah berkumpul. Kedatangan Galang berbarengan dengan Audrey, Fandi, dan Lia yang datang menggunakan taksi online. "Assalaamu'alaikum, Pak, Bu," sapa Galang.Fandi dan Lia menjawab salam. Mereka berbasa-basi sebentar. Sementara itu, Audrey mengembuskan napas kasar karena jenuh dan mulai merasa bahwa Galang sedang menarik simpatinya."Mari masuk, supaya bisa segera dimulai rapatnya," ajak Audrey, yang langsung disetujui oleh orang tuanya.Galang memandang punggung m
Hari terus berlalu. Audrey berusaha menghilangkan sakit hati karena tak diajak untuk menyaksikan pernikahan anaknya. Ya, meskipun dapat kiriman foto atau videonya, tetapi masih ada rasa sedih karena tak bisa memberikan restu secara langsung pada Dianti.Dia memilih untuk melanjutkan aktivitasnya berjualan baju di toko bersama Hana. Penghasilannya semakin meningkat begitu pesat, sampai bisa mendaftarkan haji plus, bertiga bersama Fandi dan Lia.Namun, hal itu tak diketahui oleh Zofia atau kakak-kakak iparnya. Para tetangga sekitar rumah almarhum Edwin pun tak ada yang mendengar tentang kabar tersebut. Selama ini, Audrey selalu bersedekah serta membayar zakat secara diam-diam, kepada orang fakir-miskin yang berhak menerimanya. 'Alhamdulillaah, tak menyangka bisa sampai di titik ini. Dulu, mau daftarkan Dianti kuliah aja nggak bisa. Andai anak itu nurut sama orang tua, pasti aku akan sekolahkan dia di perguruan tinggi, demi meraih apa yang menjadi cita-citanya. Bukan malah menikah dini
Audrey sedang istirahat sesudah melayani pembeli toko baju, yang memang ramai seperti biasa. Dia bersyukur bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan kedua orang tua. Sebagian lagi disisihkan untuk orang yang tidak mampu.Ponselnya berdering berulang kali. Dia penasaran, lalu segera dicek.[Kasihan sekali, ya, Bu. Ternyata kita dulu sudah salah sangka, bukan Bu Audrey yang durhaka, melainkan mertua dan kakak-kakak ipar beliau yang kejam.] Isi pesan di grup warga komplek.[Saya benar-benar nggak menyangka, masa iya ada mertua sejahat itu? Memisahkan anak gadis bernama Dianti dari Mamanya sendiri?][Astagfirullaah. Kakak-kakaknya juga kejamnya minta ampun.][Benar pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Alias sama aja! Andai kita orang kaya, mungkin bisa bela Bu Audrey, supaya mendapatkan Dianti kembali. Diajak pulang kampung, biar nggak ketularan kejam!]Tanpa sadar, Audrey menitikkan air mata membaca pesan-pesan di grup ibu-ibu tersebut. Antara sedih meratapi keadaan, tetapi juga se
Beberapa hari kemudian, Audrey mendapat kabar bahwa Juna meninggal. Semua kembali berduka. Audrey, Fandi dan Lia hanya melayat sebentar karena masih sakit hati dengan perlakuannya dulu. Zofia pun tidak memintakan maaf pada mereka. Dianti bersalaman dengan mereka bertiga, tetapi hanya terdiam saat ditinggal mereka pergi.**Lima bulan kemudian. Zofia kini sakit-sakitan dan sedikit linglung. Semua paman-bibi Dianti mulai mempersiapkan pernikahan Dianti. Audrey tak pernah diajak setiap kali kedua mertua dan semua kakak ipar membahas persiapan acara pernikahan anaknya sendiri.Pernikahan Dianti akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Audrey tahu bahwa semua anggota keluarga almarhum Edwin dibelikan kain seragam, kecuali dia.Akhirnya, Audrey membeli kain sendiri yang agak mirip, lalu menjahitkannya di tempat tetangganya dulu, bernama Nurin. "Jadi, Mbak beli kain sendiri buat gamis di hari pernikahan anak Mbak sendiri?" tanya Nurin."Iya. Sudah nasib. Entah, kapan kebahagiaan itu akan
Satu bulan berlalu. Audrey menjalani rutinitasnya berjualan di toko baju bersama Hana. Zofia sudah tak mau peduli lagi pada menantunya itu, serta semakin ketat melarang Dianti untuk menemui Audrey, karena khawatir menantunya itu akan menghalangi perjodohan Dianti dengan Dino.Tak hanya itu, Juna juga meminta mobil Edwin yang terparkir di garasi rumah putranya. Audrey mempersilakan karena memang itu bukan miliknya, sekaligus legowo menyerahkan kunci, BPKP, STNK dan SIMnya tanpa meminta syarat apapun. Harta dunia memang titipan dan tak bisa dimiliki selamanya, sehingga Audrey ikhlas dan tidak melakukan protes apapun. Kini, mobil itu digunakan oleh Natasha dan Sinta secara bergantian jika ingin pergi ke manapun. Audrey tak pernah ambil pusing bagaimana sikap Juna, Zofia dan kakak-kakak iparnya, melainkan lebih fokus pada perkembangan tokonya. Modal dari uang Edwin, dia gunakan untuk memperbarui produk baju dan promosi di media sosial. Dalam tiga bulan, omsetnya pun naik pesat.Saat hari
Audrey menghitung uang yang jumlahnya cukup banyak milik almarhum suaminya di lemari, yang merupakan hasil dari perusahaan Juna dalam beberapa hari terakhir. Penghasilan itu dikirimkan langsung ke rumah oleh seorang bendahara kantor.Beberapa hari kemudian, ada dua orang rekan kerja Edwin yang datang untuk menagih utang. Besoknya ada lagi, lalu beberapa hari berikutnya.Audrey menggunakan uang Edwin untuk melunasi hutang-hutang itu. Setelah lewat dua pekan, tak ada lagi yang menagih, Audrey membagi-bagi uang di dalam tas milik almarhum suaminya.Sepertiga untuk membayar hutang pada Rudi, sepertiga lagi untuk Dianti dan sepertiga sisanya Audrey pakai untuk menyambung hidup.Sementara surat tanah tempat berdiri rumah megah milik Edwin, Audrey biarkan supaya diambil oleh Juna, karena ada bagian warisan untuk keluarga almarhum suaminya.Beberapa hari kemudian, Rudi memberi pesan ke Audrey bahwa dia ingin datang ke rumah. Mamanya Dianti pun mengundang Hana untuk datang juga, supaya terhind