Edwin dan keluarganya menunggu azan masjid sembari memakan camilan hangat yang baru dibeli pria itu. Dianti menjauh, tak mau dekat-dekat dengan Mamanya. Audrey hanya bisa menahan sesak di dada, sambil berusaha untuk tidak menangis, karena tak mau menarik perhatian orang banyak."Sudah, Nyonya. Biarkan saja, Dianti masih belajar merasakan emosi dan kekesalannya. Dia belum paham tentang kesibukan orang tua," usul Ratmi.Audrey diam, tak membalas. Dia memilih menghabiskan camilan di tangannya, berharap mood baik segera menghampiri, agar tak sampai marah besar seperti tadi. "Pa, aku mau beli minum. Haus, nih! Minta uang, dong!" pinta Dianti.Edwin tersenyum, sambil memberikan sejumlah uang padanya dan gadis kecil itu berlari ke sebuah toko dekat masjid, diikuti oleh Ratmi."Namanya juga anak-anak, wajar kalau emosinya masih berubah-ubah, Audrey. Lagi pula, seharusnya kamu bisa kontrol kemarahan kamu tadi. Introspeksi diri, barangkali yang dibilang Dianti itu benar," saran Edwin, setelah
"Ma," panggil Dianti, pelan."Iya, Nak?" Audrey menanggapi, duduk di hadapan putrinya.Dianti meraih tangan Audrey, lalu menciumnya. "Aku minta maaf, Ma. Udah ngambek sama Mama, padahal kata Bu Guru, harus menghormati orang tua."Istri Edwin mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. "Iya, Sayang. Alhamdulillaah, akhirnya kamu mau berdamai. Mama juga minta maaf atas kesalahan Mama, yang mungkin menyakiti hati Dianti.""Tapi Mama janji, nggak akan mengabaikan aku lagi? Sepi nggak ada Bi Ratmi. Maka gantinya, Mama harus selalu ada buat aku. Ya, meskipun ada Tante Natasha sama Tante Sinta yang baik banget.""InsyaaAllaah, Mama minta maaf, masih mengulangi kesalahan yang kemarin, yaitu mengabaikan Nak Dianti. Sekarang, boleh minta peluk?" pinta Audrey, lembut.Dianti mengangguk sambil merentangkan tangan. Mereka berpelukan. Putri Fandi itu menitikkan air mata, akhirnya Dianti bisa memaafkannya.Setelah itu, mereka Salat Subuh berjamaah. Edwin pulang, lalu mereka saling menyimak bacaan Alqur
Akhirnya, Audey dan Edwin sampai di rumah, setelah tadi sempat mampir di sebuah warung makan. Tak lupa, mereka menjemput anaknya di tempat Opanya."Udah ngantuk? Boleh Mama temani tidur?" tanya Audrey.Dianti mengangguk. "Boleh, Ma. Bacakan dongeng dulu, ya!"Mamanya mengembangkan senyum. "Siap, Sayang. Gimana kalau kisah Nabi?""Kisah Nabi? Memangnya punya bukunya, Ma?"Audrey mengeluarkan buku yang masih bersampul plastik bening, dari dalam tasnya. "Tadaaaa! Buku baru, buat bacaan anak Mama yang paling pintar ini!"Mata Dianti berbinar. "Wih! MaasyaaAllaah! Makasih, Mama sayang.""Sama-sama, anak cantik! Kita bersih-bersih dulu, ganti baju, terus ke kamar," ajak Audrey, lalu meletakkan tas dan buku ke atas meja."Oke, Mama sayang!"Mereka berjalan menuju toilet untuk membasuh muka, cuci kaki dan tangan. Sementara itu, Edwin masih sibuk memasukkan belanjaan Audrey yang banyak sekali, ke dalam rumah."Kamu bisa ganti baju sendiri, kan?" tanya putri Fandi dan Lia itu.Dianti mengangguk
"Aku mau minta maaf sama kamu," ujar Athena tiba-tiba, sambil bersimpuh di kaki Audrey. "Ih! Apa-apaan, sih! Lepas!" teriak perempuan berjilbab itu.Athena menggeleng. "Enggak, Audrey. Nggak akan aku lepaskan, sebelum kamu maafin aku!"Mamanya Dianti pun membuang napas kasar. "Hei! Sadar! Kamu itu pelakor, nggak usah pura-pura baik. Aku nggak akan percaya. Paling ini akal bulusmu aja, untuk merebut Mas Edwin. Iya, kan?" balas Audrey, dengan badas."Aku beneran mau minta maaf sama kamu, nggak ada maksud apa-apa. Justru aku melakukan ini, saat Edwin nggak ada, supaya kamu percaya." Athena menangis, entah sungguhan atau pura-pura saja."Udah! Minggir! Buat apa kamu minta maaf? Merasa kalah, karena dulu perbuatan menjijikkan itu viral? Berusaha menggoda suami orang, waktu dinner! Sekarang, lagi berusaha memperbaiki nama baik, ya?" kata Audrey."Enggak! Ngapain bikin citra bagus di depan orang banyak? Ini khusus permintaan buatmu. Kalau mau cari muka, seharusnya di depan Edwin. Buktinya,
"Mau minum apa kalian?" tanya Natasha, setelah berbalik badan."Apa aja boleh," jawab Audrey, sambil duduk dekat Dianti, di ruang tamu.Natasha mengembangkan senyum palsu. "Oke. Kalau mau langsung belajar, masuk aja! Sean udah ada di dalam, lagi nggambar."Dianti pun berseru, "Asyik! Siap, Tante." "Ya udah, aku ke belakang dulu." Natasha berjalan ke arah dapur."Ma, aku masuk dulu, ya? Mama mau ikut?" tanya Dianti."Boleh, Nak. Hari ini mau belajar apa?" Audrey balik bertanya.Anak gadis itu tampak sedang berpikir. "Besok, ada PR menggambar dari Bu Guru.""Ayo!"Keduanya pun beranjak, lalu menuju ruang tengah. "Assalaamu'alaikum. Lagi gambar apa, Nak? Tante boleh gabung di sini?" sapa Audrey, ramah.Sean mendongak sejenak. "Halo, Tante! Gambar pemandangan ini. Boleh, silakan."Senyum di pipi istri Edwin memudar, karena Sean tak menjawab salamnya. Apa Natasha dan suaminya tidak membiasakan ucapan itu? "Kalau Sean gambar pemandangan, aku gambar apa, ya, Ma? Biar nggak sama?" Dianti m
Sampai di rumah, Audrey memeluk Dianti. "Maaf, ya, Nak. Bukannya kamu nggak boleh main, tetapi Tante Natasha itu punya niat buruk sama kamu. Mendingan main di rumah aja sama Mama. Ya?" pinta Audrey.Dianti mengangguk, lalu menangis di pangkuan sang Mama. Suasana di ruang tamu dalam rumah Edwin berubah menjadi sepi nanti sendu. Audrey menelan ludahnya berulang kali, terasa berat memang perjuangannya menjadi ibu. Apalagi anak seumuran Dianti yang sedang berpikir kritis dan merupakan usia emas. 'Ya Allah, semoga aku bisa mendidik Dianti dengan baik, serta tidak menyia-nyiakan usia emasnya. Meskipun kesibukan di pekan depan akan menyita waktuku, setidaknya aku berusaha selalu menemaninya bermain dan belajar,' harap Audrey, dalam hati.**Sejak saat itu, Dianti selalu mengerjakan PR dan bermain di rumah, ditemani Audrey. Tingkahnya yang semakin lincah dan kadang menjengkelkan, cukup membuat Audrey uring-uringan. Ditambah lagi, istri Edwin itu terus memikirkan biaya hidup yang semakin mah
Audrey mendatangi anaknya dengan tergopoh-gopoh, lalu bertanya, "Iya, Sayang. Ada apa?""Bantuin aku mainan ini, Ma," pinta Dianti, menunjukkan ponsel Audrey yang kini dibawanya, menampilkan sebuah game pakaian dan makanan untuk barbie."Loh, kok, ponsel Mama ada sama kamu?" tanya Audrey, sambil mendekat. "Begini mainnya.""Iya, tadi aku ambil pas Mama ke kamar. Hp-nya nggak dikunci, jadi aku bisa main game," jelas anak itu.Audrey membuang napas kasar, lalu mengajari putrinya bermain game."Makasih, Ma." Dianti tersenyum senang, lalu menerima ponsel itu.Mamanya sedikit merasa bersalah, karena waktu untuk Dianti menjadi semakin berkurang. Namun, semua juga demi ekonomi keluarga mereka.Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Audrey segera beranjak untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Sinta yang sepertinya baru pulang dari kantor."Eh, Kak Sinta. Masuk dulu, yuk!" ajak Audrey."Nggak usah, aku cuma mau ngasih ini buat kamu, tadi sudah dibolehin sama Edwin," kata Sinta, sambil menyerah
Beberapa bulan kemudian, tiba saat penerimaan rapor. Audrey harap-harap cemas, sebab dia tidak bisa membayar SPP sekolah Dianti, hari ini juga. Sedangkan, salah satu syarat pengambilan buku bersampul merah berisi daftar nilai para siswa itu adalah harus lunas semua biaya pendidikan, minimal selama 6 bulan terakhir.[Aku berangkat ke sekolahnya Dianti dulu, ya, Mas. Mau ambil rapor, kalau boleh.] pesan Audrey melalui WhatsA** ke nomor Edwin.Tak lama kemudian, ada balasan dari suaminya.[Iya, hati-hati naik gr*bnya. Awasi terus Dianti, karena sekarang sedang marak kasus penculikan. Terus, kita belum bisa bayar SPP. Kalau nggak boleh ambil rapor, sabar. Ikhlaskan, lalu pulang. Tidak harus sekarang, kan, lihat nilai akhir anak kita?" Audrey mengembuskan napas lega, karena suaminya mengerti tentang keadaan ekonomi mereka sekarang, sehingga tidak mengharuskan untuk ambil rapor hari itu juga.Dia membalas, [Iya, Mas. Aku akan terus waspada. Ya, memang nggak harus sekarang untuk lihat nilai