Audrey mendatangi anaknya dengan tergopoh-gopoh, lalu bertanya, "Iya, Sayang. Ada apa?""Bantuin aku mainan ini, Ma," pinta Dianti, menunjukkan ponsel Audrey yang kini dibawanya, menampilkan sebuah game pakaian dan makanan untuk barbie."Loh, kok, ponsel Mama ada sama kamu?" tanya Audrey, sambil mendekat. "Begini mainnya.""Iya, tadi aku ambil pas Mama ke kamar. Hp-nya nggak dikunci, jadi aku bisa main game," jelas anak itu.Audrey membuang napas kasar, lalu mengajari putrinya bermain game."Makasih, Ma." Dianti tersenyum senang, lalu menerima ponsel itu.Mamanya sedikit merasa bersalah, karena waktu untuk Dianti menjadi semakin berkurang. Namun, semua juga demi ekonomi keluarga mereka.Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Audrey segera beranjak untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Sinta yang sepertinya baru pulang dari kantor."Eh, Kak Sinta. Masuk dulu, yuk!" ajak Audrey."Nggak usah, aku cuma mau ngasih ini buat kamu, tadi sudah dibolehin sama Edwin," kata Sinta, sambil menyerah
Beberapa bulan kemudian, tiba saat penerimaan rapor. Audrey harap-harap cemas, sebab dia tidak bisa membayar SPP sekolah Dianti, hari ini juga. Sedangkan, salah satu syarat pengambilan buku bersampul merah berisi daftar nilai para siswa itu adalah harus lunas semua biaya pendidikan, minimal selama 6 bulan terakhir.[Aku berangkat ke sekolahnya Dianti dulu, ya, Mas. Mau ambil rapor, kalau boleh.] pesan Audrey melalui WhatsA** ke nomor Edwin.Tak lama kemudian, ada balasan dari suaminya.[Iya, hati-hati naik gr*bnya. Awasi terus Dianti, karena sekarang sedang marak kasus penculikan. Terus, kita belum bisa bayar SPP. Kalau nggak boleh ambil rapor, sabar. Ikhlaskan, lalu pulang. Tidak harus sekarang, kan, lihat nilai akhir anak kita?" Audrey mengembuskan napas lega, karena suaminya mengerti tentang keadaan ekonomi mereka sekarang, sehingga tidak mengharuskan untuk ambil rapor hari itu juga.Dia membalas, [Iya, Mas. Aku akan terus waspada. Ya, memang nggak harus sekarang untuk lihat nilai
Azan Magrib berkumandang. Dianti baru pulang ke rumah."Assalaamu'alaikum, Pa, Ma," salamnya, sembari mencium tangan kedua orang tua.Edwin dan Audrey kompak menjawab, lalu saling memandang karena putri mereka sudah berganti baju."Aku tadi udah mandi di rumah Oma, terus ini baju baru, yang dibeli di mall tadi," kata Dianti, seolah mengerti kebingungan Papa-Mamanya."Oh, iya, Nak. Kamu senang?" tanya Edwin.Anaknya mengangguk. "Senang, dong, Pa! Lihat, deh! Aku udah punya HP kayak punya Sean dan Syifa." Dia menunjukkan ponsel dari dalam sakunya.Kedua mata Audrey terbelalak. "Ba-bagus sekali, Nak. Ini pasti mahal, ya?""Nggak tahu, Ma. Yang penting, aku udah punya. Ya, kan?"Mendengar tanggapan itu, Mamanya hanya bisa menelan ludah. Harga ponsel di tangan Dianti seharga dengan 25 buah gamis jualannya."Alhamdulillaah. Sekarang, udah puas, dong? Nggak minta lagi, atau merajuk ke Papa-Mama? Udah azan. Wudu dulu, gih, terus salat jamaah!" perintah Edwin. "Oke, Pa!" Perempuan kecil itu b
Keesokan harinya, Audrey memperlihatkan postingan orang tak dikenal itu, yang dia tebak semuanya adalah perbuatan Athena.Edwin yang baru selesai mengaji pun terkejut. "Astagfirullaah. Tega sekali dia, Sayang?" "Itulah, Mas, anehnya. Dia itu nggak ada kapok-kapoknya mengganggu rumah tangga kita. Apa ini ada hubungannya, ya, sama Mama?" tanggap Audrey."Hus! Nggak boleh bicara seperti itu, mereka sudah baik sama kita. Masa suuzan mulu?" Edwin mengingatkan.Istrinya membuang napas panjang. "Ya, tapi entah kenapa prasangka aku mengarah ke sana. Menurutmu, apa yang harus kita lakukan? Sudah banyak yang menghujat kita di media sosial.""Aku punya ide! Nanti sore, kebetulan aku nggak meeting. Kita ke rumah Mama dan buat video klarifikasi sebagai imbangan. Terus, tag ke akun ini. Followermu nggak jauh beda, kan, sama dia?" usul Edwin."Ide cerdas! Alhamdulillaah, walaupun cuma 5k follower, itu sudah banyak yang seolah-olah jadi fans akunku. Oke, insyaaAllaah nanti sore aku akan kosongin jadw
"Halo, Sayang? Lagi nonton apa?" tanya Zofia, lalu duduk di samping cucunya.Dianti menoleh sejenak, lalu mengerucutkan bibirnya. "Ini, ada kartun kesukaanku, tapi bosen. Diulang-ulang setiap beberapa hari sekali. Sampai hafal jalan ceritanya. Pengen main game yang lebih seru dan tertantang buat menang.""Tenang saja, Nak!" Zofia paham, lalu segera mentransfer sejumlah uang pada Athena."Kenapa, Oma?" Anak Audrey pun mengerutkan kening.Istri Juna itu mengunci beberapa aplikasi penting, lalu meminjamkan ponselnya pada Dianti. "Ini, pinjam HP-nya Oma. Nggak bakalan ada yang namanya larang-larang."Dianti pun bersorak kegirangan. "Asyik! Makasih, Oma!" Zofia memberikan senyum tipis. Dia mengambil remote untuk mengganti acara TV menjadi sinetron kesukaannya.**Jam menunjukkan pukul tiga seperempat. Edwin pulang lebih awal sesuai janjinya. "Kamu sudah salat 'Asar?" tanya Edwin, begitu selesai mandi. Audrey mengangguk, seraya memakai jilbabnya di depan kaca. "Ayo, Mas!""Dianti masih d
"Kok, senyum-senyum sendiri?" tegur Edwin, membuat Audrey yang sedang duduk di ruang tamu pun tersadar. "Eh, iya, Mas. Video kita sukses dan banyak komentar positif," sahut istrinya, sambil menunjukkan layar laptop.Edwin pun penasaran. "Memangnya sudah kamu edit?"Audrey tersenyum. "Alhamdulillaah, udah aku edit dan unggah sekaligus.""Wah! Alhamdulillaah, istriku pandai sekali kalau urusan bikin video yang berkualitas," puji pria yang berdiri di sampingnya."Hehe, hanya bakat terpendam, sih. Lagi pula, masih pemula dalam bidang edit video.""Ya, kalau komentarnya gimana, Sayang?" tanya Edwin sambil mengklik kolom komentar di postingan itu.Audrey tak menjawab, membiarkan suaminya membaca sendiri komentar orang-orang di akunnya.Edwin tampak berbinar. "Alhamdulillaah, mereka menyesal sekaligus meminta maaf sama kamu dan kembali akan follow akunmu.""Iya, Mas. Followerku balik lagi, tadi udah buka bagian notifikasi," sahut Audrey.Terdengar Dianti memanggil keduanya."Ma! Papa!" Aud
Pagi hari menjelang siang, Audrey sudah sampai di depan rumah Bu Cantika untuk bertemu calon kliennya. Sopir yang mengantarnya pun merasa senang, karena mendapatkan job hari ini, walaupun tidak setiap hari. "Makasih, Bu, sudah menyisihkan sebagian rezekinya hari ini untuk saya," kata sopir itu, sambil menutup pintu setelah istri Bosnya turun.Audrey tersenyum, lalu menyahut, "Sama-sama, Pak. Alhamdulillaah, beberapa hari yang lalu, ada sedikit rezeki dari jualan gamis. Tapi mohon maaf, hanya bisa sesekali, belum rutin tiap bulan kayak dulu. Saya masuk ke rumah itu, Bapak bisa tunggu di sini atau mau ke mana terserah, asalkan saat saya selesai, bisa stand by. Hidupkan ponselnya selalu, ya, Pak?" Sopirnya mengangguk sopan. "Tak apa, Bu. Itu sudah mendingan daripada saya menganggur di rumah. Mm, saya tunggu di sini saja, sebab tak ada agenda ke mana-mana dan kebetulan tadi pagi sudah sarapan.""Syukurlah. Mari, Pak." Audrey ikut mengangguk sopan, lalu menuju teras rumah penjahit langg
Beberapa hari kemudian, pesanan Bu Rahma selesai. Meski temannya Bu Cantika itu mengirim pesan kalau tenggang waktu pengerjaan minimal satu bulan, tetapi Audrey tak mau menyia-nyiakan waktu. Lebih cepat lebih baik, sehingga costumer percaya padanya. Pelanggan lama Audrey pun kembali dan usahanya semakin lancar. Costumer baru juga bermunculan, karena mereka tahu dari teman-teman yang sudah membeli gamis di tokonya. Sesekali, Audrey mengajak Dianti ke playground di mall terdekat, tanpa sepengetahuan Juna, Zofia ataupun kakak-kakak iparnya. Hal itu dia lakukan agar tak ada yang mengganggu quality time bersama sang anak.Seiring usia Dianti bertambah dari bulan ke bulan, dia juga mulai mengerti kesibukan Papa-Mamanya, sehingga sudah jarang minta ini-itu. Jika ingin pergi ke rumah teman atau Omanya, tinggal minta izin saja pada Audrey.Edwin terus menyemangati istrinya setiap kali akan menyerah ketika menghadapi suatu masalah. Kebetulan, gajinya di kantor juga mulai naik bulan kemarin. Me