Share

Bertemu Kembali

Penulis: Hanazawa Easzy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-04 08:15:16

Seharusnya di saat seperti ini aku semakin menyayangi putraku, tapi nyatanya aku malah seperti kehilangan jati diri sebagai seorang ibu. Wajah anak itu sangat mirip dengan ayahnya. Aku masih sakit hati mengingat pengkhianatan Mas Reza.

“Ayo, Sayang.” Mama menepuk-nepuk punggung Bima, membawanya ke dalam kamar.

Dari arah lain, Papa mendekat sambil membenahi kacamata tebal yang bertengger di atas hidung. Raut wajahnya keruh, jelas menunjukkan kalau beliau tidak baik-baik saja. Putri semata wayangnya sudah tersakiti, bahkan dicampakkan begitu saja oleh suaminya. Orang tua mana yang tega melihat kesayangannya menderita?

Cukup lama kami berdiam diri. Papa menatap televisi layar datar di depan kami tanpa ekspresi. Tayangan kartun anak-anak dengan warna mencolok, yang semula ditonton oleh Bima, sama sekali gagal menarik perhatian. Rahangnya mengerat, berusaha mengendalikan emosi. Aku yakin Mama sudah menceritakan masalahku sampai membuat Papa pulang segera dari Bandung.

Aku membenahi posisi duduk setelah mematikan televisi. Sudah saatnya aku bicara dan minta pertimbangan. Mungkin beliau punya solusinya.

“Pa ...,” panggilku lirih.

“Diam. Papa masih nggak habis pikir apa yang terjadi sama kamu dan Reza.”

Lidahku kelu, tidak bisa berucap apa pun. Saat penghakimanku telah tiba. Ganjalan yang Papa simpan selama lima tahun pernikahanku dengan pria itu pasti akan dimuntahkan hari ini juga.

Ya, sejak awal Papa memang tidak cocok dengan Mas Reza. Tapi karena aku terlanjur jatuh cinta padanya, akhirnya Papa mengalah juga. Ah, jika dipirkan, entah aku benar-benar jatuh cinta padanya atau dia ada saat aku butuh pelarian saja, ya?

“Papa udah dengar semua dari Mama. Mungkin itu jalan terbaik buat kalian. Masih ada banyak pria yang lebih baik dari dia. Mereka yang bertanggung jawab, kerja keras untuk membahagiakan kamu. Bukan sebaliknya. Cuma jadi benalu.”

Aku mengembuskan napas kasar dari mulut, tak bisa menyangkal. Semua kesuksesan yang Mas Reza dapatkan memang berkat bantuan Papa. Tanpa koneksi beliau, mungkin sekarang suami ... ah, mantan suamiku itu masih tetap karyawan pabrik yang gajinya sebatas UMR. Jangankan membeli perumahan dan mobil, mencukupi biaya hidup sehari-hari saja pasti kurang.

“Na, dari awal Papa udah peringatkan kamu. Dia itu pengecut, nggak mau survive. Bahkan buat lamar kamu pun, Papa yang harus memaksa dia. Kamu terlalu dibutakan oleh cinta, nggak pake logika. Laki-laki macam dia cuma tahu enaknya aja. Mana mau berjuang pakai otaknya.”

“Pa ....”

“Apa?!" Suara Papa meninggi. "Kamu mau bela suamimu yang nggak tahu diri itu?!” Papa mendengus kesal, merasa perjuangannya sia-sia.

“Sebenarnya Papa udah memperkirakan apa yang bakal terjadi. Diam-diam, Papa yang minta Om Wirawan buat lepas Reza sendiri. Dia itu nggak ada skill di bagian marketing. Manfaatin tampang doang nggak ada gunanya, Na!” Papa berdiri, berkacak pinggang sebelum melanjutkan.

“Reza ada di puncak kariernya karena dia punya tim yang solid, semua target tercapai. Tiga bulan yang lalu saat tim dirombak dan Reza dapat orang-orang yang nggak mumpuni, akhirnya hasil penjualannya sama sekali di luar dugaan. Bukan surplus yang didapat, tapi minus!”

Aku mendengarkan dalam diam.

“Perusahaan bahkan harus bayar denda karena salah satu unit rusak waktu dikirim ke pelanggan. Kerja mereka nggak bener. Kirim TV LED kok cuma dibungkus ala kadarnya. Alasannya buru-buru. Itu konyol! Mereka cuma nggak mau repot. Nggak mau susah. Beda dengan tim yang sebelumnya. Pulang pagi pun mereka rela!”

Aku menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Papa yang semakin murka. Mungkin semua ini salahku juga. Aku tidak bisa menilai karakter orang lain dengan baik. Buktinya, aku begitu memercayai Mas Reza dan Joyce. Keduanya adalah orang yang paling dekat di hidupku. Tanpa malu-malu aku menceritakan semua rahasiaku kepada mereka. Bodoh memang. Dan aku baru menyadarinya sekarang.

Hening menyelimuti kami. Papa beberapa kali menarik napas dalam. Aku semakin takut, tidak berani menatap matanya.

“Benar yang Mama bilang, aset yang kamu punya, sekarang semua atas nama Reza?”

Akhirnya Papa membahas hal ini juga. Aku hanya bisa mengangguk lemah. Memang itu kenyataannya.

“Astaga, Nadya! Kamu itu bukan cuma kemakan cinta buta, tapi juga jadi bodoh, ya!” Papa meraup wajah, semakin kesal dengan fakta yang kembali menamparnya.

“Ayo sekarang ikut Papa! Kalau Papa diam, kamu bakal jadi gelandangan nantinya!” Pria lima puluhan itu meraih kunci mobil yang sedari tadi tergeletak di atas meja.

Aku terkesiap, menatap tangan Papa yang kini sudah mencengkeram lenganku. Wajahnya sama sekali tidak bercanda.

“Ayo!"

Tubuhku sudah berpindah tempat dengan cepat. Papa dengan ketegasannya, memaksaku mengikuti langkahnya. Bahkan, tak segan menyalak saat aku belum juga memakai sabuk pengaman.

“Kita ke mana, Pa?” Takut-takut aku bertanya. Meskipun aku putri semata wayangnya, tetap saja beliau akan mengomel atau menghukumku kalau aku melakukan kesalahan.

“Kamu nggak perlu banyak tanya.”

Detik berikutnya, kendaraan roda empat ini sudah keluar dari pintu gerbang dan bergabung dengan mobil-mobil yang lain. Terik matahari semakin membuat suasana hati tidak nyaman. Panas. Gerah.

Lima belas menit berlalu, mobil terhenti di pelataran sebuah gedung pencakar langit yang tampak megah. Beliau membawaku ke pusat kota, ke salah satu firma hukum yang selama ini bertugas menyelesaikan permasalahan perusahaan.

Seorang resepsionis membungkukkan badan, menyodorkan buku tamu saat Papa terhenti di meja kerja mereka. Ah, tentu saja setelah menyambut kami dengan senyum ramah.

Beberapa orang memperhatikan kami begitu memasuki gedung ini. Namun, mereka segera menundukkan kepala saat Papa melewatinya. Beliau bukan orang sembarangan, salah satu dewan direksi perusahaan elektronik berskala nasional dan menjadi tamu penting di tempat ini.

“Firman ada?” tanya Papa to the point setelah menerima id card khusus pengunjung. Aku juga mendapatkan kartu serupa.

“Pak Firman sedang ada meeting di luar. Bapak sudah membuat janji sebelumnya?” Si wanita berpakaian merah tersenyum canggung, menunggu jawaban Papa.

“Hubungi dia. Bilang saya menunggunya sekarang juga.”

“Baik, Pak. Saya akan segera menghubungi Pak Firman. Silakan, Bapak dan Ibu bisa menunggu di sana.” Resepsionis itu menunjuk ruangan dengan dinding kaca di sebelah kanan lobi, meminta kami pergi melalui isyarat tangannya.

Papa kembali menarik tanganku ke arah ruang tunggu. Ada kursi sofa dengan meja panjang di depannya. Tanpa perlu diperintah olehnya, aku sudah menempati satu sudutnya. Entah apa yang ada di kepala Papa. Mungkin mengusahakan harta gono-gini agar aku tetap bisa mendapatkannya.

“Na, Papa nggak mau kamu sengsara. Apa yang menjadi hakmu, harus kamu dapatkan. Kita minta bantuan Firman. Papa yakin dia bisa meng-handle urusan ini.”

Aku diam tak merespons. Terserah Papa sajalah. Aku tak peduli. Menit-menit berikutnya nasihat Papa kembali menyapa telinga. Mengungkit kekurangan Mas Reza dan kebodohanku.

Tak kurang dari sepuluh menit Papa berceramah. Emosinya baru sedikit mereda, tak meluap-luap seperti sebelumnya.

“Siang, Pak Bagaskara. Ada yang bisa saya bantu?”

Terdengar suara seorang pria, membuatku seketika mengangkat wajah demi menilik keberadaannya. Tatap mata kami bertemu di titik yang sama, membuatku tidak bisa bernapas lega seperti sebelumnya.

Pun sama dengan pria itu. Sosoknya yang tegap sempurna, berdiri tiga langkah di depanku. Mulutnya terbuka, tapi tak bersuara. Susunan kata yang ada di kepalanya tak bisa diucapkan sama sekali. Dia sepertinya terkejut melihatku di hadapannya.

Namun, bukan itu yang membuatku terhenyak. Dia menatapku tanpa berkedip, tatapan penuh kerinduan. Sebagai seorang wanita dewasa, aku bisa mengartikannya. Sampai sekarang, dia masih menyukaiku seperti dulu. Dialah Firman Alamsyah, cinta pertamaku. Seseorang yang amat berarti untukku bertahun-tahun yang lalu.

“Apa kabar, Nana?!” Suara Firman terdengar bergetar menahan emosi. Dia salah tingkah, menyentuh hidung seperti kebiasaannya dulu saat gugup dan itu sukses membuat dadaku sesak, kesulitan bernapas detik-detik berikutnya. Kami bertemu kembali setelah sekian lama terpisah.

Bagaimana ini? Bagaimana caraku menghadapi dia yang pernah membuat hatiku porak-poranda?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
goblok banget kau krn cinta nyet.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Terluka (POV Firman)

    Pertemuanku dengan klien baru saja selesai saat Mira, resepsionis di firma hukum tempatku bekerja menelepon. Tadinya masih ada agenda makan siang bersama, sekaligus ucapan terima kasih dari orang itu. Namun, begitu mendengar siapa yang mencariku, aku melupakan hidangan aneka seafood kesukaanku. Itu tidak lebih penting dari orang yang sekarang menungguku. Lebih tepatnya satu nama yang sangat ingin kutemui. Aku memacu kendaraan secepat mungkin, ingin segera melihat wajah ayu wanita itu. Wanita yang kutinggalkan sepuluh tahun lalu demi mengejar impianku menjadi seorang pengacara. Hingga akhirnya dia menikah dengan orang lain. Jika waktu bisa diputar kembali dan aku tidak pergi meninggalkannya, mungkinkah kami tetap bersama? Langkahku terasa semakin berat saat meniti anak tangga satu persatu. Matahari semakin membuat peluhku bercucuran. Mataku memicing tajam selepas melewati pintu kaca yang otomatis terbuka. Mira menunjuk ruang tunggu, di mana kedua tamuku duduk di sana. Dadaku terasa s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Joyce Hamil (POV Firman)

    Saat Pak Bagaskara masih bicara dengan putrinya di dalam sana, aku terjebak dalam riuh rendah isi kepalaku sendiri mengingat kisah kasih kami semasa SMA. “Nonton, yuk,” ajak Nadya, mendekat ke arahku setelah pelajaran terakhir usai dan menunjukkan tiket film di salah satu bioskop tak jauh dari sekolah kami. Senyum di wajahnya begitu cerah, mengabaikan terik matahari di luar sana yang amat menyengat. Dia gadis yang ceria, murah senyum dan memiliki banyak teman. Berbanding terbalik denganku yang lebih banyak diam dan menutup diri. Aku hanya bisa menggeleng, menolak ajakannya dan pergi lebih dulu dari sana, canggung menatap wajahnya yang cantik menawan. Jujur saja aku menyukainya, tapi tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan. Lagi pula, Nadya dari keluarga berada, sedangkan aku hanya anak panti asuhan yang tidak jelas asal-usulnya. “Aku maunya sama kamu. Nggak mau sama yang lain.” Bibirnya mengerucut. Dia menghadangku, berdiri sambil merentangkan tangan demi menghalangi jalan. Tip

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Tekad Bulat (POV Firman)

    "Om, tolong sampaikan permintaan maaf saya ke Nana. Dia nggak mau angkat telepon. SMS juga nggak dibalas," ucapku malam itu, sehari sebelum terbang ke Eropa demi mengambil beasiswa di salah satu universitas ternama. Om Bagaskara mengangguk, menepuk pundakku dan mulai bercerita masa kecil Nadya, putri kesayangannya yang lebih sering dipanggil Nana. Meski satu jam lamanya kami bercengkerama di beranda, Nana menolak turun dari kamarnya. Dia hanya mengintip dari jendela saat aku melangkah keluar melewati pintu gerbang. "Kamu nggak harus ambil tawaran beasiswa itu!" Suaranya yang melengking sebulan sebelumnya masih terbayang di kepala. Saat itu aku mengungkapkan keputusanku menerima tawaran beasiswa dari sebuah yayasan. "Na, ini demi kebaikan kita berdua. Aku serius sama kamu, tapi aku juga harus serius sama masa depanku. Nggak mungkin yatim piatu kayak aku, layak bersanding sama putri semata wayang Pak Bagaskara. Apa kata orang nantinya?" Nana menghempas tanganku, berdiri dengan ce

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Pasang Badan (POV Firman)

    "Firman, nggak bisa besok aja?" Suara Nana tercekat di tenggorokan, tampak tidak nyaman saat mobilku mulai memasuki gerbang perumahan tempat tinggalnya. Dia akhirnya buka mulut, tak hanya diam. Sejak naik ke mobil Jeep milikku, dia memang menutup mulutnya rapat-rapat. "Kenapa? Kamu belum siap ketemu suamimu yang sebentar lagi bakal jadi mantan itu?" Alih-alih menjawab, dia justru meremas tas di pangkuannya. Aku terpaksa menepikan mobilku, mengajaknya bicara. Keraguan bergelayut di matanya. "Kalau aku sama Mas Reza beneran pisah, apa Bima akan baik-baik saja? Yang paling dirugikan dari sebuah perceraian adalah anak-anak. Nggak sedikit yang kekurangan kasih sayang dan pada akhirnya lari ke hal-hal negatif. Apalagi Bima masih masa tumbuh kembang. Dia pasti akan kehilangan sosok ayah." Aku terpaksa meraup wajah dengan tangan sambil menarik napas dalam-dalam. Bagaimana cara meyakinkan Nana bahwa rumah tangganya sudah rusak? Perselingkuhan adalah dosa yang sulit ditinggalkan. Set

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Sambutan Tak Terduga (POV Firman)

    "Di sini?" tanyaku setelah menatap nomor di samping pintu gerbang bertuliskan A15. Sebuah rumah dua lantai yang terlihat mewah dengan halaman yang luas, langsung tertangkap mataku. "Iya." "Yakin kita selesaikan hari ini, Na? Setelah aku ketemu suami kamu, aku pantang mundur kecuali kamu sendiri yang mencabut tuntutan itu nanti. Kalaupun kamu mau membatalkannya, bukan berarti proses perceraian bisa langsung berhenti. Ada prosedur yang harus dilalui dan itu cukup berlarut-larut." "Aku udah siap. Apa pun resikonya, itu yang terbaik untuk kita bertiga. Seperti yang kamu tahu, Joyce hamil. Mas Reza harus tanggung jawab kalau itu beneran anak dia, tapi aku nggak akan pernah mau dimadu. Jadi, cepat atau lambat, kami memang akan berpisah." Aku mengangguk, merasa cukup lega saat melihat tekad kuat yang dia tunjukkan. Tak ada lagi air mata maupun kesedihan di wajahnya. Justru dia terlihat seperti wanita yang begitu kuat. "Ayo!" Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya, mengik

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Surat Kuasa (POV Firman)

    "Kamu sengaja bawa ini dari kantor?" tanya Nadya saat aku meletakkan printer yang juga berfungsi untuk menggandakan dokumen sekaligus sebagai scanner. "Sedia payung sebelum hujan, Na. Jaga-jaga, takut suamimu yang rese itu nggak izinin kita keluar bawa dokumennya." Nadya menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Dia beralih ke dapur, mengambil gelas dan sebotol air mineral dingin dari kulkas. Reza keluar dari kamar dan membawa map dengan wajah masam. Dia tidak berkomentar apa pun meski melihat Nadya melenggang bebas dari dapur. Tak ada saling sapa antara keduanya, hanya saling melirik sekilas. Tanganku terulur bersiap mengambil map dari tangan Reza, tapi pria itu justru menariknya lagi ke belakang. "Tunggu," ucapnya dengan suara tercekat di tenggorokan. "Nadya, aku mau bicara empat mata sama kamu." "Nggak ada yang perlu dibicarakan. Kalau mau ngomong, ngomong aja di sini. Di depan pengacaraku," jawab wanita yang saat ini duduk di sofa, menyilangkan kaki sebelum menumpu lututnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Penyesalan (POV Nadya)

    "Aku antar kamu pulang sekarang," ucap Firman saat mobil yang dikendarainya meninggalkan kompleks perumahan Permata Kencana. Gerimis mulai membasuh jalanan, membuat wipper mobil mulai bekerja. Aku hanya meliriknya sekilas, tidak berniat menjawab walau sekadar satu kata. Beberapa kilometer berlalu dalam diam sampai terdengar suara Firman. "Na, Reza orang yang seperti apa? Aku harus tahu karakternya buat menghadapi dia di persidangan nanti." Aku tak lantas menjawab, terpaku menatap keluar jendela mobil mengingat awal pertemuanku dengan Mas Reza, dua atau tiga bulan sejak kepergian Firman ke luar negeri. Kehidupanku sebagai mahasiswa terbilang biasa saja, benar-benar nggak ada yang menarik. Aku masih tenggelam dalam rasa kehilangan. "Boleh duduk di sini?" tanya Mas Reza sambil membawa nampan berisi makanan, tersenyum padaku yang memang duduk sendirian di kantin. Alih-alih menjawab, aku justru mengedarkan pandangan ke seluruh tempat dan hampir tidak mendapati satu bangku pun yang koso

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Pengakuan Papa

    “Maksud Papa apa?” Aku mengernyit heran, menatap pria dengan uban yang mulai mengambil alih rambut hitamnya. Beliau selalu saja to the point seperti itu. Tanpa tedeng aling-aling, langsung mengungkapkan isi hatinya. “Sampai sekarang Firman belum menikah. Itu karena dia masih cinta sama kamu, Na. Papa juga bisa lihat kalau perasaan kamu masih ada buat dia.” “Pa!” Aku menyentak lengan Papa sambil berdiri. Ini pertama kalinya aku bersuara agak lantang di depan beliau. “Sayang ….” Mama langsung memeluk kedua lenganku, meredam rasa marahku karena Papa mengatur hidupku. “Tenang, ya. Maksud Papa nggak begitu, kok. Papa cuma mau—” “Nana tahu, Ma.” Aku menyela ucapan wanita yang sudah melahirkanku 27 tahun yang lalu. “Aku tahu Mama sama Papa cuma mau aku bahagia, tapi aku udah dewasa dan tahu apa yang harus aku lakukan ke depannya.” Papa terlihat mengembuskan napas kasar dari mulut melihat aku memberontak. Mama membawaku duduk di kursi yang lain, sedikit menjauh dari Papa. Segelas air

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07

Bab terbaru

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Cium Paksa

    Alya berdiri di dalam bus TransJakarta dengan tangan kanan memegang erat gantungan di atas kepala. Setiap yang Firman katakan ke Nadya, seolah menikam jantungnya."Selama ini aku menempel dengan Mas Dani tanpa peduli perasaannya. Aku bahkan tinggal di apartemennya dengan nggak tahu malu," bisik Alya tanpa suara, menatap keluar jendela yang padat merayap oleh kendaraan. Jalanan kota Jakarta yang semrawut menambah rumit isi kepala."Sini duduk, Nak. Ada kursi kosong."Alya sedikit terhenyak saat seorang wanita berjilbab memegang lengannya. Dia menunjuk tempat duduk yang baru saja ditinggalkan oleh penumpang yang bersiap turun di halte berikutnya."Mau berangkat kerja?" tanyanya dengan lembut seolah mereka saling mengenal. Padahal Alya yakin, ini pertama kalinya mereka bertemu.Gadis yang sedang kacau perasaannya itu hanya mengangguk, enggan menjelaskan lebih lanjut. Sebelum terlibat perbincangan lebih jauh, Alya memutuskan untuk membuang pandangan ke arah lain sambil memasang earphone w

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Kotak Pandora

    Alih-alih pulang setelah sarapan, Alya justru terus mengekor, membuntuti Firman untuk meminta penjelasan."Mas Firman," panggil Alya sambil menghentakkan kaki, membuat pria itu berhenti mengeringkan piring dan menoleh. Alisnya sedikit terangkat, tapi mulutnya terkatup rapat."Ceritain yang tadi, dong. Jangan bikin penasaran!""Buat apa cerita? Nggak ada gunanya." "Ada!" Alya mendekat, ekspresinya penuh tuntutan. "Aku harus tahu biar nggak salah langkah pdkt-in Mas Dani. Salah sendiri kenapa tadi mancing-mancing kayak gitu. Aku jadi penasaran, kan," imbuhnya.Firman menyeka tangannya yang basah dengan kain, lalu menghadap Alya dan menjentikkan jari di kening gadis itu."Saya nggak mancing karena kamu bukan ikan. Saya cuma kasih tahu biar kamu nggak buang waktu.""Maksudnya apa? Buang waktu gimana?" Sepasang mata Alya menyipit, lipatan di dahinya semakin jelas. Firman menghela napas panjang, melepas celemek di tubuhnya dengan gerakan cepat. Dia menatap Nadya—yang berdiri sambil menge

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Opening Season 2

    Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan kecil di rumah minimalis dua lantai berwarna biru. Pagi itu, suasana terasa hangat, bukan karena sinar matahari, tetapi karena kebahagiaan yang masih membara setelah bulan madu yang baru berlalu. Nadya berdiri di dapur, mengenakan apron bergambar bunga, sibuk membalik telur di wajan. Dari arah kamar, Firman muncul dengan rambut yang masih acak-acakan, mengenakan kaos polos yang melekat di badan dan celana pendek santai. Tatapannya langsung tertuju pada Nadya yang tampak begitu alami dalam balutan baju tidur satin lengan panjang dengan rambut yang tergerai hingga punggung.“Sayang,” bisik Firman di dekat telinga Nadya dengan suara berat khas orang bangun tidur. Tangannya melingkar di pinggang wanita itu seolah tidak rela sang istri meninggalkan ranjang mereka. “Kok kabur, sih? Padahal aku masih mau peluk cium kamu kayak tadi.”Nadya sedikit tersentak, tapi langsung tersenyum kecil. “Mas, ini masih pagi, jangan mulai usil, deh. Siapa suru

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Extra Part 3

    "Saya nikahkan dan jodohkan engkau, Firman Alamsyah dengan putri saya, Nadya Kinanthi Bagaskara, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan logam mulia 50 gram, dibayar tunai." "Saya terima nikahnya Nadya Kinanthi Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!" Suara Firman tegas, mantap, menggema di ruangan sederhana itu. Begitu ijab kabul selesai, suasana mendadak hening, hanya terdengar isak haru dari beberapa tamu yang hadir. Nadya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Firman yang kini resmi menjadi suaminya. Hatinya bergemuruh, rasa syukur dan kebahagiaan berbaur jadi satu. "Bagaimana para saksi? Sah?" "Sah!" Penghulu membacakan doa untuk kedua mempelai disertai semua orang yang menengadahkan tangan mengaminkan. Nadya terlihat begitu anggun dalam balutan kebaya putih yang sederhana tapi tetap terlihat elegan. Kristal Swarovski menyertai sulaman halus di sepanjang kainnya, memancarkan keanggunan yang tak tertandingi. Meski kebaya itu memeluk tubuhnya dengan s

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Extra Part 2

    Di sebuah restoran mewah yang elegan dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan di langit-langit, Nadya, Firman, dan keluarga duduk melingkar di sebuah meja panjang. Aroma makanan lezat memenuhi udara, membuat suasana semakin hangat dan nyaman. Lilin-lilin kecil di atas meja menambah keintiman momen itu, sementara pelayan dengan sigap menyajikan hidangan satu per satu—dari steak yang empuk hingga seafood segar yang disusun indah di atas piring. Nadya duduk di samping Firman, masih tersenyum bahagia setelah momen lamaran yang manis beberapa jam lalu. Di sebelahnya, Bima yang selalu ceria, sibuk memakan pasta kesukaannya dengan tawa kecil setiap kali Firman mencoba mencuri satu gigitan dari piringnya. Ting! Ting! "Mohon perhatiannya sebentar." Di ujung meja, Papa Bagaskara mengetukkan ujung sendoknya ke bibir gelas, meminta atensi. Semua pasang mata tertuju padanya. Suasana makan yang semula dihiasi percakapan dan tawa, kini menjadi tenang. "Firman," Papa Bagaskara membuka percakap

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Extra Part 1

    “Capek nggak?” Firman memecah keheningan sambil menatap Nadya yang duduk bersebelahan di teras rumah. Langit sepenuhnya gelap dan udara dingin mengelus pelan wajah mereka. Melihat Nadya banyak terdiam sejak meninggalkan rumah sakit jiwa tempat Joyce dirawat, pria itu belum tega meninggalkannya. Khawatir Nadya merasa bersalah atas keadaan mantan sahabatnya itu. "Boleh kok sini bersandar di bahu. Gratis!" Nadya menghela napas, tapi akhirnya menggeser posisi duduknya mendekati Firman. “Bukan capek fisik, sih, tapi... rasanya hari ini berat banget.” Matanya menerawang ke arah taman kecil di depan mereka, sinar bulan samar-samar menerangi bunga-bunga yang berjejer rapi di bawah pohon cemara. Firman mengangguk paham. “Iya, aku ngerti. Hari ini memang berat buat kamu,” Dia melirik Nadya sejenak, lalu kembali menatap langit yang penuh bintang, “tapi kamu nggak sendirian, Na. Aku ada di sini.” Nadya tersenyum kecil, tapi tak menjawab. Ia menundukan pandangan, menatap jemarinya sendiri

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Hukum Tabur Tuai

    Dua bulan kemudian …. Langit sore tampak mendung seakan turut merasakan kesunyian yang menggantung di antara suara langkah kaki Nadya dan Firman. Mereka berjalan perlahan di sebuah rumah sakit jiwa, tempat di mana Joyce sekarang tinggal—atau lebih tepatnya, terpaksa tinggal. Sejak ditangkap oleh pihak berwajib, wanita itu mengalami banyak sekali pukulan yang membuat fisik maupun mentalnya berantakan. Dinding putih yang kusam dan aroma obat yang menusuk memenuhi udara, menambah nuansa berat pada hati Nadya. “Silakan. Ini ruangan Ibu Joyce. Jam-jam seperti sekarang ini, Ibu Joyce biasanya duduk di teras belakang sambil menggendong ‘bayinya’,” ucap perawat sambil memberi tanda kutip saat mengucapkan kata bayi. Wanita cantik dengan jilbab pashmina warna mustard itu mengangguk, berterima kasih dan membiarkan perawat pergi. Kakinya bergerak perlahan, mendekat ke arah pintu belakang kamar Joyce. Mata Nadya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bangku panjang yang menghadap tam

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Joyce Ditangkap

    Firman melirik ke arah kaca spion, menatap cemas Nadya yang terbaring lemah di bangku belakang. Tubuh wanita itu tampak lunglai, wajahnya pucat pasi. Sesekali dia memanggil namanya, “Na... Nana, kamu bisa dengar aku?" Tidak ada respons. “Nadya!” seru Firman sambil membelokkan mobil ke arah kiri, menuju rumah sakit terdekat dari posisinya sekarang. Hanya gerakan pelan dari kelopak mata Nadya yang menunjukkan wanita itu tetap sadar, tapi cukup untuk membuat Firman sedikit lega. Tangan kirinya memegang kemudi erat, sementara tangan kanannya berkali-kali membunyikan klakson, menyingkirkan kendaraan lain yang menghalangi jalannya. “Tahan sebentar, Na. Kita hampir sampai!” Firman menggigit bibirnya dengan napas tak beraturan saat mendapati Nadya meringis menahan sakit. Matanya terpaku pada jalan di depan, tapi pikirannya sudah berlarian ke segala arah. Dia harus cepat sebelum wanita itu kehilangan banyak darah yang bisa membahayakan nyawa. Suara detak jantungnya sendiri terdengar

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Kesempatan Terakhir

    Firman melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang di jalan yang sepi. Udara di luar agak panas, tapi di dalam mobil, suasananya justru terasa dingin dan tegang. Sesekali, dia melirik ke arah Nadya yang duduk di sampingnya. Sejak mereka meninggalkan tontonan Reza yang ditangkap polisi, Nadya belum mengucapkan sepatah kata pun, matanya lurus menatap jalan di depan. Merasa tercekik, akhirnya Firman memecah kesunyian. "Na, kamu yakin mau menemui Joyce?" Tanpa menoleh, Nadya mengangguk pelan. "Yakin. Gimanapun juga, dia pernah ada di masa-masa tersulitku. Aku mau kasih dia kesempatan sekali lagi buat menyesali perbuatannya. Kalau dia ngaku salah, aku nggak akan perpanjang kesalahannya selama ini. Aku biarin dia pergi dengan uang hasil penjualan rumahku. Mungkin dia bisa memulai hidup yang lebih baik di tempat neneknya." Firman mendesah pelan, menggelengkan kepala dengan sedikit heran. "Kamu terlalu baik, Na. Joyce udah khianati kamu, tapi kamu masih bisa selembut itu." Nadya terkekeh

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status