"Kamu sengaja bawa ini dari kantor?" tanya Nadya saat aku meletakkan printer yang juga berfungsi untuk menggandakan dokumen sekaligus sebagai scanner."Sedia payung sebelum hujan, Na. Jaga-jaga, takut suamimu yang rese itu nggak izinin kita keluar bawa dokumennya."Nadya menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Dia beralih ke dapur, mengambil gelas dan sebotol air mineral dingin dari kulkas.Reza keluar dari kamar dan membawa map dengan wajah masam. Dia tidak berkomentar apa pun meski melihat Nadya melenggang bebas dari dapur. Tak ada saling sapa antara keduanya, hanya saling melirik sekilas.Tanganku terulur bersiap mengambil map dari tangan Reza, tapi pria itu justru menariknya lagi ke belakang."Tunggu," ucapnya dengan suara tercekat di tenggorokan. "Nadya, aku mau bicara empat mata sama kamu.""Nggak ada yang perlu dibicarakan. Kalau mau ngomong, ngomong aja di sini. Di depan pengacaraku," jawab wanita yang saat ini duduk di sofa, menyilangkan kaki sebelum menumpu lututnya di atas lut
"Aku antar kamu pulang sekarang," ucap Firman saat mobil yang dikendarainya meninggalkan kompleks perumahan Permata Kencana. Gerimis mulai membasuh jalanan, membuat wipper mobil mulai bekerja. Aku hanya meliriknya sekilas, tidak berniat menjawab walau sekadar satu kata.Beberapa kilometer berlalu dalam diam sampai terdengar suara Firman."Na, Reza orang yang seperti apa? Aku harus tahu karakternya buat menghadapi dia di persidangan nanti."Aku tak lantas menjawab, terpaku menatap keluar jendela mobil mengingat awal pertemuanku dengan Mas Reza, dua atau tiga bulan sejak kepergian Firman ke luar negeri. Kehidupanku sebagai mahasiswa terbilang biasa saja, benar-benar nggak ada yang menarik. Aku masih tenggelam dalam rasa kehilangan."Boleh duduk di sini?" tanya Mas Reza sambil membawa nampan berisi makanan, tersenyum padaku yang memang duduk sendirian di kantin.Alih-alih menjawab, aku justru mengedarkan pandangan ke seluruh tempat dan hampir tidak mendapati satu bangku pun yang kosong.
“Maksud Papa apa?” Aku mengernyit heran, menatap pria dengan uban yang mulai mengambil alih rambut hitamnya. Beliau selalu saja to the point seperti itu. Tanpa tedeng aling-aling, langsung mengungkapkan isi hatinya.“Sampai sekarang Firman belum menikah. Itu karena dia masih cinta sama kamu, Na. Papa juga bisa lihat kalau perasaan kamu masih ada buat dia.”“Pa!” Aku menyentak lengan Papa sambil berdiri. Ini pertama kalinya aku bersuara agak lantang di depan beliau.“Sayang ….” Mama langsung memeluk kedua lenganku, meredam rasa marahku karena Papa mengatur hidupku. “Tenang, ya. Maksud Papa nggak begitu, kok. Papa cuma mau—”“Nana tahu, Ma.” Aku menyela ucapan wanita yang sudah melahirkanku 27 tahun yang lalu. “Aku tahu Mama sama Papa cuma mau aku bahagia, tapi aku udah dewasa dan tahu apa yang harus aku lakukan ke depannya.”Papa terlihat mengembuskan napas kasar dari mulut melihat aku memberontak. Mama membawaku duduk di kursi yang lain, sedikit menjauh dari Papa. Segelas air putih se
"Mami hari ini pergi lagi?" tanya Bima begitu membuka mata dan langsung lari ke arah dapur, memeluk kakiku erat-erat."Nggak, Sayang. Hari ini Mami di rumah nemenin kamu.""Ciyus?" tanya sambil mengerucutkan bibir, membuat aku terpaksa mematikan kompor dan memusatkan perhatian pada jagoanku."Ciyus anet," jawabku ikut menirukan suaranya yang terdengarbegitu imut. Ah, kalau aku sih jatuhnya jadi sok imut."Sekarang Bima duduk di sini dulu, ya. Mami siapin sarapan buat kamu sama Oma dan Opa." Aku mendudukkan bocah tiga tahun itu di bangku, bersiap kembali ke dapur. Namun, tangan kecilnya menarik jari telunjukku."Ada apa, Sayang?"Mata bulat Bima menatapku, tapi nggak ada satu kata pun yang dia ucapkan."Sayangnya Mami mau ngomong apa?" Aku terpaksa berlutut di lantai, membuat posisiku sejajar dengan jagoan kecil yang benar-benar mengingatkanku pada Mas Reza. Wajah Bima copy-an pria itu 90 persen. Hanya bentuk matanya saja yang sedikit mirip denganku, tapi mulut, hidung, juga bentuk rah
Satu jam kemudian, aku membawa mobil milik Papa ke salah satu kafe yang disebutkan Joyce. Demi Mama dan seluruh nasihat baiknya, aku menahan rasa sakit hati dan memberikan muka untuk mantan sahabatku itu."Nadya," panggil Joyce sambil melambaikan tangan ke arahku, menyunggingkan senyum terbaik yang membuatku justru semakin kesal. Nggak ada raut bersalah sama sekali di wajahnya, yang tampak justru binar bahagia di matanya.Joyce berdiri, siap mencium pipi kanan dan kiri seperti saat kami biasa bertemu. Namun kali ini, aku menjauh dua langkah darinya. Rasanya jijik berpelukan dengan wanita yang sudah merebut suamiku."Waktuku nggak banyak. Mau ngomong apa?" tanyaku to the point, malas mendengar basa-basi yang akan keluar dari mulutnya."Nad, aku ham—""Aku tahu, tapi apa urusannya sama aku?" Aku menyela cepat, enggan mendengar kabar kehamilannya maupun pengaduan yang lain. Saat dia diusir dari rumah kemarin, aku sebenarnya kasihan, tapi bukan berarti aku peduli padanya. Dia sudah bermai
“Kamu siap, Na?” tanya Firman begitu aku keluar dan bertatapan langsung dengan wajahnya. Hari ini, jadwal sidang pertama perceraianku dengan Mas Reza. Aku sudah membulatkan tekad, jalan terbaik adalah sebuah perceraian. Aku dengar Joyce sudah memesan undangan pernikahan mereka.Lebih-lebih lagi, pengakuan Joyce kemarin benar-benar menyadarkanku bahwa rumah tanggaku dengan Mas Reza memang sudah salah sejak awal. Mau dipertahankan bagaimana pun, pasti akan berakhir buruk. Aku tidak akan menggadaikan masa depanku kepada pria yang nggak tahu diri itu."Siap nggak siap, ini yang harus aku hadapi. Ayo!"Aku menarik napas dalam setelah menjawab pertanyaan Firman. Meski perceraian adalah satu hal yang dibenci Tuhan, tapi ini yang terbaik menurutku. Tidak ada opsi lain kecuali melepaskan seorang pengkhianat.Firman mengangguk, membukakan pintu mobil untukku. Dia sempat berpamitan pada Mama di beranda, juga melambai pada Bima. Aroma parfum yang menguar dari tubuhnya sempat mampir ke hidungku, m
“Jangan mengada-ada kamu!” Suaraku sedikit meninggi, merasa tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapannya.“Aku punya sumber yang bisa dipercaya, Na. Kemampuan otak mantan suami kamu itu cethek. Selama ini dia banyak mengandalkan bantuanmu dan Joyce. Bahkan, skripsinya itu hasil kerja orang lain. Apa yang bisa diandalkan dari sarjana gadungan seperti dia?”Aku menggeleng beberapa kali, merasa heran sekaligus tidak habis pikir. Apa aku selama ini terlalu dibutakan oleh cinta sampai tidak bisa melihat kebusukan pria itu?“Aku bisa bantu kamu dapatkan semua harta itu, tapi kita harus main sedikit trik, Na. Kamu relakan semua harta itu jadi milik Reza, tanpa berkurang sedikit pun. Kita biarkan dia bahagia sebelum mengambil semuanya.”“Gimana caranya? Gimana kalau rencana kamu gagal?”Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku. Pengkhianatan dari suami dan sahabatku membuatku tidak mudah percaya kepada siapa saja, termasuk pria yang sempat menjadi orang pertama yang kupedulikan keadaa
Nadya duduk di tepi ranjang dengan tangan gemetar saat memegang surat cerai yang baru saja ia terima. Seharusnya hal itu membuatnya senang karena satu masalah sudah terselesaikan. Namun, ekspresi wajah wanita itu menunjukkan sebaliknya. Hatinya terluka.“Udah cukup sedihnya, Sayang.”Dengan gugup, Nadya menghapus air mata di pipinya. Mama Anita jelas sudah melihatnya.“Semua udah selesai. Jangan sesali yang udah terjadi.”Sebuah anggukan Nadya tunjukkan sebagai jawaban. Kedua tangannya terulur dan mendekap tubuh wanita yang telah melahirkannya 28 tahun yang lalu. Wanita yang pasti ikut merasa hancur seperti dirinya.Alih-alih reda, tangisnya semakin deras hingga sesenggukan. Tidak ada wanita yang ingin berpisah dengan pasangan yang bertahun-tahun menghuni hatinya. Bahkan jika mereka berpisah pun, kenangan yang telah mereka lalui bersama tidak akan pergi dengan mudahnya.Tangan Mama Anita mengelus puncak kepala Nadya saat putri kesayangannya itu mengurai pelukan mereka.“Coba mana sen
“Pak Reza, ditunggu Pak Wirawan di ruangannya. Sekarang.”Deg!Detak jantung Reza seolah terhenti detik itu juga. Dia bahkan terpaksa harus menelan ludah berkali-kali setelah panggilan telepon itu berakhir.“Pasti ini ada urusannya sama keputusan cerai kemarin.” Tangan Reza terkepal marah, tapi raut wajahnya lebih menunjukkan kekhawatiran.“Dahlah, bodo amat. Mau dipecat juga gak masalah. Toh, semua aset Nadya udah jadi milikku sekarang. Leha-leha setahun pun nggak akan habis.”Sambil mengendurkan dasi di lehernya, Reza menutup lembar kerja di depannya dan beranjak keluar dari ruangannya. Dia berjalan cepat menuju lift dan menekan tombolnya.Tak berapa lama, kotak besi itu terbuka. Hanya butuh hitungan detik, Reza sudah ada di lantai tiga dan langsung menuju ruangan ayah angkat mantan istrinya. Selama ini, dia diperlakukan dengan sangat baik oleh orang-orang karena Pak Wirawan menganggapnya sebagai menantu yang baik. Entah sekarang, setelah pengkhianatan yang telah dilakukannya.“Sela
Nadya duduk di tepi ranjang dengan tangan gemetar saat memegang surat cerai yang baru saja ia terima. Seharusnya hal itu membuatnya senang karena satu masalah sudah terselesaikan. Namun, ekspresi wajah wanita itu menunjukkan sebaliknya. Hatinya terluka.“Udah cukup sedihnya, Sayang.”Dengan gugup, Nadya menghapus air mata di pipinya. Mama Anita jelas sudah melihatnya.“Semua udah selesai. Jangan sesali yang udah terjadi.”Sebuah anggukan Nadya tunjukkan sebagai jawaban. Kedua tangannya terulur dan mendekap tubuh wanita yang telah melahirkannya 28 tahun yang lalu. Wanita yang pasti ikut merasa hancur seperti dirinya.Alih-alih reda, tangisnya semakin deras hingga sesenggukan. Tidak ada wanita yang ingin berpisah dengan pasangan yang bertahun-tahun menghuni hatinya. Bahkan jika mereka berpisah pun, kenangan yang telah mereka lalui bersama tidak akan pergi dengan mudahnya.Tangan Mama Anita mengelus puncak kepala Nadya saat putri kesayangannya itu mengurai pelukan mereka.“Coba mana sen
“Jangan mengada-ada kamu!” Suaraku sedikit meninggi, merasa tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapannya.“Aku punya sumber yang bisa dipercaya, Na. Kemampuan otak mantan suami kamu itu cethek. Selama ini dia banyak mengandalkan bantuanmu dan Joyce. Bahkan, skripsinya itu hasil kerja orang lain. Apa yang bisa diandalkan dari sarjana gadungan seperti dia?”Aku menggeleng beberapa kali, merasa heran sekaligus tidak habis pikir. Apa aku selama ini terlalu dibutakan oleh cinta sampai tidak bisa melihat kebusukan pria itu?“Aku bisa bantu kamu dapatkan semua harta itu, tapi kita harus main sedikit trik, Na. Kamu relakan semua harta itu jadi milik Reza, tanpa berkurang sedikit pun. Kita biarkan dia bahagia sebelum mengambil semuanya.”“Gimana caranya? Gimana kalau rencana kamu gagal?”Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku. Pengkhianatan dari suami dan sahabatku membuatku tidak mudah percaya kepada siapa saja, termasuk pria yang sempat menjadi orang pertama yang kupedulikan keadaa
“Kamu siap, Na?” tanya Firman begitu aku keluar dan bertatapan langsung dengan wajahnya. Hari ini, jadwal sidang pertama perceraianku dengan Mas Reza. Aku sudah membulatkan tekad, jalan terbaik adalah sebuah perceraian. Aku dengar Joyce sudah memesan undangan pernikahan mereka.Lebih-lebih lagi, pengakuan Joyce kemarin benar-benar menyadarkanku bahwa rumah tanggaku dengan Mas Reza memang sudah salah sejak awal. Mau dipertahankan bagaimana pun, pasti akan berakhir buruk. Aku tidak akan menggadaikan masa depanku kepada pria yang nggak tahu diri itu."Siap nggak siap, ini yang harus aku hadapi. Ayo!"Aku menarik napas dalam setelah menjawab pertanyaan Firman. Meski perceraian adalah satu hal yang dibenci Tuhan, tapi ini yang terbaik menurutku. Tidak ada opsi lain kecuali melepaskan seorang pengkhianat.Firman mengangguk, membukakan pintu mobil untukku. Dia sempat berpamitan pada Mama di beranda, juga melambai pada Bima. Aroma parfum yang menguar dari tubuhnya sempat mampir ke hidungku, m
Satu jam kemudian, aku membawa mobil milik Papa ke salah satu kafe yang disebutkan Joyce. Demi Mama dan seluruh nasihat baiknya, aku menahan rasa sakit hati dan memberikan muka untuk mantan sahabatku itu."Nadya," panggil Joyce sambil melambaikan tangan ke arahku, menyunggingkan senyum terbaik yang membuatku justru semakin kesal. Nggak ada raut bersalah sama sekali di wajahnya, yang tampak justru binar bahagia di matanya.Joyce berdiri, siap mencium pipi kanan dan kiri seperti saat kami biasa bertemu. Namun kali ini, aku menjauh dua langkah darinya. Rasanya jijik berpelukan dengan wanita yang sudah merebut suamiku."Waktuku nggak banyak. Mau ngomong apa?" tanyaku to the point, malas mendengar basa-basi yang akan keluar dari mulutnya."Nad, aku ham—""Aku tahu, tapi apa urusannya sama aku?" Aku menyela cepat, enggan mendengar kabar kehamilannya maupun pengaduan yang lain. Saat dia diusir dari rumah kemarin, aku sebenarnya kasihan, tapi bukan berarti aku peduli padanya. Dia sudah bermai
"Mami hari ini pergi lagi?" tanya Bima begitu membuka mata dan langsung lari ke arah dapur, memeluk kakiku erat-erat."Nggak, Sayang. Hari ini Mami di rumah nemenin kamu.""Ciyus?" tanya sambil mengerucutkan bibir, membuat aku terpaksa mematikan kompor dan memusatkan perhatian pada jagoanku."Ciyus anet," jawabku ikut menirukan suaranya yang terdengarbegitu imut. Ah, kalau aku sih jatuhnya jadi sok imut."Sekarang Bima duduk di sini dulu, ya. Mami siapin sarapan buat kamu sama Oma dan Opa." Aku mendudukkan bocah tiga tahun itu di bangku, bersiap kembali ke dapur. Namun, tangan kecilnya menarik jari telunjukku."Ada apa, Sayang?"Mata bulat Bima menatapku, tapi nggak ada satu kata pun yang dia ucapkan."Sayangnya Mami mau ngomong apa?" Aku terpaksa berlutut di lantai, membuat posisiku sejajar dengan jagoan kecil yang benar-benar mengingatkanku pada Mas Reza. Wajah Bima copy-an pria itu 90 persen. Hanya bentuk matanya saja yang sedikit mirip denganku, tapi mulut, hidung, juga bentuk rah
“Maksud Papa apa?” Aku mengernyit heran, menatap pria dengan uban yang mulai mengambil alih rambut hitamnya. Beliau selalu saja to the point seperti itu. Tanpa tedeng aling-aling, langsung mengungkapkan isi hatinya.“Sampai sekarang Firman belum menikah. Itu karena dia masih cinta sama kamu, Na. Papa juga bisa lihat kalau perasaan kamu masih ada buat dia.”“Pa!” Aku menyentak lengan Papa sambil berdiri. Ini pertama kalinya aku bersuara agak lantang di depan beliau.“Sayang ….” Mama langsung memeluk kedua lenganku, meredam rasa marahku karena Papa mengatur hidupku. “Tenang, ya. Maksud Papa nggak begitu, kok. Papa cuma mau—”“Nana tahu, Ma.” Aku menyela ucapan wanita yang sudah melahirkanku 27 tahun yang lalu. “Aku tahu Mama sama Papa cuma mau aku bahagia, tapi aku udah dewasa dan tahu apa yang harus aku lakukan ke depannya.”Papa terlihat mengembuskan napas kasar dari mulut melihat aku memberontak. Mama membawaku duduk di kursi yang lain, sedikit menjauh dari Papa. Segelas air putih se
"Aku antar kamu pulang sekarang," ucap Firman saat mobil yang dikendarainya meninggalkan kompleks perumahan Permata Kencana. Gerimis mulai membasuh jalanan, membuat wipper mobil mulai bekerja. Aku hanya meliriknya sekilas, tidak berniat menjawab walau sekadar satu kata.Beberapa kilometer berlalu dalam diam sampai terdengar suara Firman."Na, Reza orang yang seperti apa? Aku harus tahu karakternya buat menghadapi dia di persidangan nanti."Aku tak lantas menjawab, terpaku menatap keluar jendela mobil mengingat awal pertemuanku dengan Mas Reza, dua atau tiga bulan sejak kepergian Firman ke luar negeri. Kehidupanku sebagai mahasiswa terbilang biasa saja, benar-benar nggak ada yang menarik. Aku masih tenggelam dalam rasa kehilangan."Boleh duduk di sini?" tanya Mas Reza sambil membawa nampan berisi makanan, tersenyum padaku yang memang duduk sendirian di kantin.Alih-alih menjawab, aku justru mengedarkan pandangan ke seluruh tempat dan hampir tidak mendapati satu bangku pun yang kosong.
"Kamu sengaja bawa ini dari kantor?" tanya Nadya saat aku meletakkan printer yang juga berfungsi untuk menggandakan dokumen sekaligus sebagai scanner."Sedia payung sebelum hujan, Na. Jaga-jaga, takut suamimu yang rese itu nggak izinin kita keluar bawa dokumennya."Nadya menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Dia beralih ke dapur, mengambil gelas dan sebotol air mineral dingin dari kulkas.Reza keluar dari kamar dan membawa map dengan wajah masam. Dia tidak berkomentar apa pun meski melihat Nadya melenggang bebas dari dapur. Tak ada saling sapa antara keduanya, hanya saling melirik sekilas.Tanganku terulur bersiap mengambil map dari tangan Reza, tapi pria itu justru menariknya lagi ke belakang."Tunggu," ucapnya dengan suara tercekat di tenggorokan. "Nadya, aku mau bicara empat mata sama kamu.""Nggak ada yang perlu dibicarakan. Kalau mau ngomong, ngomong aja di sini. Di depan pengacaraku," jawab wanita yang saat ini duduk di sofa, menyilangkan kaki sebelum menumpu lututnya di atas lut