“Kamu siap, Na?” tanya Firman begitu aku keluar dan bertatapan langsung dengan wajahnya. Hari ini, jadwal sidang pertama perceraianku dengan Mas Reza. Aku sudah membulatkan tekad, jalan terbaik adalah sebuah perceraian. Aku dengar Joyce sudah memesan undangan pernikahan mereka.Lebih-lebih lagi, pengakuan Joyce kemarin benar-benar menyadarkanku bahwa rumah tanggaku dengan Mas Reza memang sudah salah sejak awal. Mau dipertahankan bagaimana pun, pasti akan berakhir buruk. Aku tidak akan menggadaikan masa depanku kepada pria yang nggak tahu diri itu."Siap nggak siap, ini yang harus aku hadapi. Ayo!"Aku menarik napas dalam setelah menjawab pertanyaan Firman. Meski perceraian adalah satu hal yang dibenci Tuhan, tapi ini yang terbaik menurutku. Tidak ada opsi lain kecuali melepaskan seorang pengkhianat.Firman mengangguk, membukakan pintu mobil untukku. Dia sempat berpamitan pada Mama di beranda, juga melambai pada Bima. Aroma parfum yang menguar dari tubuhnya sempat mampir ke hidungku, m
“Jangan mengada-ada kamu!” Suaraku sedikit meninggi, merasa tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapannya.“Aku punya sumber yang bisa dipercaya, Na. Kemampuan otak mantan suami kamu itu cethek. Selama ini dia banyak mengandalkan bantuanmu dan Joyce. Bahkan, skripsinya itu hasil kerja orang lain. Apa yang bisa diandalkan dari sarjana gadungan seperti dia?”Aku menggeleng beberapa kali, merasa heran sekaligus tidak habis pikir. Apa aku selama ini terlalu dibutakan oleh cinta sampai tidak bisa melihat kebusukan pria itu?“Aku bisa bantu kamu dapatkan semua harta itu, tapi kita harus main sedikit trik, Na. Kamu relakan semua harta itu jadi milik Reza, tanpa berkurang sedikit pun. Kita biarkan dia bahagia sebelum mengambil semuanya.”“Gimana caranya? Gimana kalau rencana kamu gagal?”Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku. Pengkhianatan dari suami dan sahabatku membuatku tidak mudah percaya kepada siapa saja, termasuk pria yang sempat menjadi orang pertama yang kupedulikan keadaa
Nadya duduk di tepi ranjang dengan tangan gemetar saat memegang surat cerai yang baru saja ia terima. Seharusnya hal itu membuatnya senang karena satu masalah sudah terselesaikan. Namun, ekspresi wajah wanita itu menunjukkan sebaliknya. Hatinya terluka.“Udah cukup sedihnya, Sayang.”Dengan gugup, Nadya menghapus air mata di pipinya. Mama Anita jelas sudah melihatnya.“Semua udah selesai. Jangan sesali yang udah terjadi.”Sebuah anggukan Nadya tunjukkan sebagai jawaban. Kedua tangannya terulur dan mendekap tubuh wanita yang telah melahirkannya 28 tahun yang lalu. Wanita yang pasti ikut merasa hancur seperti dirinya.Alih-alih reda, tangisnya semakin deras hingga sesenggukan. Tidak ada wanita yang ingin berpisah dengan pasangan yang bertahun-tahun menghuni hatinya. Bahkan jika mereka berpisah pun, kenangan yang telah mereka lalui bersama tidak akan pergi dengan mudahnya.Tangan Mama Anita mengelus puncak kepala Nadya saat putri kesayangannya itu mengurai pelukan mereka.“Coba mana sen
“Pak Reza, ditunggu Pak Wirawan di ruangannya. Sekarang.”Deg!Detak jantung Reza seolah terhenti detik itu juga. Dia bahkan terpaksa harus menelan ludah berkali-kali setelah panggilan telepon itu berakhir.“Pasti ini ada urusannya sama keputusan cerai kemarin.” Tangan Reza terkepal marah, tapi raut wajahnya lebih menunjukkan kekhawatiran.“Dahlah, bodo amat. Mau dipecat juga gak masalah. Toh, semua aset Nadya udah jadi milikku sekarang. Leha-leha setahun pun nggak akan habis.”Sambil mengendurkan dasi di lehernya, Reza menutup lembar kerja di depannya dan beranjak keluar dari ruangannya. Dia berjalan cepat menuju lift dan menekan tombolnya.Tak berapa lama, kotak besi itu terbuka. Hanya butuh hitungan detik, Reza sudah ada di lantai tiga dan langsung menuju ruangan ayah angkat mantan istrinya. Selama ini, dia diperlakukan dengan sangat baik oleh orang-orang karena Pak Wirawan menganggapnya sebagai menantu yang baik. Entah sekarang, setelah pengkhianatan yang telah dilakukannya.“Sela
"Pasti Mas Reza suka sama kejutanku."Tepat pukul lima sore, aku keluar dari mobil. Aku sengaja meninggalkan kendaraan roda empat itu di depan gang, lanjut berjalan kaki menuju rumah yang masih berjarak 200 meter di depan sana.Satu tanganku membawa kotak berukuran sedang berisi kue ulang tahun untuk Mas Reza, sedang tangan yang lain membawa tiket liburan ke Bali. Aku tidak sabar memberikan kejutan ini untuknya. Dia pasti senang dan langsung sembuh dari sakitnya.Ya, sebenarnya tadi pagi Mas Reza agak demam. Dia izin tidak masuk kerja dan istirahat total di rumah. Aku yang kebetulan dapat banyak pesanan katering hari ini, terpaksa tidak bisa menemaninya. Aku minta maaf dan baru pulang jam tujuh malam. Dia tidak keberatan sama sekali, memintaku tidak perlu khawatir karena dia bisa mengurus dirinya sendiri.Langkah kakiku semakin dekat menuju gerbang, melewatinya tanpa suara. Seperti seorang pencuri, aku bahkan berhati-hati menutupnya. Semua demi kejutan yang sudah aku persiapkan jauh-j
Kudorong pintu di depanku sekuat tenaga, membuat dua orang di depan sana terperanjat seketika. Mereka saling tatap, tidak menyangka akan tertangk4p basah seperti sekarang."Nadya?" Joyce, yang merupakan sahabatku sejak kecil, memanggil namaku sambil menjauh dari ranjank dengan wajah pucat. "Nadya! Apa-apaan kamu?" Mas Reza langsung berdiri, serabutan memakai kaus hitam dan celana pendek. Suaranya tercekat di tenggorokan, menatapku seperti melihat hantu. Dia sadar, kamera ponselku merekam perselingkuhan mereka."Nadya, ini nggak seperti yang kamu lihat." Joyce menatapku sambil berurai air mata. "Aku sama Mas Reza cuma—""Diam!" Aku menyentak galak. Dadaku terasa semakin sesak. Sudah ketahuan, masih saja coba berkilah. "Aku nggak butuh penjelasan wanita murahan kayak kamu!"Kemarahanku tak tertahankan membuat tanganku sampai bergetar. Rekaman video yang kuambil sedikit blur. Yang penting aku punya bukti.Mas Reza mendekatiku dengan wajah merah padam."Turunin ponsel kamu!""Nggak!"Aku
"Mulai sekarang kita nggak ada ikatan. Kamu bukan lagi istriku dan aku bukan suami kamu." Aku memaksakan berdiri dengan tangan gemetar setelah menyimpan ponsel di saku. Kakiku mundur dua langkah sambil menatap Mas Reza yang acuh tak acuh. Tidak ada rasa bersalah, juga tak ada lagi cinta yang tersisa di matanya untukku."Mas, kamu jangan bercanda. Kalimat itu nggak bisa diucapkan sembarangan. Sekali kamu mengatakannya, aku sudah haram kamu sentuh."Mas Reza mendecih sambil membuang muka. Tampaknya dia begitu jijik padaku. Bukankah seharusnya aku yang bersikap demikian? Kenapa jadi terbalik sekarang?"Haram? Ya, aku memang nggak akan menyentuhmu lagi, Nadya binti Bagaskara. Besok aku sendiri yang akan mendaftarkan perceraian kita. Kamu tunggu aja panggilan buat sidang. Secepatnya!""Mas, jangan ambil keputusan selagi kamu emosi. Pernikahan kita, ada Bima di dalamnya. Kamu mau dia jadi korban broken home yang kehilangan kasih sayang orang tua?""Dia nggak akan kehilangan kasih sayang. A
Seharusnya di saat seperti ini aku semakin menyayangi putraku, tapi nyatanya aku malah seperti kehilangan jati diri sebagai seorang ibu. Wajah anak itu sangat mirip dengan ayahnya. Aku masih sakit hati mengingat pengkhianatan Mas Reza.“Ayo, Sayang.” Mama menepuk-nepuk punggung Bima, membawanya ke dalam kamar.Dari arah lain, Papa mendekat sambil membenahi kacamata tebal yang bertengger di atas hidung. Raut wajahnya keruh, jelas menunjukkan kalau beliau tidak baik-baik saja. Putri semata wayangnya sudah tersakiti, bahkan dicampakkan begitu saja oleh suaminya. Orang tua mana yang tega melihat kesayangannya menderita?Cukup lama kami berdiam diri. Papa menatap televisi layar datar di depan kami tanpa ekspresi. Tayangan kartun anak-anak dengan warna mencolok, yang semula ditonton oleh Bima, sama sekali gagal menarik perhatian. Rahangnya mengerat, berusaha mengendalikan emosi. Aku yakin Mama sudah menceritakan masalahku sampai membuat Papa pulang segera dari Bandung.Aku membenahi posisi
“Pak Reza, ditunggu Pak Wirawan di ruangannya. Sekarang.”Deg!Detak jantung Reza seolah terhenti detik itu juga. Dia bahkan terpaksa harus menelan ludah berkali-kali setelah panggilan telepon itu berakhir.“Pasti ini ada urusannya sama keputusan cerai kemarin.” Tangan Reza terkepal marah, tapi raut wajahnya lebih menunjukkan kekhawatiran.“Dahlah, bodo amat. Mau dipecat juga gak masalah. Toh, semua aset Nadya udah jadi milikku sekarang. Leha-leha setahun pun nggak akan habis.”Sambil mengendurkan dasi di lehernya, Reza menutup lembar kerja di depannya dan beranjak keluar dari ruangannya. Dia berjalan cepat menuju lift dan menekan tombolnya.Tak berapa lama, kotak besi itu terbuka. Hanya butuh hitungan detik, Reza sudah ada di lantai tiga dan langsung menuju ruangan ayah angkat mantan istrinya. Selama ini, dia diperlakukan dengan sangat baik oleh orang-orang karena Pak Wirawan menganggapnya sebagai menantu yang baik. Entah sekarang, setelah pengkhianatan yang telah dilakukannya.“Sela
Nadya duduk di tepi ranjang dengan tangan gemetar saat memegang surat cerai yang baru saja ia terima. Seharusnya hal itu membuatnya senang karena satu masalah sudah terselesaikan. Namun, ekspresi wajah wanita itu menunjukkan sebaliknya. Hatinya terluka.“Udah cukup sedihnya, Sayang.”Dengan gugup, Nadya menghapus air mata di pipinya. Mama Anita jelas sudah melihatnya.“Semua udah selesai. Jangan sesali yang udah terjadi.”Sebuah anggukan Nadya tunjukkan sebagai jawaban. Kedua tangannya terulur dan mendekap tubuh wanita yang telah melahirkannya 28 tahun yang lalu. Wanita yang pasti ikut merasa hancur seperti dirinya.Alih-alih reda, tangisnya semakin deras hingga sesenggukan. Tidak ada wanita yang ingin berpisah dengan pasangan yang bertahun-tahun menghuni hatinya. Bahkan jika mereka berpisah pun, kenangan yang telah mereka lalui bersama tidak akan pergi dengan mudahnya.Tangan Mama Anita mengelus puncak kepala Nadya saat putri kesayangannya itu mengurai pelukan mereka.“Coba mana sen
“Jangan mengada-ada kamu!” Suaraku sedikit meninggi, merasa tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapannya.“Aku punya sumber yang bisa dipercaya, Na. Kemampuan otak mantan suami kamu itu cethek. Selama ini dia banyak mengandalkan bantuanmu dan Joyce. Bahkan, skripsinya itu hasil kerja orang lain. Apa yang bisa diandalkan dari sarjana gadungan seperti dia?”Aku menggeleng beberapa kali, merasa heran sekaligus tidak habis pikir. Apa aku selama ini terlalu dibutakan oleh cinta sampai tidak bisa melihat kebusukan pria itu?“Aku bisa bantu kamu dapatkan semua harta itu, tapi kita harus main sedikit trik, Na. Kamu relakan semua harta itu jadi milik Reza, tanpa berkurang sedikit pun. Kita biarkan dia bahagia sebelum mengambil semuanya.”“Gimana caranya? Gimana kalau rencana kamu gagal?”Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku. Pengkhianatan dari suami dan sahabatku membuatku tidak mudah percaya kepada siapa saja, termasuk pria yang sempat menjadi orang pertama yang kupedulikan keadaa
“Kamu siap, Na?” tanya Firman begitu aku keluar dan bertatapan langsung dengan wajahnya. Hari ini, jadwal sidang pertama perceraianku dengan Mas Reza. Aku sudah membulatkan tekad, jalan terbaik adalah sebuah perceraian. Aku dengar Joyce sudah memesan undangan pernikahan mereka.Lebih-lebih lagi, pengakuan Joyce kemarin benar-benar menyadarkanku bahwa rumah tanggaku dengan Mas Reza memang sudah salah sejak awal. Mau dipertahankan bagaimana pun, pasti akan berakhir buruk. Aku tidak akan menggadaikan masa depanku kepada pria yang nggak tahu diri itu."Siap nggak siap, ini yang harus aku hadapi. Ayo!"Aku menarik napas dalam setelah menjawab pertanyaan Firman. Meski perceraian adalah satu hal yang dibenci Tuhan, tapi ini yang terbaik menurutku. Tidak ada opsi lain kecuali melepaskan seorang pengkhianat.Firman mengangguk, membukakan pintu mobil untukku. Dia sempat berpamitan pada Mama di beranda, juga melambai pada Bima. Aroma parfum yang menguar dari tubuhnya sempat mampir ke hidungku, m
Satu jam kemudian, aku membawa mobil milik Papa ke salah satu kafe yang disebutkan Joyce. Demi Mama dan seluruh nasihat baiknya, aku menahan rasa sakit hati dan memberikan muka untuk mantan sahabatku itu."Nadya," panggil Joyce sambil melambaikan tangan ke arahku, menyunggingkan senyum terbaik yang membuatku justru semakin kesal. Nggak ada raut bersalah sama sekali di wajahnya, yang tampak justru binar bahagia di matanya.Joyce berdiri, siap mencium pipi kanan dan kiri seperti saat kami biasa bertemu. Namun kali ini, aku menjauh dua langkah darinya. Rasanya jijik berpelukan dengan wanita yang sudah merebut suamiku."Waktuku nggak banyak. Mau ngomong apa?" tanyaku to the point, malas mendengar basa-basi yang akan keluar dari mulutnya."Nad, aku ham—""Aku tahu, tapi apa urusannya sama aku?" Aku menyela cepat, enggan mendengar kabar kehamilannya maupun pengaduan yang lain. Saat dia diusir dari rumah kemarin, aku sebenarnya kasihan, tapi bukan berarti aku peduli padanya. Dia sudah bermai
"Mami hari ini pergi lagi?" tanya Bima begitu membuka mata dan langsung lari ke arah dapur, memeluk kakiku erat-erat."Nggak, Sayang. Hari ini Mami di rumah nemenin kamu.""Ciyus?" tanya sambil mengerucutkan bibir, membuat aku terpaksa mematikan kompor dan memusatkan perhatian pada jagoanku."Ciyus anet," jawabku ikut menirukan suaranya yang terdengarbegitu imut. Ah, kalau aku sih jatuhnya jadi sok imut."Sekarang Bima duduk di sini dulu, ya. Mami siapin sarapan buat kamu sama Oma dan Opa." Aku mendudukkan bocah tiga tahun itu di bangku, bersiap kembali ke dapur. Namun, tangan kecilnya menarik jari telunjukku."Ada apa, Sayang?"Mata bulat Bima menatapku, tapi nggak ada satu kata pun yang dia ucapkan."Sayangnya Mami mau ngomong apa?" Aku terpaksa berlutut di lantai, membuat posisiku sejajar dengan jagoan kecil yang benar-benar mengingatkanku pada Mas Reza. Wajah Bima copy-an pria itu 90 persen. Hanya bentuk matanya saja yang sedikit mirip denganku, tapi mulut, hidung, juga bentuk rah
“Maksud Papa apa?” Aku mengernyit heran, menatap pria dengan uban yang mulai mengambil alih rambut hitamnya. Beliau selalu saja to the point seperti itu. Tanpa tedeng aling-aling, langsung mengungkapkan isi hatinya.“Sampai sekarang Firman belum menikah. Itu karena dia masih cinta sama kamu, Na. Papa juga bisa lihat kalau perasaan kamu masih ada buat dia.”“Pa!” Aku menyentak lengan Papa sambil berdiri. Ini pertama kalinya aku bersuara agak lantang di depan beliau.“Sayang ….” Mama langsung memeluk kedua lenganku, meredam rasa marahku karena Papa mengatur hidupku. “Tenang, ya. Maksud Papa nggak begitu, kok. Papa cuma mau—”“Nana tahu, Ma.” Aku menyela ucapan wanita yang sudah melahirkanku 27 tahun yang lalu. “Aku tahu Mama sama Papa cuma mau aku bahagia, tapi aku udah dewasa dan tahu apa yang harus aku lakukan ke depannya.”Papa terlihat mengembuskan napas kasar dari mulut melihat aku memberontak. Mama membawaku duduk di kursi yang lain, sedikit menjauh dari Papa. Segelas air putih se
"Aku antar kamu pulang sekarang," ucap Firman saat mobil yang dikendarainya meninggalkan kompleks perumahan Permata Kencana. Gerimis mulai membasuh jalanan, membuat wipper mobil mulai bekerja. Aku hanya meliriknya sekilas, tidak berniat menjawab walau sekadar satu kata.Beberapa kilometer berlalu dalam diam sampai terdengar suara Firman."Na, Reza orang yang seperti apa? Aku harus tahu karakternya buat menghadapi dia di persidangan nanti."Aku tak lantas menjawab, terpaku menatap keluar jendela mobil mengingat awal pertemuanku dengan Mas Reza, dua atau tiga bulan sejak kepergian Firman ke luar negeri. Kehidupanku sebagai mahasiswa terbilang biasa saja, benar-benar nggak ada yang menarik. Aku masih tenggelam dalam rasa kehilangan."Boleh duduk di sini?" tanya Mas Reza sambil membawa nampan berisi makanan, tersenyum padaku yang memang duduk sendirian di kantin.Alih-alih menjawab, aku justru mengedarkan pandangan ke seluruh tempat dan hampir tidak mendapati satu bangku pun yang kosong.
"Kamu sengaja bawa ini dari kantor?" tanya Nadya saat aku meletakkan printer yang juga berfungsi untuk menggandakan dokumen sekaligus sebagai scanner."Sedia payung sebelum hujan, Na. Jaga-jaga, takut suamimu yang rese itu nggak izinin kita keluar bawa dokumennya."Nadya menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Dia beralih ke dapur, mengambil gelas dan sebotol air mineral dingin dari kulkas.Reza keluar dari kamar dan membawa map dengan wajah masam. Dia tidak berkomentar apa pun meski melihat Nadya melenggang bebas dari dapur. Tak ada saling sapa antara keduanya, hanya saling melirik sekilas.Tanganku terulur bersiap mengambil map dari tangan Reza, tapi pria itu justru menariknya lagi ke belakang."Tunggu," ucapnya dengan suara tercekat di tenggorokan. "Nadya, aku mau bicara empat mata sama kamu.""Nggak ada yang perlu dibicarakan. Kalau mau ngomong, ngomong aja di sini. Di depan pengacaraku," jawab wanita yang saat ini duduk di sofa, menyilangkan kaki sebelum menumpu lututnya di atas lut