“Joy, dasi krem yang semalam aku minta kamu siapin di mana?” Suara Reza yang cukup memekakkan telinga membuat Joyce terpaksa membuka mata. Padahal, baru satu-dua jam lalu dirinya bisa terlelap. Sejak semalam Reza menolak untuk menyentuhnya dengan alasan takut terlambat bangun esok paginya, Joyce tidak bisa tidur. Berbagai pikiran buruk memenuhi kepala. “Joy! Denger nggak, sih?! Di mana dasinya?” Joyce menyingkirkan selimut dengan kasar, tak peduli kain tebal berbulu itu terhempas ke lantai. “Pakai dasi yang lain aja kenapa, sih?” balasnya jengkel sambil membuka laci. Dengan acuh tak acuh, dia meletakkan kain kecil memanjang warna biru ke atas nakas. “Aku bilang krem, bukan biru. Kamu buta warna?!” Joyce yang sudah terlanjur malas dengan sikap uring-uringan Reza, memilih melenggang ke kamar mandi. “Adanya itu. Cari aja sendiri kalau ngeyel mau yang krem.” “Joy, kamu itu wajib urusin aku. Nadya nggak pernah absen pakein dasi setiap pagi sesibuk apa pun dia.” “Ya udah,
“Semua sudah kami atur di Bandung. Jika ada hal-hal yang membuat Pak Reza tidak nyaman, silakan langsung sampaikan ke saya.” “Terima kasih banyak, Bu Mita atas kesediaannya. Kalau begitu, saya tidak akan sungkan menghubungi Ibu.” Dengan anggun, Bu Mita mengangguk sambil tersenyum. Joyce yang sudah sampai di ambang ruang tamu, jelas melihat interaksi antara Reza dengan sekretaris berusia 35 tahunan itu. Seketika, seolah ada jarum tajam yang menusuk jantung Joyce. Hatinya panas melihat Reza begitu ceria menyambut tamunya, berbanding terbalik dengan wajah masam yang ditunjukkan pagi ini. “Siapa sih, dia? Ngapain pagi-pagi ke sini?” Joyce yang belum mandi dan masih mengenakan pakaian tidur lusuh langsung merengut. Hatinya mencelos, kecemburuan langsung menguasai dirinya. “Kita bisa berangkat sekarang, Pak, atau ada yang masih harus Anda persiapkan?” Reza yang sudah siap sejak tadi, gegas berdiri sambil membenahi jas yang dipakainya. “Mas!” panggil Joyce sambil melemparkan
"Selamat pagi, Bu. Saya diminta Pak Reza untuk pasang CCTV di rumah ini," ujar pria yang membawa obeng di tangan dengan santai. Joyce mengerjap, menatap mobil yang terparkir di luar pagar. Nama sebuah perusahaan IT terkenal di ibu kota terbaca dengan jelas. “Benar ini rumah Pak Reza Handika? Saya petugas yang akan memasang CCTV di rumah ini.” "CCTV?!” Joyce tersadar. Mata sipitnya melotot, amarahnya meledak setelah menyadari situasi yang terjadi. Dua tamu tak diundangnya itu bukan orang jahat seperti dugaan awal. “Benar. Kemarin Pak Reza sudah datang ke kantor kami dan memesan pemasangan lima CCTV di rumah ini.” “Hah?! Lima?” Joyce menatap sengit keduanya. “Buat apa? Mas Reza nggak bilang itu. Kalian jangan mengada-ada, ya.” “Beliau mengatakan ini demi keamanan Anda.” “Nggak mungkin. Dia pasti curiga aku selingkuh selagi dia nggak ada. Kalian pergi sana. Aku nggak butuh CCTV.” Pria berkumis tebal dengan badan tegap itu tak bergeming, hanya melirik rekan kerjanya yang ha
“Ma… jangan mikir yang aneh-aneh antara aku sama Firman. Masih masa iddah ini, Ma.” Mama Anita terkekeh pelan. “Nggak ada salahnya, kan, berterima kasih? Lagipula, siapa tahu kamu bisa dapat pelanggan baru di sana. Nggak ada niatan lain, kok.” Nadya tak menyangkal ucapan mamanya. Meski terasa jelas niatan tersembunyi wanita itu, Nadya berpura-pura tidak tahu. “Nanti sekalian ajak Bima ke sana. Lego-lego itu kan pemberian Firman. Bima belum secara langsung bilang makasih karena kemarin lagi tidur. Sekalian aja.” Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Nadya mengalah. Dia menyiapkan nasi bakar dengan banyak kemangi seperti favorit Firman sejak dulu. Dia juga membawa Bima menuju firma hukum milik Firman. Ketika Nadya tiba di kantor, Firman—yang sudah mendapat bocoran dari Mama Anita—menyambutnya dengan senyum lebar. "Makasih, Na udah repot-repot datang pake bawain makanan sekalian. Besok-besok lagi, ya,” selorohnya yang hanya dijawab senyum canggung oleh Nadya. Satu staf res
Tatapan Firman terus tertuju pada Nadya yang masih bersimpuh di lantai untuk berdoa setelah sholat. Hatinya mencelos, merasa bersalah karena sudah ‘mengantarkan’ wanita itu bertemu dengan pria yang salah. Sorot matanya penuh penyesalan. “Ini taruh di mana? Langsung kembalikan ke resepsionis di bawah?” Ekspresi wajah Firman seketika berubah, menyembunyikan perasaan pribadinya begitu Nadya berbalik. “Taruh aja di atas nakas sebelah ranjang tempat tidur Bima. Itu punya kantor, siapa pun boleh pakai. Mungkin besok kamu nganter makanan lagi, sekalian sholat di sini. Aku seneng lihatnya.” Nadya tampak berpikir, mencerna ucapan Firman. “Kenapa? Jangan pasang wajah imut itu atau aku bakal jatuh cinta sekali lagi dan makin ngebet ngejar kamu.” Deg! Mata indah Nadya sedikit memelotot, terkesiap dengan ucapan Firman yang terlalu blak-blakan. Pria itu akan mengejarnya? Melihat ekspresi terkejut di wajah Nadya, Firman tak bisa menyembunyikan tawa. “Nana, sejak kapan kemampuan otak
Firman duduk di tepi ranjang sambil menatap Nadya yang pingsan dan Bima yang masih terlelap. Dia tidak bisa langsung melarikan wanita itu ke klinik ataupun rumah sakit sebelum pegawai resepsionis tiba. Terlebih ini masih jam istirahat siang. "Na ... Nana, kamu bisa dengar aku?" tanya pria itu sambil mendekatkan aroma terapi ke hidung Nadya, tapi tidak ada respons apa pun. Kepanikan semakin lekat ketika menatap wajah Nadya yang semakin pucat. "Ya Allah, tolong lindungi dia," bisiknya lirih sambil menghubungi nomor pribadi Mira, resepsionis kepercayaannya. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Begitu Mira sampai di ruang kerjanya, Firman langsung memberi perintah agar gadis itu menjaga Bima dan mengurusnya sampai Mama Anita datang menjemput. Tanpa pikir panjang, Firman menggendong Nadya dan bergegas menuju pintu depan, berusaha untuk tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. Rasa takut dan gugup tak tertahankan. "Tolong bertahanlah, Na. Kita ke rumah sakit sekarang." Denga
Kehamilan Nadya bisa berarti penghalang untuknya. Tidak hanya menunggu masa idah selama tiga bulan, dia harus bersabar hingga wanita itu melahirkan. Pun setelah itu, tidak ada jaminan Nadya mau menerimanya. Beberapa wanita memilih menghabiskan energinya untuk fokus mengurus anak-anak dan tidak menikah lagi hingga akhir hayatnya. “Kenapa dia bisa hamil?” bisik Firman lirih, bertanya pada dirinya sendiri. Namun, dokter mendengarnya. Sebagai seorang wanita, sisi keibuannya tersentil dan mengira Firman tidak menginginkan kehamilan kekasihnya. “Pertanyaan macam apa itu? Anda tidak ingin bertanggung jawab atas kehamilan calon istri Anda?” “Dokter, sebenarnya—” “Saya tahu tidak seharusnya ikut campur urusan pribadi pasien, tapi mendengar nada putus asa calon menantu Anda, saya ingin marah. Betapa banyak laki-laki yang tega menelantarkan darah dagingnya, membuang wanita setelah menikmatinya, bahkan beberapa tega melenyapkannya. Habis manis sepah dibuang.” Firman seperti orang linglung,
“Dengan Ibu Joyce?” tanya seorang pemuda dua puluhan tahun yang mengenakan jaket hijau bertuliskan salah satu perusahaan pesan antar makanan. “Lama banget, sih? Nggak becus banget kerja!” “Maaf, Bu.” “Iba ibu. Kapan aku nikah sama bapak kamu?!” Senyum getir terukir di wajah driver muda itu. “Udah laper banget, malah muter-muter nggak jelas.” Omelan Joyce terasa makin tajam. “Ah, itu tadi saya memastikan lagi ke pos satpam karena Ibu nggak angkat telepon saya.” “Bodoh! Kamu nggak bisa lihat alamatnya udah bener?” “Maaf, Bu. Saya agak ragu karena katanya di sini nggak ada yang namanya Bu Joyce. Penghuni rumah ini seharusnya Bu Nad—.” “Nadya Nadya Nadya terus! Dia nggak ada. Udah mati!” ketus Joyce dengan wajah merah melampiaskan amarah. Emosinya semakin memuncak mendengar nama itu disebut. “Maaf saya salah. Ini … ini pesanan Anda.” Tangan Joyce menggapai kantong kertas makanan dengan kasar, hampir merobeknya. “Kok dingin?” protesnya lebih lanjut. Wajahnya semakin tertekuk seb
Alya berdiri di dalam bus TransJakarta dengan tangan kanan memegang erat gantungan di atas kepala. Setiap yang Firman katakan ke Nadya, seolah menikam jantungnya."Selama ini aku menempel dengan Mas Dani tanpa peduli perasaannya. Aku bahkan tinggal di apartemennya dengan nggak tahu malu," bisik Alya tanpa suara, menatap keluar jendela yang padat merayap oleh kendaraan. Jalanan kota Jakarta yang semrawut menambah rumit isi kepala."Sini duduk, Nak. Ada kursi kosong."Alya sedikit terhenyak saat seorang wanita berjilbab memegang lengannya. Dia menunjuk tempat duduk yang baru saja ditinggalkan oleh penumpang yang bersiap turun di halte berikutnya."Mau berangkat kerja?" tanyanya dengan lembut seolah mereka saling mengenal. Padahal Alya yakin, ini pertama kalinya mereka bertemu.Gadis yang sedang kacau perasaannya itu hanya mengangguk, enggan menjelaskan lebih lanjut. Sebelum terlibat perbincangan lebih jauh, Alya memutuskan untuk membuang pandangan ke arah lain sambil memasang earphone w
Alih-alih pulang setelah sarapan, Alya justru terus mengekor, membuntuti Firman untuk meminta penjelasan."Mas Firman," panggil Alya sambil menghentakkan kaki, membuat pria itu berhenti mengeringkan piring dan menoleh. Alisnya sedikit terangkat, tapi mulutnya terkatup rapat."Ceritain yang tadi, dong. Jangan bikin penasaran!""Buat apa cerita? Nggak ada gunanya." "Ada!" Alya mendekat, ekspresinya penuh tuntutan. "Aku harus tahu biar nggak salah langkah pdkt-in Mas Dani. Salah sendiri kenapa tadi mancing-mancing kayak gitu. Aku jadi penasaran, kan," imbuhnya.Firman menyeka tangannya yang basah dengan kain, lalu menghadap Alya dan menjentikkan jari di kening gadis itu."Saya nggak mancing karena kamu bukan ikan. Saya cuma kasih tahu biar kamu nggak buang waktu.""Maksudnya apa? Buang waktu gimana?" Sepasang mata Alya menyipit, lipatan di dahinya semakin jelas. Firman menghela napas panjang, melepas celemek di tubuhnya dengan gerakan cepat. Dia menatap Nadya—yang berdiri sambil menge
Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan kecil di rumah minimalis dua lantai berwarna biru. Pagi itu, suasana terasa hangat, bukan karena sinar matahari, tetapi karena kebahagiaan yang masih membara setelah bulan madu yang baru berlalu. Nadya berdiri di dapur, mengenakan apron bergambar bunga, sibuk membalik telur di wajan. Dari arah kamar, Firman muncul dengan rambut yang masih acak-acakan, mengenakan kaos polos yang melekat di badan dan celana pendek santai. Tatapannya langsung tertuju pada Nadya yang tampak begitu alami dalam balutan baju tidur satin lengan panjang dengan rambut yang tergerai hingga punggung.“Sayang,” bisik Firman di dekat telinga Nadya dengan suara berat khas orang bangun tidur. Tangannya melingkar di pinggang wanita itu seolah tidak rela sang istri meninggalkan ranjang mereka. “Kok kabur, sih? Padahal aku masih mau peluk cium kamu kayak tadi.”Nadya sedikit tersentak, tapi langsung tersenyum kecil. “Mas, ini masih pagi, jangan mulai usil, deh. Siapa suru
"Saya nikahkan dan jodohkan engkau, Firman Alamsyah dengan putri saya, Nadya Kinanthi Bagaskara, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan logam mulia 50 gram, dibayar tunai." "Saya terima nikahnya Nadya Kinanthi Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!" Suara Firman tegas, mantap, menggema di ruangan sederhana itu. Begitu ijab kabul selesai, suasana mendadak hening, hanya terdengar isak haru dari beberapa tamu yang hadir. Nadya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Firman yang kini resmi menjadi suaminya. Hatinya bergemuruh, rasa syukur dan kebahagiaan berbaur jadi satu. "Bagaimana para saksi? Sah?" "Sah!" Penghulu membacakan doa untuk kedua mempelai disertai semua orang yang menengadahkan tangan mengaminkan. Nadya terlihat begitu anggun dalam balutan kebaya putih yang sederhana tapi tetap terlihat elegan. Kristal Swarovski menyertai sulaman halus di sepanjang kainnya, memancarkan keanggunan yang tak tertandingi. Meski kebaya itu memeluk tubuhnya dengan s
Di sebuah restoran mewah yang elegan dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan di langit-langit, Nadya, Firman, dan keluarga duduk melingkar di sebuah meja panjang. Aroma makanan lezat memenuhi udara, membuat suasana semakin hangat dan nyaman. Lilin-lilin kecil di atas meja menambah keintiman momen itu, sementara pelayan dengan sigap menyajikan hidangan satu per satu—dari steak yang empuk hingga seafood segar yang disusun indah di atas piring. Nadya duduk di samping Firman, masih tersenyum bahagia setelah momen lamaran yang manis beberapa jam lalu. Di sebelahnya, Bima yang selalu ceria, sibuk memakan pasta kesukaannya dengan tawa kecil setiap kali Firman mencoba mencuri satu gigitan dari piringnya. Ting! Ting! "Mohon perhatiannya sebentar." Di ujung meja, Papa Bagaskara mengetukkan ujung sendoknya ke bibir gelas, meminta atensi. Semua pasang mata tertuju padanya. Suasana makan yang semula dihiasi percakapan dan tawa, kini menjadi tenang. "Firman," Papa Bagaskara membuka percakap
“Capek nggak?” Firman memecah keheningan sambil menatap Nadya yang duduk bersebelahan di teras rumah. Langit sepenuhnya gelap dan udara dingin mengelus pelan wajah mereka. Melihat Nadya banyak terdiam sejak meninggalkan rumah sakit jiwa tempat Joyce dirawat, pria itu belum tega meninggalkannya. Khawatir Nadya merasa bersalah atas keadaan mantan sahabatnya itu. "Boleh kok sini bersandar di bahu. Gratis!" Nadya menghela napas, tapi akhirnya menggeser posisi duduknya mendekati Firman. “Bukan capek fisik, sih, tapi... rasanya hari ini berat banget.” Matanya menerawang ke arah taman kecil di depan mereka, sinar bulan samar-samar menerangi bunga-bunga yang berjejer rapi di bawah pohon cemara. Firman mengangguk paham. “Iya, aku ngerti. Hari ini memang berat buat kamu,” Dia melirik Nadya sejenak, lalu kembali menatap langit yang penuh bintang, “tapi kamu nggak sendirian, Na. Aku ada di sini.” Nadya tersenyum kecil, tapi tak menjawab. Ia menundukan pandangan, menatap jemarinya sendiri
Dua bulan kemudian …. Langit sore tampak mendung seakan turut merasakan kesunyian yang menggantung di antara suara langkah kaki Nadya dan Firman. Mereka berjalan perlahan di sebuah rumah sakit jiwa, tempat di mana Joyce sekarang tinggal—atau lebih tepatnya, terpaksa tinggal. Sejak ditangkap oleh pihak berwajib, wanita itu mengalami banyak sekali pukulan yang membuat fisik maupun mentalnya berantakan. Dinding putih yang kusam dan aroma obat yang menusuk memenuhi udara, menambah nuansa berat pada hati Nadya. “Silakan. Ini ruangan Ibu Joyce. Jam-jam seperti sekarang ini, Ibu Joyce biasanya duduk di teras belakang sambil menggendong ‘bayinya’,” ucap perawat sambil memberi tanda kutip saat mengucapkan kata bayi. Wanita cantik dengan jilbab pashmina warna mustard itu mengangguk, berterima kasih dan membiarkan perawat pergi. Kakinya bergerak perlahan, mendekat ke arah pintu belakang kamar Joyce. Mata Nadya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bangku panjang yang menghadap tam
Firman melirik ke arah kaca spion, menatap cemas Nadya yang terbaring lemah di bangku belakang. Tubuh wanita itu tampak lunglai, wajahnya pucat pasi. Sesekali dia memanggil namanya, “Na... Nana, kamu bisa dengar aku?" Tidak ada respons. “Nadya!” seru Firman sambil membelokkan mobil ke arah kiri, menuju rumah sakit terdekat dari posisinya sekarang. Hanya gerakan pelan dari kelopak mata Nadya yang menunjukkan wanita itu tetap sadar, tapi cukup untuk membuat Firman sedikit lega. Tangan kirinya memegang kemudi erat, sementara tangan kanannya berkali-kali membunyikan klakson, menyingkirkan kendaraan lain yang menghalangi jalannya. “Tahan sebentar, Na. Kita hampir sampai!” Firman menggigit bibirnya dengan napas tak beraturan saat mendapati Nadya meringis menahan sakit. Matanya terpaku pada jalan di depan, tapi pikirannya sudah berlarian ke segala arah. Dia harus cepat sebelum wanita itu kehilangan banyak darah yang bisa membahayakan nyawa. Suara detak jantungnya sendiri terdengar
Firman melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang di jalan yang sepi. Udara di luar agak panas, tapi di dalam mobil, suasananya justru terasa dingin dan tegang. Sesekali, dia melirik ke arah Nadya yang duduk di sampingnya. Sejak mereka meninggalkan tontonan Reza yang ditangkap polisi, Nadya belum mengucapkan sepatah kata pun, matanya lurus menatap jalan di depan. Merasa tercekik, akhirnya Firman memecah kesunyian. "Na, kamu yakin mau menemui Joyce?" Tanpa menoleh, Nadya mengangguk pelan. "Yakin. Gimanapun juga, dia pernah ada di masa-masa tersulitku. Aku mau kasih dia kesempatan sekali lagi buat menyesali perbuatannya. Kalau dia ngaku salah, aku nggak akan perpanjang kesalahannya selama ini. Aku biarin dia pergi dengan uang hasil penjualan rumahku. Mungkin dia bisa memulai hidup yang lebih baik di tempat neneknya." Firman mendesah pelan, menggelengkan kepala dengan sedikit heran. "Kamu terlalu baik, Na. Joyce udah khianati kamu, tapi kamu masih bisa selembut itu." Nadya terkekeh