Terasa menyenangkan pura-pura menjadi bodoh untuk membodohi orang bodoh.***“Bapak mau menghukum saya?” tanya Alya dengan wajah pucat pasi. Dia semakin mempererat pelukannya pada dokumen di depan dada.Reza menoleh ke kanan kiri, memastikan tidak ada orang di sekitar mereka.“Menurut kamu, hukuman apa yang paling pantas untuk mendisiplinkan pegawai baru, hmm?” tanyanya sambil terus melangkah mendekati Alya. Seringai mes*m tercetak jelas di sudut bibirnya.“Sa … saya nggak tahu, Pak. Ini pertama kalinya saya bekerja.”“Ah, ini pertama kalinya kamu bekerja? Fresh graduate?”Reza yang merasa semakin di atas awan, terus mendesak sampai punggung Alya menabrak dinding yang terasa dingin. Sebuah anggukan ditunjukkan sebagai jawaban karena keterpaksaan.Gadis itu menunduk patuh, tidak berani menatap wajah atasannya yang sebenarnya tergolong tampan itu.“Jangan takut, saya nggak akan ngasih hukuman aneh-aneh ke kamu. Tenang aja.”Begitu mendengar kalimat itu, Alya memberanikan diri mengangkat
Apartemen tempat tinggalnya cukup mewah dan nyaman untuk ditinggali. Dia bisa melihat pemandangan kota Bandung yang indah di malam hari. Ada perasaan puas yang tumbuh di dalam dirinya. Di tempat ini, dia merasa lebih dihargai, lebih bebas dari beban berat masa lalu, termasuk lebih berkuasa dan berkesempatan mengambil keuntungan dari karyawan-karyawannya.Tak hanya Alya yang mempesona, bahkan pegawai lain pun tak kalah indahnya. Mereka semua ramah dan menaruh hormat sejak pertama kali Reza menginjakkan kaki di sana. Sambutan mereka hangat dan penuh senyum, seolah kedatangannya memang sudah dinanti-nantikan.“Ini baru yang namanya kehidupan yang menyenangkan,” gumam Reza sambil mengembuskan asap rokok dari mulutnya. Dia berbangga diri dengan posisinya dan segala kemudahan yang ada.Dulu, Reza harus menangani berbagai tanggung jawab berat. Ada banyak proyek besar yang harus dikendalikan dengan tangan besi. Setiap hari diisi dengan rapat tanpa henti, laporan mingguan yang harus disusun de
“Maksud Bapak gimana? Su … sugar baby?” Kilat tajam dari tatapan Alya hanya terlihat selama beberapa detik. Dia tidak menyangka targetnya serendah itu, memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri. Pantas saja ‘orang itu’ mengutusnya untuk menghancurkan Reza dari dalam. “Nggak usah kaget gitu, Al. Sudah jadi hal yang lumrah kalau gadis-gadis cantik seperti kalian nyari tambahan uang jajan. Bahkan, anak-anak SMA saja sudah banyak yang open BO. Saya yakin teman-teman kamu juga ada yang jadi simpanan Om-Om.” “Tapi saya nggak begitu, Pak,” bela Alya lirih, tapi masih bisa didengar oleh Reza. “Saya gadis baik-baik.” Tawa Reza memenuhi ruangan, memecah suasana janggal yang tercipta. “Bagus. Jadi, belum ada yang buka segel kamu?” Alya tak menjawab, menunduk menatap ujung sepatunya. Dia harus melepas kebencian pribadinya dan kembali berperan sebagai gadis polos. “Tolong jangan bicarakan hal-hal seperti itu, Pak. Saya nggak nyaman. Saya datang untuk bekerja.” Reza terseny
“Tante nggak bisa lama-lama di sini, takut Bima bangun dan nyariin. Ini Tante bawain makanan buat kamu sama papanya Nana. Tante taruh di meja, ya? Atau Nak Firman mau makan sekarang? Biar Tante siapin.” Suara Mama Anita terdengar lembut seperti berbicara pada putranya sendiri. Firman menggeleng pelan. “Makasih, Tante, tapi saya belum lapar.” “Tapi tadi pagi udah sarapan?” kejarnya yang tidak yakin dengan jawaban pria yang diharap akan menjadi calon menantunya sekali lagi. Hanya geleng kepala yang terlihat. Firman kehilangan selera makan. Hanya satu-dua teguk air putih yang membasahi kerongkongannya agar tidak dehidrasi. Prioritasnya adalah Nadya. Tidak ada hal lain yang lebih penting dibandingkan wanita itu. “Tante tahu kamu nggak akan tenang sebelum Nana siuman, tapi ingat buat jaga kesehatanmu juga, Nak. Jangan sampai kamu sakit.” “Baik, Tan. Nanti saya makan kalau Nana udah siuman dan kondisinya aman.” Mama Anita hanya bisa mengangguk pasrah. Meski menyarankan pemuda t
Ruangan itu hening, seakan waktu berhenti berputar. Firman masih diam, menatap Nadya dengan wajah penuh kebimbangan. Di luar, terlihat gelap. Awan hitam menggelayut manja siap menumpahkan airnya, seolah alam turut bersedih bersama Nadya. “Na ….” “Tinggalin aku sendiri,” pinta Nadya dengan suara lirih, terdengar sedikit gemetar sambil membuang muka untuk menyembunyikan air matanya. Sejak awal mengurus perceraian, Nadya sadar masih ada bayang-bayang ketakutan dirinya akan hamil. Namun, karena sibuk mengurus perceraian dan membangun kembali usahanya, dia tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Nyatanya, ibarat bom waktu, masalah ini akhirnya meledak juga. “Na, tadi Tante Anita datang bawa makanan. Kamu mau—” “Aku nggak lapar,” sela Nadya lirih, masih enggan melihat cinta pertamanya. Firman tertegun, tapi tetap berusaha tenang. Dia tahu, Nadya butuh ruang untuk sendiri. “Aku tunggu di luar. Kalau butuh sesuatu, panggil aku,” ucap Firman sambil meletakkan ponsel Nadya ke atas n
“Selamat siang, Ibu. Ke mana tujuan Ibu?” “Iba-ibu. Saya belum setua itu untuk dipanggil Ibu,” ketus Joyce sengit. “Ah, maaf. Kita ke mana, Mbak?” Joyce menyebutkan alamat rumahnya sambil menahan merasa jengkel. Dia ingin menghubungi Reza secepatnya dan mencari tahu apakah pria itu sudah tahu Nadya hamil atau belum. Namun, ponselnya sudah hancur berkeping-keping semalam. Wanita 28 tahun itu menghela napas kasar sambil bersandar lemas ke kursi belakang. Pikirannya campur aduk. Perasaan cemas dan bingung memenuhi benaknya. Dia benar-benar tak tahu harus bagaimana. Kecurigaan Reza selingkuh saja sudah membuatnya was-was. Ditambah lagi kehamilan Nadya “Dari mana aku dapat uang, ya? Zaman sekarang udah nggak ada wartel kayak dulu buat hubungi Mas Reza. Selain itu, aku nggak punya temen yang bisa dipinjami ponsel sementara.” Tanpa sadar, Joyce mengelus perutnya. Berbagai masalah datang bersamaan. Namun, yang terpenting adalah ketiadaan uang di dompetnya. Semua langkah yang aka
“Selamat pagi, Bu Nadya. Bagaimana istirahatnya semalam?” Perawat melangkah masuk ke ruangan dengan senyum lembut di wajah. Tangannya membawa nampan berisi tensimeter dan beberapa peralatan lain. “Ada keluhan seperti pusing, mual, atau yang lainnya tidak, Bu?” imbuh perawat senior itu sambil memeriksa tekanan darah Nadya. Nadya hanya menggeleng, tidak berniat menjawab. Terlalu malas sekadar untuk bicara. “Tekanan darah normal, Bu. Jika tidak ada keluhan lagi, Ibu sudah boleh pulang hari ini dan lanjutkan istirahat di rumah. Sekarang, saya minta izin untuk melepaskan selang infusnya ya, Bu.” Kali ini Nadya mengangguk lemah, membiarkan wanita berseragam putih bersih itu melepas jarum dan infus set yang menempel di punggung tangannya sejak kemarin lusa. Setelah menempatkan sampah medis ke wadah khusus, perawat itu menyerahkan bungkusan kecil kepada Nadya. "Ini vitamin dan suplemen makanan yang harus diminum untuk tiga hari ke depan. Ibu juga bisa mulai mengonsumsi susu khusus ibu
"Ma, kenapa dia ada di sini?” tanya Nadya pada akhirnya. "Ah, itu ….” Mama Anita sedikit salah tingkah. “Bima demam lagi semalam. Dia menyebut-nyebut nama papinya terus, jadi mamamu minta tolong Firman datang karena Papa lagi di rumah sakit nunggu kamu." Pak Bagaskara menjelaskan dengan lebih baik. “Demam lagi? Sejak kapan dia sakit? Kenapa Papa nggak bilang?!” Suara Nadya sudah mulai meninggi, merasa tersakiti tidak diberi tahu kondisi putranya. “Maafin Mama sama Papa. Kondisi kamu sendiri butuh perawatan, jadi kita nggak tega. Lagi pula, sekarang Bima udah nggak apa-apa. Demamnya udah turun. Tinggal sedikit rewel.” Bima yang semula tertidur dalam gendongan Firman, sedikit terusik dengan perseteruan ketiga orang di dekatnya. Begitu menoleh, dia melihat Nadya dengan mata sayu dan bergumam lirih, “Mami.” Mendengar itu, Nadya langsung mendekat dengan mata berkaca-kaca. “Mami di sini, Sayang.” Tangan Nadya terulur, bersiap mengambil bocah itu dari gendongan mantan kekasihnya terse
"Nggak ada. Aku cuma mau main-main sama kamu, Mas. Nggak boleh?""Apa?!" Kedua tangan Dani terkepal di samping badan Alya. Embusan napasnya terasa kian berat.Alya tidak langsung menjawab. Tatapannya tenang, tapi penuh siasat. Di bibirnya tersungging senyum tipis yang tidak sampai membuat sudut matanya berkerut."Kamu marah, Mas?" tanyanya pelan, tapi penuh ketegasan. "Apa kamu punya hak buat mengatur hidupku? Aku dan kamu nggak ada ikatan kecuali sama-sama anak angkat Om Wirawan."Dani menggeram tertahan. Ia meraih pergelangan tangan Alya, menahannya ke dinding—tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat gadis itu berhenti bicara."Jangan main-main, Al. Kamu nggak tahu siapa berandalan itu!""Kamu yang jangan main-main, Mas!" sela Alya dengan mata memelotot, tak gentar menatap Dani yang berusaha mati-matian menahan emosi."Kamu pikir aku bisa diam lihat kamu datang dengan sampah macam dia?" Suara Dani bergetar, menunjuk ke arah ballroom di mana Andrew berada."Sampah?" beo Alya sambil
Suasana ballroom hotel bintang lima itu terasa meriah. Gemerlap lampu kristal memantulkan kilauan ke setiap sudut ruangan, sementara para tamu—bergaun dan bersetelan mahal—bercakap-cakap dengan anggun.Bunga-bunga tertata rapi di berbagai sudut, berpadu dengan meja-meja penuh hidangan dan berbagai minuman. Standing party yang membutuhkan dana tidak sedikit. Sebagai tangan kanan Om Wirawan, Dani harus menjamu para konglomerat dengan jamuan yang pantas."Semua berjalan sesuai rencana, Tuan," lapor seorang pria berpakaian hitam kepada Om Wirawan yang berdiri di samping Dani. Dia kepala keamanan yang memastikan semua tamu masuk tanpa membawa senjata tajam maupun alat berbahaya. Bahkan ponsel pun tertahan di penerima tamu.Pria paruh baya itu hanya mengangguk singkat, menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Hanya 200 tamu undangan, rekan bisnis di 'dunia atas' yang bersih. Kalaupun ada rekan bisnis gelapnya, mereka membaur sempurna seperti 'orang baik '.Semua menikmati pesta, menyantap hida
“Mas, gimana caranya aku ngomong ke Alya soal pertunangan Mas Dani?” tanya Nadya berbisik—setelah lelah mondar-mandir di ruang tengah rumah sewa, tapi belum juga menemukan cara yang tepat.Firman mendesah, terpaksa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Sama seperti yang istri, dia juga didera perasaan gamang terkait keputusan Dani yang menghebohkan itu. Di antara semua orang, dia dan Nadya yang paling dekat dengan Alya sekarang.“Na, masalah pertunangan ini nggak sesederhana seperti apa yang kita pikirkan. Aku mencoba mencari simpulnya sedari tadi, siapa sosok yang mau bertunangan dengan Mas Dani. Tapi semuanya terasa normal-normal aja. Ini akun sosial medianya.”Firman menggeser laptop, memperlihatkan nama Putri Anggun Wijaya, nama yang sama seperti yang tercetak di dalam undangan.“Dia putri angkat keluarga Wijaya. Kemungkinannya, ini semacam perjodohan bisnis. Kamu tahu sendiri, Om Wirawan dan Mas Dani adalah dua orang yang nggak terpisahkan. Bisa jadi, Mas Dani nggak benar-b
“Nggak ada yang perlu dijelaskan. Ini urusan pribadiku sama Cinderella.”“Cin... Cinderella?” beo Firman dengan napas tercekat di tenggorokan.Butuh waktu satu-dua detik untuknya mencerna ucapan di ujung telepon. Meski pernah mendengar nama itu dikisahkan, tapi dia belum tahu bagaimana fisik Cinderella. Secantik apa dia?“Kamu yakin nggak akan menyesal, Mas? Aku sama Nadya udah ketemu Alya. Dia kelihatan—”“Dia cuma aku anggap adik. Semoga kamu nggak lupa, Fir,” sela Dani cepat, memotong ucapan Firman yang baru setengah jalan.“Dia memang pernah menjadi tanggung jawabku, tapi bukan berarti akulah tempat dia menggantungkan harapan. Aku punya kehidupanku sendiri.”Firman hanya bisa menelan ludah, tak bisa berkata-kata. Setiap ucapan dari bibir Dani terasa dingin dan menusuk, tidak ada sedikit pun ruang bagi Alya untuk masuk ke hatinya.Meski menegaskan demikian, pada kenyataannya Dani mencengkeram kuat-kuat pecahan cermin di tangannya. Darah segar yang menetes dari telapak tangan yang t
“Maksud Mama gimana? Tunangan? Sama siapa?” Langkah Nadya yang semula terburu-buru menuju rumah sewa terhenti mendadak. Dengan gemetar, dia duduk di bangku kayu di depan rumah makan Bu Ayu. Rasa terkejutnya begitu besar hingga dia lupa bahwa Firman dan Alya sedang menunggunya di rumah. “Mama juga nggak tahu, Na. Wirawan yang datang tadi dan kasih undangan itu. Selebihnya Mama nggak tahu. Tadi Mama masih ngurus Bima, jadi nggak sempat minta dia duduk. Eh, katanya dia juga lagi buru-buru mau ada urusan.” Suara Mama Anita terdengar jelas di seberang telepon. “Kok bisa mendadak begini, Ma? Padahal Dani sama Alya lagi…” Nadya buru-buru menutup mulutnya, hampir saja keceplosan. “Dani kenapa sama Alya?” Mama Anita terdengar sedikit penasaran. Nadya menjauhkan ponsel dari telinga, berusaha mengendalikan emosinya. Matanya menatap laut di kejauhan, ombak berkejaran tanpa henti seperti pikirannya saat ini. Satu yang pasti, dia harus tetap tenang. “Nana, kamu masih di sana? Halo?” Mam
Firman menutup laptopnya, melirik jam segi empat di pergelangan tangan kirinya. Benar-benar 30 menit seperti yang ia janjikan pada Nadya.[Kamu masih di rumah makan itu, Na? Aku ke sana sekarang.]Pesan itu terkirim, ceklis 2, tapi masih abu-abu. Belum dibaca."Langsung ke sana aja lah," ucap Firman bergumam. Tangannya merapikan lengan kemeja sebelum keluar dari rumah sewa.Seolah berkejaran dengan waktu, pria itu menuruni anak tangga 4 pijakan dengan tergesa. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah berada di dekat jalan raya, siap menyeberang. Namun, saat kakinya hendak melangkah melewati jalanan aspal, tubuh pria itu mendadak membeku. Tak jauh dari posisinya, tampak seorang gadis berjalan sambil menundukkan kepala. Meski wajahnya tak terlihat, tapi Firman hafal betul postur maupun gesturnya."Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih atas semua kemudahan yang Kau berikan," bisik Firman lirih, meraup wajahnya dengan tangan.Pengacara muda itu mengubah haluan, mendekat ke arah gadis yang
Tepat pukul sembilan pagi, Alya melangkah keluar dari kamar. Celana jeans membungkus kaki jenjangnya, berpadu dengan atasan tanpa lengan bermotif bunga-bunga. Kulitnya yang bersih, terlihat bercahaya di bawah sinar matahari, leher jenjangnya mulus tanpa noda—sesuatu yang tak banyak dimiliki gadis seusianya, kecuali mereka yang merawatnya dengan baik. Langkah Alya terasa ringan, siap membantu Bu Ayu di rumah makan seperti kemarin. Rasanya menyenangkan berjualan, bertemu banyak orang dan merasakan kehangatan suasana desa. Namun, senyum Alya tertahan saat tatapan wanita itu seolah mengulitinya. Bu Ayu berdiri di dekat pintu, jilbabnya rapi, tas mungil tergantung di bahu yang tertutup kebaya lengan panjang. Matanya menyapu penampilan Alya dari kepala hingga kaki, lalu kembali naik dengan sorot yang sulit disembunyikan—ketidaksukaan. "Ibu mau ke rumah makan sekarang, Bu?" tanya Alya, mencoba mencairkan suasana. Bu Ayu tak langsung menjawab. Alisnya berkerut, seolah menimbang sesuatu
Dani mengerjap ketika tirai terbuka, membiarkan sinar matahari menampar wajahnya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, berusaha menghindari cahaya yang terasa menusuk kepalanya yang pening. Begitu mencoba membuka mata sepenuhnya, palu godam terasa menghantam, memaksanya kembali memejamkan mata. "Nggak tahan alkohol, tapi sok-sokan minum *absinthe*. Udah bosan hidup?" Suara itu membuat Dani tersentak. Lembut, tapi penuh sindiran. Suara yang sudah lama tak ia dengar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka mata, kali ini dengan lebih perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Sosok seorang wanita berdiri di dekat jendela, siluetnya samar diterpa cahaya pagi. Rambut panjangnya tergerai sedikit berantakan, tapi tetap terlihat menawan. Ia mengenakan kemeja putih longgar—yang, sialnya, tampak seperti pakaian yang Dani gunakan semalam. Kain itu menggantung di tubuhnya, sedikit kebesaran tapi tetap menciptakan nuansa yang berbahaya dan menggoda bagi pria dewasa sepert
WARNING! 🔞 ADULT CONTENT! "Mas, aku liat gadis yang mirip Alya!" seru Nadya sambil mengetuk pintu kamar mandi, mengganggu sang suami yang sedang mandi. Tadinya Nadya hanya ingin berdiri di beranda lantai dua, melihat gemintang di angkasa. Dia justru melihat sepasang sejoli sedang makan bersama di kejauhan. Gadis yang ia yakini sebagai Alya. Dari balik suara gemericik air shower, Firman tidak langsung menjawab. Dia sedang sibuk membilas shampo di kepala. "Mas Firman! Aku liat Alya!" ulang Nadya dengan suara yang lebih keras. Sengaja mengetuk pintu di depannya dengan ketukan yang lebih kuat. "Apa, Na?" sahut Firman balik bertanya, mencoba memusatkan pendengarannya di bawah guyuran air. "Ada Alya!" Detik berikutnya, suara aliran air terhenti dan pintu kamar mandi terbuka sedikit. Firman melongok keluar, membiarkan tetesan air mengalir dari ujung rambut basahnya. "Kamu ngomong apa tadi? Nggak jelas suaranya." Nadya menelan ludah menatap perut kotak-kotak di depannya. Namun, dia