Share

Masuk Perangkap (2)

last update Last Updated: 2024-12-17 17:48:01
“Tante nggak bisa lama-lama di sini, takut Bima bangun dan nyariin. Ini Tante bawain makanan buat kamu sama papanya Nana. Tante taruh di meja, ya? Atau Nak Firman mau makan sekarang? Biar Tante siapin.”

Suara Mama Anita terdengar lembut seperti berbicara pada putranya sendiri.

Firman menggeleng pelan. “Makasih, Tante, tapi saya belum lapar.”

“Tapi tadi pagi udah sarapan?” kejarnya yang tidak yakin dengan jawaban pria yang diharap akan menjadi calon menantunya sekali lagi.

Hanya geleng kepala yang terlihat. Firman kehilangan selera makan. Hanya satu-dua teguk air putih yang membasahi kerongkongannya agar tidak dehidrasi. Prioritasnya adalah Nadya. Tidak ada hal lain yang lebih penting dibandingkan wanita itu.

“Tante tahu kamu nggak akan tenang sebelum Nana siuman, tapi ingat buat jaga kesehatanmu juga, Nak. Jangan sampai kamu sakit.”

“Baik, Tan. Nanti saya makan kalau Nana udah siuman dan kondisinya aman.”

Mama Anita hanya bisa mengangguk pasrah. Meski menyarankan pemuda t
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Target 2 Sudah Terjerat (1)

    Ruangan itu hening, seakan waktu berhenti berputar. Firman masih diam, menatap Nadya dengan wajah penuh kebimbangan. Di luar, terlihat gelap. Awan hitam menggelayut manja siap menumpahkan airnya, seolah alam turut bersedih bersama Nadya. “Na ….” “Tinggalin aku sendiri,” pinta Nadya dengan suara lirih, terdengar sedikit gemetar sambil membuang muka untuk menyembunyikan air matanya. Sejak awal mengurus perceraian, Nadya sadar masih ada bayang-bayang ketakutan dirinya akan hamil. Namun, karena sibuk mengurus perceraian dan membangun kembali usahanya, dia tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Nyatanya, ibarat bom waktu, masalah ini akhirnya meledak juga. “Na, tadi Tante Anita datang bawa makanan. Kamu mau—” “Aku nggak lapar,” sela Nadya lirih, masih enggan melihat cinta pertamanya. Firman tertegun, tapi tetap berusaha tenang. Dia tahu, Nadya butuh ruang untuk sendiri. “Aku tunggu di luar. Kalau butuh sesuatu, panggil aku,” ucap Firman sambil meletakkan ponsel Nadya ke atas n

    Last Updated : 2024-12-18
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Target 2 Sudah Terjerat (2)

    “Selamat siang, Ibu. Ke mana tujuan Ibu?” “Iba-ibu. Saya belum setua itu untuk dipanggil Ibu,” ketus Joyce sengit. “Ah, maaf. Kita ke mana, Mbak?” Joyce menyebutkan alamat rumahnya sambil menahan merasa jengkel. Dia ingin menghubungi Reza secepatnya dan mencari tahu apakah pria itu sudah tahu Nadya hamil atau belum. Namun, ponselnya sudah hancur berkeping-keping semalam. Wanita 28 tahun itu menghela napas kasar sambil bersandar lemas ke kursi belakang. Pikirannya campur aduk. Perasaan cemas dan bingung memenuhi benaknya. Dia benar-benar tak tahu harus bagaimana. Kecurigaan Reza selingkuh saja sudah membuatnya was-was. Ditambah lagi kehamilan Nadya “Dari mana aku dapat uang, ya? Zaman sekarang udah nggak ada wartel kayak dulu buat hubungi Mas Reza. Selain itu, aku nggak punya temen yang bisa dipinjami ponsel sementara.” Tanpa sadar, Joyce mengelus perutnya. Berbagai masalah datang bersamaan. Namun, yang terpenting adalah ketiadaan uang di dompetnya. Semua langkah yang aka

    Last Updated : 2024-12-18
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Kamu Bukan Papinya (1)

    “Selamat pagi, Bu Nadya. Bagaimana istirahatnya semalam?” Perawat melangkah masuk ke ruangan dengan senyum lembut di wajah. Tangannya membawa nampan berisi tensimeter dan beberapa peralatan lain. “Ada keluhan seperti pusing, mual, atau yang lainnya tidak, Bu?” imbuh perawat senior itu sambil memeriksa tekanan darah Nadya. Nadya hanya menggeleng, tidak berniat menjawab. Terlalu malas sekadar untuk bicara. “Tekanan darah normal, Bu. Jika tidak ada keluhan lagi, Ibu sudah boleh pulang hari ini dan lanjutkan istirahat di rumah. Sekarang, saya minta izin untuk melepaskan selang infusnya ya, Bu.” Kali ini Nadya mengangguk lemah, membiarkan wanita berseragam putih bersih itu melepas jarum dan infus set yang menempel di punggung tangannya sejak kemarin lusa. Setelah menempatkan sampah medis ke wadah khusus, perawat itu menyerahkan bungkusan kecil kepada Nadya. "Ini vitamin dan suplemen makanan yang harus diminum untuk tiga hari ke depan. Ibu juga bisa mulai mengonsumsi susu khusus ibu

    Last Updated : 2024-12-19
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Kamu Bukan Papinya (2)

    "Ma, kenapa dia ada di sini?” tanya Nadya pada akhirnya. "Ah, itu ….” Mama Anita sedikit salah tingkah. “Bima demam lagi semalam. Dia menyebut-nyebut nama papinya terus, jadi mamamu minta tolong Firman datang karena Papa lagi di rumah sakit nunggu kamu." Pak Bagaskara menjelaskan dengan lebih baik. “Demam lagi? Sejak kapan dia sakit? Kenapa Papa nggak bilang?!” Suara Nadya sudah mulai meninggi, merasa tersakiti tidak diberi tahu kondisi putranya. “Maafin Mama sama Papa. Kondisi kamu sendiri butuh perawatan, jadi kita nggak tega. Lagi pula, sekarang Bima udah nggak apa-apa. Demamnya udah turun. Tinggal sedikit rewel.” Bima yang semula tertidur dalam gendongan Firman, sedikit terusik dengan perseteruan ketiga orang di dekatnya. Begitu menoleh, dia melihat Nadya dengan mata sayu dan bergumam lirih, “Mami.” Mendengar itu, Nadya langsung mendekat dengan mata berkaca-kaca. “Mami di sini, Sayang.” Tangan Nadya terulur, bersiap mengambil bocah itu dari gendongan mantan kekasihnya terse

    Last Updated : 2024-12-19
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Habis Manis, Sepah Dibuang (1)

    “Jahat banget ih, kameranya, tapi aku sukak!”Joyce memandangi pantulan wajahnya di ponsel dengan senyum lebar merekah. Matanya berbinar-binar penuh antusias, memperhatikan hasil foto selfie yang tampak begitu mulus bak boneka, menghempaskan jerawatnya entah ke mana.“Kemarin aku masih bingung mau gimana hubungin Mas Reza. Kayak mimpi aja, sekarang udah punya iPhone,” imbuh Joyce lekat akan euforia kebahagiaan.“Selain itu, produk skincare-ku udah lengkap lagi,” ujarnya sambil memperhatikan meja rias yang sudah penuh oleh berbotol-botol produk, bersanding dengan alat make up.“Tadi aku udah beli tiga set sekalian biar nanti nggak perlu bingung kalau krim pagi sama krim malam habis. Jangan sampai jerawatan kayak sekarang ini. Gara-gara krim habis, tapi pelit banget tuh mo-kon-do nggak mau beliin,” cerocos Joyce jengkel, teringat Reza yang memarahinya karena meminta dibelikan produk perawatan kulit dan wajah. “Hmmm, apa lagi ya yang masih harus aku beli?” gumamnya sambil memainkan jari

    Last Updated : 2024-12-20
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Habis Manis, Sepah Dibuang (2)

    “Gimana hubungan kamu sama calon suamimu, Joy? Dia udah bisa dihubungi?” imbuh Dani lebih lanjut, kembali ke pokok topik yang memang sudah dipersiapkan olehnya untuk ditanyakan. “Belum, nih. Padahal dia udah baca WA aku, tapi nggak dibalas. Sibuk banget kali di tempat barunya.” “Telepon coba pas dia istirahat.” “Udaaah!” balas Joyce mulai terpancing rasa kesalnya. “Tetap aja dia nggak jawab. Sialan. Habis manis sepah dibuang.” Dani hampir tertawa, untung masih bisa ditahan. "Jangan suudzon gitu, dong. Mungkin dia emang lagi sibuk di tempat kerjanya yang baru. Semua orang butuh penyesuaian, apalagi dia kan punya jabatan penting di sana. Banyak hal yang harus diurus.” “Tapi seenggaknya dia bisa balas pesan aku, bilang lagi sibuk.” “Udah dong jangan marah-marah. Nanti cepet tua,” seloroh Dani bercanda. Perasaan Joyce yang tadinya suram kini terangkat sedikit demi sedikit. Dani begitu lembut dalam berbicara, membuat Joyce merasa didengarkan. Pria itu juga bisa membangkitkan ke

    Last Updated : 2024-12-20
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Firasat (1)

    "Ada bulu mata kamu yang jatuh, Joy." Dani berkata sambil tersenyum, suaranya lembut setelah mencubit bagian bawah mata Joyce. “Bu … bulu mata?”Joyce membuka matanya yang sempat tertutup. Dia tertegun melihat Dani mengangguk sambil menarik diri tanpa kesan menggoda. Pria itu kembali duduk di kursinya sendiri dan melanjutkan makan.“Dia cuma mau ambil bulu mataku?” batin Joyce memastikan, tidak berkedip menatap lekat-lekat mata indah yang berhasil membuatnya terpesona. “Bukannya dia tadi ngisep jari yang dipake buat ngusap saus di bibirku?”Joyce masih linglung, memasang wajah bodoh.“Kok bengong?” tanya Dani sengaja melambaikan tangan di depan wajah Joyce untuk menyadarkannya.Joyce menggaruk tengkuknya sendiri. Dia sudah berpikiran terlalu jauh terhadap Dani. Alih-alih mendekat untuk menciumnya seperti dalam drakor-drakor yang dilihatnya selama ini, ternyata Dani hanya membantu mengambil bulu mata.“Bodoh!” umpat Joyce, masih dalam hatinya.Fuu!Wanita berambut pirang itu sedikit

    Last Updated : 2024-12-21
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Firasat (2)

    “Kenapa perasaanku tiba-tiba nggak enak begini?” gumam Joyce lirih, hanya terdengar oleh telinganya sendiri."Joy!"Joyce terkesiap sampai membuat kedua bahunya berjengit. Tubuhnya menegang dengan degup jantung yang kembali kencang.“Ponsel kamu bunyi,” ucap Dani dengan wajah bersahabat seperti sebelumnya. Nada bicaranya pun ringan tanpa beban."Astaga! Aku mikir apa, sih?"Joyce menggelengkan kepala kuat-kuat, mengusir perasaan tidak nyaman yang entah dari mana munculnya. Dia segera mengambil ponsel yang tergeletak di meja dan kembali terkesiap saat melihat nama pemanggilnya. Mas Reza!rWanita hamil itu segera menguasai dirinya dan berbisik pelan, "Mas Reza, calon suamiku. Mas Dani diem dulu, ya."Dani mengangguk. Dia tidak keberatan harus menyembunyikan dirinya sendiri.Joyce menarik napas dalam, berusaha meredam rasa bersalah yang tiba-tiba menyelimuti dirinya karena sedang berduaan dengan laki-laki lain. Meski mereka tak ada hubungan, tidak seharusnya dia begitu akrab dengan orang

    Last Updated : 2024-12-21

Latest chapter

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Cium Paksa

    Alya berdiri di dalam bus TransJakarta dengan tangan kanan memegang erat gantungan di atas kepala. Setiap yang Firman katakan ke Nadya, seolah menikam jantungnya."Selama ini aku menempel dengan Mas Dani tanpa peduli perasaannya. Aku bahkan tinggal di apartemennya dengan nggak tahu malu," bisik Alya tanpa suara, menatap keluar jendela yang padat merayap oleh kendaraan. Jalanan kota Jakarta yang semrawut menambah rumit isi kepala."Sini duduk, Nak. Ada kursi kosong."Alya sedikit terhenyak saat seorang wanita berjilbab memegang lengannya. Dia menunjuk tempat duduk yang baru saja ditinggalkan oleh penumpang yang bersiap turun di halte berikutnya."Mau berangkat kerja?" tanyanya dengan lembut seolah mereka saling mengenal. Padahal Alya yakin, ini pertama kalinya mereka bertemu.Gadis yang sedang kacau perasaannya itu hanya mengangguk, enggan menjelaskan lebih lanjut. Sebelum terlibat perbincangan lebih jauh, Alya memutuskan untuk membuang pandangan ke arah lain sambil memasang earphone w

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Kotak Pandora

    Alih-alih pulang setelah sarapan, Alya justru terus mengekor, membuntuti Firman untuk meminta penjelasan."Mas Firman," panggil Alya sambil menghentakkan kaki, membuat pria itu berhenti mengeringkan piring dan menoleh. Alisnya sedikit terangkat, tapi mulutnya terkatup rapat."Ceritain yang tadi, dong. Jangan bikin penasaran!""Buat apa cerita? Nggak ada gunanya." "Ada!" Alya mendekat, ekspresinya penuh tuntutan. "Aku harus tahu biar nggak salah langkah pdkt-in Mas Dani. Salah sendiri kenapa tadi mancing-mancing kayak gitu. Aku jadi penasaran, kan," imbuhnya.Firman menyeka tangannya yang basah dengan kain, lalu menghadap Alya dan menjentikkan jari di kening gadis itu."Saya nggak mancing karena kamu bukan ikan. Saya cuma kasih tahu biar kamu nggak buang waktu.""Maksudnya apa? Buang waktu gimana?" Sepasang mata Alya menyipit, lipatan di dahinya semakin jelas. Firman menghela napas panjang, melepas celemek di tubuhnya dengan gerakan cepat. Dia menatap Nadya—yang berdiri sambil menge

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Opening Season 2

    Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan kecil di rumah minimalis dua lantai berwarna biru. Pagi itu, suasana terasa hangat, bukan karena sinar matahari, tetapi karena kebahagiaan yang masih membara setelah bulan madu yang baru berlalu. Nadya berdiri di dapur, mengenakan apron bergambar bunga, sibuk membalik telur di wajan. Dari arah kamar, Firman muncul dengan rambut yang masih acak-acakan, mengenakan kaos polos yang melekat di badan dan celana pendek santai. Tatapannya langsung tertuju pada Nadya yang tampak begitu alami dalam balutan baju tidur satin lengan panjang dengan rambut yang tergerai hingga punggung.“Sayang,” bisik Firman di dekat telinga Nadya dengan suara berat khas orang bangun tidur. Tangannya melingkar di pinggang wanita itu seolah tidak rela sang istri meninggalkan ranjang mereka. “Kok kabur, sih? Padahal aku masih mau peluk cium kamu kayak tadi.”Nadya sedikit tersentak, tapi langsung tersenyum kecil. “Mas, ini masih pagi, jangan mulai usil, deh. Siapa suru

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Extra Part 3

    "Saya nikahkan dan jodohkan engkau, Firman Alamsyah dengan putri saya, Nadya Kinanthi Bagaskara, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan logam mulia 50 gram, dibayar tunai." "Saya terima nikahnya Nadya Kinanthi Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!" Suara Firman tegas, mantap, menggema di ruangan sederhana itu. Begitu ijab kabul selesai, suasana mendadak hening, hanya terdengar isak haru dari beberapa tamu yang hadir. Nadya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Firman yang kini resmi menjadi suaminya. Hatinya bergemuruh, rasa syukur dan kebahagiaan berbaur jadi satu. "Bagaimana para saksi? Sah?" "Sah!" Penghulu membacakan doa untuk kedua mempelai disertai semua orang yang menengadahkan tangan mengaminkan. Nadya terlihat begitu anggun dalam balutan kebaya putih yang sederhana tapi tetap terlihat elegan. Kristal Swarovski menyertai sulaman halus di sepanjang kainnya, memancarkan keanggunan yang tak tertandingi. Meski kebaya itu memeluk tubuhnya dengan s

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Extra Part 2

    Di sebuah restoran mewah yang elegan dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan di langit-langit, Nadya, Firman, dan keluarga duduk melingkar di sebuah meja panjang. Aroma makanan lezat memenuhi udara, membuat suasana semakin hangat dan nyaman. Lilin-lilin kecil di atas meja menambah keintiman momen itu, sementara pelayan dengan sigap menyajikan hidangan satu per satu—dari steak yang empuk hingga seafood segar yang disusun indah di atas piring. Nadya duduk di samping Firman, masih tersenyum bahagia setelah momen lamaran yang manis beberapa jam lalu. Di sebelahnya, Bima yang selalu ceria, sibuk memakan pasta kesukaannya dengan tawa kecil setiap kali Firman mencoba mencuri satu gigitan dari piringnya. Ting! Ting! "Mohon perhatiannya sebentar." Di ujung meja, Papa Bagaskara mengetukkan ujung sendoknya ke bibir gelas, meminta atensi. Semua pasang mata tertuju padanya. Suasana makan yang semula dihiasi percakapan dan tawa, kini menjadi tenang. "Firman," Papa Bagaskara membuka percakap

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Extra Part 1

    “Capek nggak?” Firman memecah keheningan sambil menatap Nadya yang duduk bersebelahan di teras rumah. Langit sepenuhnya gelap dan udara dingin mengelus pelan wajah mereka. Melihat Nadya banyak terdiam sejak meninggalkan rumah sakit jiwa tempat Joyce dirawat, pria itu belum tega meninggalkannya. Khawatir Nadya merasa bersalah atas keadaan mantan sahabatnya itu. "Boleh kok sini bersandar di bahu. Gratis!" Nadya menghela napas, tapi akhirnya menggeser posisi duduknya mendekati Firman. “Bukan capek fisik, sih, tapi... rasanya hari ini berat banget.” Matanya menerawang ke arah taman kecil di depan mereka, sinar bulan samar-samar menerangi bunga-bunga yang berjejer rapi di bawah pohon cemara. Firman mengangguk paham. “Iya, aku ngerti. Hari ini memang berat buat kamu,” Dia melirik Nadya sejenak, lalu kembali menatap langit yang penuh bintang, “tapi kamu nggak sendirian, Na. Aku ada di sini.” Nadya tersenyum kecil, tapi tak menjawab. Ia menundukan pandangan, menatap jemarinya sendiri

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Hukum Tabur Tuai

    Dua bulan kemudian …. Langit sore tampak mendung seakan turut merasakan kesunyian yang menggantung di antara suara langkah kaki Nadya dan Firman. Mereka berjalan perlahan di sebuah rumah sakit jiwa, tempat di mana Joyce sekarang tinggal—atau lebih tepatnya, terpaksa tinggal. Sejak ditangkap oleh pihak berwajib, wanita itu mengalami banyak sekali pukulan yang membuat fisik maupun mentalnya berantakan. Dinding putih yang kusam dan aroma obat yang menusuk memenuhi udara, menambah nuansa berat pada hati Nadya. “Silakan. Ini ruangan Ibu Joyce. Jam-jam seperti sekarang ini, Ibu Joyce biasanya duduk di teras belakang sambil menggendong ‘bayinya’,” ucap perawat sambil memberi tanda kutip saat mengucapkan kata bayi. Wanita cantik dengan jilbab pashmina warna mustard itu mengangguk, berterima kasih dan membiarkan perawat pergi. Kakinya bergerak perlahan, mendekat ke arah pintu belakang kamar Joyce. Mata Nadya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bangku panjang yang menghadap tam

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Joyce Ditangkap

    Firman melirik ke arah kaca spion, menatap cemas Nadya yang terbaring lemah di bangku belakang. Tubuh wanita itu tampak lunglai, wajahnya pucat pasi. Sesekali dia memanggil namanya, “Na... Nana, kamu bisa dengar aku?" Tidak ada respons. “Nadya!” seru Firman sambil membelokkan mobil ke arah kiri, menuju rumah sakit terdekat dari posisinya sekarang. Hanya gerakan pelan dari kelopak mata Nadya yang menunjukkan wanita itu tetap sadar, tapi cukup untuk membuat Firman sedikit lega. Tangan kirinya memegang kemudi erat, sementara tangan kanannya berkali-kali membunyikan klakson, menyingkirkan kendaraan lain yang menghalangi jalannya. “Tahan sebentar, Na. Kita hampir sampai!” Firman menggigit bibirnya dengan napas tak beraturan saat mendapati Nadya meringis menahan sakit. Matanya terpaku pada jalan di depan, tapi pikirannya sudah berlarian ke segala arah. Dia harus cepat sebelum wanita itu kehilangan banyak darah yang bisa membahayakan nyawa. Suara detak jantungnya sendiri terdengar

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Kesempatan Terakhir

    Firman melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang di jalan yang sepi. Udara di luar agak panas, tapi di dalam mobil, suasananya justru terasa dingin dan tegang. Sesekali, dia melirik ke arah Nadya yang duduk di sampingnya. Sejak mereka meninggalkan tontonan Reza yang ditangkap polisi, Nadya belum mengucapkan sepatah kata pun, matanya lurus menatap jalan di depan. Merasa tercekik, akhirnya Firman memecah kesunyian. "Na, kamu yakin mau menemui Joyce?" Tanpa menoleh, Nadya mengangguk pelan. "Yakin. Gimanapun juga, dia pernah ada di masa-masa tersulitku. Aku mau kasih dia kesempatan sekali lagi buat menyesali perbuatannya. Kalau dia ngaku salah, aku nggak akan perpanjang kesalahannya selama ini. Aku biarin dia pergi dengan uang hasil penjualan rumahku. Mungkin dia bisa memulai hidup yang lebih baik di tempat neneknya." Firman mendesah pelan, menggelengkan kepala dengan sedikit heran. "Kamu terlalu baik, Na. Joyce udah khianati kamu, tapi kamu masih bisa selembut itu." Nadya terkekeh

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status