“Kenapa perasaanku tiba-tiba nggak enak begini?” gumam Joyce lirih, hanya terdengar oleh telinganya sendiri."Joy!"Joyce terkesiap sampai membuat kedua bahunya berjengit. Tubuhnya menegang dengan degup jantung yang kembali kencang.“Ponsel kamu bunyi,” ucap Dani dengan wajah bersahabat seperti sebelumnya. Nada bicaranya pun ringan tanpa beban."Astaga! Aku mikir apa, sih?"Joyce menggelengkan kepala kuat-kuat, mengusir perasaan tidak nyaman yang entah dari mana munculnya. Dia segera mengambil ponsel yang tergeletak di meja dan kembali terkesiap saat melihat nama pemanggilnya. Mas Reza!rWanita hamil itu segera menguasai dirinya dan berbisik pelan, "Mas Reza, calon suamiku. Mas Dani diem dulu, ya."Dani mengangguk. Dia tidak keberatan harus menyembunyikan dirinya sendiri.Joyce menarik napas dalam, berusaha meredam rasa bersalah yang tiba-tiba menyelimuti dirinya karena sedang berduaan dengan laki-laki lain. Meski mereka tak ada hubungan, tidak seharusnya dia begitu akrab dengan orang
Semakin besar rasa cinta kita, semakin dalam luka yang terasa saat kehilangan ….***"Nana, udah bangun, Nak?" Suara Mama Anita terdengar samar, membangunkan Nadya yang ketiduran di atas sajadah setelah sholat Subuh. Meski hati dan jiwanya hancur, satu hal yang tak pernah terlewat darinya adalah pertemuan dengan Sang Pencipta. “Buka pintunya, Sayang.”Nadya menatap jam digital di atas nakas yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Meski tubuhnya terasa sedikit kaku, tapi wanita yang masih mengenakan mukena itu memaksakan diri untuk duduk. Napas berat diembuskan perlahan dari mulut. Perlu beberapa saat untuk mengumpulkan kesadaran, mengingatkan dirinya pada realitas yang menyesakkan.Ketukan halus kembali terdengar."Mama bawa sarapan untuk kamu," ucap Mama Anita lembut dari balik pintu. “Tolong buka pintunya, Sayang.”Perlahan, Nadya berdiri dan membuka penghalang yang sejak kemarin memisahkannya dari dunia luar. Wajah hangat ibunya terlihat, diiringi semangkuk bubur Manado di tangan ya
“Sayang, Mama sama Papa mau ajak Bima ke timezone. Kamu beneran nggak ikut?”Nadya menggeleng lemah, menatap putranya yang terlihat lebih ceria setelah sepanjang pagi terlelap dalam pelukannya. Tak hanya keadaan Bima yang membaik, Nadya pun merasakan hal yang sama. Meski masih menyimpan kesedihan dan pikiran terkait kehamilannya, tapi dia sudah lebih tenang sekarang.“Mami gak itut?” tanya bocah tiga tahun itu memastikan. Besar harapannya sang ibu bisa terus membersamainya.“Nggak, Sayang,” jawab Nadya sambil berjongkok di depan Bima. “Mami belum bisa pergi-pergi dulu, masih harus istirahat. Kan Mami baru pulang dari rumah sakit,” jelasnya mencari alasan. Sebenarnya, Nadya tidak ingin pergi karena mulai merasa mual. Pagi tadi, begitu Mama Anita keluar dari kamarnya, ia memuntahkan semua makanan di perutnya. Morning sickness mulai terasa di bulan kedua ini. Sedikit terlalu awal, tapi balada hamil muda setiap wanita berbeda-beda.“Pa, Mama juga sebenarnya nggak tega ninggalin Nana send
Wajah Nadya bersemu merah. Dia cukup terkejut dengan sikap Firman yang seenaknya sendiri dan berbicara ceplas-ceplos. Benar-benar berbeda 180 derajat dengan pembawaannya dulu yang pemalu dan cenderung banyak diam.Bayangan masa-masa indahnya saat bersama Firman kembali berputar di kepala. Pria itu selalu menuruti permintaannya tanpa tapi.“Kenapa senyum-senyum begitu?” tanya Nadya sedikit tersentak saat lamunan singkatnya berakhir dan mendapati si pengacara tampan rupawan mengulas senyum hangat sambil menatapnya.“Nggak apa-apa, Bu. Saya baru pernah lihat orang terpesona sampai segitunya sama saya. Kayak orang yang gagal move on aja.”“Diem kamu. Siapa yang gagal move on?!”Firman hanya mengangkat bahu, sama sekali tidak tersinggung dengan bentakan Nadya. Sebaliknya, dia justru senang karena kesedihan yang menggelayut di mata indah wanita pujaannya mulai berkurang. Berganti dengan ekspresi kekesalan seolah ingin menelan dirinya hidup-hidup.“Lima belas menit sudah berlalu. Waktu Bu Na
Nadya memasuki rumah dengan langkah ringan setelah kepergian Firman. Namun, keningnya berkerut menatap layar ponsel yang menampilkan pesan aneh dari nomor yang tak dikenal."Siapa, sih?" gumamnya sambil duduk di kursi sofa ruang tengah dan menyandarkan punggungnya ke belakang."Aku bisa membantu menghancurkan mantan suamimu. Dia ada dalam genggamanku."Nadya membaca keras-keras pesan itu sambil mencerna maksudnya dan menerka-nerka siapa pengirimnya. Seharusnya hanya orang-orang terdekat saja yang tahu nomor pribadinya itu."Nggak banyak orang yang tahu nomor ini, kenapa bisa ada pesan kayak gini nyasar ke sini? Apa mungkin cuma orang iseng, ya?"Dengan acuh tak acuh, Nadya meletakkan gawai pintarnya ke atas meja. Dia tidak ingin memikirkannya. Meskipun hati kecilnya masih diliputi rasa penasaran, tapi dia tidak ingin membuang energi untuk hal percuma. Dia memilih tenggelam dalam dunia novel fiksi yang bisa memberikan hiburan untuknya.Namun, satu nama tiba-tiba terbersit saat membalik
“Ini kopinya, Pak. Tanpa gula seperti permintaan Bapak.”Alya meletakkan secangkir kopi di meja Reza, tak begitu jauh dari laptop yang redup layarnya, mode sleep otomatis saat lebih dari 30 menit tidak digunakan.“Hmm, ma—” Kalimat Reza terhenti sebelum melanjutkan, “Kok baju kamu ganti?” imbuhnya dengan kening berkerut menatap penampilan baru Alya.Alih-alih berterima kasih, justru pria itu gagal fokus dan bertanya demikian. Kata itu terucap bersama ekspresi keterkejutan yang begitu kentara. Sarat akan rasa kecewa.“Oh, baju saya?” tanya Alya pura-pura polos. Deretan giginya sengaja ditampakkan sebelum memberi alasan.“Tadi saya nggak hati-hati waktu makan. Krim cake-nya kena baju. Saya coba lap pake tisu basah malah jadi ke mana-mana nodanya, Pak. Untung saya bawa ganti. Kalau nggak, nggak enak dilihatnya. Kotor!” ungkap gadis itu sengaja menekan intonasi kata terakhir sebagai sindiran karena pikiran kotor Reza padanya.“Lain kali hati-hati kalau makan. Kamu bukan lagi anak kecil.”
"Hallo, Mas Reza!" Joyce menjauhkan telepon dari telinga, memeriksa sambungan telepon yang beberapa detik lalu berbunyi Tut tut tut."Mas Reza!" teriak Joyce jengkel. "Hallo!" imbuhnya dengan nada yang semakin tinggi. Namun, layar ponselnya sudah kembali ke mode stand by yang menegaskan kalau pria itu tak akan lagi mendengar suaranya."Argh!"Joyce menghentak kakinya sambil menggerutu."Dasar laki egois, maunya dingertiin tapi gak bisa ngertiin. Ditelepon gak dijawab-jawab. Sekalinya dijawab malah ngomel melulu kayak kaleng rombeng. Udah susah-susah pasang suara manis, eh, ujung-ujungnya disuruh jangan ganggu!"Joyce mengerucutkan bibir sambil melempar ponsel ke sofa. Ingatan ponsel yang hancur berkeping-keping tempo hari seolah mengingatkannya bahwa dia harus menyayangi benda mahal itu. Terlebih, angsuran pertama pinjaman online-nya saja belum mulai dibayarkan."Kalau bukan demi minta uang buat bayar pinjol, ogah banget aku merendahkan diri ngomong baik-baik sama dia kayak tadi. Mau
Joyce berdiri di balkon sambil menatap kepergian Minah yang membawa tas kecil berisi baju. Dia masih sempat menggeledah barang bawaan wanita itu, tapi hanya berisi daster, baju harian, dan kain jarik yang sering digunakan sebagai selimut saat tidur. Tak ada barang-barang berharga seperti yang Joyce curigai. "Saya memang miskin, Bu, tapi saya gak akan nyolong. Daripada curiga saya bawa kabur harta Bu Joyce, mendingan Ibu hati-hati sama tangan Ibu sendiri yang suka belanja online. Jangan sampai terlilit pinjaman online. Masuk bui risikonya kalau gak bisa bayar!" Kata-kata Minah saat memasukkan baju-baju yang Joyce hamburkan dari tas sepuluh menit lalu, kembali terngiang-ngiang di telinga. Ada ketakutan yang diam-diam menyergap. Bagaimana jika dia benar-benar tidak bisa membayar angsuran setiap bulannya? Joyce menggelengkan kepala berkali-kali. Dia tidak ingin memikirkan kemungkinan terburuk itu. Satu yang pasti, dia harus mendapat uang dari Reza malam ini. Wanita hamil itu berbalik
"Nggak ada. Aku cuma mau main-main sama kamu, Mas. Nggak boleh?""Apa?!" Kedua tangan Dani terkepal di samping badan Alya. Embusan napasnya terasa kian berat.Alya tidak langsung menjawab. Tatapannya tenang, tapi penuh siasat. Di bibirnya tersungging senyum tipis yang tidak sampai membuat sudut matanya berkerut."Kamu marah, Mas?" tanyanya pelan, tapi penuh ketegasan. "Apa kamu punya hak buat mengatur hidupku? Aku dan kamu nggak ada ikatan kecuali sama-sama anak angkat Om Wirawan."Dani menggeram tertahan. Ia meraih pergelangan tangan Alya, menahannya ke dinding—tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat gadis itu berhenti bicara."Jangan main-main, Al. Kamu nggak tahu siapa berandalan itu!""Kamu yang jangan main-main, Mas!" sela Alya dengan mata memelotot, tak gentar menatap Dani yang berusaha mati-matian menahan emosi."Kamu pikir aku bisa diam lihat kamu datang dengan sampah macam dia?" Suara Dani bergetar, menunjuk ke arah ballroom di mana Andrew berada."Sampah?" beo Alya sambil
Suasana ballroom hotel bintang lima itu terasa meriah. Gemerlap lampu kristal memantulkan kilauan ke setiap sudut ruangan, sementara para tamu—bergaun dan bersetelan mahal—bercakap-cakap dengan anggun.Bunga-bunga tertata rapi di berbagai sudut, berpadu dengan meja-meja penuh hidangan dan berbagai minuman. Standing party yang membutuhkan dana tidak sedikit. Sebagai tangan kanan Om Wirawan, Dani harus menjamu para konglomerat dengan jamuan yang pantas."Semua berjalan sesuai rencana, Tuan," lapor seorang pria berpakaian hitam kepada Om Wirawan yang berdiri di samping Dani. Dia kepala keamanan yang memastikan semua tamu masuk tanpa membawa senjata tajam maupun alat berbahaya. Bahkan ponsel pun tertahan di penerima tamu.Pria paruh baya itu hanya mengangguk singkat, menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Hanya 200 tamu undangan, rekan bisnis di 'dunia atas' yang bersih. Kalaupun ada rekan bisnis gelapnya, mereka membaur sempurna seperti 'orang baik '.Semua menikmati pesta, menyantap hida
“Mas, gimana caranya aku ngomong ke Alya soal pertunangan Mas Dani?” tanya Nadya berbisik—setelah lelah mondar-mandir di ruang tengah rumah sewa, tapi belum juga menemukan cara yang tepat.Firman mendesah, terpaksa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Sama seperti yang istri, dia juga didera perasaan gamang terkait keputusan Dani yang menghebohkan itu. Di antara semua orang, dia dan Nadya yang paling dekat dengan Alya sekarang.“Na, masalah pertunangan ini nggak sesederhana seperti apa yang kita pikirkan. Aku mencoba mencari simpulnya sedari tadi, siapa sosok yang mau bertunangan dengan Mas Dani. Tapi semuanya terasa normal-normal aja. Ini akun sosial medianya.”Firman menggeser laptop, memperlihatkan nama Putri Anggun Wijaya, nama yang sama seperti yang tercetak di dalam undangan.“Dia putri angkat keluarga Wijaya. Kemungkinannya, ini semacam perjodohan bisnis. Kamu tahu sendiri, Om Wirawan dan Mas Dani adalah dua orang yang nggak terpisahkan. Bisa jadi, Mas Dani nggak benar-b
“Nggak ada yang perlu dijelaskan. Ini urusan pribadiku sama Cinderella.”“Cin... Cinderella?” beo Firman dengan napas tercekat di tenggorokan.Butuh waktu satu-dua detik untuknya mencerna ucapan di ujung telepon. Meski pernah mendengar nama itu dikisahkan, tapi dia belum tahu bagaimana fisik Cinderella. Secantik apa dia?“Kamu yakin nggak akan menyesal, Mas? Aku sama Nadya udah ketemu Alya. Dia kelihatan—”“Dia cuma aku anggap adik. Semoga kamu nggak lupa, Fir,” sela Dani cepat, memotong ucapan Firman yang baru setengah jalan.“Dia memang pernah menjadi tanggung jawabku, tapi bukan berarti akulah tempat dia menggantungkan harapan. Aku punya kehidupanku sendiri.”Firman hanya bisa menelan ludah, tak bisa berkata-kata. Setiap ucapan dari bibir Dani terasa dingin dan menusuk, tidak ada sedikit pun ruang bagi Alya untuk masuk ke hatinya.Meski menegaskan demikian, pada kenyataannya Dani mencengkeram kuat-kuat pecahan cermin di tangannya. Darah segar yang menetes dari telapak tangan yang t
“Maksud Mama gimana? Tunangan? Sama siapa?” Langkah Nadya yang semula terburu-buru menuju rumah sewa terhenti mendadak. Dengan gemetar, dia duduk di bangku kayu di depan rumah makan Bu Ayu. Rasa terkejutnya begitu besar hingga dia lupa bahwa Firman dan Alya sedang menunggunya di rumah. “Mama juga nggak tahu, Na. Wirawan yang datang tadi dan kasih undangan itu. Selebihnya Mama nggak tahu. Tadi Mama masih ngurus Bima, jadi nggak sempat minta dia duduk. Eh, katanya dia juga lagi buru-buru mau ada urusan.” Suara Mama Anita terdengar jelas di seberang telepon. “Kok bisa mendadak begini, Ma? Padahal Dani sama Alya lagi…” Nadya buru-buru menutup mulutnya, hampir saja keceplosan. “Dani kenapa sama Alya?” Mama Anita terdengar sedikit penasaran. Nadya menjauhkan ponsel dari telinga, berusaha mengendalikan emosinya. Matanya menatap laut di kejauhan, ombak berkejaran tanpa henti seperti pikirannya saat ini. Satu yang pasti, dia harus tetap tenang. “Nana, kamu masih di sana? Halo?” Mam
Firman menutup laptopnya, melirik jam segi empat di pergelangan tangan kirinya. Benar-benar 30 menit seperti yang ia janjikan pada Nadya.[Kamu masih di rumah makan itu, Na? Aku ke sana sekarang.]Pesan itu terkirim, ceklis 2, tapi masih abu-abu. Belum dibaca."Langsung ke sana aja lah," ucap Firman bergumam. Tangannya merapikan lengan kemeja sebelum keluar dari rumah sewa.Seolah berkejaran dengan waktu, pria itu menuruni anak tangga 4 pijakan dengan tergesa. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah berada di dekat jalan raya, siap menyeberang. Namun, saat kakinya hendak melangkah melewati jalanan aspal, tubuh pria itu mendadak membeku. Tak jauh dari posisinya, tampak seorang gadis berjalan sambil menundukkan kepala. Meski wajahnya tak terlihat, tapi Firman hafal betul postur maupun gesturnya."Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih atas semua kemudahan yang Kau berikan," bisik Firman lirih, meraup wajahnya dengan tangan.Pengacara muda itu mengubah haluan, mendekat ke arah gadis yang
Tepat pukul sembilan pagi, Alya melangkah keluar dari kamar. Celana jeans membungkus kaki jenjangnya, berpadu dengan atasan tanpa lengan bermotif bunga-bunga. Kulitnya yang bersih, terlihat bercahaya di bawah sinar matahari, leher jenjangnya mulus tanpa noda—sesuatu yang tak banyak dimiliki gadis seusianya, kecuali mereka yang merawatnya dengan baik. Langkah Alya terasa ringan, siap membantu Bu Ayu di rumah makan seperti kemarin. Rasanya menyenangkan berjualan, bertemu banyak orang dan merasakan kehangatan suasana desa. Namun, senyum Alya tertahan saat tatapan wanita itu seolah mengulitinya. Bu Ayu berdiri di dekat pintu, jilbabnya rapi, tas mungil tergantung di bahu yang tertutup kebaya lengan panjang. Matanya menyapu penampilan Alya dari kepala hingga kaki, lalu kembali naik dengan sorot yang sulit disembunyikan—ketidaksukaan. "Ibu mau ke rumah makan sekarang, Bu?" tanya Alya, mencoba mencairkan suasana. Bu Ayu tak langsung menjawab. Alisnya berkerut, seolah menimbang sesuatu
Dani mengerjap ketika tirai terbuka, membiarkan sinar matahari menampar wajahnya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, berusaha menghindari cahaya yang terasa menusuk kepalanya yang pening. Begitu mencoba membuka mata sepenuhnya, palu godam terasa menghantam, memaksanya kembali memejamkan mata. "Nggak tahan alkohol, tapi sok-sokan minum *absinthe*. Udah bosan hidup?" Suara itu membuat Dani tersentak. Lembut, tapi penuh sindiran. Suara yang sudah lama tak ia dengar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka mata, kali ini dengan lebih perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Sosok seorang wanita berdiri di dekat jendela, siluetnya samar diterpa cahaya pagi. Rambut panjangnya tergerai sedikit berantakan, tapi tetap terlihat menawan. Ia mengenakan kemeja putih longgar—yang, sialnya, tampak seperti pakaian yang Dani gunakan semalam. Kain itu menggantung di tubuhnya, sedikit kebesaran tapi tetap menciptakan nuansa yang berbahaya dan menggoda bagi pria dewasa sepert
WARNING! 🔞 ADULT CONTENT! "Mas, aku liat gadis yang mirip Alya!" seru Nadya sambil mengetuk pintu kamar mandi, mengganggu sang suami yang sedang mandi. Tadinya Nadya hanya ingin berdiri di beranda lantai dua, melihat gemintang di angkasa. Dia justru melihat sepasang sejoli sedang makan bersama di kejauhan. Gadis yang ia yakini sebagai Alya. Dari balik suara gemericik air shower, Firman tidak langsung menjawab. Dia sedang sibuk membilas shampo di kepala. "Mas Firman! Aku liat Alya!" ulang Nadya dengan suara yang lebih keras. Sengaja mengetuk pintu di depannya dengan ketukan yang lebih kuat. "Apa, Na?" sahut Firman balik bertanya, mencoba memusatkan pendengarannya di bawah guyuran air. "Ada Alya!" Detik berikutnya, suara aliran air terhenti dan pintu kamar mandi terbuka sedikit. Firman melongok keluar, membiarkan tetesan air mengalir dari ujung rambut basahnya. "Kamu ngomong apa tadi? Nggak jelas suaranya." Nadya menelan ludah menatap perut kotak-kotak di depannya. Namun, dia