Joyce berdiri di balkon sambil menatap kepergian Minah yang membawa tas kecil berisi baju. Dia masih sempat menggeledah barang bawaan wanita itu, tapi hanya berisi daster, baju harian, dan kain jarik yang sering digunakan sebagai selimut saat tidur. Tak ada barang-barang berharga seperti yang Joyce curigai. "Saya memang miskin, Bu, tapi saya gak akan nyolong. Daripada curiga saya bawa kabur harta Bu Joyce, mendingan Ibu hati-hati sama tangan Ibu sendiri yang suka belanja online. Jangan sampai terlilit pinjaman online. Masuk bui risikonya kalau gak bisa bayar!" Kata-kata Minah saat memasukkan baju-baju yang Joyce hamburkan dari tas sepuluh menit lalu, kembali terngiang-ngiang di telinga. Ada ketakutan yang diam-diam menyergap. Bagaimana jika dia benar-benar tidak bisa membayar angsuran setiap bulannya? Joyce menggelengkan kepala berkali-kali. Dia tidak ingin memikirkan kemungkinan terburuk itu. Satu yang pasti, dia harus mendapat uang dari Reza malam ini. Wanita hamil itu berbalik
"Ah, oh ... itu karena dia juga nggak becus ngurus kerjaan lain. Udah berkali-kali aku tegur, tapi hasilnya masih sama," jawab Joyce sekenanya, terlihat hanya mengada-ada. "Jadi, kamu sendirian di rumah?" Joyce mengangguk dengan wajah sedih yang dibuat-buat. "Satu-satunya kelebihan Minah cuma bisa masak makanan kesukaan Mas Reza. Sekarang aku harus putar otak gimana caranya nyari orang yang bisa masak ikan dori asam manis sama balado kentang. Mas Dani punya temen atau kenalan yang pinter masak, nggak?" "Ada, tapi dia lagi istirahat sekarang, nggak terima orderan. Kemarin baru pisah dari suaminya yang matre dan doyan selingkuh. Kalau aku jadi dia, udah kujambak pelakor itu sampai rambutnya botak." Joyce meneguk ludah dengan paksa sambil menyentuh rambutnya sendiri, menahan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menghampirinya. Di mata orang lain, dirinya pun bisa saja disebut pelakor yang merusak rumah tangga Nadya. Meski pada kenyataannya, dia yang memulai hubungan terlebih dahulu deng
Nadya berdiri di taman belakang rumah sambil menggenggam selang air. Dia menyiram mawar putih kesayangannya sambil melamun.Penjelasan Firman mengenai janin yang dikandungnya—yang ternyata masih terikat erat dengan Reza—membuatnya tidak bisa melupakan pria itu. Sampai kapan pun, mereka masih akan bersinggungan. "Mami!" seru Bima, sengaja mengagetkan ibunya dari belakang, membuat wanita 28 tahun itu tersentak dan memutus lamunannya. "Bima udah puwan," imbuhnya dengan suara khas anak-anak yang ceria.Seketika Nadya tersenyum, menyembunyikan keresahannya."Wah, jagoan Mami udah pulang main. Gimana tadi? Seru, nggak?" Wanita berjilbab pasmina hitam itu jongkok dan membuka tangannya untuk memeluk Bima.Bima langsung memeluk erat, hampir membuat Nadya kehilangan keseimbangan. "Seyu, Mi. Bima main mobil-mobilan, main peyosotan, mandi bola, banyak deh.""Iya?""Hmm. Kata Oma, Bima hayus jagain Mami sama dede bayi muyai sekayang soalnya Papi jauh," ucapnya polos. Nadya tersentak. Kata-kata B
"Saya udah di depan, Al. Kamu di mana?""Saya masih di minimarket, Pak. Sebentar lagi saya keluar."Jemari Reza mengetuk-ngetuk kemudi sambil memperhatikan pintu keluar. Matanya menangkap pergerakan seseorang yang postur tubuhnya tampak familiar. Kutilang—kurus, tinggi, langsing. Namun, penampilannya membuat si duda mes*m itu mengerutkan kening."Itu Alya? Kenapa dia pakai baju kayak gitu?" gumamnya beberapa detik sebelum seorang wanita yang mengenakan jaket hitam dan masker berwarna sama, mengetuk kaca mobilnya."Maaf ya, Pak, agak lama."Reza masih mencerna, kenapa gadis itu menutupi identitasnya seolah tidak ingin orang melihat wajahnya. Namun, tidak ada alasan kuat untuk bertanya."Ayo berangkat sekarang, Pak."Reza menekan pedal gas, menyembunyikan rasa ingin tahunya."Kamu bawa apa itu, Al?" Alya mengangkat nasi kepal yang dibungkus dengan nori, Yang dibelinya di minimarket tadi.“Ini onigiri, Pak. Saya lapar, jadi sekalian makan di jalan. Sampai rumah Budhe nanti, mungkin lang
"Cie, yang tersepona sama Om Duda," ledek Dani sambil msngerlingkan sebelah mata, sengaja menggoda. Ekor matanya memastikan mobil hitam yang dibawa Reza benar-benar menghilang dari pandangannya."Sembarangan!" sela Alya cepat. "Amit-amit jabang bayi punya suami mes*m, egois, sama serakah kayak dia. Daripada sama dia, mendingan sama Mas Dani aja yang jelas loyalnya."Dani terkekeh, tapi tidak menanggapi lebih lanjut. Sebenarnya dia tahu Alya menyimpan perasaan pribadi untuknya sejak gadis itu beranjak remaja, bahkan mungkin jauh sebelum itu. Namun, perbedaan usia dan harapan bahwa gadis itu bisa mendapat pasangan yang jauh lebih baik darinya, membuat Dani membangun pagar tinggi untuk membatasi perasaannya sendiri."Siniin barang kamu. Aku taruh di belakang."Sambil menghadiahkan tatapan jengkel, Alya mendorong tas gendong miliknya bersama laptop yang sedari tadi dipeluk di depan badan ke arah Dani."Mas, lain kali jangan ngeledek gitu lagi. Aku nggak suka," terangnya sebelum berbalik m
Sementara itu, di rumah Nadya, bel pintu berbunyi nyaring. Nadya yang kebetulan sedang duduk sambil mengajari Bima membaca, bergegas membuka pintu."Malam, Na. Semoga aku nggak diusir lagi kali ini karena udah bawa teh madu permintaan kamu."Nadya mengerutkan kening, menatap pria yang muncul dengan senyum cerah merekah di wajah. Tangan pria itu terulur, menyerahkan tumbler tahan panas dengan kapasitas 800 ml yang berisi teh campur madu.Belum sempat merespons, Papa Bagaskara lebih dulu muncul dari belakang."Nah, Firman udah dateng. Ayo masuk. Udah ditunggu dari tadi. Ayo, ayo!"Firman tersenyum, melewati Nadya di ambang pintu dan mengikuti pria paruh baya itu hingga ke ruang tengah. Minah segera mendekat dan mengambil alih gelas tahan panas beserta kantong plastik berisi martabak telor kesukaan Nadya dan terang bulan favorit Bima yang dibawa oleh pria itu."Om Fiman!" seru Bima tak kalah heboh dari penyambutan Pak Bagaskara. Bocah dengan kaus bergambar dinosaurus itu berlari secepat
"Firman, aku nggak suka main-main!" sentak Nadya sambil menyingkirkan tangan Firman dari bahu. Tatapannya tajam dan dalam."Aku juga nggak main-main, Na. Apa yang akan kamu dengar nanti, butuh kesiapan fisik dan mental untuk menghadapinya. Kalau kamu nggak siap, kita nggak akan membuka rahasia ini."Nadya kembali terdiam, tangisnya mereda, tetapi hatinya belum bisa sepenuhnya tenang. Tangan Firman kini justru menggenggam jemarinya. Satu hal yang seharusnya Nadya tolak karena sentuhan fisik mereka masih haram. Mereka belum ada ikatan. Namun entah kenapa, perasaan yang kalut membuat Nadya tidak rela melepas pria itu. "Tarik napas pelan-pelan. Aku selalu ada di belakang kamu. Apa pun yang terjadi.""Apa ini tentang Bima?" gumam Nadya dengan suara serak, masih tidak yakin dengan apa yang Firman maksud.Firman tersenyum, lalu berbisik, "Tentang kamu, Na. Malam ini sudah waktunya kamu tahu semuanya."Nadya menyeka sisa air matanya dengan punggung tangan, bingung tapi juga penasaran. Dengan
"Kamu yakin bisa mendengar semuanya?"Nadya mengangguk.“Baiklah." Om Wirawan menghela napas dan lanjut berkata, "Sebelum Reza menikah dengan kamu, dia sudah terikat dengan Joyce. Mereka saling membutuhkan, tapi bukan karena cinta. Itu semua hanya soal pelampiasan dan kebutuhan biologis. Dan Reza... dia melihatmu sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih mudah. Dengan menikahimu, dia bisa mendapatkan pekerjaan mapan, hidup nyaman, dan tetap mendapat ‘jatah’ dari Joyce.""Aku pernah dengar itu dari Joyce," sela Nadya sambil membenahi posisi duduknya."Lebih buruk dari itu, Na," timpal pria yang sudah Nadya anggap seperti ayahnya sendiri."Maksud Om terkait foto-foto itu?""Salah satunya. Itu hanya potret dua minggu terakhir selama dia pindah ke Bandung. Karena nggak ada kamu atau Joyce, dia jadi 'jajan' sembarangan. Kamu nggak merasa ada yang aneh dengan kelakuan Reza selama kalian berumah tangga?"Nadya mengernyit, pikirannya berusaha mencerna setiap kata. Matanya menatap ke lantai, k
“Maksud Mama gimana? Tunangan? Sama siapa?” Langkah Nadya yang semula terburu-buru menuju rumah sewa terhenti mendadak. Dengan gemetar, dia duduk di bangku kayu di depan rumah makan Bu Ayu. Rasa terkejutnya begitu besar hingga dia lupa bahwa Firman dan Alya sedang menunggunya di rumah. “Mama juga nggak tahu, Na. Wirawan yang datang tadi dan kasih undangan itu. Selebihnya Mama nggak tahu. Tadi Mama masih ngurus Bima, jadi nggak sempat minta dia duduk. Eh, katanya dia juga lagi buru-buru mau ada urusan.” Suara Mama Anita terdengar jelas di seberang telepon. “Kok bisa mendadak begini, Ma? Padahal Dani sama Alya lagi…” Nadya buru-buru menutup mulutnya, hampir saja keceplosan. “Dani kenapa sama Alya?” Mama Anita terdengar sedikit penasaran. Nadya menjauhkan ponsel dari telinga, berusaha mengendalikan emosinya. Matanya menatap laut di kejauhan, ombak berkejaran tanpa henti seperti pikirannya saat ini. Satu yang pasti, dia harus tetap tenang. “Nana, kamu masih di sana? Halo?” Mam
Firman menutup laptopnya, melirik jam segi empat di pergelangan tangan kirinya. Benar-benar 30 menit seperti yang ia janjikan pada Nadya.[Kamu masih di rumah makan itu, Na? Aku ke sana sekarang.]Pesan itu terkirim, ceklis 2, tapi masih abu-abu. Belum dibaca."Langsung ke sana aja lah," ucap Firman bergumam. Tangannya merapikan lengan kemeja sebelum keluar dari rumah sewa.Seolah berkejaran dengan waktu, pria itu menuruni anak tangga 4 pijakan dengan tergesa. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah berada di dekat jalan raya, siap menyeberang. Namun, saat kakinya hendak melangkah melewati jalanan aspal, tubuh pria itu mendadak membeku. Tak jauh dari posisinya, tampak seorang gadis berjalan sambil menundukkan kepala. Meski wajahnya tak terlihat, tapi Firman hafal betul postur maupun gesturnya."Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih atas semua kemudahan yang Kau berikan," bisik Firman lirih, meraup wajahnya dengan tangan.Pengacara muda itu mengubah haluan, mendekat ke arah gadis yang
Tepat pukul sembilan pagi, Alya melangkah keluar dari kamar. Celana jeans membungkus kaki jenjangnya, berpadu dengan atasan tanpa lengan bermotif bunga-bunga. Kulitnya yang bersih, terlihat bercahaya di bawah sinar matahari, leher jenjangnya mulus tanpa noda—sesuatu yang tak banyak dimiliki gadis seusianya, kecuali mereka yang merawatnya dengan baik. Langkah Alya terasa ringan, siap membantu Bu Ayu di rumah makan seperti kemarin. Rasanya menyenangkan berjualan, bertemu banyak orang dan merasakan kehangatan suasana desa. Namun, senyum Alya tertahan saat tatapan wanita itu seolah mengulitinya. Bu Ayu berdiri di dekat pintu, jilbabnya rapi, tas mungil tergantung di bahu yang tertutup kebaya lengan panjang. Matanya menyapu penampilan Alya dari kepala hingga kaki, lalu kembali naik dengan sorot yang sulit disembunyikan—ketidaksukaan. "Ibu mau ke rumah makan sekarang, Bu?" tanya Alya, mencoba mencairkan suasana. Bu Ayu tak langsung menjawab. Alisnya berkerut, seolah menimbang sesuatu
Dani mengerjap ketika tirai terbuka, membiarkan sinar matahari menampar wajahnya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, berusaha menghindari cahaya yang terasa menusuk kepalanya yang pening. Begitu mencoba membuka mata sepenuhnya, palu godam terasa menghantam, memaksanya kembali memejamkan mata. "Nggak tahan alkohol, tapi sok-sokan minum *absinthe*. Udah bosan hidup?" Suara itu membuat Dani tersentak. Lembut, tapi penuh sindiran. Suara yang sudah lama tak ia dengar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka mata, kali ini dengan lebih perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Sosok seorang wanita berdiri di dekat jendela, siluetnya samar diterpa cahaya pagi. Rambut panjangnya tergerai sedikit berantakan, tapi tetap terlihat menawan. Ia mengenakan kemeja putih longgar—yang, sialnya, tampak seperti pakaian yang Dani gunakan semalam. Kain itu menggantung di tubuhnya, sedikit kebesaran tapi tetap menciptakan nuansa yang berbahaya dan menggoda bagi pria dewasa sepert
WARNING! 🔞 ADULT CONTENT! "Mas, aku liat gadis yang mirip Alya!" seru Nadya sambil mengetuk pintu kamar mandi, mengganggu sang suami yang sedang mandi. Tadinya Nadya hanya ingin berdiri di beranda lantai dua, melihat gemintang di angkasa. Dia justru melihat sepasang sejoli sedang makan bersama di kejauhan. Gadis yang ia yakini sebagai Alya. Dari balik suara gemericik air shower, Firman tidak langsung menjawab. Dia sedang sibuk membilas shampo di kepala. "Mas Firman! Aku liat Alya!" ulang Nadya dengan suara yang lebih keras. Sengaja mengetuk pintu di depannya dengan ketukan yang lebih kuat. "Apa, Na?" sahut Firman balik bertanya, mencoba memusatkan pendengarannya di bawah guyuran air. "Ada Alya!" Detik berikutnya, suara aliran air terhenti dan pintu kamar mandi terbuka sedikit. Firman melongok keluar, membiarkan tetesan air mengalir dari ujung rambut basahnya. "Kamu ngomong apa tadi? Nggak jelas suaranya." Nadya menelan ludah menatap perut kotak-kotak di depannya. Namun, dia
"Kamu suka tempat ini, Na?" Firman bertanya sambil mengikuti sang istri. Dia memperhatikan Nadya yang memandang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang beraroma kayu dan langsung menghadap laut, yang akan mereka tempati selama di Jogja."Suka. Bagus. Nyaman."Firman tersenyum lega. Berbeda dengan Hotel Kencana yang penuh kenangan pahit, rumah sewa ini jelas jauh berbeda vibe-nya. Lantainya dari kayu, jendelanya besar menghadap laut, dan suara ombak menjadi latar yang menenangkan. "Kok kamu bisa nemu tempat ini, Mas?" Nadya bertanya sambil menaruh tas kecilnya di atas ranjang. Firman tersenyum tipis sebelum berkat, "Aku pernah nginep di sini waktu itu." Nadya menoleh dengan cepat, menatap Firman dengan kening berkerut. "Sama siapa?" tanyanya dengan jantung yang terasa berdetak lebih cepat. Luka dari pengkhianatan Reza dan Joyce masih menyisakan bayangan samar di hatinya. Ia tak ingin curiga pada Firman, tapi refleks pertanyaan itu keluar begitu saja. "Samaaa..." Firma
"Maaf, Bu, apa Alya semalam atau pagi ini ke sini?" Dani berdiri di ambang pintu panti asuhan, suaranya terdengar tenang, tetapi jari-jari tangannya yang mengepal di sisi tubuhnya menceritakan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. "Alya?!" Bu Ratri menatapnya dengan mata penuh tanya. “Ada apa? Kamu bertengkar dengan dia?” Dani menggeleng, meski gerakannya terasa berat. “Bukan begitu, Bu. Cuma ada sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dia pergi tanpa pamit, meninggalkan dompet dan ponselnya.” Bu Ratri menghela napas panjang, seakan beban yang sempat menghimpitnya sedikit terangkat. “Syukurlah,” gumamnya. Dani menatapnya dengan kening berkerut. Kenapa Bu Ratri bersyukur?Bu Ratri tersenyum samar, lalu berjalan menuju ruang tamu kecil panti. Dani mengikutinya, menyadari betapa tempat ini tak banyak berubah sejak terakhir kali ia datang. Aroma kayu tua dan buku-buku lama masih memenuhi udara, membawa serta kenangan yang dulu terasa hangat, tapi kini, ada sesuatu yang koso
Bu Ayu mengambil nampan yang akan diisi dengan makanan. Seulas senyum terukir di wajah cantiknya meski tak lagi muda begitu melihat interaksi Alya dan Dimas yang bernuansa romansa.Sebenarnya tak hanya Bu Ayu, beberapa pegawai di sekitar mereka juga mulai berbisik-bisik lirih. Sekali lihat saja, mereka tahu Den Bagus-nya menyukai gadis yang masih membeku di tempatnya."Mbakyu, iku calonnya Mas Dimas?" tanya seorang wanita yang selama ini menjadi tangan kanan Bu Ayu, Sumiati.Alih-alih menjawab, justru senyum lebar tampak merekah di wajah wanita paruh baya itu."Piye? Cocok, ndak?" Bu Ayu balik bertanya seolah mengiyakan prasangka barusan."Cocok, Mbakyu. Cantik, putih, mulus, kayak artis di tivi. Kalau mereka nikah, nanti anaknya ganteng mirip Mas Dima lan ayu-ayu mirip mbaknya."Bu Ayu tak bisa menyembunyikan tawa, menutupi mulutnya dengan tangan."Namanya Alya. Doakan saja, Sum. Semoga mereka berjodoh."Sumiati mengangguk, melangitkan doa yang sama dengan wanita di sampingnya."Oh,
Alya melangkah ragu di belakang Dimas, memasuki pelataran restoran yang ramai oleh pelanggan. Aroma gudeg yang manis gurih bercampur dengan wangi ayam opor dan sambal krecek memenuhi udara, menggoda perutnya yang sudah berteriak kelaparan."Iku sopo? Pacare Mas Dimas?" bisik salah satu pramusaji yang Alya lewati.Gadis itu merasa sedikit canggung karena penampilannya terbilang kacau—blouse kusut, celana jeans basah, dan yang paling parah, ia berjalan tanpa alas kaki.Dimas menoleh, menyadari langkah Alya melambat. "Ayo, langsung masuk ke dapur aja. Ketemu Ibu," ucapnya dengan suara ringan seolah membawa masuk Alya ke rumahnya sendiri."Dim, tapi aku—""Udah, nggak usah denger komentar mereka."Alya menelan ludah, ingin pergi saja dari sana. Namun, genggaman tangan Dimas terlalu erat, tidak bisa dilepaskan.Mereka melewati meja-meja kayu yang dipenuhi pelanggan. Beberapa dari mereka menoleh sekilas, satu-dua tersenyum, membuat Alya semakin tak kerasan. Yang bisa ia lakukan hanya meneb