WARNING! ADULT CONTENT ⚠️CERITA INI HANYA FIKSI. BUKAN UNTUK DITIRU!"Aku udah suruh orang buat buntutin Reza, Na. Dua minggu dengan kehidupan malam sebebas itu di Bandung, dia pasti ketagihan di sini. Dia kemungkinan besar mampir ke tempat hiburan malam atau booking wanita panggilan sebelum pulang," ucapnya sambil melihat Nadya dengan tatapan tegas."Pastikan semua bersih seperti biasanya, Dan!" "Pasti, Om. Orang-orangku nggak akan bekerja sembarangan. Mereka tahu resikonya."Nadya tidak berkomentar tentang kelakuan liar Reza yang benar-benar gila. Namun dia bergidik ngeri sampai menahan napas menatap Dani dan Om Wirawan—yang duduk tenang dengan pakaian rapi itu. Dia tahu betul sepak terjang adik kandung ayahnya tersebut.Bukan sekadar pebisnis biasa, Om Wirawan mungkin bisa disebut ma-fi-a. Dia adalah satu dari sekian banyak penguasa 'dunia bawah' yang menyembunyikan identitas aslinya. Bisnis elektronik dan perusahaan iklan—tempat Reza bekerja—hanya dua bidang usaha legalnya. Sed
Setelah pesan itu terkirim, Reza langsung menonaktifkan ponselnya. Langkah yang terencana untuk menghindari telepon maupun pesan balasan dari Joyce.Sambil memandang jalan yang semakin ramai di akhir pekan, Reza membenamkan diri dalam pikirannya yang penuh dengan perhitungan licik."Kalau aku bisa mendapatkan Alya yang lebih cantik, lebih muda, dan pastinya lebih ranum dari ujung kaki sampai ujung kepala," lirihnya sambil mengusap dagu, "aku nggak akan berpikir dua kali untuk menyingkirkan Joyce. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Aku masih membutuhkan dia karena udah nggak ada Nadya."Setelah mematikan ponsel pribadinya, Reza dengan santai merogoh kantong dalam jasnya dan mengeluarkan ponsel kantor yang selalu ia bawa. Tak ada sedikit pun rasa curiga di wajahnya. Baginya, ponsel kantor adalah alat yang aman, jauh dari pantauan Joyce. Namun, tanpa sepengetahuannya, ponsel itu sudah diretas oleh hacker yang dibayar oleh Dani, yang kini bisa mengawasi setiap gerakan dan aktivitas Rez
Jam dinding berdetak perlahan, menunjukkan pukul sepuluh malam. Dua jam telah berlalu sejak kebusukan Reza terungkap, tapi efeknya masih terasa seperti baru saja terjadi. Selama 30 menit penuh, Nadya duduk dalam diam, mencerna kenyataan pahit bahwa dia dibodohi oleh Reza dan Joyce selama bertahun-tahun.Di ruang tengah yang remang-remang, cahaya lampu gantung mewah menyoroti kursi sofa yang kini hanya ditempati oleh empat orang yang duduk berhadapan. Om Wirawan sudah berpamitan setelah makan malam, sementara Mama Anita dan Papa Bagaskara memilih untuk menemani Bima di kamarnya, membiarkan Nadya bersama Firman, Dani, dan Alya meneruskan percakapan sebelumnya.“Bisa kita mulai sekarang, Na?” tanya Firman dengan lembut namun tegas, memecah keheningan yang terasa berat. Nadya, yang baru saja menyesap teh madunya, mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa ia siap.Mereka duduk melingkar di meja bundar yang elegan. Aroma kopi hitam milik Dani dan Firman memenuhi udara, sementara segelas jus
"Aku udah booking paket pernikahan mewah di tiga wedding organizer atas nama mereka. Minggu depan, tim dari WO itu akan datang ke rumah Reza untuk bahas konsep sama minta DP. Ini bakal bikin kekacauan besar.” Nadya terkejut, tetapi kekaguman juga terlihat di wajahnya. Dani benar-benar memperhitungkan segala hal, dari yang besar sampai detail kecil. "Kalian beneran nggak main-main," Nadya berkata, suaranya terdengar lega namun juga takjub. “Tanpa aku turun tangan sekalipun, dendamku sudah terbalaskan.” "Masih ada lagi, Kak. Mas Dani yang baik hati dan tidak sombong ini udah jadi dewa penolong buat wanita itu." "Hmm? Dewa penolong gimana?" tanya Nadya sambil mengerutkan kening. Apa maksudnya? "Aku jerat dia dengan pinjaman online bunga tinggi.” Dani menjawab lugas. Nadya tertegun. "Pinjol?" Dani mengangguk. "Tanpa sepengetahuan Mas Reza?" Lagi-lagi pria—dengan kaus hitam lengan pendek yang menampakkan gurat ototnya—itu mengangguk. "Gila!" refleksnya berkomentar. “Parah
Joyce baru saja selesai berendam air hangat dan keluar dari kamar mandi sambil bersenandung. Tangannya bergerak membuka handuk yang mengular di atas kepala dan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer."Uh, udah wangi. Pasti Mas Reza bakal muji aku nih, nanti," gumamnya bahagia setelah membaui tubuhnya sendiri. "Udah sampai mana ya, Mas Reza kira-kira? Kok belum muncul? Atau dia mau kasih kejutan buat kita ya, Sayang?"Sambil tersenyum, ia mengelus perutnya yang mulai terlihat buncit. Joyce meninggalkan meja Rias dan mengganti kimono mandinya dengan gaun malam transparan kesukaan Reza. Setelahnya, dia mengambil ponsel di atas nakas dan keluar dari kamar, mulai menuruni anak tangga. Seulas senyum tersungging di wajahnya begitu melihat ada pesan dari Reza. "Loh, Mas Reza kirim pesan hampir dua jam yang lalu?" Joyce merasa bersalah, terlalu asyik berendam sampai membuatnya lupa waktu. "Pasti ...."Langkahnya terhenti, menampakkan wajah kecewa setelah membaca pesan dari Reza."Duh, weeke
Selamat malam, Bu Jo—""Nggak usah banyak omong," sela Joyce dengan suara gemetar, "cepat ke hotel Pacific Royal!"Sopir taksi—yang terlanjur menoleh ke belakang saat menyapa Joyce dengan ramah—itu mengamati penampilan penumpangnya yang tidak biasa. Seperti tampilan wanita yang panik pergi tanpa memperhatikan baju dan riasan di wajahnya. Bahkan, rambutnya pun terlihat berantakan."Apa lihat-lihat?!" gertaknya tajam. "Cepat jalan!"Tanpa membuang waktu, pengemudi taksi online itu langsung membawa mobilnya menyusuri jalanan kompleks perumahan elit tersebut. Di kursi belakang, Joyce masih saja tegang. Matanya tertuju lurus ke depan, wajahnya kaku dengan rahang mengeras. Berbagai caci maki tentang Reza susah payah tertahan di ujung bibirnya.Lima menit perjalanan yang penuh ketegangan, mobil yang awalnya berjalan lancar, kini mulai tersendat. Sesekali terhenti beberapa detik, sebelum bergerak kembali. Suara klakson di depan sana terdengar bersahut-sahutan.Alih-alih terurai dua menit kemu
Sementara Joyce masih meratap di kamar hotel yang berantakan, mobil Reza memasuki gerbang yang tak terkunci. Keningnya berkerut saat dia melihat pintu rumah terbuka lebar."Gerbang nggak dikunci, pintu rumah juga dibiarin terbuka jam segini. Ada tamu siapa? Apa mungkin Nadya mau ambil barang-barang? Kenapa baru sekarang?"Reza menatap sekeliling, tapi tidak mendapati apa pun di carport yang muat untuk dua mobil. Hanya kendaraan inventaris kantor Bandung yang dipakainya tadi.Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari, Reza menaiki anak tangga pendek menuju teras dan langsung masuk ke rumahnya di kluster elit itu. "Joy!" panggilnya sambil berjalan masuk. Sekali lagi, matanya berkeliling menyapu ruangan. Ruang tamu bersih, tak ada keanehan."Joyce, kenapa pintunya nggak kamu kunci?"Tetap tak ada jawaban, membuat Reza terus melangkah lebih jauh, memanggil ART mereka."Minah, Joyce ke mana, Nah?"Lagi-lagi hanya hening, tak ada suara balasan. Langkahnya terhenti di ruang tengah di man
"Pantas saja dia nggak merengek minta jatah walaupun aku jauh. Aku kira aku bisa percaya, ternyata dia punya laki-laki yang bisa memuaskannya kapan saja!" Reza mengeratkan gigi-giginya, wajahnya memerah menahan amarah."Dia harus kukasih pelajaran biar tahu siapa yang berkuasa di sini!" geram Reza dengan tatapan berkilat seolah ada api di matanya.Di sisi lain, Joyce berjalan gontai melewati lobi. Dia tidak peduli tatapan penuh selidik dari orang-orang di sekitarnya maupun anggukan sopan dari resepsionis di belakang meja. Hatinya hancur. Joyce langsung masuk ke dalam taksi yang kebetulan berhenti untuk menurunkan penumpang. Dia menyebutkan alamat rumahnya dengan suara terluka, tanpa memedulikan sopir yang memandang heran ke arah penampilannya. Dia duduk di kursi belakang, membanting pintu dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. Ponselnya masih digenggam erat. Di dalam kepala Joyce, pikirannya berputar-putar tanpa henti.Benarkah Reza selingkuh?Bagaimana bisa hubungannya deng
“Maksud Mama gimana? Tunangan? Sama siapa?” Langkah Nadya yang semula terburu-buru menuju rumah sewa terhenti mendadak. Dengan gemetar, dia duduk di bangku kayu di depan rumah makan Bu Ayu. Rasa terkejutnya begitu besar hingga dia lupa bahwa Firman dan Alya sedang menunggunya di rumah. “Mama juga nggak tahu, Na. Wirawan yang datang tadi dan kasih undangan itu. Selebihnya Mama nggak tahu. Tadi Mama masih ngurus Bima, jadi nggak sempat minta dia duduk. Eh, katanya dia juga lagi buru-buru mau ada urusan.” Suara Mama Anita terdengar jelas di seberang telepon. “Kok bisa mendadak begini, Ma? Padahal Dani sama Alya lagi…” Nadya buru-buru menutup mulutnya, hampir saja keceplosan. “Dani kenapa sama Alya?” Mama Anita terdengar sedikit penasaran. Nadya menjauhkan ponsel dari telinga, berusaha mengendalikan emosinya. Matanya menatap laut di kejauhan, ombak berkejaran tanpa henti seperti pikirannya saat ini. Satu yang pasti, dia harus tetap tenang. “Nana, kamu masih di sana? Halo?” Mam
Firman menutup laptopnya, melirik jam segi empat di pergelangan tangan kirinya. Benar-benar 30 menit seperti yang ia janjikan pada Nadya.[Kamu masih di rumah makan itu, Na? Aku ke sana sekarang.]Pesan itu terkirim, ceklis 2, tapi masih abu-abu. Belum dibaca."Langsung ke sana aja lah," ucap Firman bergumam. Tangannya merapikan lengan kemeja sebelum keluar dari rumah sewa.Seolah berkejaran dengan waktu, pria itu menuruni anak tangga 4 pijakan dengan tergesa. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah berada di dekat jalan raya, siap menyeberang. Namun, saat kakinya hendak melangkah melewati jalanan aspal, tubuh pria itu mendadak membeku. Tak jauh dari posisinya, tampak seorang gadis berjalan sambil menundukkan kepala. Meski wajahnya tak terlihat, tapi Firman hafal betul postur maupun gesturnya."Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih atas semua kemudahan yang Kau berikan," bisik Firman lirih, meraup wajahnya dengan tangan.Pengacara muda itu mengubah haluan, mendekat ke arah gadis yang
Tepat pukul sembilan pagi, Alya melangkah keluar dari kamar. Celana jeans membungkus kaki jenjangnya, berpadu dengan atasan tanpa lengan bermotif bunga-bunga. Kulitnya yang bersih, terlihat bercahaya di bawah sinar matahari, leher jenjangnya mulus tanpa noda—sesuatu yang tak banyak dimiliki gadis seusianya, kecuali mereka yang merawatnya dengan baik. Langkah Alya terasa ringan, siap membantu Bu Ayu di rumah makan seperti kemarin. Rasanya menyenangkan berjualan, bertemu banyak orang dan merasakan kehangatan suasana desa. Namun, senyum Alya tertahan saat tatapan wanita itu seolah mengulitinya. Bu Ayu berdiri di dekat pintu, jilbabnya rapi, tas mungil tergantung di bahu yang tertutup kebaya lengan panjang. Matanya menyapu penampilan Alya dari kepala hingga kaki, lalu kembali naik dengan sorot yang sulit disembunyikan—ketidaksukaan. "Ibu mau ke rumah makan sekarang, Bu?" tanya Alya, mencoba mencairkan suasana. Bu Ayu tak langsung menjawab. Alisnya berkerut, seolah menimbang sesuatu
Dani mengerjap ketika tirai terbuka, membiarkan sinar matahari menampar wajahnya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, berusaha menghindari cahaya yang terasa menusuk kepalanya yang pening. Begitu mencoba membuka mata sepenuhnya, palu godam terasa menghantam, memaksanya kembali memejamkan mata. "Nggak tahan alkohol, tapi sok-sokan minum *absinthe*. Udah bosan hidup?" Suara itu membuat Dani tersentak. Lembut, tapi penuh sindiran. Suara yang sudah lama tak ia dengar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka mata, kali ini dengan lebih perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Sosok seorang wanita berdiri di dekat jendela, siluetnya samar diterpa cahaya pagi. Rambut panjangnya tergerai sedikit berantakan, tapi tetap terlihat menawan. Ia mengenakan kemeja putih longgar—yang, sialnya, tampak seperti pakaian yang Dani gunakan semalam. Kain itu menggantung di tubuhnya, sedikit kebesaran tapi tetap menciptakan nuansa yang berbahaya dan menggoda bagi pria dewasa sepert
WARNING! 🔞 ADULT CONTENT! "Mas, aku liat gadis yang mirip Alya!" seru Nadya sambil mengetuk pintu kamar mandi, mengganggu sang suami yang sedang mandi. Tadinya Nadya hanya ingin berdiri di beranda lantai dua, melihat gemintang di angkasa. Dia justru melihat sepasang sejoli sedang makan bersama di kejauhan. Gadis yang ia yakini sebagai Alya. Dari balik suara gemericik air shower, Firman tidak langsung menjawab. Dia sedang sibuk membilas shampo di kepala. "Mas Firman! Aku liat Alya!" ulang Nadya dengan suara yang lebih keras. Sengaja mengetuk pintu di depannya dengan ketukan yang lebih kuat. "Apa, Na?" sahut Firman balik bertanya, mencoba memusatkan pendengarannya di bawah guyuran air. "Ada Alya!" Detik berikutnya, suara aliran air terhenti dan pintu kamar mandi terbuka sedikit. Firman melongok keluar, membiarkan tetesan air mengalir dari ujung rambut basahnya. "Kamu ngomong apa tadi? Nggak jelas suaranya." Nadya menelan ludah menatap perut kotak-kotak di depannya. Namun, dia
"Kamu suka tempat ini, Na?" Firman bertanya sambil mengikuti sang istri. Dia memperhatikan Nadya yang memandang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang beraroma kayu dan langsung menghadap laut, yang akan mereka tempati selama di Jogja."Suka. Bagus. Nyaman."Firman tersenyum lega. Berbeda dengan Hotel Kencana yang penuh kenangan pahit, rumah sewa ini jelas jauh berbeda vibe-nya. Lantainya dari kayu, jendelanya besar menghadap laut, dan suara ombak menjadi latar yang menenangkan. "Kok kamu bisa nemu tempat ini, Mas?" Nadya bertanya sambil menaruh tas kecilnya di atas ranjang. Firman tersenyum tipis sebelum berkat, "Aku pernah nginep di sini waktu itu." Nadya menoleh dengan cepat, menatap Firman dengan kening berkerut. "Sama siapa?" tanyanya dengan jantung yang terasa berdetak lebih cepat. Luka dari pengkhianatan Reza dan Joyce masih menyisakan bayangan samar di hatinya. Ia tak ingin curiga pada Firman, tapi refleks pertanyaan itu keluar begitu saja. "Samaaa..." Firma
"Maaf, Bu, apa Alya semalam atau pagi ini ke sini?" Dani berdiri di ambang pintu panti asuhan, suaranya terdengar tenang, tetapi jari-jari tangannya yang mengepal di sisi tubuhnya menceritakan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. "Alya?!" Bu Ratri menatapnya dengan mata penuh tanya. “Ada apa? Kamu bertengkar dengan dia?” Dani menggeleng, meski gerakannya terasa berat. “Bukan begitu, Bu. Cuma ada sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dia pergi tanpa pamit, meninggalkan dompet dan ponselnya.” Bu Ratri menghela napas panjang, seakan beban yang sempat menghimpitnya sedikit terangkat. “Syukurlah,” gumamnya. Dani menatapnya dengan kening berkerut. Kenapa Bu Ratri bersyukur?Bu Ratri tersenyum samar, lalu berjalan menuju ruang tamu kecil panti. Dani mengikutinya, menyadari betapa tempat ini tak banyak berubah sejak terakhir kali ia datang. Aroma kayu tua dan buku-buku lama masih memenuhi udara, membawa serta kenangan yang dulu terasa hangat, tapi kini, ada sesuatu yang koso
Bu Ayu mengambil nampan yang akan diisi dengan makanan. Seulas senyum terukir di wajah cantiknya meski tak lagi muda begitu melihat interaksi Alya dan Dimas yang bernuansa romansa.Sebenarnya tak hanya Bu Ayu, beberapa pegawai di sekitar mereka juga mulai berbisik-bisik lirih. Sekali lihat saja, mereka tahu Den Bagus-nya menyukai gadis yang masih membeku di tempatnya."Mbakyu, iku calonnya Mas Dimas?" tanya seorang wanita yang selama ini menjadi tangan kanan Bu Ayu, Sumiati.Alih-alih menjawab, justru senyum lebar tampak merekah di wajah wanita paruh baya itu."Piye? Cocok, ndak?" Bu Ayu balik bertanya seolah mengiyakan prasangka barusan."Cocok, Mbakyu. Cantik, putih, mulus, kayak artis di tivi. Kalau mereka nikah, nanti anaknya ganteng mirip Mas Dima lan ayu-ayu mirip mbaknya."Bu Ayu tak bisa menyembunyikan tawa, menutupi mulutnya dengan tangan."Namanya Alya. Doakan saja, Sum. Semoga mereka berjodoh."Sumiati mengangguk, melangitkan doa yang sama dengan wanita di sampingnya."Oh,
Alya melangkah ragu di belakang Dimas, memasuki pelataran restoran yang ramai oleh pelanggan. Aroma gudeg yang manis gurih bercampur dengan wangi ayam opor dan sambal krecek memenuhi udara, menggoda perutnya yang sudah berteriak kelaparan."Iku sopo? Pacare Mas Dimas?" bisik salah satu pramusaji yang Alya lewati.Gadis itu merasa sedikit canggung karena penampilannya terbilang kacau—blouse kusut, celana jeans basah, dan yang paling parah, ia berjalan tanpa alas kaki.Dimas menoleh, menyadari langkah Alya melambat. "Ayo, langsung masuk ke dapur aja. Ketemu Ibu," ucapnya dengan suara ringan seolah membawa masuk Alya ke rumahnya sendiri."Dim, tapi aku—""Udah, nggak usah denger komentar mereka."Alya menelan ludah, ingin pergi saja dari sana. Namun, genggaman tangan Dimas terlalu erat, tidak bisa dilepaskan.Mereka melewati meja-meja kayu yang dipenuhi pelanggan. Beberapa dari mereka menoleh sekilas, satu-dua tersenyum, membuat Alya semakin tak kerasan. Yang bisa ia lakukan hanya meneb