Sementara Joyce masih meratap di kamar hotel yang berantakan, mobil Reza memasuki gerbang yang tak terkunci. Keningnya berkerut saat dia melihat pintu rumah terbuka lebar."Gerbang nggak dikunci, pintu rumah juga dibiarin terbuka jam segini. Ada tamu siapa? Apa mungkin Nadya mau ambil barang-barang? Kenapa baru sekarang?"Reza menatap sekeliling, tapi tidak mendapati apa pun di carport yang muat untuk dua mobil. Hanya kendaraan inventaris kantor Bandung yang dipakainya tadi.Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari, Reza menaiki anak tangga pendek menuju teras dan langsung masuk ke rumahnya di kluster elit itu. "Joy!" panggilnya sambil berjalan masuk. Sekali lagi, matanya berkeliling menyapu ruangan. Ruang tamu bersih, tak ada keanehan."Joyce, kenapa pintunya nggak kamu kunci?"Tetap tak ada jawaban, membuat Reza terus melangkah lebih jauh, memanggil ART mereka."Minah, Joyce ke mana, Nah?"Lagi-lagi hanya hening, tak ada suara balasan. Langkahnya terhenti di ruang tengah di man
"Pantas saja dia nggak merengek minta jatah walaupun aku jauh. Aku kira aku bisa percaya, ternyata dia punya laki-laki yang bisa memuaskannya kapan saja!" Reza mengeratkan gigi-giginya, wajahnya memerah menahan amarah."Dia harus kukasih pelajaran biar tahu siapa yang berkuasa di sini!" geram Reza dengan tatapan berkilat seolah ada api di matanya.Di sisi lain, Joyce berjalan gontai melewati lobi. Dia tidak peduli tatapan penuh selidik dari orang-orang di sekitarnya maupun anggukan sopan dari resepsionis di belakang meja. Hatinya hancur. Joyce langsung masuk ke dalam taksi yang kebetulan berhenti untuk menurunkan penumpang. Dia menyebutkan alamat rumahnya dengan suara terluka, tanpa memedulikan sopir yang memandang heran ke arah penampilannya. Dia duduk di kursi belakang, membanting pintu dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. Ponselnya masih digenggam erat. Di dalam kepala Joyce, pikirannya berputar-putar tanpa henti.Benarkah Reza selingkuh?Bagaimana bisa hubungannya deng
Telepon akhirnya terputus, menyisakan keheningan di ruangan itu. Dani tersenyum licik, sudut bibirnya terangkat dengan penuh kepuasan. Ia menggeser ponselnya di meja, lalu memandang Nadya, Firman, dan Alya yang sejak tadi ikut mendengar percakapannya dengan Joyce. Dia memang sengaja mengaktifkan fitur speaker. "Jadi gimana? Kalian puas mangsa kita udah masuk jebakan?" tanya Dani dengan nada penuh teka-teki. Nadya terdiam sejenak, matanya menatap kosong seolah merenungkan apa yang baru saja terjadi. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan, namun penuh makna, "Dibandingkan puas, aku lebih prihatin. Gimanapun juga, sebagai sesama wanita, aku kasihan sama Joyce." Senyum kebanggaan di wajah Dani luruh, sorot mata yang penuh binar bahagia perlahan meredup. Respons Nadya di luar perkiraannya. Dia pikir wanita itu akan senang karena Joyce terluka. "Nggak ada satu pun wanita di dunia ini yang ingin dikhianati, Mas. Sakit rasanya." Dani menghela napas
Belum selesai Joyce merancang skenario di kepala, lampu utama ruang tengah tiba-tiba menyala terang benderang bersama pertanyaan dari mulut Reza yang terasa begitu tajam dan dingin. "Mas ... Mas udah pu—" "Dari mana kamu?!" ulang Reza sambil berjalan ke arah Joyce. Tatapannya tajam penuh intimidasi. Joyce tersentak, napasnya tertahan. Semakin Reza mendekat, ketakutan mengungkungnya semakin pekat. Tubuhnya membeku di tempat, tak mampu berkata-kata. Suara itu, nadanya, juga ekspresi wajahnya, menunjukkan keadaan emosional Reza yang tidak baik-baik saja. Pria itu seolah menahan kemarahan yang siap meledak kapan saja. "Kenapa diem? Bisu?" Joyce berusaha menjaga suaranya tetap tenang. “Ta ... tadi perutku kram mendadak, Mas, jadi aku langsung pergi periksa ke klinik,” jawabnya sedikit terbata-bata. Jantungnya berdebar kencang karena kebohongan yang baru saja ia lontarkan. Reza menyipitkan matanya, mempertanyakan penjelasan itu. “Ke klinik pake lingerie?” tanyanya sinis, m
Joyce terbangun dengan rasa nyeri di seluruh tubuhnya. Suara mesin monitor berdetak pelan di sampingnya dan aroma antiseptik terendus indra penciumannya.Aku di mana? batin Joyce yang baru saja mendapatkan kembali kesadarannya.Pandangannya kabur, semua terlihat samar. Butuh beberapa detik untuk memahami di mana ia berada sekarang. Dinding putih bersih dan cahaya lampu yang lembut terlihat sebelum Joyce menyadari tiang infus berdiri tegak, belalainya terhubung dengan punggung tangan. Ia ada di ruang perawatan sebuah rumah sakit."Udah siang?" gumam Joyce tanpa suara saat menyadari langit di luar jendela kaca terlihat terang benderang.Perlahan ingatan kembali menghantamnya—tubuhnya yang diperlakukan dengan kasar oleh Reza, tangisan putus asa, hingga rasa sakit luar biasa di perut sebelum semuanya berubah menjadi gelap gulita. Dia pingsan. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Joyce menutup mata erat-erat, berusaha mengusir trauma yang baru saja didapatkan olehnya. Reza, laki-laki yang
Reza terbakar api cemburu saat melihat Firman memakaikan masker ke wajah Nadya. Meski tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi Firman jelas memperlihatkan ekspresi lembut dan penuh perhatian. Seperti seorang suami yang amat menyayangi istrinya.Tanpa pikir panjang, Reza melangkah cepat, menarik tangan Nadya dari belakang dengan kasar."Nadya, jadi begini kelakuan kamu setelah cerai dari aku?!" suaranya lantang dan tajam, penuh emosi yang sudah lama tertahan.Nadya tersentak, matanya melebar. Tubuhnya menegang, refleks menarik tangannya dari cekalan Reza. Jantungnya berdegup kencang dan kehilangan kata-kata. Kenapa bisa Reza bisa muncul di hadapannya?Reza tersinggung dengan refleks Nadya yang seolah jijik padanya. Tatapannya kini penuh dengan kemarahan dan kecurigaan."Ngapain kamu di sini? Kamu hamil anak dia?" Mata Reza melirik tajam ke arah Firman, seolah menuduh tanpa perlu penjelasan.Firman tersinggung, tidak bisa tinggal diam dan maju melindungi Nadya."Selamat pagi, Pak Re
Mobil Firman perlahan memasuki halaman rumah. Suara mesin yang mendekat membuat Bima, yang sedang bermain di teras, segera berlari ke arah pintu. Begitu mobil berhenti, bocah 3 tahun itu langsung berseru dengan gembira."Yey! Mami akhilnya pulang!" seru Bima sambil melompat-lompat di teras yang terbuat dari keramik bercorak cerah. Langkah kecilnya tertuju pada wanita yang sedari tadi ditunggu-tunggu kemunculannya.Nadya melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil dengan cepat, tersenyum lebar ke arah Bima. Tanpa ragu, wanita itu berjongkok dan menyambut pelukan Bima erat-erat, tenggelam dalam aroma manis rambut anaknya yang tak bosan-bosan ia ciumi saat berdekatan."Bima udah nungguin Mami?" bisiknya lembut, mencubit hidung kecil Bima yang kini tersenyum lebar."Iya, Oma bilang pelgi libulan tunggu Mami," jawabnya dengan suara khas anak-anak."Liburan?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh Bima.Nadya menahan rasa penasaran, keningnya berkerut sebelum menoleh ke samping dan menangkap
Manusia hanya bisa berencana, tetapi hasil akhirnya kembali pada garis tangan yang telah Tuhan goreskan. Itulah yang terjadi pada Nadya. Sekuat apa pun dia menolak berinteraksi dengan Firman, semesta membuka matanya ketika makan malam tiba."Bima nggak mau makan. Mau liat kembang api!" tukas bocah yang menolak makanan di depan mulutnya, bahkan menepis sendok yang dipegang Nadya. Tangisannya terdengar sebagai bentuk protes karena tidak mau dipaksa."Kembang apinya belum mulai, Sayang. Masih 1 jam lagi.""Nggak mau!" rengeknya sambil menendang kaki sembarang, hingga terdengar bunyi 'duk duk' karena sepatunya menabrak kaki meja.Nadya menghela napas, bingung bagaimana lagi membujuk putranya agar mau makan. Saking asyiknya bermain layang-layang, bocah itu menolak makan, tidur, bahkan mandi dan istirahat. Akibatnya, dia kelelahan dan rewel seperti sekarang."Kembang api, Mi! Mau liat api.""Iya, nanti kembang apinya keliatan dari sini." Mama Anita ikut bicara. Dia menghampiri Nadya dan dud
“Maksud Mama gimana? Tunangan? Sama siapa?” Langkah Nadya yang semula terburu-buru menuju rumah sewa terhenti mendadak. Dengan gemetar, dia duduk di bangku kayu di depan rumah makan Bu Ayu. Rasa terkejutnya begitu besar hingga dia lupa bahwa Firman dan Alya sedang menunggunya di rumah. “Mama juga nggak tahu, Na. Wirawan yang datang tadi dan kasih undangan itu. Selebihnya Mama nggak tahu. Tadi Mama masih ngurus Bima, jadi nggak sempat minta dia duduk. Eh, katanya dia juga lagi buru-buru mau ada urusan.” Suara Mama Anita terdengar jelas di seberang telepon. “Kok bisa mendadak begini, Ma? Padahal Dani sama Alya lagi…” Nadya buru-buru menutup mulutnya, hampir saja keceplosan. “Dani kenapa sama Alya?” Mama Anita terdengar sedikit penasaran. Nadya menjauhkan ponsel dari telinga, berusaha mengendalikan emosinya. Matanya menatap laut di kejauhan, ombak berkejaran tanpa henti seperti pikirannya saat ini. Satu yang pasti, dia harus tetap tenang. “Nana, kamu masih di sana? Halo?” Mam
Firman menutup laptopnya, melirik jam segi empat di pergelangan tangan kirinya. Benar-benar 30 menit seperti yang ia janjikan pada Nadya.[Kamu masih di rumah makan itu, Na? Aku ke sana sekarang.]Pesan itu terkirim, ceklis 2, tapi masih abu-abu. Belum dibaca."Langsung ke sana aja lah," ucap Firman bergumam. Tangannya merapikan lengan kemeja sebelum keluar dari rumah sewa.Seolah berkejaran dengan waktu, pria itu menuruni anak tangga 4 pijakan dengan tergesa. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah berada di dekat jalan raya, siap menyeberang. Namun, saat kakinya hendak melangkah melewati jalanan aspal, tubuh pria itu mendadak membeku. Tak jauh dari posisinya, tampak seorang gadis berjalan sambil menundukkan kepala. Meski wajahnya tak terlihat, tapi Firman hafal betul postur maupun gesturnya."Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih atas semua kemudahan yang Kau berikan," bisik Firman lirih, meraup wajahnya dengan tangan.Pengacara muda itu mengubah haluan, mendekat ke arah gadis yang
Tepat pukul sembilan pagi, Alya melangkah keluar dari kamar. Celana jeans membungkus kaki jenjangnya, berpadu dengan atasan tanpa lengan bermotif bunga-bunga. Kulitnya yang bersih, terlihat bercahaya di bawah sinar matahari, leher jenjangnya mulus tanpa noda—sesuatu yang tak banyak dimiliki gadis seusianya, kecuali mereka yang merawatnya dengan baik. Langkah Alya terasa ringan, siap membantu Bu Ayu di rumah makan seperti kemarin. Rasanya menyenangkan berjualan, bertemu banyak orang dan merasakan kehangatan suasana desa. Namun, senyum Alya tertahan saat tatapan wanita itu seolah mengulitinya. Bu Ayu berdiri di dekat pintu, jilbabnya rapi, tas mungil tergantung di bahu yang tertutup kebaya lengan panjang. Matanya menyapu penampilan Alya dari kepala hingga kaki, lalu kembali naik dengan sorot yang sulit disembunyikan—ketidaksukaan. "Ibu mau ke rumah makan sekarang, Bu?" tanya Alya, mencoba mencairkan suasana. Bu Ayu tak langsung menjawab. Alisnya berkerut, seolah menimbang sesuatu
Dani mengerjap ketika tirai terbuka, membiarkan sinar matahari menampar wajahnya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, berusaha menghindari cahaya yang terasa menusuk kepalanya yang pening. Begitu mencoba membuka mata sepenuhnya, palu godam terasa menghantam, memaksanya kembali memejamkan mata. "Nggak tahan alkohol, tapi sok-sokan minum *absinthe*. Udah bosan hidup?" Suara itu membuat Dani tersentak. Lembut, tapi penuh sindiran. Suara yang sudah lama tak ia dengar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka mata, kali ini dengan lebih perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Sosok seorang wanita berdiri di dekat jendela, siluetnya samar diterpa cahaya pagi. Rambut panjangnya tergerai sedikit berantakan, tapi tetap terlihat menawan. Ia mengenakan kemeja putih longgar—yang, sialnya, tampak seperti pakaian yang Dani gunakan semalam. Kain itu menggantung di tubuhnya, sedikit kebesaran tapi tetap menciptakan nuansa yang berbahaya dan menggoda bagi pria dewasa sepert
WARNING! 🔞 ADULT CONTENT! "Mas, aku liat gadis yang mirip Alya!" seru Nadya sambil mengetuk pintu kamar mandi, mengganggu sang suami yang sedang mandi. Tadinya Nadya hanya ingin berdiri di beranda lantai dua, melihat gemintang di angkasa. Dia justru melihat sepasang sejoli sedang makan bersama di kejauhan. Gadis yang ia yakini sebagai Alya. Dari balik suara gemericik air shower, Firman tidak langsung menjawab. Dia sedang sibuk membilas shampo di kepala. "Mas Firman! Aku liat Alya!" ulang Nadya dengan suara yang lebih keras. Sengaja mengetuk pintu di depannya dengan ketukan yang lebih kuat. "Apa, Na?" sahut Firman balik bertanya, mencoba memusatkan pendengarannya di bawah guyuran air. "Ada Alya!" Detik berikutnya, suara aliran air terhenti dan pintu kamar mandi terbuka sedikit. Firman melongok keluar, membiarkan tetesan air mengalir dari ujung rambut basahnya. "Kamu ngomong apa tadi? Nggak jelas suaranya." Nadya menelan ludah menatap perut kotak-kotak di depannya. Namun, dia
"Kamu suka tempat ini, Na?" Firman bertanya sambil mengikuti sang istri. Dia memperhatikan Nadya yang memandang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang beraroma kayu dan langsung menghadap laut, yang akan mereka tempati selama di Jogja."Suka. Bagus. Nyaman."Firman tersenyum lega. Berbeda dengan Hotel Kencana yang penuh kenangan pahit, rumah sewa ini jelas jauh berbeda vibe-nya. Lantainya dari kayu, jendelanya besar menghadap laut, dan suara ombak menjadi latar yang menenangkan. "Kok kamu bisa nemu tempat ini, Mas?" Nadya bertanya sambil menaruh tas kecilnya di atas ranjang. Firman tersenyum tipis sebelum berkat, "Aku pernah nginep di sini waktu itu." Nadya menoleh dengan cepat, menatap Firman dengan kening berkerut. "Sama siapa?" tanyanya dengan jantung yang terasa berdetak lebih cepat. Luka dari pengkhianatan Reza dan Joyce masih menyisakan bayangan samar di hatinya. Ia tak ingin curiga pada Firman, tapi refleks pertanyaan itu keluar begitu saja. "Samaaa..." Firma
"Maaf, Bu, apa Alya semalam atau pagi ini ke sini?" Dani berdiri di ambang pintu panti asuhan, suaranya terdengar tenang, tetapi jari-jari tangannya yang mengepal di sisi tubuhnya menceritakan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. "Alya?!" Bu Ratri menatapnya dengan mata penuh tanya. “Ada apa? Kamu bertengkar dengan dia?” Dani menggeleng, meski gerakannya terasa berat. “Bukan begitu, Bu. Cuma ada sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dia pergi tanpa pamit, meninggalkan dompet dan ponselnya.” Bu Ratri menghela napas panjang, seakan beban yang sempat menghimpitnya sedikit terangkat. “Syukurlah,” gumamnya. Dani menatapnya dengan kening berkerut. Kenapa Bu Ratri bersyukur?Bu Ratri tersenyum samar, lalu berjalan menuju ruang tamu kecil panti. Dani mengikutinya, menyadari betapa tempat ini tak banyak berubah sejak terakhir kali ia datang. Aroma kayu tua dan buku-buku lama masih memenuhi udara, membawa serta kenangan yang dulu terasa hangat, tapi kini, ada sesuatu yang koso
Bu Ayu mengambil nampan yang akan diisi dengan makanan. Seulas senyum terukir di wajah cantiknya meski tak lagi muda begitu melihat interaksi Alya dan Dimas yang bernuansa romansa.Sebenarnya tak hanya Bu Ayu, beberapa pegawai di sekitar mereka juga mulai berbisik-bisik lirih. Sekali lihat saja, mereka tahu Den Bagus-nya menyukai gadis yang masih membeku di tempatnya."Mbakyu, iku calonnya Mas Dimas?" tanya seorang wanita yang selama ini menjadi tangan kanan Bu Ayu, Sumiati.Alih-alih menjawab, justru senyum lebar tampak merekah di wajah wanita paruh baya itu."Piye? Cocok, ndak?" Bu Ayu balik bertanya seolah mengiyakan prasangka barusan."Cocok, Mbakyu. Cantik, putih, mulus, kayak artis di tivi. Kalau mereka nikah, nanti anaknya ganteng mirip Mas Dima lan ayu-ayu mirip mbaknya."Bu Ayu tak bisa menyembunyikan tawa, menutupi mulutnya dengan tangan."Namanya Alya. Doakan saja, Sum. Semoga mereka berjodoh."Sumiati mengangguk, melangitkan doa yang sama dengan wanita di sampingnya."Oh,
Alya melangkah ragu di belakang Dimas, memasuki pelataran restoran yang ramai oleh pelanggan. Aroma gudeg yang manis gurih bercampur dengan wangi ayam opor dan sambal krecek memenuhi udara, menggoda perutnya yang sudah berteriak kelaparan."Iku sopo? Pacare Mas Dimas?" bisik salah satu pramusaji yang Alya lewati.Gadis itu merasa sedikit canggung karena penampilannya terbilang kacau—blouse kusut, celana jeans basah, dan yang paling parah, ia berjalan tanpa alas kaki.Dimas menoleh, menyadari langkah Alya melambat. "Ayo, langsung masuk ke dapur aja. Ketemu Ibu," ucapnya dengan suara ringan seolah membawa masuk Alya ke rumahnya sendiri."Dim, tapi aku—""Udah, nggak usah denger komentar mereka."Alya menelan ludah, ingin pergi saja dari sana. Namun, genggaman tangan Dimas terlalu erat, tidak bisa dilepaskan.Mereka melewati meja-meja kayu yang dipenuhi pelanggan. Beberapa dari mereka menoleh sekilas, satu-dua tersenyum, membuat Alya semakin tak kerasan. Yang bisa ia lakukan hanya meneb