"Mami hari ini pergi lagi?" tanya Bima begitu membuka mata dan langsung lari ke arah dapur, memeluk kakiku erat-erat. "Nggak, Sayang. Hari ini Mami di rumah nemenin kamu." "Ciyus?" tanya sambil mengerucutkan bibir, membuat aku terpaksa mematikan kompor dan memusatkan perhatian pada jagoanku. "Ciyus anet," jawabku ikut menirukan suaranya yang terdengarbegitu imut. Ah, kalau aku sih jatuhnya jadi sok imut. "Sekarang Bima duduk di sini dulu, ya. Mami siapin sarapan buat kamu sama Oma dan Opa." Aku mendudukkan bocah tiga tahun itu di bangku, bersiap kembali ke dapur. Namun, tangan kecilnya menarik jari telunjukku. "Ada apa, Sayang?" Mata bulat Bima menatapku, tapi nggak ada satu kata pun yang dia ucapkan. "Sayangnya Mami mau ngomong apa?" Aku terpaksa berlutut di lantai, membuat posisiku sejajar dengan jagoan kecil yang benar-benar mengingatkanku pada Mas Reza. Wajah Bima copy-an pria itu 90 persen. Hanya bentuk matanya saja yang sedikit mirip denganku, tapi mulut, hidung, ju
Satu jam kemudian, aku membawa mobil milik Papa ke salah satu kafe yang disebutkan Joyce. Demi Mama dan seluruh nasihat baiknya, aku menahan rasa sakit hati dan memberikan muka untuk mantan sahabatku itu. "Nadya," panggil Joyce sambil melambaikan tangan ke arahku, menyunggingkan senyum terbaik yang membuatku justru semakin kesal. Nggak ada raut bersalah sama sekali di wajahnya, yang tampak justru binar bahagia di matanya. Joyce berdiri, siap mencium pipi kanan dan kiri seperti saat kami biasa bertemu. Namun kali ini, aku menjauh dua langkah darinya. Rasanya jijik berpelukan dengan wanita yang sudah merebut suamiku. "Waktuku nggak banyak. Mau ngomong apa?" tanyaku to the point, malas mendengar basa-basi yang akan keluar dari mulutnya. "Nad, aku ham—" "Aku tahu, tapi apa urusannya sama aku?" Aku menyela cepat, enggan mendengar kabar kehamilannya maupun pengaduan yang lain. Saat dia diusir dari rumah kemarin, aku sebenarnya kasihan, tapi bukan berarti aku peduli padanya. Dia sud
“Kamu siap, Na?” tanya Firman begitu aku keluar dan bertatapan langsung dengan wajahnya. Hari ini, jadwal sidang pertama perceraianku dengan Mas Reza. Aku sudah membulatkan tekad, jalan terbaik adalah sebuah perceraian. Aku dengar Joyce sudah memesan undangan pernikahan mereka. Lebih-lebih lagi, pengakuan Joyce kemarin benar-benar menyadarkanku bahwa rumah tanggaku dengan Mas Reza memang sudah salah sejak awal. Mau dipertahankan bagaimana pun, pasti akan berakhir buruk. Aku tidak akan menggadaikan masa depanku kepada pria yang nggak tahu diri itu. "Siap nggak siap, ini yang harus aku hadapi. Ayo!" Aku menarik napas dalam setelah menjawab pertanyaan Firman. Meski perceraian adalah satu hal yang dibenci Tuhan, tapi ini yang terbaik menurutku. Tidak ada opsi lain kecuali melepaskan seorang pengkhianat. Firman mengangguk, membukakan pintu mobil untukku. Dia sempat berpamitan pada Mama di beranda, juga melambai pada Bima. Aroma parfum yang menguar dari tubuhnya sempat mampir ke hidungku
“Jangan mengada-ada kamu!” Suaraku sedikit meninggi, merasa tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapannya. “Aku punya sumber yang bisa dipercaya, Na. Kemampuan otak mantan suami kamu itu cethek. Selama ini dia banyak mengandalkan bantuanmu dan Joyce. Bahkan, skripsinya itu hasil kerja orang lain. Apa yang bisa diandalkan dari sarjana gadungan seperti dia?” Aku menggeleng beberapa kali, merasa heran sekaligus tidak habis pikir. Apa aku selama ini terlalu dibutakan oleh cinta sampai tidak bisa melihat kebusukan pria itu? “Aku bisa bantu kamu dapatkan semua harta itu, tapi kita harus main sedikit trik, Na. Kamu relakan semua harta itu jadi milik Reza, tanpa berkurang sedikit pun. Kita biarkan dia bahagia sebelum mengambil semuanya.” “Gimana caranya? Gimana kalau rencana kamu gagal?” Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku. Pengkhianatan dari suami dan sahabatku membuatku tidak mudah percaya kepada siapa saja, termasuk pria yang sempat menjadi orang pertama yang kupedulikan ke
Nadya duduk di tepi ranjang dengan tangan gemetar saat memegang surat cerai yang baru saja ia terima. Seharusnya hal itu membuatnya senang karena satu masalah sudah terselesaikan. Namun, ekspresi wajah wanita itu menunjukkan sebaliknya. Hatinya terluka. “Udah cukup sedihnya, Sayang.” Dengan gugup, Nadya menghapus air mata di pipinya. Mama Anita jelas sudah melihatnya. “Semua udah selesai. Jangan sesali yang udah terjadi.” Sebuah anggukan Nadya tunjukkan sebagai jawaban. Kedua tangannya terulur dan mendekap tubuh wanita yang telah melahirkannya 28 tahun yang lalu. Wanita yang pasti ikut merasa hancur seperti dirinya. Alih-alih reda, tangisnya semakin deras hingga sesenggukan. Tidak ada wanita yang ingin berpisah dengan pasangan yang bertahun-tahun menghuni hatinya. Bahkan jika mereka berpisah pun, kenangan yang telah mereka lalui bersama tidak akan pergi dengan mudahnya. Tangan Mama Anita mengelus puncak kepala Nadya saat putri kesayangannya itu mengurai pelukan mereka. “Coba m
“Pak Reza, ditunggu Pak Wirawan di ruangannya. Sekarang.” Deg! Detak jantung Reza seolah terhenti detik itu juga. Dia bahkan terpaksa harus menelan ludah berkali-kali setelah panggilan telepon itu berakhir. “Pasti ini ada urusannya sama keputusan cerai kemarin.” Tangan Reza terkepal marah, tapi raut wajahnya lebih menunjukkan kekhawatiran. “Dahlah, bodo amat. Mau dipecat juga gak masalah. Toh, semua aset Nadya udah jadi milikku sekarang. Leha-leha setahun pun nggak akan habis.” Sambil mengendurkan dasi di lehernya, Reza menutup lembar kerja di depannya dan beranjak keluar dari ruangannya. Dia berjalan cepat menuju lift dan menekan tombolnya. Tak berapa lama, kotak besi itu terbuka. Hanya butuh hitungan detik, Reza sudah ada di lantai tiga dan langsung menuju ruangan ayah angkat mantan istrinya. Selama ini, dia diperlakukan dengan sangat baik oleh orang-orang karena Pak Wirawan menganggapnya sebagai menantu yang baik. Entah sekarang, setelah pengkhianatan yang telah dilakukannya.
“Akhirnya!” ucap Reza dengan senyum merekah di wajah. Punggungnya dihempas ke sandaran kursi sambil melepas dasi. “Cerai dari Nadya nyatanya keputusan paling tepat. Tahu gini aku ceraikan dia dari dulu!” Tawa pria 29 tahun itu begitu lepas seolah semua beban terangkat dari pundaknya. Surat keputusan promosi yang baru diterima masih tergenggam erat, seolah-olah itu adalah tiket emas menuju masa depan yang lebih cerah. “Apa kata Pak Wirawan tadi? Dia minta maaf dan memberikan promosi ini sebagai kompensasi?” Sekali lagi gelak tawa terdengar. Reza benar-benar puas dan bangga, tampak dari sorot matanya yang berbinar. Dia mengusir jauh bayangan suram perceraian dengan imajinasi uang melimpah karena jabatannya sekarang lebih tinggi. “Pulang cepat, Mas?” tanya Joyce yang tiba-tiba muncul dan duduk di samping Reza. Semerbak parfum seketika menguar, seolah wanita itu menumpahkan sebotol penuh untuk menarik perhatian pujaan hatinya. Belum sempat Reza bereaksi, Joyce lebih dulu mengec
“Kenapa pakai baju itu? Nggak ada baju lain?!” sengak Reza semakin tak suka. Sebulan lebih hidup satu atap dengan Joyce membuatnya mulai menyadari sifat buruk wanita itu. Nadya dan Joyce layaknya dua kutub yang berbeda, bahkan saling bertentangan. Wanita berhijab itu santun dan pengertian, tapi tidak melupakan tugasnya sebagai istri meski harus bekerja di luar. Sedangkan Joyce, hari-hari hanya dihabiskan untuk bermalas-malasan. Wanita berambut pirang itu tidak bisa memasak, membersihkan rumah, maupun pekerjaan lain. Kesibukannya hanya bersolek dan merias kuku sambil scroll-scroll media sosial. Benar-benar tidak ada gunanya. “Nadya ninggalin semua bajunya. Jadi dari pada mubazir, mending aku pakai.” “Lepas. Jangan sentuh barang-barang dia!” Kening Joyce berkerut. “Mas, kamu kenapa, sih? Masih cinta sama mantan istrimu dan nggak rela baju-baju bekasnya aku pakai?” Kali ini Reza yang terkesiap. Dia tidak tahu kenapa dirinya merasa tidak rela melihat pakaian itu melekat di tu
“Maksud Mama gimana? Tunangan? Sama siapa?” Langkah Nadya yang semula terburu-buru menuju rumah sewa terhenti mendadak. Dengan gemetar, dia duduk di bangku kayu di depan rumah makan Bu Ayu. Rasa terkejutnya begitu besar hingga dia lupa bahwa Firman dan Alya sedang menunggunya di rumah. “Mama juga nggak tahu, Na. Wirawan yang datang tadi dan kasih undangan itu. Selebihnya Mama nggak tahu. Tadi Mama masih ngurus Bima, jadi nggak sempat minta dia duduk. Eh, katanya dia juga lagi buru-buru mau ada urusan.” Suara Mama Anita terdengar jelas di seberang telepon. “Kok bisa mendadak begini, Ma? Padahal Dani sama Alya lagi…” Nadya buru-buru menutup mulutnya, hampir saja keceplosan. “Dani kenapa sama Alya?” Mama Anita terdengar sedikit penasaran. Nadya menjauhkan ponsel dari telinga, berusaha mengendalikan emosinya. Matanya menatap laut di kejauhan, ombak berkejaran tanpa henti seperti pikirannya saat ini. Satu yang pasti, dia harus tetap tenang. “Nana, kamu masih di sana? Halo?” Mam
Firman menutup laptopnya, melirik jam segi empat di pergelangan tangan kirinya. Benar-benar 30 menit seperti yang ia janjikan pada Nadya.[Kamu masih di rumah makan itu, Na? Aku ke sana sekarang.]Pesan itu terkirim, ceklis 2, tapi masih abu-abu. Belum dibaca."Langsung ke sana aja lah," ucap Firman bergumam. Tangannya merapikan lengan kemeja sebelum keluar dari rumah sewa.Seolah berkejaran dengan waktu, pria itu menuruni anak tangga 4 pijakan dengan tergesa. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah berada di dekat jalan raya, siap menyeberang. Namun, saat kakinya hendak melangkah melewati jalanan aspal, tubuh pria itu mendadak membeku. Tak jauh dari posisinya, tampak seorang gadis berjalan sambil menundukkan kepala. Meski wajahnya tak terlihat, tapi Firman hafal betul postur maupun gesturnya."Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih atas semua kemudahan yang Kau berikan," bisik Firman lirih, meraup wajahnya dengan tangan.Pengacara muda itu mengubah haluan, mendekat ke arah gadis yang
Tepat pukul sembilan pagi, Alya melangkah keluar dari kamar. Celana jeans membungkus kaki jenjangnya, berpadu dengan atasan tanpa lengan bermotif bunga-bunga. Kulitnya yang bersih, terlihat bercahaya di bawah sinar matahari, leher jenjangnya mulus tanpa noda—sesuatu yang tak banyak dimiliki gadis seusianya, kecuali mereka yang merawatnya dengan baik. Langkah Alya terasa ringan, siap membantu Bu Ayu di rumah makan seperti kemarin. Rasanya menyenangkan berjualan, bertemu banyak orang dan merasakan kehangatan suasana desa. Namun, senyum Alya tertahan saat tatapan wanita itu seolah mengulitinya. Bu Ayu berdiri di dekat pintu, jilbabnya rapi, tas mungil tergantung di bahu yang tertutup kebaya lengan panjang. Matanya menyapu penampilan Alya dari kepala hingga kaki, lalu kembali naik dengan sorot yang sulit disembunyikan—ketidaksukaan. "Ibu mau ke rumah makan sekarang, Bu?" tanya Alya, mencoba mencairkan suasana. Bu Ayu tak langsung menjawab. Alisnya berkerut, seolah menimbang sesuatu
Dani mengerjap ketika tirai terbuka, membiarkan sinar matahari menampar wajahnya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, berusaha menghindari cahaya yang terasa menusuk kepalanya yang pening. Begitu mencoba membuka mata sepenuhnya, palu godam terasa menghantam, memaksanya kembali memejamkan mata. "Nggak tahan alkohol, tapi sok-sokan minum *absinthe*. Udah bosan hidup?" Suara itu membuat Dani tersentak. Lembut, tapi penuh sindiran. Suara yang sudah lama tak ia dengar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka mata, kali ini dengan lebih perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Sosok seorang wanita berdiri di dekat jendela, siluetnya samar diterpa cahaya pagi. Rambut panjangnya tergerai sedikit berantakan, tapi tetap terlihat menawan. Ia mengenakan kemeja putih longgar—yang, sialnya, tampak seperti pakaian yang Dani gunakan semalam. Kain itu menggantung di tubuhnya, sedikit kebesaran tapi tetap menciptakan nuansa yang berbahaya dan menggoda bagi pria dewasa sepert
WARNING! 🔞 ADULT CONTENT! "Mas, aku liat gadis yang mirip Alya!" seru Nadya sambil mengetuk pintu kamar mandi, mengganggu sang suami yang sedang mandi. Tadinya Nadya hanya ingin berdiri di beranda lantai dua, melihat gemintang di angkasa. Dia justru melihat sepasang sejoli sedang makan bersama di kejauhan. Gadis yang ia yakini sebagai Alya. Dari balik suara gemericik air shower, Firman tidak langsung menjawab. Dia sedang sibuk membilas shampo di kepala. "Mas Firman! Aku liat Alya!" ulang Nadya dengan suara yang lebih keras. Sengaja mengetuk pintu di depannya dengan ketukan yang lebih kuat. "Apa, Na?" sahut Firman balik bertanya, mencoba memusatkan pendengarannya di bawah guyuran air. "Ada Alya!" Detik berikutnya, suara aliran air terhenti dan pintu kamar mandi terbuka sedikit. Firman melongok keluar, membiarkan tetesan air mengalir dari ujung rambut basahnya. "Kamu ngomong apa tadi? Nggak jelas suaranya." Nadya menelan ludah menatap perut kotak-kotak di depannya. Namun, dia
"Kamu suka tempat ini, Na?" Firman bertanya sambil mengikuti sang istri. Dia memperhatikan Nadya yang memandang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang beraroma kayu dan langsung menghadap laut, yang akan mereka tempati selama di Jogja."Suka. Bagus. Nyaman."Firman tersenyum lega. Berbeda dengan Hotel Kencana yang penuh kenangan pahit, rumah sewa ini jelas jauh berbeda vibe-nya. Lantainya dari kayu, jendelanya besar menghadap laut, dan suara ombak menjadi latar yang menenangkan. "Kok kamu bisa nemu tempat ini, Mas?" Nadya bertanya sambil menaruh tas kecilnya di atas ranjang. Firman tersenyum tipis sebelum berkat, "Aku pernah nginep di sini waktu itu." Nadya menoleh dengan cepat, menatap Firman dengan kening berkerut. "Sama siapa?" tanyanya dengan jantung yang terasa berdetak lebih cepat. Luka dari pengkhianatan Reza dan Joyce masih menyisakan bayangan samar di hatinya. Ia tak ingin curiga pada Firman, tapi refleks pertanyaan itu keluar begitu saja. "Samaaa..." Firma
"Maaf, Bu, apa Alya semalam atau pagi ini ke sini?" Dani berdiri di ambang pintu panti asuhan, suaranya terdengar tenang, tetapi jari-jari tangannya yang mengepal di sisi tubuhnya menceritakan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. "Alya?!" Bu Ratri menatapnya dengan mata penuh tanya. “Ada apa? Kamu bertengkar dengan dia?” Dani menggeleng, meski gerakannya terasa berat. “Bukan begitu, Bu. Cuma ada sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dia pergi tanpa pamit, meninggalkan dompet dan ponselnya.” Bu Ratri menghela napas panjang, seakan beban yang sempat menghimpitnya sedikit terangkat. “Syukurlah,” gumamnya. Dani menatapnya dengan kening berkerut. Kenapa Bu Ratri bersyukur?Bu Ratri tersenyum samar, lalu berjalan menuju ruang tamu kecil panti. Dani mengikutinya, menyadari betapa tempat ini tak banyak berubah sejak terakhir kali ia datang. Aroma kayu tua dan buku-buku lama masih memenuhi udara, membawa serta kenangan yang dulu terasa hangat, tapi kini, ada sesuatu yang koso
Bu Ayu mengambil nampan yang akan diisi dengan makanan. Seulas senyum terukir di wajah cantiknya meski tak lagi muda begitu melihat interaksi Alya dan Dimas yang bernuansa romansa.Sebenarnya tak hanya Bu Ayu, beberapa pegawai di sekitar mereka juga mulai berbisik-bisik lirih. Sekali lihat saja, mereka tahu Den Bagus-nya menyukai gadis yang masih membeku di tempatnya."Mbakyu, iku calonnya Mas Dimas?" tanya seorang wanita yang selama ini menjadi tangan kanan Bu Ayu, Sumiati.Alih-alih menjawab, justru senyum lebar tampak merekah di wajah wanita paruh baya itu."Piye? Cocok, ndak?" Bu Ayu balik bertanya seolah mengiyakan prasangka barusan."Cocok, Mbakyu. Cantik, putih, mulus, kayak artis di tivi. Kalau mereka nikah, nanti anaknya ganteng mirip Mas Dima lan ayu-ayu mirip mbaknya."Bu Ayu tak bisa menyembunyikan tawa, menutupi mulutnya dengan tangan."Namanya Alya. Doakan saja, Sum. Semoga mereka berjodoh."Sumiati mengangguk, melangitkan doa yang sama dengan wanita di sampingnya."Oh,
Alya melangkah ragu di belakang Dimas, memasuki pelataran restoran yang ramai oleh pelanggan. Aroma gudeg yang manis gurih bercampur dengan wangi ayam opor dan sambal krecek memenuhi udara, menggoda perutnya yang sudah berteriak kelaparan."Iku sopo? Pacare Mas Dimas?" bisik salah satu pramusaji yang Alya lewati.Gadis itu merasa sedikit canggung karena penampilannya terbilang kacau—blouse kusut, celana jeans basah, dan yang paling parah, ia berjalan tanpa alas kaki.Dimas menoleh, menyadari langkah Alya melambat. "Ayo, langsung masuk ke dapur aja. Ketemu Ibu," ucapnya dengan suara ringan seolah membawa masuk Alya ke rumahnya sendiri."Dim, tapi aku—""Udah, nggak usah denger komentar mereka."Alya menelan ludah, ingin pergi saja dari sana. Namun, genggaman tangan Dimas terlalu erat, tidak bisa dilepaskan.Mereka melewati meja-meja kayu yang dipenuhi pelanggan. Beberapa dari mereka menoleh sekilas, satu-dua tersenyum, membuat Alya semakin tak kerasan. Yang bisa ia lakukan hanya meneb