Share

Tekad Bulat (POV Firman)

Penulis: Hanazawa Easzy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-05 20:42:58

"Om, tolong sampaikan permintaan maaf saya ke Nana. Dia nggak mau angkat telepon. SMS juga nggak dibalas," ucapku malam itu, sehari sebelum terbang ke Eropa demi mengambil beasiswa di salah satu universitas ternama.

Om Bagaskara mengangguk, menepuk pundakku dan mulai bercerita masa kecil Nadya, putri kesayangannya yang lebih sering dipanggil Nana. Meski satu jam lamanya kami bercengkerama di beranda, Nana menolak turun dari kamarnya. Dia hanya mengintip dari jendela saat aku melangkah keluar melewati pintu gerbang.

"Kamu nggak harus ambil tawaran beasiswa itu!" Suaranya yang melengking sebulan sebelumnya masih terbayang di kepala. Saat itu aku mengungkapkan keputusanku menerima tawaran beasiswa dari sebuah yayasan.

"Na, ini demi kebaikan kita berdua. Aku serius sama kamu, tapi aku juga harus serius sama masa depanku. Nggak mungkin yatim piatu kayak aku, layak bersanding sama putri semata wayang Pak Bagaskara. Apa kata orang nantinya?"

Nana menghempas tanganku, berdiri dengan cepat sampai membuat es teh di atas meja tumpah. Tapi, itu tidak lebih penting dari protesnya karena tidak setuju dengan keputusan akhirku.

“Kalau kamu tetap pergi, kita nggak ada hubungan lagi. Kita putus!”

Nana berlari mencegat taksi dan meninggalkan aku sendiri. Berhari-hari kucoba menemuinya, tetapi nihil. Hanya Om Bagaskara dan Tante Widya yang minta maaf padaku atas keras kepala anak kesayangan mereka itu.

Aku pikir Nana tidak akan datang ke bandara, tapi dia tiba-tiba muncul saat aku sudah melewati petugas imigrasi. Tangisnya menggema, membuat orang-orang memusatkan perhatian padanya. Dia berteriak memintaku tinggal, tapi sebagai seorang pria, aku punya harga diri untuk diperjuangkan. Mimpi-mimpi masa depan. Meski itu artinya, aku harus kehilangan gadis yang aku cinta.

Suara pintu yang terbuka membuat lamunanku terjeda. Refleks wajahku menoleh ke sebelah kanan di mana Nana keluar dari kamar mandi yang ada di ruang kerjaku. Wajahnya basah dengan mata yang masih terlihat sembap.

Setelah menunjukkan pesan dari Joyce tentang kehamilannya, dia masuk ke kamar mandi dan mengunci diri setidaknya selama tiga puluh menit. Selama itulah aku mengenang masa lalu kami berdua.

Aku berdeham, berusaha mengusir rasa sesak yang entah datang dari mana. Setidaknya aku harus profesional dalam bekerja.

"Bisa kita bicarakan kasus ini dengan kepala dingin, Na?" tanyaku sambil menunjuk berkas yang diantarkan oleh asistenku dua menit yang lalu. Itu form kosong yang harus diisi nama dan data-data klien sebelum kami mengambil tindakan hukum.

"Silakan isi dulu form-nya."

Nana mengangguk, kembali duduk di depanku. Ku lihat dia sesekali menarik napas dalam, mengembuskannya dari mulut. Tangannya masih gemetar saat kuulurkan pena padanya. Dia pasti syok, terguncang psikisnya.

"Sudah berapa lama kamu menikah dengan tergugat?" tanyaku dengan suara yang aku usahakan setenang mungkin, menyembunyikan gemuruh di dalam dadaku.

"Lima tahun. Hari ini tepat anniversary yang kelima."

Satu jarum tajam menghunjam ulu hatiku, membuat penyesalan itu datang lagi. Jika saja aku memaksakan diri pulang, mungkinkah Nana membatalkan pernikahannya dengan Reza?

"Seperti yang Papa bilang, aku terlalu bodoh dan memercayai Mas Reza sepenuhnya. Dia yang pegang kendali semua aset kami, bahkan kepemilikan restoran, mobil, rumah, termasuk buku tabungan, semua atas nama dia. Cuma kios kecil sama pick up tua yang menggunakan namaku karena Papa yang mengurusnya."

Aku mengangguk, menatap selembar kertas berisi tuntutan Nana.

"Kamu mau ambil semuanya?"

Kali ini Nana menggeleng, "Nggak semua. Aku cuma mau hak asuh Bima ada di tanganku. Kalau aset itu masih bisa kita perjuangkan, aku bersedia ikuti prosesnya. Kalaupun nggak, nggak masalah. Bima jauh lebih penting dari segalanya."

Aku terdiam beberapa detik, menatap wajah cantik yang menyimpan kesedihan di matanya. Sesayang itukah seorang ibu pada anaknya? Kenapa aku tidak mendapatkan kesempatan seperti itu?

"Tadinya aku nggak kepikiran buat menggugat harta gono-gini, tapi Papa yang mendesakku sampai memaksaku ke sini. Setelah lihat pesan dari Joyce, entah kenapa rasanya aku nggak rela jerih payahku selama ini jatuh ke tangan dia. Jadi, mungkin memang ini keputusan yang terbaik. Karena Mas Reza mungkin nggak akan pernah mendaftarkan perceraian kami, aku yang akan menggugat cerai. Keputusanku udah bulat. Kamu bisa bantu urus sisanya, kan?"

Ini pertama kalinya Nana menatap mataku lekat-lekat. Akan tetapi, ini sama sekali bukan Nana yang kukenal. Sorot matanya yang selalu memancarkan keceriaan, sekarang penuh oleh kekecewaan berbalut dendam dan kemarahan. Aku hampir tidak mengenalinya. Apa yang ada di dalam kepalanya?

"Bisa kan hak asuh Bima jatuh ke tanganku?"

Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berusaha mencari kata yang tepat agar Nana tidak terguncang.

"Saat terjadi perceraian, seorang Ibu berhak mengasuh anak yang berusia di bawah 12 tahun. Setelah anak itu mencapai usia yang disebutkan sebelumnya, dia berhak memilih antara Ayah atau Ibu sebagai pemegang hak pengasuhan. Tapi dalam kasus tertentu, seorang Ibu juga bisa kehilangan hak asuh jika dia memiliki riwayat buruk seperti pernah tersandung kasus kriminal, maupun ketidakmampuan dalam hal finansial."

Raut wajah Nana yang semula terlihat sedikit lega, sekarang tampak lebih keruh dibandingkan sebelumnya. Dia bahkan sampai menggigit bibir bawahnya karena khawatir.

Meski tak menyuarakan isi hatinya, tapi aku tahu berbagai pikiran buruk pasti memenuhi kepala Nana. Dia mungkin akan semakin terguncang jika harta dan anak semata wayangnya hilang dari genggaman.

"Na, masih ada berkas yang harus kamu lengkapi," ucapku setelah beberapa menit berlalu dalam diam.

"Berkas apa saja?"

Aku mengambil selembar kertas dan menuliskan dokumen apa saja yang akan digunakan untuk mengajukan gugatan cerai terhadap Reza.

"Surat nikah asli, salinan surat nikah yang sudah dilegalisir dan bermaterai, salinan KTP, salinan kartu keluarga, juga foto kopi akta kelahiran anak bermaterai dan dilegalisir."

Aku menyerahkan lembaran kertas itu ke Nana.

"Jika ingin melanjutkan proses gugatan cerai dengan urusan harta gono-gini, kamu juga harus menyiapkan dokumen lain seperti bukti kepemilikan kendaraan, surat tanah, rumah, juga aset lainnya."

Kedua bahu Nana luruh, tampak putus asa.

"Ada apa?" tanyaku pada akhirnya. "Semua dokumen itu dipegang sama suamimu?"

Dia mengangguk lemah.

"Oke, kita ambil sekarang."

"Eh? Sekarang?!" Nana terhenyak, mengangkat wajahnya yang semula menunduk.

"Ayo!"

Aku mengambil jas di belakang kursi, memakainya dengan cepat dan mengambil ponsel serta kunci mobil. Entah demi Nana dan kebahagiaannya atau demi nama baik firma hukum ini, aku pasti akan melakukan yang terbaik yang aku bisa!

Bab terkait

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Pasang Badan (POV Firman)

    "Firman, nggak bisa besok aja?" Suara Nana tercekat di tenggorokan, tampak tidak nyaman saat mobilku mulai memasuki gerbang perumahan tempat tinggalnya. Dia akhirnya buka mulut, tak hanya diam. Sejak naik ke mobil Jeep milikku, dia memang menutup mulutnya rapat-rapat. "Kenapa? Kamu belum siap ketemu suamimu yang sebentar lagi bakal jadi mantan itu?" Alih-alih menjawab, dia justru meremas tas di pangkuannya. Aku terpaksa menepikan mobilku, mengajaknya bicara. Keraguan bergelayut di matanya. "Kalau aku sama Mas Reza beneran pisah, apa Bima akan baik-baik saja? Yang paling dirugikan dari sebuah perceraian adalah anak-anak. Nggak sedikit yang kekurangan kasih sayang dan pada akhirnya lari ke hal-hal negatif. Apalagi Bima masih masa tumbuh kembang. Dia pasti akan kehilangan sosok ayah." Aku terpaksa meraup wajah dengan tangan sambil menarik napas dalam-dalam. Bagaimana cara meyakinkan Nana bahwa rumah tangganya sudah rusak? Perselingkuhan adalah dosa yang sulit ditinggalkan. Set

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Sambutan Tak Terduga (POV Firman)

    "Di sini?" tanyaku setelah menatap nomor di samping pintu gerbang bertuliskan A15. Sebuah rumah dua lantai yang terlihat mewah dengan halaman yang luas, langsung tertangkap mataku. "Iya." "Yakin kita selesaikan hari ini, Na? Setelah aku ketemu suami kamu, aku pantang mundur kecuali kamu sendiri yang mencabut tuntutan itu nanti. Kalaupun kamu mau membatalkannya, bukan berarti proses perceraian bisa langsung berhenti. Ada prosedur yang harus dilalui dan itu cukup berlarut-larut." "Aku udah siap. Apa pun resikonya, itu yang terbaik untuk kita bertiga. Seperti yang kamu tahu, Joyce hamil. Mas Reza harus tanggung jawab kalau itu beneran anak dia, tapi aku nggak akan pernah mau dimadu. Jadi, cepat atau lambat, kami memang akan berpisah." Aku mengangguk, merasa cukup lega saat melihat tekad kuat yang dia tunjukkan. Tak ada lagi air mata maupun kesedihan di wajahnya. Justru dia terlihat seperti wanita yang begitu kuat. "Ayo!" Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya, mengik

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Surat Kuasa (POV Firman)

    "Kamu sengaja bawa ini dari kantor?" tanya Nadya saat aku meletakkan printer yang juga berfungsi untuk menggandakan dokumen sekaligus sebagai scanner. "Sedia payung sebelum hujan, Na. Jaga-jaga, takut suamimu yang rese itu nggak izinin kita keluar bawa dokumennya." Nadya menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Dia beralih ke dapur, mengambil gelas dan sebotol air mineral dingin dari kulkas. Reza keluar dari kamar dan membawa map dengan wajah masam. Dia tidak berkomentar apa pun meski melihat Nadya melenggang bebas dari dapur. Tak ada saling sapa antara keduanya, hanya saling melirik sekilas. Tanganku terulur bersiap mengambil map dari tangan Reza, tapi pria itu justru menariknya lagi ke belakang. "Tunggu," ucapnya dengan suara tercekat di tenggorokan. "Nadya, aku mau bicara empat mata sama kamu." "Nggak ada yang perlu dibicarakan. Kalau mau ngomong, ngomong aja di sini. Di depan pengacaraku," jawab wanita yang saat ini duduk di sofa, menyilangkan kaki sebelum menumpu lututnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Penyesalan (POV Nadya)

    "Aku antar kamu pulang sekarang," ucap Firman saat mobil yang dikendarainya meninggalkan kompleks perumahan Permata Kencana. Gerimis mulai membasuh jalanan, membuat wipper mobil mulai bekerja. Aku hanya meliriknya sekilas, tidak berniat menjawab walau sekadar satu kata. Beberapa kilometer berlalu dalam diam sampai terdengar suara Firman. "Na, Reza orang yang seperti apa? Aku harus tahu karakternya buat menghadapi dia di persidangan nanti." Aku tak lantas menjawab, terpaku menatap keluar jendela mobil mengingat awal pertemuanku dengan Mas Reza, dua atau tiga bulan sejak kepergian Firman ke luar negeri. Kehidupanku sebagai mahasiswa terbilang biasa saja, benar-benar nggak ada yang menarik. Aku masih tenggelam dalam rasa kehilangan. "Boleh duduk di sini?" tanya Mas Reza sambil membawa nampan berisi makanan, tersenyum padaku yang memang duduk sendirian di kantin. Alih-alih menjawab, aku justru mengedarkan pandangan ke seluruh tempat dan hampir tidak mendapati satu bangku pun yang koso

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Pengakuan Papa

    “Maksud Papa apa?” Aku mengernyit heran, menatap pria dengan uban yang mulai mengambil alih rambut hitamnya. Beliau selalu saja to the point seperti itu. Tanpa tedeng aling-aling, langsung mengungkapkan isi hatinya. “Sampai sekarang Firman belum menikah. Itu karena dia masih cinta sama kamu, Na. Papa juga bisa lihat kalau perasaan kamu masih ada buat dia.” “Pa!” Aku menyentak lengan Papa sambil berdiri. Ini pertama kalinya aku bersuara agak lantang di depan beliau. “Sayang ….” Mama langsung memeluk kedua lenganku, meredam rasa marahku karena Papa mengatur hidupku. “Tenang, ya. Maksud Papa nggak begitu, kok. Papa cuma mau—” “Nana tahu, Ma.” Aku menyela ucapan wanita yang sudah melahirkanku 27 tahun yang lalu. “Aku tahu Mama sama Papa cuma mau aku bahagia, tapi aku udah dewasa dan tahu apa yang harus aku lakukan ke depannya.” Papa terlihat mengembuskan napas kasar dari mulut melihat aku memberontak. Mama membawaku duduk di kursi yang lain, sedikit menjauh dari Papa. Segelas air

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Drama Air Mata (1)

    "Mami hari ini pergi lagi?" tanya Bima begitu membuka mata dan langsung lari ke arah dapur, memeluk kakiku erat-erat. "Nggak, Sayang. Hari ini Mami di rumah nemenin kamu." "Ciyus?" tanya sambil mengerucutkan bibir, membuat aku terpaksa mematikan kompor dan memusatkan perhatian pada jagoanku. "Ciyus anet," jawabku ikut menirukan suaranya yang terdengarbegitu imut. Ah, kalau aku sih jatuhnya jadi sok imut. "Sekarang Bima duduk di sini dulu, ya. Mami siapin sarapan buat kamu sama Oma dan Opa." Aku mendudukkan bocah tiga tahun itu di bangku, bersiap kembali ke dapur. Namun, tangan kecilnya menarik jari telunjukku. "Ada apa, Sayang?" Mata bulat Bima menatapku, tapi nggak ada satu kata pun yang dia ucapkan. "Sayangnya Mami mau ngomong apa?" Aku terpaksa berlutut di lantai, membuat posisiku sejajar dengan jagoan kecil yang benar-benar mengingatkanku pada Mas Reza. Wajah Bima copy-an pria itu 90 persen. Hanya bentuk matanya saja yang sedikit mirip denganku, tapi mulut, hidung, ju

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Drama Air Mata (2)

    Satu jam kemudian, aku membawa mobil milik Papa ke salah satu kafe yang disebutkan Joyce. Demi Mama dan seluruh nasihat baiknya, aku menahan rasa sakit hati dan memberikan muka untuk mantan sahabatku itu. "Nadya," panggil Joyce sambil melambaikan tangan ke arahku, menyunggingkan senyum terbaik yang membuatku justru semakin kesal. Nggak ada raut bersalah sama sekali di wajahnya, yang tampak justru binar bahagia di matanya. Joyce berdiri, siap mencium pipi kanan dan kiri seperti saat kami biasa bertemu. Namun kali ini, aku menjauh dua langkah darinya. Rasanya jijik berpelukan dengan wanita yang sudah merebut suamiku. "Waktuku nggak banyak. Mau ngomong apa?" tanyaku to the point, malas mendengar basa-basi yang akan keluar dari mulutnya. "Nad, aku ham—" "Aku tahu, tapi apa urusannya sama aku?" Aku menyela cepat, enggan mendengar kabar kehamilannya maupun pengaduan yang lain. Saat dia diusir dari rumah kemarin, aku sebenarnya kasihan, tapi bukan berarti aku peduli padanya. Dia sud

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Sarjana Gadungan (1)

    “Kamu siap, Na?” tanya Firman begitu aku keluar dan bertatapan langsung dengan wajahnya. Hari ini, jadwal sidang pertama perceraianku dengan Mas Reza. Aku sudah membulatkan tekad, jalan terbaik adalah sebuah perceraian. Aku dengar Joyce sudah memesan undangan pernikahan mereka. Lebih-lebih lagi, pengakuan Joyce kemarin benar-benar menyadarkanku bahwa rumah tanggaku dengan Mas Reza memang sudah salah sejak awal. Mau dipertahankan bagaimana pun, pasti akan berakhir buruk. Aku tidak akan menggadaikan masa depanku kepada pria yang nggak tahu diri itu. "Siap nggak siap, ini yang harus aku hadapi. Ayo!" Aku menarik napas dalam setelah menjawab pertanyaan Firman. Meski perceraian adalah satu hal yang dibenci Tuhan, tapi ini yang terbaik menurutku. Tidak ada opsi lain kecuali melepaskan seorang pengkhianat. Firman mengangguk, membukakan pintu mobil untukku. Dia sempat berpamitan pada Mama di beranda, juga melambai pada Bima. Aroma parfum yang menguar dari tubuhnya sempat mampir ke hidungku

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10

Bab terbaru

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Kehilangan Arah

    Firman menutup laptopnya, melirik jam segi empat di pergelangan tangan kirinya. Benar-benar 30 menit seperti yang ia janjikan pada Nadya.[Kamu masih di rumah makan itu, Na? Aku ke sana sekarang.]Pesan itu terkirim, ceklis 2, tapi masih abu-abu. Belum dibaca."Langsung ke sana aja lah," ucap Firman bergumam. Tangannya merapikan lengan kemeja sebelum keluar dari rumah sewa.Seolah berkejaran dengan waktu, pria itu menuruni anak tangga 4 pijakan dengan tergesa. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah berada di dekat jalan raya, siap menyeberang. Namun, saat kakinya hendak melangkah melewati jalanan aspal, tubuh pria itu mendadak membeku. Tak jauh dari posisinya, tampak seorang gadis berjalan sambil menundukkan kepala. Meski wajahnya tak terlihat, tapi Firman hafal betul postur maupun gesturnya."Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih atas semua kemudahan yang Kau berikan," bisik Firman lirih, meraup wajahnya dengan tangan.Pengacara muda itu mengubah haluan, mendekat ke arah gadis yang

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Ketidakcocokan

    Tepat pukul sembilan pagi, Alya melangkah keluar dari kamar. Celana jeans membungkus kaki jenjangnya, berpadu dengan atasan tanpa lengan bermotif bunga-bunga. Kulitnya yang bersih, terlihat bercahaya di bawah sinar matahari, leher jenjangnya mulus tanpa noda—sesuatu yang tak banyak dimiliki gadis seusianya, kecuali mereka yang merawatnya dengan baik. Langkah Alya terasa ringan, siap membantu Bu Ayu di rumah makan seperti kemarin. Rasanya menyenangkan berjualan, bertemu banyak orang dan merasakan kehangatan suasana desa. Namun, senyum Alya tertahan saat tatapan wanita itu seolah mengulitinya. Bu Ayu berdiri di dekat pintu, jilbabnya rapi, tas mungil tergantung di bahu yang tertutup kebaya lengan panjang. Matanya menyapu penampilan Alya dari kepala hingga kaki, lalu kembali naik dengan sorot yang sulit disembunyikan—ketidaksukaan. "Ibu mau ke rumah makan sekarang, Bu?" tanya Alya, mencoba mencairkan suasana. Bu Ayu tak langsung menjawab. Alisnya berkerut, seolah menimbang sesuatu

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Gadis Cinderella

    Dani mengerjap ketika tirai terbuka, membiarkan sinar matahari menampar wajahnya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, berusaha menghindari cahaya yang terasa menusuk kepalanya yang pening. Begitu mencoba membuka mata sepenuhnya, palu godam terasa menghantam, memaksanya kembali memejamkan mata. "Nggak tahan alkohol, tapi sok-sokan minum *absinthe*. Udah bosan hidup?" Suara itu membuat Dani tersentak. Lembut, tapi penuh sindiran. Suara yang sudah lama tak ia dengar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka mata, kali ini dengan lebih perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Sosok seorang wanita berdiri di dekat jendela, siluetnya samar diterpa cahaya pagi. Rambut panjangnya tergerai sedikit berantakan, tapi tetap terlihat menawan. Ia mengenakan kemeja putih longgar—yang, sialnya, tampak seperti pakaian yang Dani gunakan semalam. Kain itu menggantung di tubuhnya, sedikit kebesaran tapi tetap menciptakan nuansa yang berbahaya dan menggoda bagi pria dewasa sepert

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Bulan Madu Kedua 🔞

    WARNING! 🔞 ADULT CONTENT! "Mas, aku liat gadis yang mirip Alya!" seru Nadya sambil mengetuk pintu kamar mandi, mengganggu sang suami yang sedang mandi. Tadinya Nadya hanya ingin berdiri di beranda lantai dua, melihat gemintang di angkasa. Dia justru melihat sepasang sejoli sedang makan bersama di kejauhan. Gadis yang ia yakini sebagai Alya. Dari balik suara gemericik air shower, Firman tidak langsung menjawab. Dia sedang sibuk membilas shampo di kepala. "Mas Firman! Aku liat Alya!" ulang Nadya dengan suara yang lebih keras. Sengaja mengetuk pintu di depannya dengan ketukan yang lebih kuat. "Apa, Na?" sahut Firman balik bertanya, mencoba memusatkan pendengarannya di bawah guyuran air. "Ada Alya!" Detik berikutnya, suara aliran air terhenti dan pintu kamar mandi terbuka sedikit. Firman melongok keluar, membiarkan tetesan air mengalir dari ujung rambut basahnya. "Kamu ngomong apa tadi? Nggak jelas suaranya." Nadya menelan ludah menatap perut kotak-kotak di depannya. Namun, dia

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Modus

    "Kamu suka tempat ini, Na?" Firman bertanya sambil mengikuti sang istri. Dia memperhatikan Nadya yang memandang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang beraroma kayu dan langsung menghadap laut, yang akan mereka tempati selama di Jogja."Suka. Bagus. Nyaman."Firman tersenyum lega. Berbeda dengan Hotel Kencana yang penuh kenangan pahit, rumah sewa ini jelas jauh berbeda vibe-nya. Lantainya dari kayu, jendelanya besar menghadap laut, dan suara ombak menjadi latar yang menenangkan. "Kok kamu bisa nemu tempat ini, Mas?" Nadya bertanya sambil menaruh tas kecilnya di atas ranjang. Firman tersenyum tipis sebelum berkat, "Aku pernah nginep di sini waktu itu." Nadya menoleh dengan cepat, menatap Firman dengan kening berkerut. "Sama siapa?" tanyanya dengan jantung yang terasa berdetak lebih cepat. Luka dari pengkhianatan Reza dan Joyce masih menyisakan bayangan samar di hatinya. Ia tak ingin curiga pada Firman, tapi refleks pertanyaan itu keluar begitu saja. "Samaaa..." Firma

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Hilang Kendali 🔞

    "Maaf, Bu, apa Alya semalam atau pagi ini ke sini?" Dani berdiri di ambang pintu panti asuhan, suaranya terdengar tenang, tetapi jari-jari tangannya yang mengepal di sisi tubuhnya menceritakan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. "Alya?!" Bu Ratri menatapnya dengan mata penuh tanya. “Ada apa? Kamu bertengkar dengan dia?” Dani menggeleng, meski gerakannya terasa berat. “Bukan begitu, Bu. Cuma ada sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dia pergi tanpa pamit, meninggalkan dompet dan ponselnya.” Bu Ratri menghela napas panjang, seakan beban yang sempat menghimpitnya sedikit terangkat. “Syukurlah,” gumamnya. Dani menatapnya dengan kening berkerut. Kenapa Bu Ratri bersyukur?Bu Ratri tersenyum samar, lalu berjalan menuju ruang tamu kecil panti. Dani mengikutinya, menyadari betapa tempat ini tak banyak berubah sejak terakhir kali ia datang. Aroma kayu tua dan buku-buku lama masih memenuhi udara, membawa serta kenangan yang dulu terasa hangat, tapi kini, ada sesuatu yang koso

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Calon Mantu

    Bu Ayu mengambil nampan yang akan diisi dengan makanan. Seulas senyum terukir di wajah cantiknya meski tak lagi muda begitu melihat interaksi Alya dan Dimas yang bernuansa romansa.Sebenarnya tak hanya Bu Ayu, beberapa pegawai di sekitar mereka juga mulai berbisik-bisik lirih. Sekali lihat saja, mereka tahu Den Bagus-nya menyukai gadis yang masih membeku di tempatnya."Mbakyu, iku calonnya Mas Dimas?" tanya seorang wanita yang selama ini menjadi tangan kanan Bu Ayu, Sumiati.Alih-alih menjawab, justru senyum lebar tampak merekah di wajah wanita paruh baya itu."Piye? Cocok, ndak?" Bu Ayu balik bertanya seolah mengiyakan prasangka barusan."Cocok, Mbakyu. Cantik, putih, mulus, kayak artis di tivi. Kalau mereka nikah, nanti anaknya ganteng mirip Mas Dima lan ayu-ayu mirip mbaknya."Bu Ayu tak bisa menyembunyikan tawa, menutupi mulutnya dengan tangan."Namanya Alya. Doakan saja, Sum. Semoga mereka berjodoh."Sumiati mengangguk, melangitkan doa yang sama dengan wanita di sampingnya."Oh,

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Pusat Perhatian

    Alya melangkah ragu di belakang Dimas, memasuki pelataran restoran yang ramai oleh pelanggan. Aroma gudeg yang manis gurih bercampur dengan wangi ayam opor dan sambal krecek memenuhi udara, menggoda perutnya yang sudah berteriak kelaparan."Iku sopo? Pacare Mas Dimas?" bisik salah satu pramusaji yang Alya lewati.Gadis itu merasa sedikit canggung karena penampilannya terbilang kacau—blouse kusut, celana jeans basah, dan yang paling parah, ia berjalan tanpa alas kaki.Dimas menoleh, menyadari langkah Alya melambat. "Ayo, langsung masuk ke dapur aja. Ketemu Ibu," ucapnya dengan suara ringan seolah membawa masuk Alya ke rumahnya sendiri."Dim, tapi aku—""Udah, nggak usah denger komentar mereka."Alya menelan ludah, ingin pergi saja dari sana. Namun, genggaman tangan Dimas terlalu erat, tidak bisa dilepaskan.Mereka melewati meja-meja kayu yang dipenuhi pelanggan. Beberapa dari mereka menoleh sekilas, satu-dua tersenyum, membuat Alya semakin tak kerasan. Yang bisa ia lakukan hanya meneb

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Surat untuk Alya

    Alya menatap botol bening di tangannya dengan ekspresi yang sulit terbaca. Meski sudah bertekad melepas perasaannya, tapi ternyata tak semudah itu. Sebulir air mata luruh membasahi pipi sebelah kirinya.Ingatannya terlempar pada kejadian 30 menit yang lalu, saat ia duduk bersila di bawah pohon kelapa. Lututnya menjadi alas bagi secarik kertas yang setengah kusut. Untuk Alya yang dulu, yang mencintai Mas Dani tanpa syarat. Alya yang selalu berharap meski tak pernah didengar....Tulisan itu seolah bisa bersuara, membuat sayatan menyakitkan di hatinya.Terima kasih karena pernah mengisi hari-hariku dengan harapan dan tawa. Kamu membuatku rela memberi perhatian-perhatian kecil yang dulu kukira spesial untuknya. Aku harus berterima kasih karena kamu selalu tersenyum di depannya meski mungkin bagi dia, senyummu itu tak lebih dari sekadar kebiasaan.Alya menarik napas, mengangkat pena sejenak. Angin laut menerbangkan anak-anak rambutnya yang terlepas dari ikatan, sementara matanya menelusur

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status