Saat Pak Bagaskara masih bicara dengan putrinya di dalam sana, aku terjebak dalam riuh rendah isi kepalaku sendiri mengingat kisah kasih kami semasa SMA.
“Nonton, yuk,” ajak Nadya, mendekat ke arahku setelah pelajaran terakhir usai dan menunjukkan tiket film di salah satu bioskop tak jauh dari sekolah kami. Senyum di wajahnya begitu cerah, mengabaikan terik matahari di luar sana yang amat menyengat.
Dia gadis yang ceria, murah senyum dan memiliki banyak teman. Berbanding terbalik denganku yang lebih banyak diam dan menutup diri.
Aku hanya bisa menggeleng, menolak ajakannya dan pergi lebih dulu dari sana, canggung menatap wajahnya yang cantik menawan. Jujur saja aku menyukainya, tapi tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan. Lagi pula, Nadya dari keluarga berada, sedangkan aku hanya anak panti asuhan yang tidak jelas asal-usulnya.
“Aku maunya sama kamu. Nggak mau sama yang lain.” Bibirnya mengerucut. Dia menghadangku, berdiri sambil merentangkan tangan demi menghalangi jalan. Tipikal anak satu-satunya memang seperti itu, kuat kemauannya. Tidak bisa dibantah.
“Yuk!” Tanpa aba-aba, gadis itu menarik tanganku untuk keluar dari kelas. Mengabaikan pandangan beberapa anak yang berpapasan di koridor sekolah.
Begitulah awal hubunganku dengan Nadya yang lebih suka dipanggil Nana. Dia yang lebih bersemangat atas hubungan kami. Bahkan dia juga yang memintaku menjadi pacarnya.
Orang tua Nana menerimaku dengan baik tanpa melihat latar belakangku yang tak berpunya. Sebaliknya, mereka sangat peduli padaku.
Pak Bagaskara mencarikan universitas terbaik untukku. Bukan di kota ini, melainkan di luar negeri. Beliau, mengenalkanku pada seorang pemilik yayasan pendidikan. Aku mendapat beasiswa untuk kuliah di sana. Meskipun itu artinya, aku harus meninggalkan Nana.
Kami bertengkar untuk pertama kalinya. Dia melarangku pergi, tapi aku bersikeras dan kami tetap berpisah. Hari itu, kulihat dia menangis, tapi aku tetap harus berangkat.
Sepuluh tahun berlalu, rasa sesak itu kembali datang. Aku melihat Nana menangis di pelukan ayahnya. Sama seperti saat meninggalkannya di bandara.
“Firman, masuk.” Suara bariton Pak Bagaskara memecah keheningan, memutuskan lamunan panjangku akan masa lalu. Beliau mengajakku kembali ke ruang kerja. Ragu-ragu aku melangkah ke sana.
Sejujurnya, aku takut melihat Nana yang tampak terluka. Entah luka karena rumah tangganya yang ada di ujung tanduk, atau luka lama perpisahan kami yang kembali terbuka. Bagiku, kedua hal itu sama-sama menyakitkan.
Aku duduk sambil mengamati Nana yang terus menundukkan kepala. Penampilannya tidak banyak berubah, masih sama cantiknya dengan sepuluh tahun lalu. Hanya saja, sebuah jilbab pasmina menyembunyikan rambut panjangnya yang indah. Dia berhijab sekarang.
“Seperti yang sudah saya jelaskan di bawah, Nana ditipu oleh suaminya. Aset-aset yang mereka beli saat jadi suami istri, nggak ada satu pun yang menggunakan namanya. Cuma ruko kecil dan sebuah pick up tua yang tersisa. Itu pun karena saya yang mengurusnya saat itu. Nana dibutakan cinta dan memercayai Reza sepenuhnya. Bahkan, pria itu juga berniat mengambil hak asuh Bima, anak semata wayang mereka.”
Aku meneguk ludah mendengar Pak Bagaskara mengulangi hal yang sudah dia jelaskan di lobi tadi. Beliau terlihat amat murka, tapi masih coba mengendalikan emosinya. Tetap berwibawa.
“Apa suami Nana sudah mendaftarkan perceraiannya?” Lidahku kelu, memaksakan diri menyebutkan pertanyaan itu.
“Belum. Sampai sekarang dia masih main tarik ulur. Posisinya belum aman di perusahaan, jadi nggak bisa menceraikan Nana begitu saja. Bagaimanapun juga, pemilik perusahaan tempatnya bekerja sangat menyayangi Nana seperti putrinya sendiri. Cepat atau lambat, dia akan ditendang dari sana jika bukan lagi suami Nana. Sekarang Wirawan memang belum tahu, tapi begitu surat gugatan cerai didaftarkan, dia nggak mungkin diam saja.”
Aku kembali diam, mengangguk satu kali. Pak Wirawan adalah ayah angkat Nadya yang sama berpengaruhnya seperti Pak Bagaskara ini. Mereka bisa melakukan apa saja hanya dengan menjentikkan jari. Aku jelas tahu sepak terjang mereka, beberapa tahun ini mengurus masalah hukum yang tidak bisa mereka hindari.
“Saya mau kamu merebut semua aset itu, mengembalikannya atas nama Nadya. Sejak awal Reza itu nggak punya apa-apa waktu nikahin anak saya. Enak saja dia mau ambil untung. Saya justru mau dia jadi miskin seperti semula.”
“Pa, aku cuma mau Bima.” Nana mengangkat wajahnya, menggeleng berkali-kali sambil memegangi lengan ayahnya. Dia seolah tidak rela membuat suaminya menderita. Mungkin masih cinta. Bagaimanapun juga, Nadya hanya wanita biasa.
Bodohnya, hatiku kembali bergetar ingin mengulurkan tangan dan mengacak puncak kepala seperti yang biasa kulakukan saat dia merajuk padaku di masa lalu. Aku harus mengenyahkan perasaan ini, bersikap profesional, memperlakukan Nana seperti klien lain pada umumnya.
“Aku nggak peduli apa yang mau Papa lakukan, tapi aku cuma mau Bima.” Nana mengulangi permintaannya, memohon dengan air mata yang kembali membasahi wajahnya.
“Firman ....” Bukannya menjawab permohonan sang anak, Pak Bagaskara justru menatapku dengan pandangan tegas. Jelas sekali dia tidak tega menghardik putrinya. Bahkan, melepaskan tautan tangan wanita itu pun dengan sangat hati-hati.
“Kamu tahu apa yang saya inginkan. Bicarakan dengan Nana. Kalau ada dokumen yang kamu butuhkan, segera hubungi saya.”
“Pa?”
Pak Bagaskara beranjak dari kursinya, mengabaikan panggilan Nana. Beliau menebalkan telinga, pergi dari ruangan ini dan tidak menengok sama sekali.
Hening beberapa detik setelah pintu jati di depan sana tertutup sempurna. Menyisakan aku dan Nana dalam situasi yang canggung. Bahkan dua menit setelahnya, kami berdua tetap bungkam sampai notifikasi di ponsel Nana memecah suara. Mau tak mau dia harus melihatnya.
Aku tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan sampai membuat wajahnya begitu tegang. Buku-buku jarinya bahkan mengerat seolah ingin melempar ponselnya. Bulir air mata yang semula tertahan kini keluar dari ujung mata. Dadaku kembali sesak, tapi tetap tidak bisa berkata-kata.
“Firman,” panggilnya dengan suara tersekat di tenggorokan. Jelas sekali dia berusaha meneguhkan diri, menatap wajahku.
“Ya?” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Kamu bisa bantu aku?”
Mulutku terbuka, tapi justru tak bisa bersuara. Entah kenapa, melihat Nana menangis seperti ini amat menyakitkan untukku. Aku hanya menganggukkan kepala.
Pun sama yang terjadi dengan wanita itu, dia tidak bisa mengungkapkan isi kepala. Hanya bisa menyodorkan ponselnya padaku dengan tangan gemetar.
Menepis semua prasangka yang ada, aku meraih benda pipih itu dan melihat layarnya. Keningku berkerut, menatap nama Joyce di bagian atas. Aku pernah bertemu beberapa kali dengannya.
Namun, perhatianku terpusat pada pesan paling bawah yang dikirimkan dua menit lalu. Sebuah foto testpack dengan dua garis biru terlihat di sana bersama pesan mengejutkan dari Joyce.
[Na, aku hamil anak Mas Reza.]
"Om, tolong sampaikan permintaan maaf saya ke Nana. Dia nggak mau angkat telepon. SMS juga nggak dibalas," ucapku malam itu, sehari sebelum terbang ke Eropa demi mengambil beasiswa di salah satu universitas ternama. Om Bagaskara mengangguk, menepuk pundakku dan mulai bercerita masa kecil Nadya, putri kesayangannya yang lebih sering dipanggil Nana. Meski satu jam lamanya kami bercengkerama di beranda, Nana menolak turun dari kamarnya. Dia hanya mengintip dari jendela saat aku melangkah keluar melewati pintu gerbang. "Kamu nggak harus ambil tawaran beasiswa itu!" Suaranya yang melengking sebulan sebelumnya masih terbayang di kepala. Saat itu aku mengungkapkan keputusanku menerima tawaran beasiswa dari sebuah yayasan. "Na, ini demi kebaikan kita berdua. Aku serius sama kamu, tapi aku juga harus serius sama masa depanku. Nggak mungkin yatim piatu kayak aku, layak bersanding sama putri semata wayang Pak Bagaskara. Apa kata orang nantinya?" Nana menghempas tanganku, berdiri dengan cepat
"Firman, nggak bisa besok aja?"Suara Nana tercekat di tenggorokan, tampak tidak nyaman saat mobilku mulai memasuki gerbang perumahan tempat tinggalnya. Dia akhirnya buka mulut, tak hanya diam. Sejak naik ke mobil Jeep milikku, dia memang menutup mulutnya rapat-rapat."Kenapa? Kamu belum siap ketemu suamimu yang sebentar lagi bakal jadi mantan itu?"Alih-alih menjawab, dia justru meremas tas di pangkuannya. Aku terpaksa menepikan mobilku, mengajaknya bicara. Keraguan bergelayut di matanya."Kalau aku sama Mas Reza beneran pisah, apa Bima akan baik-baik saja? Yang paling dirugikan dari sebuah perceraian adalah anak-anak. Nggak sedikit yang kekurangan kasih sayang dan pada akhirnya lari ke hal-hal negatif. Apalagi Bima masih masa tumbuh kembang. Dia pasti akan kehilangan sosok ayah."Aku terpaksa meraup wajah dengan tangan sambil menarik napas dalam-dalam. Bagaimana cara meyakinkan Nana bahwa rumah tangganya sudah rusak? Perselingkuhan adalah dosa yang sulit ditinggalkan.Setelah diam s
"Di sini?" tanyaku setelah menatap nomor di samping pintu gerbang bertuliskan A15. Sebuah rumah dua lantai yang terlihat mewah dengan halaman yang luas, langsung tertangkap mataku."Iya.""Yakin kita selesaikan hari ini, Na? Setelah aku ketemu suami kamu, aku pantang mundur kecuali kamu sendiri yang mencabut tuntutan itu nanti. Kalaupun kamu mau membatalkannya, bukan berarti proses perceraian bisa langsung berhenti. Ada prosedur yang harus dilalui dan itu cukup berlarut-larut.""Aku udah siap. Apa pun resikonya, itu yang terbaik untuk kita bertiga. Seperti yang kamu tahu, Joyce hamil. Mas Reza harus tanggung jawab kalau itu beneran anak dia, tapi aku nggak akan pernah mau dimadu. Jadi, cepat atau lambat, kami memang akan berpisah."Aku mengangguk, merasa cukup lega saat melihat tekad kuat yang dia tunjukkan. Tak ada lagi air mata maupun kesedihan di wajahnya. Justru dia terlihat seperti wanita yang begitu kuat."Ayo!"Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya, mengikuti langkah
"Kamu sengaja bawa ini dari kantor?" tanya Nadya saat aku meletakkan printer yang juga berfungsi untuk menggandakan dokumen sekaligus sebagai scanner."Sedia payung sebelum hujan, Na. Jaga-jaga, takut suamimu yang rese itu nggak izinin kita keluar bawa dokumennya."Nadya menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Dia beralih ke dapur, mengambil gelas dan sebotol air mineral dingin dari kulkas.Reza keluar dari kamar dan membawa map dengan wajah masam. Dia tidak berkomentar apa pun meski melihat Nadya melenggang bebas dari dapur. Tak ada saling sapa antara keduanya, hanya saling melirik sekilas.Tanganku terulur bersiap mengambil map dari tangan Reza, tapi pria itu justru menariknya lagi ke belakang."Tunggu," ucapnya dengan suara tercekat di tenggorokan. "Nadya, aku mau bicara empat mata sama kamu.""Nggak ada yang perlu dibicarakan. Kalau mau ngomong, ngomong aja di sini. Di depan pengacaraku," jawab wanita yang saat ini duduk di sofa, menyilangkan kaki sebelum menumpu lututnya di atas lut
"Aku antar kamu pulang sekarang," ucap Firman saat mobil yang dikendarainya meninggalkan kompleks perumahan Permata Kencana. Gerimis mulai membasuh jalanan, membuat wipper mobil mulai bekerja. Aku hanya meliriknya sekilas, tidak berniat menjawab walau sekadar satu kata.Beberapa kilometer berlalu dalam diam sampai terdengar suara Firman."Na, Reza orang yang seperti apa? Aku harus tahu karakternya buat menghadapi dia di persidangan nanti."Aku tak lantas menjawab, terpaku menatap keluar jendela mobil mengingat awal pertemuanku dengan Mas Reza, dua atau tiga bulan sejak kepergian Firman ke luar negeri. Kehidupanku sebagai mahasiswa terbilang biasa saja, benar-benar nggak ada yang menarik. Aku masih tenggelam dalam rasa kehilangan."Boleh duduk di sini?" tanya Mas Reza sambil membawa nampan berisi makanan, tersenyum padaku yang memang duduk sendirian di kantin.Alih-alih menjawab, aku justru mengedarkan pandangan ke seluruh tempat dan hampir tidak mendapati satu bangku pun yang kosong.
“Maksud Papa apa?” Aku mengernyit heran, menatap pria dengan uban yang mulai mengambil alih rambut hitamnya. Beliau selalu saja to the point seperti itu. Tanpa tedeng aling-aling, langsung mengungkapkan isi hatinya.“Sampai sekarang Firman belum menikah. Itu karena dia masih cinta sama kamu, Na. Papa juga bisa lihat kalau perasaan kamu masih ada buat dia.”“Pa!” Aku menyentak lengan Papa sambil berdiri. Ini pertama kalinya aku bersuara agak lantang di depan beliau.“Sayang ….” Mama langsung memeluk kedua lenganku, meredam rasa marahku karena Papa mengatur hidupku. “Tenang, ya. Maksud Papa nggak begitu, kok. Papa cuma mau—”“Nana tahu, Ma.” Aku menyela ucapan wanita yang sudah melahirkanku 27 tahun yang lalu. “Aku tahu Mama sama Papa cuma mau aku bahagia, tapi aku udah dewasa dan tahu apa yang harus aku lakukan ke depannya.”Papa terlihat mengembuskan napas kasar dari mulut melihat aku memberontak. Mama membawaku duduk di kursi yang lain, sedikit menjauh dari Papa. Segelas air putih se
"Mami hari ini pergi lagi?" tanya Bima begitu membuka mata dan langsung lari ke arah dapur, memeluk kakiku erat-erat."Nggak, Sayang. Hari ini Mami di rumah nemenin kamu.""Ciyus?" tanya sambil mengerucutkan bibir, membuat aku terpaksa mematikan kompor dan memusatkan perhatian pada jagoanku."Ciyus anet," jawabku ikut menirukan suaranya yang terdengarbegitu imut. Ah, kalau aku sih jatuhnya jadi sok imut."Sekarang Bima duduk di sini dulu, ya. Mami siapin sarapan buat kamu sama Oma dan Opa." Aku mendudukkan bocah tiga tahun itu di bangku, bersiap kembali ke dapur. Namun, tangan kecilnya menarik jari telunjukku."Ada apa, Sayang?"Mata bulat Bima menatapku, tapi nggak ada satu kata pun yang dia ucapkan."Sayangnya Mami mau ngomong apa?" Aku terpaksa berlutut di lantai, membuat posisiku sejajar dengan jagoan kecil yang benar-benar mengingatkanku pada Mas Reza. Wajah Bima copy-an pria itu 90 persen. Hanya bentuk matanya saja yang sedikit mirip denganku, tapi mulut, hidung, juga bentuk rah
Satu jam kemudian, aku membawa mobil milik Papa ke salah satu kafe yang disebutkan Joyce. Demi Mama dan seluruh nasihat baiknya, aku menahan rasa sakit hati dan memberikan muka untuk mantan sahabatku itu."Nadya," panggil Joyce sambil melambaikan tangan ke arahku, menyunggingkan senyum terbaik yang membuatku justru semakin kesal. Nggak ada raut bersalah sama sekali di wajahnya, yang tampak justru binar bahagia di matanya.Joyce berdiri, siap mencium pipi kanan dan kiri seperti saat kami biasa bertemu. Namun kali ini, aku menjauh dua langkah darinya. Rasanya jijik berpelukan dengan wanita yang sudah merebut suamiku."Waktuku nggak banyak. Mau ngomong apa?" tanyaku to the point, malas mendengar basa-basi yang akan keluar dari mulutnya."Nad, aku ham—""Aku tahu, tapi apa urusannya sama aku?" Aku menyela cepat, enggan mendengar kabar kehamilannya maupun pengaduan yang lain. Saat dia diusir dari rumah kemarin, aku sebenarnya kasihan, tapi bukan berarti aku peduli padanya. Dia sudah bermai
“Pak Reza, ditunggu Pak Wirawan di ruangannya. Sekarang.”Deg!Detak jantung Reza seolah terhenti detik itu juga. Dia bahkan terpaksa harus menelan ludah berkali-kali setelah panggilan telepon itu berakhir.“Pasti ini ada urusannya sama keputusan cerai kemarin.” Tangan Reza terkepal marah, tapi raut wajahnya lebih menunjukkan kekhawatiran.“Dahlah, bodo amat. Mau dipecat juga gak masalah. Toh, semua aset Nadya udah jadi milikku sekarang. Leha-leha setahun pun nggak akan habis.”Sambil mengendurkan dasi di lehernya, Reza menutup lembar kerja di depannya dan beranjak keluar dari ruangannya. Dia berjalan cepat menuju lift dan menekan tombolnya.Tak berapa lama, kotak besi itu terbuka. Hanya butuh hitungan detik, Reza sudah ada di lantai tiga dan langsung menuju ruangan ayah angkat mantan istrinya. Selama ini, dia diperlakukan dengan sangat baik oleh orang-orang karena Pak Wirawan menganggapnya sebagai menantu yang baik. Entah sekarang, setelah pengkhianatan yang telah dilakukannya.“Sela
Nadya duduk di tepi ranjang dengan tangan gemetar saat memegang surat cerai yang baru saja ia terima. Seharusnya hal itu membuatnya senang karena satu masalah sudah terselesaikan. Namun, ekspresi wajah wanita itu menunjukkan sebaliknya. Hatinya terluka.“Udah cukup sedihnya, Sayang.”Dengan gugup, Nadya menghapus air mata di pipinya. Mama Anita jelas sudah melihatnya.“Semua udah selesai. Jangan sesali yang udah terjadi.”Sebuah anggukan Nadya tunjukkan sebagai jawaban. Kedua tangannya terulur dan mendekap tubuh wanita yang telah melahirkannya 28 tahun yang lalu. Wanita yang pasti ikut merasa hancur seperti dirinya.Alih-alih reda, tangisnya semakin deras hingga sesenggukan. Tidak ada wanita yang ingin berpisah dengan pasangan yang bertahun-tahun menghuni hatinya. Bahkan jika mereka berpisah pun, kenangan yang telah mereka lalui bersama tidak akan pergi dengan mudahnya.Tangan Mama Anita mengelus puncak kepala Nadya saat putri kesayangannya itu mengurai pelukan mereka.“Coba mana sen
“Jangan mengada-ada kamu!” Suaraku sedikit meninggi, merasa tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapannya.“Aku punya sumber yang bisa dipercaya, Na. Kemampuan otak mantan suami kamu itu cethek. Selama ini dia banyak mengandalkan bantuanmu dan Joyce. Bahkan, skripsinya itu hasil kerja orang lain. Apa yang bisa diandalkan dari sarjana gadungan seperti dia?”Aku menggeleng beberapa kali, merasa heran sekaligus tidak habis pikir. Apa aku selama ini terlalu dibutakan oleh cinta sampai tidak bisa melihat kebusukan pria itu?“Aku bisa bantu kamu dapatkan semua harta itu, tapi kita harus main sedikit trik, Na. Kamu relakan semua harta itu jadi milik Reza, tanpa berkurang sedikit pun. Kita biarkan dia bahagia sebelum mengambil semuanya.”“Gimana caranya? Gimana kalau rencana kamu gagal?”Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku. Pengkhianatan dari suami dan sahabatku membuatku tidak mudah percaya kepada siapa saja, termasuk pria yang sempat menjadi orang pertama yang kupedulikan keadaa
“Kamu siap, Na?” tanya Firman begitu aku keluar dan bertatapan langsung dengan wajahnya. Hari ini, jadwal sidang pertama perceraianku dengan Mas Reza. Aku sudah membulatkan tekad, jalan terbaik adalah sebuah perceraian. Aku dengar Joyce sudah memesan undangan pernikahan mereka.Lebih-lebih lagi, pengakuan Joyce kemarin benar-benar menyadarkanku bahwa rumah tanggaku dengan Mas Reza memang sudah salah sejak awal. Mau dipertahankan bagaimana pun, pasti akan berakhir buruk. Aku tidak akan menggadaikan masa depanku kepada pria yang nggak tahu diri itu."Siap nggak siap, ini yang harus aku hadapi. Ayo!"Aku menarik napas dalam setelah menjawab pertanyaan Firman. Meski perceraian adalah satu hal yang dibenci Tuhan, tapi ini yang terbaik menurutku. Tidak ada opsi lain kecuali melepaskan seorang pengkhianat.Firman mengangguk, membukakan pintu mobil untukku. Dia sempat berpamitan pada Mama di beranda, juga melambai pada Bima. Aroma parfum yang menguar dari tubuhnya sempat mampir ke hidungku, m
Satu jam kemudian, aku membawa mobil milik Papa ke salah satu kafe yang disebutkan Joyce. Demi Mama dan seluruh nasihat baiknya, aku menahan rasa sakit hati dan memberikan muka untuk mantan sahabatku itu."Nadya," panggil Joyce sambil melambaikan tangan ke arahku, menyunggingkan senyum terbaik yang membuatku justru semakin kesal. Nggak ada raut bersalah sama sekali di wajahnya, yang tampak justru binar bahagia di matanya.Joyce berdiri, siap mencium pipi kanan dan kiri seperti saat kami biasa bertemu. Namun kali ini, aku menjauh dua langkah darinya. Rasanya jijik berpelukan dengan wanita yang sudah merebut suamiku."Waktuku nggak banyak. Mau ngomong apa?" tanyaku to the point, malas mendengar basa-basi yang akan keluar dari mulutnya."Nad, aku ham—""Aku tahu, tapi apa urusannya sama aku?" Aku menyela cepat, enggan mendengar kabar kehamilannya maupun pengaduan yang lain. Saat dia diusir dari rumah kemarin, aku sebenarnya kasihan, tapi bukan berarti aku peduli padanya. Dia sudah bermai
"Mami hari ini pergi lagi?" tanya Bima begitu membuka mata dan langsung lari ke arah dapur, memeluk kakiku erat-erat."Nggak, Sayang. Hari ini Mami di rumah nemenin kamu.""Ciyus?" tanya sambil mengerucutkan bibir, membuat aku terpaksa mematikan kompor dan memusatkan perhatian pada jagoanku."Ciyus anet," jawabku ikut menirukan suaranya yang terdengarbegitu imut. Ah, kalau aku sih jatuhnya jadi sok imut."Sekarang Bima duduk di sini dulu, ya. Mami siapin sarapan buat kamu sama Oma dan Opa." Aku mendudukkan bocah tiga tahun itu di bangku, bersiap kembali ke dapur. Namun, tangan kecilnya menarik jari telunjukku."Ada apa, Sayang?"Mata bulat Bima menatapku, tapi nggak ada satu kata pun yang dia ucapkan."Sayangnya Mami mau ngomong apa?" Aku terpaksa berlutut di lantai, membuat posisiku sejajar dengan jagoan kecil yang benar-benar mengingatkanku pada Mas Reza. Wajah Bima copy-an pria itu 90 persen. Hanya bentuk matanya saja yang sedikit mirip denganku, tapi mulut, hidung, juga bentuk rah
“Maksud Papa apa?” Aku mengernyit heran, menatap pria dengan uban yang mulai mengambil alih rambut hitamnya. Beliau selalu saja to the point seperti itu. Tanpa tedeng aling-aling, langsung mengungkapkan isi hatinya.“Sampai sekarang Firman belum menikah. Itu karena dia masih cinta sama kamu, Na. Papa juga bisa lihat kalau perasaan kamu masih ada buat dia.”“Pa!” Aku menyentak lengan Papa sambil berdiri. Ini pertama kalinya aku bersuara agak lantang di depan beliau.“Sayang ….” Mama langsung memeluk kedua lenganku, meredam rasa marahku karena Papa mengatur hidupku. “Tenang, ya. Maksud Papa nggak begitu, kok. Papa cuma mau—”“Nana tahu, Ma.” Aku menyela ucapan wanita yang sudah melahirkanku 27 tahun yang lalu. “Aku tahu Mama sama Papa cuma mau aku bahagia, tapi aku udah dewasa dan tahu apa yang harus aku lakukan ke depannya.”Papa terlihat mengembuskan napas kasar dari mulut melihat aku memberontak. Mama membawaku duduk di kursi yang lain, sedikit menjauh dari Papa. Segelas air putih se
"Aku antar kamu pulang sekarang," ucap Firman saat mobil yang dikendarainya meninggalkan kompleks perumahan Permata Kencana. Gerimis mulai membasuh jalanan, membuat wipper mobil mulai bekerja. Aku hanya meliriknya sekilas, tidak berniat menjawab walau sekadar satu kata.Beberapa kilometer berlalu dalam diam sampai terdengar suara Firman."Na, Reza orang yang seperti apa? Aku harus tahu karakternya buat menghadapi dia di persidangan nanti."Aku tak lantas menjawab, terpaku menatap keluar jendela mobil mengingat awal pertemuanku dengan Mas Reza, dua atau tiga bulan sejak kepergian Firman ke luar negeri. Kehidupanku sebagai mahasiswa terbilang biasa saja, benar-benar nggak ada yang menarik. Aku masih tenggelam dalam rasa kehilangan."Boleh duduk di sini?" tanya Mas Reza sambil membawa nampan berisi makanan, tersenyum padaku yang memang duduk sendirian di kantin.Alih-alih menjawab, aku justru mengedarkan pandangan ke seluruh tempat dan hampir tidak mendapati satu bangku pun yang kosong.
"Kamu sengaja bawa ini dari kantor?" tanya Nadya saat aku meletakkan printer yang juga berfungsi untuk menggandakan dokumen sekaligus sebagai scanner."Sedia payung sebelum hujan, Na. Jaga-jaga, takut suamimu yang rese itu nggak izinin kita keluar bawa dokumennya."Nadya menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Dia beralih ke dapur, mengambil gelas dan sebotol air mineral dingin dari kulkas.Reza keluar dari kamar dan membawa map dengan wajah masam. Dia tidak berkomentar apa pun meski melihat Nadya melenggang bebas dari dapur. Tak ada saling sapa antara keduanya, hanya saling melirik sekilas.Tanganku terulur bersiap mengambil map dari tangan Reza, tapi pria itu justru menariknya lagi ke belakang."Tunggu," ucapnya dengan suara tercekat di tenggorokan. "Nadya, aku mau bicara empat mata sama kamu.""Nggak ada yang perlu dibicarakan. Kalau mau ngomong, ngomong aja di sini. Di depan pengacaraku," jawab wanita yang saat ini duduk di sofa, menyilangkan kaki sebelum menumpu lututnya di atas lut