Share

Joyce Hamil (POV Firman)

last update Last Updated: 2024-12-05 00:21:22

Saat Pak Bagaskara masih bicara dengan putrinya di dalam sana, aku terjebak dalam riuh rendah isi kepalaku sendiri mengingat kisah kasih kami semasa SMA.

“Nonton, yuk,” ajak Nadya, mendekat ke arahku setelah pelajaran terakhir usai dan menunjukkan tiket film di salah satu bioskop tak jauh dari sekolah kami. Senyum di wajahnya begitu cerah, mengabaikan terik matahari di luar sana yang amat menyengat.

Dia gadis yang ceria, murah senyum dan memiliki banyak teman. Berbanding terbalik denganku yang lebih banyak diam dan menutup diri.

Aku hanya bisa menggeleng, menolak ajakannya dan pergi lebih dulu dari sana, canggung menatap wajahnya yang cantik menawan. Jujur saja aku menyukainya, tapi tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan. Lagi pula, Nadya dari keluarga berada, sedangkan aku hanya anak panti asuhan yang tidak jelas asal-usulnya.

“Aku maunya sama kamu. Nggak mau sama yang lain.” Bibirnya mengerucut. Dia menghadangku, berdiri sambil merentangkan tangan demi menghalangi jalan. Tipikal anak satu-satunya memang seperti itu, kuat kemauannya. Tidak bisa dibantah.

“Yuk!” Tanpa aba-aba, gadis itu menarik tanganku untuk keluar dari kelas. Mengabaikan pandangan beberapa anak yang berpapasan di koridor sekolah.

Begitulah awal hubunganku dengan Nadya yang lebih suka dipanggil Nana. Dia yang lebih bersemangat atas hubungan kami. Bahkan dia juga yang memintaku menjadi pacarnya.

Orang tua Nana menerimaku dengan baik tanpa melihat latar belakangku yang tak berpunya. Sebaliknya, mereka sangat peduli padaku.

Pak Bagaskara mencarikan universitas terbaik untukku. Bukan di kota ini, melainkan di luar negeri. Beliau, mengenalkanku pada seorang pemilik yayasan pendidikan. Aku mendapat beasiswa untuk kuliah di sana. Meskipun itu artinya, aku harus meninggalkan Nana.

Kami bertengkar untuk pertama kalinya. Dia melarangku pergi, tapi aku bersikeras dan kami tetap berpisah. Hari itu, kulihat dia menangis, tapi aku tetap harus berangkat.

Sepuluh tahun berlalu, rasa sesak itu kembali datang. Aku melihat Nana menangis di pelukan ayahnya. Sama seperti saat meninggalkannya di bandara.

“Firman, masuk.” Suara bariton Pak Bagaskara memecah keheningan, memutuskan lamunan panjangku akan masa lalu. Beliau mengajakku kembali ke ruang kerja. Ragu-ragu aku melangkah ke sana.

Sejujurnya, aku takut melihat Nana yang tampak terluka. Entah luka karena rumah tangganya yang ada di ujung tanduk, atau luka lama perpisahan kami yang kembali terbuka. Bagiku, kedua hal itu sama-sama menyakitkan.

Aku duduk sambil mengamati Nana yang terus menundukkan kepala. Penampilannya tidak banyak berubah, masih sama cantiknya dengan sepuluh tahun lalu. Hanya saja, sebuah jilbab pasmina menyembunyikan rambut panjangnya yang indah. Dia berhijab sekarang.

“Seperti yang sudah saya jelaskan di bawah, Nana ditipu oleh suaminya. Aset-aset yang mereka beli saat jadi suami istri, nggak ada satu pun yang menggunakan namanya. Cuma ruko kecil dan sebuah pick up tua yang tersisa. Itu pun karena saya yang mengurusnya saat itu. Nana dibutakan cinta dan memercayai Reza sepenuhnya. Bahkan, pria itu juga berniat mengambil hak asuh Bima, anak semata wayang mereka.”

Aku meneguk ludah mendengar Pak Bagaskara mengulangi hal yang sudah dia jelaskan di lobi tadi. Beliau terlihat amat murka, tapi masih coba mengendalikan emosinya. Tetap berwibawa.

“Apa suami Nana sudah mendaftarkan perceraiannya?” Lidahku kelu, memaksakan diri menyebutkan pertanyaan itu.

“Belum. Sampai sekarang dia masih main tarik ulur. Posisinya belum aman di perusahaan, jadi nggak bisa menceraikan Nana begitu saja. Bagaimanapun juga, pemilik perusahaan tempatnya bekerja sangat menyayangi Nana seperti putrinya sendiri. Cepat atau lambat, dia akan ditendang dari sana jika bukan lagi suami Nana. Sekarang Wirawan memang belum tahu, tapi begitu surat gugatan cerai didaftarkan, dia nggak mungkin diam saja.”

Aku kembali diam, mengangguk satu kali. Pak Wirawan adalah ayah angkat Nadya yang sama berpengaruhnya seperti Pak Bagaskara ini. Mereka bisa melakukan apa saja hanya dengan menjentikkan jari. Aku jelas tahu sepak terjang mereka, beberapa tahun ini mengurus masalah hukum yang tidak bisa mereka hindari.

“Saya mau kamu merebut semua aset itu, mengembalikannya atas nama Nadya. Sejak awal Reza itu nggak punya apa-apa waktu nikahin anak saya. Enak saja dia mau ambil untung. Saya justru mau dia jadi miskin seperti semula.”

“Pa, aku cuma mau Bima.” Nana mengangkat wajahnya, menggeleng berkali-kali sambil memegangi lengan ayahnya. Dia seolah tidak rela membuat suaminya menderita. Mungkin masih cinta. Bagaimanapun juga, Nadya hanya wanita biasa.

Bodohnya, hatiku kembali bergetar ingin mengulurkan tangan dan mengacak puncak kepala seperti yang biasa kulakukan saat dia merajuk padaku di masa lalu. Aku harus mengenyahkan perasaan ini, bersikap profesional, memperlakukan Nana seperti klien lain pada umumnya.

“Aku nggak peduli apa yang mau Papa lakukan, tapi aku cuma mau Bima.” Nana mengulangi permintaannya, memohon dengan air mata yang kembali membasahi wajahnya.

“Firman ....” Bukannya menjawab permohonan sang anak, Pak Bagaskara justru menatapku dengan pandangan tegas. Jelas sekali dia tidak tega menghardik putrinya. Bahkan, melepaskan tautan tangan wanita itu pun dengan sangat hati-hati.

“Kamu tahu apa yang saya inginkan. Bicarakan dengan Nana. Kalau ada dokumen yang kamu butuhkan, segera hubungi saya.”

“Pa?”

Pak Bagaskara beranjak dari kursinya, mengabaikan panggilan Nana. Beliau menebalkan telinga, pergi dari ruangan ini dan tidak menengok sama sekali.

Hening beberapa detik setelah pintu jati di depan sana tertutup sempurna. Menyisakan aku dan Nana dalam situasi yang canggung. Bahkan dua menit setelahnya, kami berdua tetap bungkam sampai notifikasi di ponsel Nana memecah suara. Mau tak mau dia harus melihatnya.

Aku tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan sampai membuat wajahnya begitu tegang. Buku-buku jarinya bahkan mengerat seolah ingin melempar ponselnya. Bulir air mata yang semula tertahan kini keluar dari ujung mata. Dadaku kembali sesak, tapi tetap tidak bisa berkata-kata.

“Firman,” panggilnya dengan suara tersekat di tenggorokan. Jelas sekali dia berusaha meneguhkan diri, menatap wajahku.

“Ya?” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

“Kamu bisa bantu aku?”

Mulutku terbuka, tapi justru tak bisa bersuara. Entah kenapa, melihat Nana menangis seperti ini amat menyakitkan untukku. Aku hanya menganggukkan kepala.

Pun sama yang terjadi dengan wanita itu, dia tidak bisa mengungkapkan isi kepala. Hanya bisa menyodorkan ponselnya padaku dengan tangan gemetar.

Menepis semua prasangka yang ada, aku meraih benda pipih itu dan melihat layarnya. Keningku berkerut, menatap nama Joyce di bagian atas. Aku pernah bertemu beberapa kali dengannya.

Namun, perhatianku terpusat pada pesan paling bawah yang dikirimkan dua menit lalu. Sebuah foto testpack dengan dua garis biru terlihat di sana bersama pesan mengejutkan dari Joyce.

[Na, aku hamil anak Mas Reza.]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Tekad Bulat (POV Firman)

    "Om, tolong sampaikan permintaan maaf saya ke Nana. Dia nggak mau angkat telepon. SMS juga nggak dibalas," ucapku malam itu, sehari sebelum terbang ke Eropa demi mengambil beasiswa di salah satu universitas ternama. Om Bagaskara mengangguk, menepuk pundakku dan mulai bercerita masa kecil Nadya, putri kesayangannya yang lebih sering dipanggil Nana. Meski satu jam lamanya kami bercengkerama di beranda, Nana menolak turun dari kamarnya. Dia hanya mengintip dari jendela saat aku melangkah keluar melewati pintu gerbang. "Kamu nggak harus ambil tawaran beasiswa itu!" Suaranya yang melengking sebulan sebelumnya masih terbayang di kepala. Saat itu aku mengungkapkan keputusanku menerima tawaran beasiswa dari sebuah yayasan. "Na, ini demi kebaikan kita berdua. Aku serius sama kamu, tapi aku juga harus serius sama masa depanku. Nggak mungkin yatim piatu kayak aku, layak bersanding sama putri semata wayang Pak Bagaskara. Apa kata orang nantinya?" Nana menghempas tanganku, berdiri dengan ce

    Last Updated : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Pasang Badan (POV Firman)

    "Firman, nggak bisa besok aja?" Suara Nana tercekat di tenggorokan, tampak tidak nyaman saat mobilku mulai memasuki gerbang perumahan tempat tinggalnya. Dia akhirnya buka mulut, tak hanya diam. Sejak naik ke mobil Jeep milikku, dia memang menutup mulutnya rapat-rapat. "Kenapa? Kamu belum siap ketemu suamimu yang sebentar lagi bakal jadi mantan itu?" Alih-alih menjawab, dia justru meremas tas di pangkuannya. Aku terpaksa menepikan mobilku, mengajaknya bicara. Keraguan bergelayut di matanya. "Kalau aku sama Mas Reza beneran pisah, apa Bima akan baik-baik saja? Yang paling dirugikan dari sebuah perceraian adalah anak-anak. Nggak sedikit yang kekurangan kasih sayang dan pada akhirnya lari ke hal-hal negatif. Apalagi Bima masih masa tumbuh kembang. Dia pasti akan kehilangan sosok ayah." Aku terpaksa meraup wajah dengan tangan sambil menarik napas dalam-dalam. Bagaimana cara meyakinkan Nana bahwa rumah tangganya sudah rusak? Perselingkuhan adalah dosa yang sulit ditinggalkan. Set

    Last Updated : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Sambutan Tak Terduga (POV Firman)

    "Di sini?" tanyaku setelah menatap nomor di samping pintu gerbang bertuliskan A15. Sebuah rumah dua lantai yang terlihat mewah dengan halaman yang luas, langsung tertangkap mataku. "Iya." "Yakin kita selesaikan hari ini, Na? Setelah aku ketemu suami kamu, aku pantang mundur kecuali kamu sendiri yang mencabut tuntutan itu nanti. Kalaupun kamu mau membatalkannya, bukan berarti proses perceraian bisa langsung berhenti. Ada prosedur yang harus dilalui dan itu cukup berlarut-larut." "Aku udah siap. Apa pun resikonya, itu yang terbaik untuk kita bertiga. Seperti yang kamu tahu, Joyce hamil. Mas Reza harus tanggung jawab kalau itu beneran anak dia, tapi aku nggak akan pernah mau dimadu. Jadi, cepat atau lambat, kami memang akan berpisah." Aku mengangguk, merasa cukup lega saat melihat tekad kuat yang dia tunjukkan. Tak ada lagi air mata maupun kesedihan di wajahnya. Justru dia terlihat seperti wanita yang begitu kuat. "Ayo!" Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya, mengik

    Last Updated : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Surat Kuasa (POV Firman)

    "Kamu sengaja bawa ini dari kantor?" tanya Nadya saat aku meletakkan printer yang juga berfungsi untuk menggandakan dokumen sekaligus sebagai scanner. "Sedia payung sebelum hujan, Na. Jaga-jaga, takut suamimu yang rese itu nggak izinin kita keluar bawa dokumennya." Nadya menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Dia beralih ke dapur, mengambil gelas dan sebotol air mineral dingin dari kulkas. Reza keluar dari kamar dan membawa map dengan wajah masam. Dia tidak berkomentar apa pun meski melihat Nadya melenggang bebas dari dapur. Tak ada saling sapa antara keduanya, hanya saling melirik sekilas. Tanganku terulur bersiap mengambil map dari tangan Reza, tapi pria itu justru menariknya lagi ke belakang. "Tunggu," ucapnya dengan suara tercekat di tenggorokan. "Nadya, aku mau bicara empat mata sama kamu." "Nggak ada yang perlu dibicarakan. Kalau mau ngomong, ngomong aja di sini. Di depan pengacaraku," jawab wanita yang saat ini duduk di sofa, menyilangkan kaki sebelum menumpu lututnya

    Last Updated : 2024-12-05
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Penyesalan (POV Nadya)

    "Aku antar kamu pulang sekarang," ucap Firman saat mobil yang dikendarainya meninggalkan kompleks perumahan Permata Kencana. Gerimis mulai membasuh jalanan, membuat wipper mobil mulai bekerja. Aku hanya meliriknya sekilas, tidak berniat menjawab walau sekadar satu kata. Beberapa kilometer berlalu dalam diam sampai terdengar suara Firman. "Na, Reza orang yang seperti apa? Aku harus tahu karakternya buat menghadapi dia di persidangan nanti." Aku tak lantas menjawab, terpaku menatap keluar jendela mobil mengingat awal pertemuanku dengan Mas Reza, dua atau tiga bulan sejak kepergian Firman ke luar negeri. Kehidupanku sebagai mahasiswa terbilang biasa saja, benar-benar nggak ada yang menarik. Aku masih tenggelam dalam rasa kehilangan. "Boleh duduk di sini?" tanya Mas Reza sambil membawa nampan berisi makanan, tersenyum padaku yang memang duduk sendirian di kantin. Alih-alih menjawab, aku justru mengedarkan pandangan ke seluruh tempat dan hampir tidak mendapati satu bangku pun yang koso

    Last Updated : 2024-12-06
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Pengakuan Papa

    “Maksud Papa apa?” Aku mengernyit heran, menatap pria dengan uban yang mulai mengambil alih rambut hitamnya. Beliau selalu saja to the point seperti itu. Tanpa tedeng aling-aling, langsung mengungkapkan isi hatinya. “Sampai sekarang Firman belum menikah. Itu karena dia masih cinta sama kamu, Na. Papa juga bisa lihat kalau perasaan kamu masih ada buat dia.” “Pa!” Aku menyentak lengan Papa sambil berdiri. Ini pertama kalinya aku bersuara agak lantang di depan beliau. “Sayang ….” Mama langsung memeluk kedua lenganku, meredam rasa marahku karena Papa mengatur hidupku. “Tenang, ya. Maksud Papa nggak begitu, kok. Papa cuma mau—” “Nana tahu, Ma.” Aku menyela ucapan wanita yang sudah melahirkanku 27 tahun yang lalu. “Aku tahu Mama sama Papa cuma mau aku bahagia, tapi aku udah dewasa dan tahu apa yang harus aku lakukan ke depannya.” Papa terlihat mengembuskan napas kasar dari mulut melihat aku memberontak. Mama membawaku duduk di kursi yang lain, sedikit menjauh dari Papa. Segelas air

    Last Updated : 2024-12-07
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Drama Air Mata (1)

    "Mami hari ini pergi lagi?" tanya Bima begitu membuka mata dan langsung lari ke arah dapur, memeluk kakiku erat-erat. "Nggak, Sayang. Hari ini Mami di rumah nemenin kamu." "Ciyus?" tanya sambil mengerucutkan bibir, membuat aku terpaksa mematikan kompor dan memusatkan perhatian pada jagoanku. "Ciyus anet," jawabku ikut menirukan suaranya yang terdengarbegitu imut. Ah, kalau aku sih jatuhnya jadi sok imut. "Sekarang Bima duduk di sini dulu, ya. Mami siapin sarapan buat kamu sama Oma dan Opa." Aku mendudukkan bocah tiga tahun itu di bangku, bersiap kembali ke dapur. Namun, tangan kecilnya menarik jari telunjukku. "Ada apa, Sayang?" Mata bulat Bima menatapku, tapi nggak ada satu kata pun yang dia ucapkan. "Sayangnya Mami mau ngomong apa?" Aku terpaksa berlutut di lantai, membuat posisiku sejajar dengan jagoan kecil yang benar-benar mengingatkanku pada Mas Reza. Wajah Bima copy-an pria itu 90 persen. Hanya bentuk matanya saja yang sedikit mirip denganku, tapi mulut, hidung, ju

    Last Updated : 2024-12-08
  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Drama Air Mata (2)

    Satu jam kemudian, aku membawa mobil milik Papa ke salah satu kafe yang disebutkan Joyce. Demi Mama dan seluruh nasihat baiknya, aku menahan rasa sakit hati dan memberikan muka untuk mantan sahabatku itu. "Nadya," panggil Joyce sambil melambaikan tangan ke arahku, menyunggingkan senyum terbaik yang membuatku justru semakin kesal. Nggak ada raut bersalah sama sekali di wajahnya, yang tampak justru binar bahagia di matanya. Joyce berdiri, siap mencium pipi kanan dan kiri seperti saat kami biasa bertemu. Namun kali ini, aku menjauh dua langkah darinya. Rasanya jijik berpelukan dengan wanita yang sudah merebut suamiku. "Waktuku nggak banyak. Mau ngomong apa?" tanyaku to the point, malas mendengar basa-basi yang akan keluar dari mulutnya. "Nad, aku ham—" "Aku tahu, tapi apa urusannya sama aku?" Aku menyela cepat, enggan mendengar kabar kehamilannya maupun pengaduan yang lain. Saat dia diusir dari rumah kemarin, aku sebenarnya kasihan, tapi bukan berarti aku peduli padanya. Dia sud

    Last Updated : 2024-12-08

Latest chapter

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Harus Mengakhirinya

    “Maksud Mama gimana? Tunangan? Sama siapa?” Langkah Nadya yang semula terburu-buru menuju rumah sewa terhenti mendadak. Dengan gemetar, dia duduk di bangku kayu di depan rumah makan Bu Ayu. Rasa terkejutnya begitu besar hingga dia lupa bahwa Firman dan Alya sedang menunggunya di rumah. “Mama juga nggak tahu, Na. Wirawan yang datang tadi dan kasih undangan itu. Selebihnya Mama nggak tahu. Tadi Mama masih ngurus Bima, jadi nggak sempat minta dia duduk. Eh, katanya dia juga lagi buru-buru mau ada urusan.” Suara Mama Anita terdengar jelas di seberang telepon. “Kok bisa mendadak begini, Ma? Padahal Dani sama Alya lagi…” Nadya buru-buru menutup mulutnya, hampir saja keceplosan. “Dani kenapa sama Alya?” Mama Anita terdengar sedikit penasaran. Nadya menjauhkan ponsel dari telinga, berusaha mengendalikan emosinya. Matanya menatap laut di kejauhan, ombak berkejaran tanpa henti seperti pikirannya saat ini. Satu yang pasti, dia harus tetap tenang. “Nana, kamu masih di sana? Halo?” Mam

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Kehilangan Arah

    Firman menutup laptopnya, melirik jam segi empat di pergelangan tangan kirinya. Benar-benar 30 menit seperti yang ia janjikan pada Nadya.[Kamu masih di rumah makan itu, Na? Aku ke sana sekarang.]Pesan itu terkirim, ceklis 2, tapi masih abu-abu. Belum dibaca."Langsung ke sana aja lah," ucap Firman bergumam. Tangannya merapikan lengan kemeja sebelum keluar dari rumah sewa.Seolah berkejaran dengan waktu, pria itu menuruni anak tangga 4 pijakan dengan tergesa. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah berada di dekat jalan raya, siap menyeberang. Namun, saat kakinya hendak melangkah melewati jalanan aspal, tubuh pria itu mendadak membeku. Tak jauh dari posisinya, tampak seorang gadis berjalan sambil menundukkan kepala. Meski wajahnya tak terlihat, tapi Firman hafal betul postur maupun gesturnya."Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih atas semua kemudahan yang Kau berikan," bisik Firman lirih, meraup wajahnya dengan tangan.Pengacara muda itu mengubah haluan, mendekat ke arah gadis yang

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Ketidakcocokan

    Tepat pukul sembilan pagi, Alya melangkah keluar dari kamar. Celana jeans membungkus kaki jenjangnya, berpadu dengan atasan tanpa lengan bermotif bunga-bunga. Kulitnya yang bersih, terlihat bercahaya di bawah sinar matahari, leher jenjangnya mulus tanpa noda—sesuatu yang tak banyak dimiliki gadis seusianya, kecuali mereka yang merawatnya dengan baik. Langkah Alya terasa ringan, siap membantu Bu Ayu di rumah makan seperti kemarin. Rasanya menyenangkan berjualan, bertemu banyak orang dan merasakan kehangatan suasana desa. Namun, senyum Alya tertahan saat tatapan wanita itu seolah mengulitinya. Bu Ayu berdiri di dekat pintu, jilbabnya rapi, tas mungil tergantung di bahu yang tertutup kebaya lengan panjang. Matanya menyapu penampilan Alya dari kepala hingga kaki, lalu kembali naik dengan sorot yang sulit disembunyikan—ketidaksukaan. "Ibu mau ke rumah makan sekarang, Bu?" tanya Alya, mencoba mencairkan suasana. Bu Ayu tak langsung menjawab. Alisnya berkerut, seolah menimbang sesuatu

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Gadis Cinderella

    Dani mengerjap ketika tirai terbuka, membiarkan sinar matahari menampar wajahnya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, berusaha menghindari cahaya yang terasa menusuk kepalanya yang pening. Begitu mencoba membuka mata sepenuhnya, palu godam terasa menghantam, memaksanya kembali memejamkan mata. "Nggak tahan alkohol, tapi sok-sokan minum *absinthe*. Udah bosan hidup?" Suara itu membuat Dani tersentak. Lembut, tapi penuh sindiran. Suara yang sudah lama tak ia dengar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka mata, kali ini dengan lebih perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Sosok seorang wanita berdiri di dekat jendela, siluetnya samar diterpa cahaya pagi. Rambut panjangnya tergerai sedikit berantakan, tapi tetap terlihat menawan. Ia mengenakan kemeja putih longgar—yang, sialnya, tampak seperti pakaian yang Dani gunakan semalam. Kain itu menggantung di tubuhnya, sedikit kebesaran tapi tetap menciptakan nuansa yang berbahaya dan menggoda bagi pria dewasa sepert

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Bulan Madu Kedua 🔞

    WARNING! 🔞 ADULT CONTENT! "Mas, aku liat gadis yang mirip Alya!" seru Nadya sambil mengetuk pintu kamar mandi, mengganggu sang suami yang sedang mandi. Tadinya Nadya hanya ingin berdiri di beranda lantai dua, melihat gemintang di angkasa. Dia justru melihat sepasang sejoli sedang makan bersama di kejauhan. Gadis yang ia yakini sebagai Alya. Dari balik suara gemericik air shower, Firman tidak langsung menjawab. Dia sedang sibuk membilas shampo di kepala. "Mas Firman! Aku liat Alya!" ulang Nadya dengan suara yang lebih keras. Sengaja mengetuk pintu di depannya dengan ketukan yang lebih kuat. "Apa, Na?" sahut Firman balik bertanya, mencoba memusatkan pendengarannya di bawah guyuran air. "Ada Alya!" Detik berikutnya, suara aliran air terhenti dan pintu kamar mandi terbuka sedikit. Firman melongok keluar, membiarkan tetesan air mengalir dari ujung rambut basahnya. "Kamu ngomong apa tadi? Nggak jelas suaranya." Nadya menelan ludah menatap perut kotak-kotak di depannya. Namun, dia

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Modus

    "Kamu suka tempat ini, Na?" Firman bertanya sambil mengikuti sang istri. Dia memperhatikan Nadya yang memandang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang beraroma kayu dan langsung menghadap laut, yang akan mereka tempati selama di Jogja."Suka. Bagus. Nyaman."Firman tersenyum lega. Berbeda dengan Hotel Kencana yang penuh kenangan pahit, rumah sewa ini jelas jauh berbeda vibe-nya. Lantainya dari kayu, jendelanya besar menghadap laut, dan suara ombak menjadi latar yang menenangkan. "Kok kamu bisa nemu tempat ini, Mas?" Nadya bertanya sambil menaruh tas kecilnya di atas ranjang. Firman tersenyum tipis sebelum berkat, "Aku pernah nginep di sini waktu itu." Nadya menoleh dengan cepat, menatap Firman dengan kening berkerut. "Sama siapa?" tanyanya dengan jantung yang terasa berdetak lebih cepat. Luka dari pengkhianatan Reza dan Joyce masih menyisakan bayangan samar di hatinya. Ia tak ingin curiga pada Firman, tapi refleks pertanyaan itu keluar begitu saja. "Samaaa..." Firma

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Hilang Kendali 🔞

    "Maaf, Bu, apa Alya semalam atau pagi ini ke sini?" Dani berdiri di ambang pintu panti asuhan, suaranya terdengar tenang, tetapi jari-jari tangannya yang mengepal di sisi tubuhnya menceritakan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. "Alya?!" Bu Ratri menatapnya dengan mata penuh tanya. “Ada apa? Kamu bertengkar dengan dia?” Dani menggeleng, meski gerakannya terasa berat. “Bukan begitu, Bu. Cuma ada sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dia pergi tanpa pamit, meninggalkan dompet dan ponselnya.” Bu Ratri menghela napas panjang, seakan beban yang sempat menghimpitnya sedikit terangkat. “Syukurlah,” gumamnya. Dani menatapnya dengan kening berkerut. Kenapa Bu Ratri bersyukur?Bu Ratri tersenyum samar, lalu berjalan menuju ruang tamu kecil panti. Dani mengikutinya, menyadari betapa tempat ini tak banyak berubah sejak terakhir kali ia datang. Aroma kayu tua dan buku-buku lama masih memenuhi udara, membawa serta kenangan yang dulu terasa hangat, tapi kini, ada sesuatu yang koso

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Calon Mantu

    Bu Ayu mengambil nampan yang akan diisi dengan makanan. Seulas senyum terukir di wajah cantiknya meski tak lagi muda begitu melihat interaksi Alya dan Dimas yang bernuansa romansa.Sebenarnya tak hanya Bu Ayu, beberapa pegawai di sekitar mereka juga mulai berbisik-bisik lirih. Sekali lihat saja, mereka tahu Den Bagus-nya menyukai gadis yang masih membeku di tempatnya."Mbakyu, iku calonnya Mas Dimas?" tanya seorang wanita yang selama ini menjadi tangan kanan Bu Ayu, Sumiati.Alih-alih menjawab, justru senyum lebar tampak merekah di wajah wanita paruh baya itu."Piye? Cocok, ndak?" Bu Ayu balik bertanya seolah mengiyakan prasangka barusan."Cocok, Mbakyu. Cantik, putih, mulus, kayak artis di tivi. Kalau mereka nikah, nanti anaknya ganteng mirip Mas Dima lan ayu-ayu mirip mbaknya."Bu Ayu tak bisa menyembunyikan tawa, menutupi mulutnya dengan tangan."Namanya Alya. Doakan saja, Sum. Semoga mereka berjodoh."Sumiati mengangguk, melangitkan doa yang sama dengan wanita di sampingnya."Oh,

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Pusat Perhatian

    Alya melangkah ragu di belakang Dimas, memasuki pelataran restoran yang ramai oleh pelanggan. Aroma gudeg yang manis gurih bercampur dengan wangi ayam opor dan sambal krecek memenuhi udara, menggoda perutnya yang sudah berteriak kelaparan."Iku sopo? Pacare Mas Dimas?" bisik salah satu pramusaji yang Alya lewati.Gadis itu merasa sedikit canggung karena penampilannya terbilang kacau—blouse kusut, celana jeans basah, dan yang paling parah, ia berjalan tanpa alas kaki.Dimas menoleh, menyadari langkah Alya melambat. "Ayo, langsung masuk ke dapur aja. Ketemu Ibu," ucapnya dengan suara ringan seolah membawa masuk Alya ke rumahnya sendiri."Dim, tapi aku—""Udah, nggak usah denger komentar mereka."Alya menelan ludah, ingin pergi saja dari sana. Namun, genggaman tangan Dimas terlalu erat, tidak bisa dilepaskan.Mereka melewati meja-meja kayu yang dipenuhi pelanggan. Beberapa dari mereka menoleh sekilas, satu-dua tersenyum, membuat Alya semakin tak kerasan. Yang bisa ia lakukan hanya meneb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status