Share

Air Mata di Hari Persandingan
Air Mata di Hari Persandingan
Penulis: Al Kahfi

Chapter 1. Sah!

Penulis: Al Kahfi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-11 16:09:08

Saya terima nikahnya, Aisyah Anidia binti Usman Al-hamid dengan mas kawin yang tersebut!”

“Sah, alhamdulillah!”

Doa-doa pun dilangitkan menandai babak baru dua insan manusia tersebut. 

Setelah akad nikah tak ada pesta meriah atau pun perayaan spesial yang lainnya, itu adalah syarat mutlak yang diajukan mempelai pria jika kedua orangtuanya menginginkan pernikahan antara dirinya dengan gadis pilihan ayahnya itu segera dilaksanakan. 

Pernikahan dilaksanakan dikediaman orangtua mempelai wanita. Kedua orangtua mempelai pria sudah pamit pulang beberapa jam setelah akad nikah putranya. 

"Mas, mau kubuatkan minuman hangat atau dingin?" Wanita berhijab putih itu beringsut dari duduknya mendekati pria yang kini sudah sah menjadi suami dan imam untuk dirinya. 

"Gantilah dulu pakaianmu itu, Aisyah, aku risih melihatnya, kelihatan sekali kalau dirimu itu sangatlah kampungan, kenapa kamu tidak memilih gaun yang sesuai dengan kastamu saja heh?" hardik sang suami dengan tatapan sinisnya terhadap wanita yang baru saja sah menjadi istrinya itu. 

"Gaun ini adalah pilihan Mama, Mas, maaf jika kamu tidak menyukainya, seharusnya aku minta pendapat darimu sebelum mengenakan gaun pengantin ini." Aisyah mulai melepasi pernak-pernik pengantin yang beberapa masih menempel di tubuhnya. 

"Aku tidak butuh permintaan maaf dari bibir sok sucimu itu. Dan satu hal yang harus kamu ingat, jangan pernah ikut campur apapun urusanku, kita menikah hanya sekedar status saja, kamu tau, aku tidak pernah mencintai dirimu, dan kamu bukan lah tipeku, jadi stop memberi perhatian dengan macam-macam pertanyaanmu itu, aku muak!"

Dada Aisyah bergemuruh hebat, ujung kelopak matanya pun sudah mengembun juga menghangat. 

Inikah awal yang sangat dia impikan? Bersanding dengan pria yang katanya sholeh, tampan dan sudah tentu mapan, namun ternyata sanggup membuat airmatanya meleleh di hari pertama pernikahannya? 

"Menikah adalah ibadah, Mas, kamu adalah jembatanku untuk sampai ke syurga-Nya, aku mohon rubah ucapanmu, Allah tidak menyukai kalimat seperti itu," pinta Aisyah yang masih belum beranjak dari duduknya. 

Sang suami pun menoleh dengan bibir menyungging, lalu berkata, 

"Dia malah ceramah, anda salah orang, Ukhty. Saya sudah tau tentang apa yang baru saja kamu bicarakan, jadi jangan coba-coba menggurui saya, paham?”

Aisyah menengadahkan wajahnya coba menahan agar bulir bening itu tak jatuh, air matanya terlalu murah jika harus menangis hanya karena kata-kata kasar suaminya. 

"Kamu mau kemana, Mas?" Aisyah berdiri untuk menggapai ujung jas sang suami, namun suaminya itu malah menghempaskan tangannya dengan kasar. 

"Jangan sentuh aku, dan jangan ikut campur semua urusanku, aku tidak berkewajiban menjelaskan itu semua kepadamu, jangan membuatku emosi dengan segala macam pertanyaanmu itu!"

"Tapi aku berhak tau, Mas, karena sekarang ada aku istrimu, dan apa yang akan aku katakan jika Ayah dan Ibu menanyakan keberadaanmu, apa?" kata Aisyah dengan suara pelan, dia tidak ingin orang tuanya mendengar tentang perkataan kasar suaminya itu. 

"Kenapa ribet banget sih hidupmu ini? Tinggal bilang tidak tau saja, apa susahnya, apa perlu aku beri catatan, tentang kalimat yang harus kamu ucapkan jika ada yang menanyakan keberadaanku, iya?” 

"Kamu salah, Mas, bukan itu maksudku. Tak bisakah tinggal sejenak di sini, agar aku tak bingung seorang diri, kamu itu suami ku, bukan hanya sekedar atasanku lagi?”

"Halah, nggak usah drama dengan kalimat sok puitismu itu, Aisyah, apa kamu pikir aku akan kasihan?”

Pria bertubuh kekar itu segera menanggalkan jas hitamnya, lalu ia ganti dengan t-shirt hitam polos dan juga celana chargo selutut sebagai bawahannya. 

Aisyah tak berniat untuk mencegahnya, awal yang indah namun teramat menyakitkan. 

"Lho Nak Bram, mau ke mana?" Seorang pria paruh baya datang dari arah dapur menghampiri Bramantyo yang akan masuk kedalam mobilnya. 

"Ayah, maaf, Yah, Bram izin keluar sebentar, karena Aisyah minta dibelikan beberapa lembar khimar pada Bram," kata Bramantyo berusaha meyakinkan ayah mertuanya itu. 

Sang mertua tersenyum bahagia, lalu mempercepat langkah kakinya. 

"Aisyah mana, kok nggak ikut?" ucap pria paruh baya itu dengan senyum sumringah. 

Bramantyo tersenyum palsu, "Katanya capek, Yah, Bram pergi sendiri saja, paling nanti kalau pesanannya nggak sesuai, tinggal ditukar saja," katanya lagi. 

"Alhamdulillah, Aisyah beruntung sekali mendapatkan suami seperti Nak Bram ini, maafkan Aisyah, Nak, dia belum banyak mengerti tentang statusnya sebagai seorang istri, selalu bimbing dia ya, tegur jika dia keliru, nasihati jika ucapannya salah," pinta sang mertua yang tentu saja mendapat anggukan penuh kebanggaan dari Bramantyo. 

"Itu pasti, Yah, Ayah tidak perlu mengkhawatirkannya, selama bersama saya, Aisyah pasti bahagia." 

"Aamiin, Ya Robb, ya sudah berangkatlah!”

Bramantyo masuk kedalam porsche hitam metalik miliknya. 

Ia melaju dengan kecepatan kencang menuju ke sebuah perumahan yang belum terlalu ramai penghuninya. 

"Sayang, kenapa lama sekali sih, pasti kamu abis mesra-mesraan ya sama istri kontrakmu itu?” Seorang wanita dengan rambut sebahu dan pakaian press body tampak keluar dari dalam rumah tersebut, ia bergelayut manja di lengan Bramantyo, yang mengelus pelan puncak kepalanya. 

Beberapa menit kemudian, 

"Kamu mau langsung pulang, Bram, nggak nginep di rumahku?” tanya sang wanita manakala kini Bramantyo mulai melirik jam di tangannya. 

"Saat ini aku masih tinggal di rumah mertuaku, Soff, jangan sampai sandiwaraku ini terbongkar lebih cepat, bisa kena serangan jantung nanti papaku, aku pamit dulu yah, jika butuh apapun segera hubungi aku, ini credit card untuk memenuhi kebutuhan sehari-harimu, gunakanlah sesukamu!”

"Makasih, Sayang, kamu memang yang terbaik!” cakap Soffia yang masih bergelayut manja di lengan Bramantyo. 

Bramantyo berlalu meninggalkan kediaman sofia sekretaris di kantornya, sementara Aisyah sendiri menjabat sebagai staf personalia di perusahaan milik orang tua Bramantyo tersebut. 

Bramantyo tak melupakan kebohongannya terhadap sang ayah mertua, ia pun masuk ke dalam toko busana muslimah, lalu memilih beberapa lembar khimar dengan berbagai warna. 

"Semuanya satu juta enam ratus ribu rupiah ,Mas"

"Kemas segera, delivery atas nama Aisyah Anidia, dengan alamat yang tercantum di sini!” kata Bramantyo seraya menunjukkan alamat yang dia simpan di layar ponselnya. 

Setelah semuanya beres Bramantyo kembali singgah di sebuah Cafe resto. 

"Wih, pengantin baru kok udah kelayaban aja lo, Bram, nggak takut kena sawan pengantin apa?"

Bramantyo mencebik mendengar ledekan salah satu temannya yang memang sering nongkrong di tempat ini. 

"Zaman udah canggih juga, lo masih percaya mitos kaya itu, Rick, please move on, Bro, lo bukan hidup di zaman batu, woi!” timpal seorang pria dengan topi hitam yang bertengger di kepalanya. 

"Ada nggak, omongan yang lebih jijik lagi daripada pembahasan kalian ini hah? Geli gua dengernya." Bram menarik salah satu kursi yang masih kosong lalu menyesap minuman sodanya hingga habis. 

"Sabar, Bro, pengantin baru nggak boleh marah-marah, nanti Nyonya Bramantyo pangling!"

Hahahha! 

Suara tawa terbahak-bahak pun pecah di tempat itu, Bramantyo hanya tersenyum lalu meraih handphone-nya yang berdering. 

"Mas, kamu di mana, ini udah masuk waktu sholat magrib?” 

Tut! 

Bab terkait

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 2. Tak seindah malam pertama

    "Gua duluan ya, kalian puas-puasinlah nongkrong di sini, tunjukin aja kartu nama gua!”Setelah berucap demikian, Bram pun keluar dari Cafe tersebut, ia lajukan Toyota Porsche-nya dengan sedikit lamban, sungguh ia malas sekali pulang ke rumah orangtua Aisyah malam ini. Bram menepikan kendaraannya di halaman sebuah penginapan sederhana. Setelah melakukan reservasi, Bram pun kini sudah berada di kamar penginapannya. Drett! Ponselnya kembali bergetar, namun ia biarkan saja, ia pun memilih memejamkan matanya. Namun, baru beberapa menit dia tertidur, Drett! Bramantyo terjaga saat handphonenya kembali berdering dan kali ini lebih lama. "Siapa sih, malam-malam gini, ganggu orang istirahat aja?" gerutunya dengan mata yang belum terbuka sempurna. "Papa?" ucapnya lirih sebelum mengklik tombol hijau pada layar ponselnya. "Iya, Pa, ada apa?""Pulang ke rumah sekarang juga!""Ru …rumah siapa, Pa?" ucapnya sedikit terbata. "Ya rumah istrimulah, rumah siapa lagi? Jangan berulah jika mas

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 3. Suami durjana

    Malam semakin sunyi dan bersiap untuk mengganti hari. Suara kokok ayam selalu saja lebih dulu menyapa kemudian disusul dengan merdunya suara adzan seiring tabuh yang juga terdengar bersahut-sahutan memecah kesenyian waktu subuh. Wanita berhijab itu sudah selesai melaksanakan sholat subuh, kemudian ia pun berniat membangunkan sang sualam semakin sunyi dan bersiap untuk mengganti hari. Suara kokok ayam selalu saja lebih dulu menyapa kemudian disusul dengan merdunya suara adzan seiring tabuh yang juga terdengar bersahut-sahutan memecah kesenyian waktu subuh. Wanita berhijab itu sudah selesai melaksanakan sholat subuh, kemudian ia pun berniat membangunkan sang suami yang masih erat memeluk guling dan selimut tebalnya. "Mas!” ucapnya begitu pelan tepat di sisi kanan pipi suaminya. Belum juga ada reaksi dari suaminya tersebut, wanita itu pun mengulang kembali usahanya untuk membangunkan sang suami.“Mas, sholat subuh dulu ya." Wanita itu menepuk pelan lengan suaminya tersebut, namun ia l

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 4. Diboyong ke apartemen suami

    "Cemburu kamu bilang, Mas?” kata Aisyah dengan raut wajah menatap tajam tak percaya kepada Bramantyo.Namun, suaminya itu tak menjawab, pria itu hanya mengedikkan bahu dengan mata yang melebar.“Tentu saja aku cemburu, di malam pertama kita sebagai suami istri, kamu malah sibuk dengan gundikmu itu, bukannya aku tidak tau, Mas, tapi aku menjaga marwahmu sebagai suamiku di mata Ayah, tapi apa yang kamu lakukan terhadapku? Kamu jahat Mas, jahat!”"Mulai sekarang kamu harus tau jika suamimu ini brengsek dan jahat!" ucap Bramantyo tanpa melihat kepada Aisyah. "Akan tetapi, aku tidak peduli, Mas, selama aku masih punya Allah, maka hatimu pun adalah kepunyaan-Nya, jadi, tak ada yang harus kukhawatirkan, jika takdirku adalah bersamamu, maka aku ingin kita bersama hingga ke jannah-Nya. Sepahit apapun akan aku jalani, karena pelangi tak mungkin muncul tanpa hujan terlebih dulu, tak peduli sehina apa penilaianmu terhadapku, nyatanya di hadapan Allah dan kedua orang tua kita, aku adalah istri s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 5. Peringatan untuk Bramantyo

    Melihat wanita itu hanya diam meskipun dengan wajah merah padam menahan amarah, Aisyah pun kembali berucap,“Anda tau tempat yang paling disukai sayton? Yaitu kamar mandi dan segala macam teman-temanya, dan di tempat itulah kalian membicarakan tentang asmara terlarang kalian ini, sungguh sangat rendah sekali tempat kalian di muka bumi, apalagi di akhirat nanti, innalillahi,” ucap Aisyah lagi. "Jaga bicaramu wanita perebut kekasih orang!”"Dan jaga attitude-mu wanita penggoda suami orang!”Wanita itu tidak peduli, lalu mendorong tubuh Aisyah hingga wanita berhijab itu hampir saja jatuh. "Bram, Bram, keluarlah, ini aku Soffi datang, bukankah kamu sudah berjanji untuk bertemu denganku siang ini? Bram!” Soffi terus saja memanggil nama Bramantyo dengan berteriak. Aisyah tersenyum tipis, dia melihat tak ada pergerakan dari dalam kamar sang suami. "Apa perlu saya panggilkan pihak keamanan apartemen ini untuk membantu Anda keluar, Nona?” "Bram!" teriak Soffi dengan langkah setengah berla

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 6. Di rumah sakit

    "Ingat pesan Papa, Ai, nggak usah takut sama crocodile cap biawak macam Bram ini," ucap Umar lalu melihat sekilas kepada Bram. "Ini sebenarnya yang anak Papa, Bram apa Aisyah sih? Kenapa merasa jadi anak tiri begini?" kata Bramantyo merasa tak terima dengan ucapan sang papa yang selalu saja menjelekkan dirinya. "Diem kamu. Benerin dulu kelakuanmu, baru boleh mengajukan keberatan!" hardik sang Papa. Aisyah tersenyum, sungguh sebenarnya ia merasa sangat berdosa karena telah menertawakan suaminya sendiri. Sementara Bram hanya diam. Setelah kedua orang tuanya pergin, Bramantyo dan juga Aisyah pun kembali masuk ke dalam apartemen mereka. "Mas, boleh aku lihat luka di lenganmu?" tanya Aisyah yang kini ikut duduk di samping Bramantyo. "Nggak usah sok perhatian, kamu pasti bahagia banget, kan, karena sekarang Papa ada di pihakmu?" ucap Bramantyo dengan tatapan tak suka, namun Aisyah hanya menggeleng. "Halah, nggak usah ngelak, percuma aku nggak akan percaya!" kata Bramantyo

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-31
  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 7. Di mana urat malunya?

    Aisyah terdiam, tubuhnya membeku dengan bibir mengatup, meskipun rasa sakit di dalam hatinya itu sungguh begitu payah u untuk dia lerai, namun dia harus tetap tenang dalam air mata yang menggenang di dalam perasaan dan juga hatinya. "Soffi?" Bramantyo segera berdiri, namun tidak melangkah dan hanya diam di tempat. "Bram, tadi pagi aku ke apartemenmu lho, tapi istri kontrakmu ini menghalangi jalanku," kata Soffi menunjuk Aisyah dengan tatapan sinis penuh kebenciannya. "Ikut aku!"Bramantyo menarik tangan Soffi pelan. "Apa sih, Bram? Kenapa main tarik-tarik kayak gini? lepasin, sakit!" rintih Soffi yang terus mengusapi pergelangan tangannya. "Kita akan bicara, tapi bukan sekarang dan bukan di sini juga, orang-orang papaku selalu mengawasi gerak-gerikku, aku nggak mau kamu jadi sasaran kemarahan Papa.Untuk hari-hari ke depan jangan dulu menghubungi apalagi menemuiku, interaksi kita cukup di k

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 8. Luka tak berdarah

    Mendengar ucapan itu, Soffi pun meradang, ia kepal tangannya, lalu mendekat, "Heh, aku gak bicara sama kamu ya, jadi ucapanmu itu gak dibutuhkan di sini, lebih baik diam!" kata Soffi dengan nafas angup-angip naik-turun. "Kamu memang tidak sedang berbicara denganku, Nona. Akan tetapi, tolong jangan pura-pura lupa ingatan ataupun amnesia jika saya ini adalah istri dari pria yang dengan tidak tahu malunya Anda cintai dan ingini!" kata Aisyah telak. Soffi terdiam, matanya membelalak dengan bibir membisu, ia akan kembali bicara, namun, "Mas, apa sudah paripurna hasilnya?" kata Aisyah. Namun, tak ada jawaban ataupun pergerakan dari suaminya, hingga wanita bertubuh mungil itu pun memilih pergi pergi meninggalkan suami bersama gundiknya tersebut. "Bram, jangan tinggalin aku!" Bramantyo berhenti sejenak, tubuhnya mematung tanpa menoleh. "Aku harus menyusul istriku, Soffi, maaf!" katanya, lalu kembali mengayunkan langkah kakinya, bergegas. "Tapi aku kangen Bram, ayolah, aku

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 9. Menyerah?

    "Mikirin apa?" Aisyah tersadar dari lamunannya, ternyata ucapannya tadi hanya mampu dia ucapkan di dalam hatinya saja. Menggenggam luka yang tak berdarah, namun sanggup membuat jiwanya melara payah. Malam semakin larut, tak ada lagi suara apa pun yang akhirnya semakin membuat kesunyian dan kesedihan Aisyah semakin menggunung. "Ponselku!" ucapnya, lalu wanita dengan piyama merah muda itu lekas meraih ponsel yang masih ada di dalam tas punggungnya tadi. "Pesan? Ini nomor siapa?" kata Aisyah saat melihat sebuah pesan berikut gambar di layar ponselnya. Brak! Benda pipih itu pun jatuh meluruh ke lantai bersamaan dengan tubuh pemiliknya. "Ternyata dugaanku benar, Robb. Apa yang harus hamba lakukan?" katanya dengan dada yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-02

Bab terbaru

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 15. Ancaman Soffi

    "Soffi!" Cukup satu kali panggilan itu digaungkan oleh Bramantyo, "Apa, Sayangku? Kenapa galak banget sih?" kata Soffi dengan suara yang dibuat-buat agar terdengar seksi di telinga Bramantyo. "Apa maksud kalimat ancaman yang kamu kirimkan ke ponselku, Soff? Kamu tahu, istriku sudah membacanya?" "Lalu? Dia nangis, terus minta cerai? Ya bagus dong, Bram, itu artinya kamu gak usah susah-susah lagi minta izin poligami sama istri udikmu itu, iya, kan? Harusnya kamu itu berterima kasih sama aku, bukan malah marah-marah gak jelas kayak gini!" kata Soffi dengan satu tangannya memukul dada bidang Bram pelan. Bram meraih tangan itu lalu berkata, "Kamu keterlaluan, Soff, aku muak!"

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 14. Badai

    Jangan menggenggam apa yang tidak dapat sesuatu yang btidak dapat kau raih! Benda pipih itu terjatuh bersama tubuh mungil Aisyah. Setiap kali kesedihan itu datang, maka tak ada yang bisa ia cegah pada deraian telaga nelangsa yabg dengan setia selalu ada. Ada di saat suka dan bahagia, meskipun dalam arti dan makna yang berbeda. "Kenapa selalu begini, Mas? Kenapa ketakutanku selalu saja menjadi kenyataan?" Aisyah menangis pilu tanpa suara, dadanya yang sesak itu semakin membuat luka batinnya semakin menganga. Sedangkan pertanyaan demi pertanyaan kedua orang tuanya tadi pun belum bisa ia beri jawabannya, lalu sekarang, muncul kenyataan sebagai jawaban tanpa harus diungkapkan. Lama dia pandangi wajah teduh suaminya tersebut. Ugh! Bramantyo melenguh merenggangkan otot-otot tangannya, menggeliat sebentar lalu beranjak pelan dari tidurnya. "Aisyah!" kata Bram lalu mencari keberadaan istrinya tersebut. "Ya Tuhan, kenapa tidur di lantai sih?" Bramantyo pun turun dari ran

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 13. Kembali ke desa

    Kecewa adalah saat kamu merasa kehilangan, meskipun kamu tidak memilikinya sejak awal. Kata-kata itu sepertinya mampu untuk mewakili perasaan Aisyah saat ini. Dia belum memiliki tubuh ataupun perasaan Bramantyo, namun dia kecewa karena yang dia perjuangan nyatanya malah selalu mengkhianati dirinya lagi dan lagi. Langkah kaki itu melangkah dengan gontai. Hijab dan dress syari berwarna moca yang ia padupadankan dengan sepatu kets berwarna hitam itu semakin membuat langkahnya terasa ringan meskipun masih saja ada yang mengganjal dalam benak dan juga pikirannya. "Sekali lagi, maafkan aku, Mas!" Ia seka bulir bening sebelum akhirnya ia masuk ke dalam angkutan online yang sudah lebih dulu dia pesan saat di dalam hotel tadi, penerbangan malam pun di pilih Aisyah untuk segera tiba di kampung halaman kedua orang tuanya. Sementara itu, di kamar hotelnya. "Aisyah!" Bram langsung masuk ke dalam kamar, namun tak ada siapa pun yang dia temui di sini. Pria itu pun kemudian berjalan men

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 12. Rencana Soffi

    "Kamu?" Soffi memelototkan matanya, wanita itu tetap memaksa untuk duduk di samping Bram, namun, Leo tak tinggal diam. "Apa Anda ingin posisi Anda di kantor digantikan dengan orang lain? Baiklah!" Tut! Panggilan suara di ponsel Leo pun berdering. "Oke!" kata Soffi yang akhirnya harus duduk di samping Leo. Wajah wanita itu tampak tak suka dengan rahang mengejang. Sementara Bram tengah fokus pada layar laptopnya. "Le, coba lihat perubahan data pada bulan lalu!" kata Bram seraya memperlihatkan layar laptopnya kepada Leo yang duduk di sampingnya. "Mas, ponselmu bergetar!" kata Aisyah memberitahu suaminya yang tengah sibuk itu.

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 11. Di hotel

    "Pacar kamu, Mas!" Sungguh, bibir dan hati Aisyah tidaklah bisa diajak untuk saling satu rasa kali ini. Bibirnya tersenyum, tapi hatinya menangis, tangis yang tak ingin dia tampakan di depan siapa pun, terutama wanita yang bergelar pacar gelap suaminya itu. Bram menoleh, tatapannya datar namun tersirat sebuah kekhawatiran di dalamnya. "Hanya ingin mengingatkan, malaikat yang ada di bahu kanan dan kirimu gak pernah libur!" Setelah berucap demikian, Aisyah memilih untuk melanjutkan langkah kakinya seorang diri. Menoleh sekilas , dan rupanya Bram tak memedulikan langkahnya itu. "Aku berdoa, karma itu tidak pernah berlaku untuk dirimu, Mas. Tuhan, tolong panjangkan rasa sabarku agar lebih ikhlas dalam membenarkan jalan suamiku yang keliru melalui tuntunanmu, bukan dengan ego dan amarahku," kata Ais

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 10. Aku istrimu, tapi kamu melupakannya!

    "Kita lihat saja, siapa yang akhirnya menjadi pemenang di antara kita berdua, Nona, aku atau kamu? Aku dengan dosaku, dan kamu dengan kebodohanmu!" Aisyah menutup layar ponselnya, sudah tak berniat lagi untuk membalas hujatan dari Soffi melalui pesan singkatnya itu. Malam begitu sunyi, denting jam yang biasanya akan kalah dengan hiruk pikuk bahkan hanya sekedar suara bisikan saja, akan tetapi kali ini, Aisyah bisa mendengar dengan jelas suara detik dan menit itu terus melaju meninggalkan sang waktu. "Mas, cepat pulang!" ucapnya dengan suara lirih dan bibir yang bergetar. Sementara itu di tempat berbeda, "Gak nginep di sini? Ini udah hampir pagi lho, Bram, istri kontrakmu itu juga pasti udah ngorok daritadi!" Soffi terus merayu Bramantyo yang terus saja berjalan ke luar kamarnya. "Sebenarnya iya, tapi, aku udah bilang kalau akan pulang meskipun larut, udah ya, cukup untuk malam ini. B

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 9. Menyerah?

    "Mikirin apa?" Aisyah tersadar dari lamunannya, ternyata ucapannya tadi hanya mampu dia ucapkan di dalam hatinya saja. Menggenggam luka yang tak berdarah, namun sanggup membuat jiwanya melara payah. Malam semakin larut, tak ada lagi suara apa pun yang akhirnya semakin membuat kesunyian dan kesedihan Aisyah semakin menggunung. "Ponselku!" ucapnya, lalu wanita dengan piyama merah muda itu lekas meraih ponsel yang masih ada di dalam tas punggungnya tadi. "Pesan? Ini nomor siapa?" kata Aisyah saat melihat sebuah pesan berikut gambar di layar ponselnya. Brak! Benda pipih itu pun jatuh meluruh ke lantai bersamaan dengan tubuh pemiliknya. "Ternyata dugaanku benar, Robb. Apa yang harus hamba lakukan?" katanya dengan dada yang

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 8. Luka tak berdarah

    Mendengar ucapan itu, Soffi pun meradang, ia kepal tangannya, lalu mendekat, "Heh, aku gak bicara sama kamu ya, jadi ucapanmu itu gak dibutuhkan di sini, lebih baik diam!" kata Soffi dengan nafas angup-angip naik-turun. "Kamu memang tidak sedang berbicara denganku, Nona. Akan tetapi, tolong jangan pura-pura lupa ingatan ataupun amnesia jika saya ini adalah istri dari pria yang dengan tidak tahu malunya Anda cintai dan ingini!" kata Aisyah telak. Soffi terdiam, matanya membelalak dengan bibir membisu, ia akan kembali bicara, namun, "Mas, apa sudah paripurna hasilnya?" kata Aisyah. Namun, tak ada jawaban ataupun pergerakan dari suaminya, hingga wanita bertubuh mungil itu pun memilih pergi pergi meninggalkan suami bersama gundiknya tersebut. "Bram, jangan tinggalin aku!" Bramantyo berhenti sejenak, tubuhnya mematung tanpa menoleh. "Aku harus menyusul istriku, Soffi, maaf!" katanya, lalu kembali mengayunkan langkah kakinya, bergegas. "Tapi aku kangen Bram, ayolah, aku

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 7. Di mana urat malunya?

    Aisyah terdiam, tubuhnya membeku dengan bibir mengatup, meskipun rasa sakit di dalam hatinya itu sungguh begitu payah u untuk dia lerai, namun dia harus tetap tenang dalam air mata yang menggenang di dalam perasaan dan juga hatinya. "Soffi?" Bramantyo segera berdiri, namun tidak melangkah dan hanya diam di tempat. "Bram, tadi pagi aku ke apartemenmu lho, tapi istri kontrakmu ini menghalangi jalanku," kata Soffi menunjuk Aisyah dengan tatapan sinis penuh kebenciannya. "Ikut aku!"Bramantyo menarik tangan Soffi pelan. "Apa sih, Bram? Kenapa main tarik-tarik kayak gini? lepasin, sakit!" rintih Soffi yang terus mengusapi pergelangan tangannya. "Kita akan bicara, tapi bukan sekarang dan bukan di sini juga, orang-orang papaku selalu mengawasi gerak-gerikku, aku nggak mau kamu jadi sasaran kemarahan Papa.Untuk hari-hari ke depan jangan dulu menghubungi apalagi menemuiku, interaksi kita cukup di k

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status