Home / Rumah Tangga / Air Mata di Hari Persandingan / Chapter 4. Diboyong ke apartemen suami

Share

Chapter 4. Diboyong ke apartemen suami

Author: Al Kahfi
last update Last Updated: 2025-01-12 12:27:07

"Cemburu kamu bilang, Mas?” kata Aisyah dengan raut wajah menatap tajam tak percaya kepada Bramantyo.

Namun, suaminya itu tak menjawab, pria itu hanya mengedikkan bahu dengan mata yang melebar.

“Tentu saja aku cemburu, di malam pertama kita sebagai suami istri, kamu malah sibuk dengan gundikmu itu, bukannya aku tidak tau, Mas, tapi aku menjaga marwahmu sebagai suamiku di mata Ayah, tapi apa yang kamu lakukan terhadapku? Kamu jahat Mas, jahat!”

"Mulai sekarang kamu harus tau jika suamimu ini brengsek dan jahat!" ucap Bramantyo tanpa melihat kepada Aisyah. 

"Akan tetapi, aku tidak peduli, Mas, selama aku masih punya Allah, maka hatimu pun adalah kepunyaan-Nya, jadi, tak ada yang harus kukhawatirkan, jika takdirku adalah bersamamu, maka aku ingin kita bersama hingga ke jannah-Nya. 

Sepahit apapun akan aku jalani, karena pelangi tak mungkin muncul tanpa hujan terlebih dulu, tak peduli sehina apa penilaianmu terhadapku, nyatanya di hadapan Allah dan kedua orang tua kita, aku adalah istri sahmu, bukan dia yang hanya sekedar gundikmu."

"Maka akan aku jadikan hubungan kita ini sebagai neraka dunia bagimu, Aisyah Anidia!"

"Aku tetap percaya, syurgaku ada pada suamiku!” kata Aisyah tak tinggal diam. 

"Halah, omong kosong semua itu, dosa dan neraka tanggung sendiri-sendiri, gak usah sok peduli kamu!” kata Bramantyo kesal. 

"Mas!”

Bramantyo segera mengemasi pakaian kedalam kopernya. 

"Kamu mau ke mana, Mas? Kenapa semua pakaiannya dikemasi seperti ini?” tanya Aisyah bingung. 

"Jika kamu istriku, maka ikutlah kemanapun suamimu pergi, aku ingin kita pergi dari sini!”

"Tapi tidak secepat ini juga, Mas, tidak bisakah menunggu sampai esok?”

"Kalau aku bilang sekarang, ya sekarang!"

Tidak memiliki pilihan lain, Aisyah pun segera mengemasi beberapa barang-barangnya, dan  hanya menyisakan beberapa lembar gamis di dalam lemari pakaiannya itu. 

Namun, disela-sela kesibukannya yang terburu-buru itu, Aisyah teringat sesuatu, lalu berucap, 

"Kemarin ada kurir delivery, Mas, apa kamu yang membelikan semua ini, untukku?"

"Itu khimar, aku bosan melihatmu memakai hijab dengan style yang selalu sama setiap harinya, istri CEO kayak istri gelandangan saja kamu!” kata Bramantyo yang malah membuat Aisyah kepayahan menahan senyum. Ia gigit bibir bagian bawahnya karena bahagia. 

"Terimakasih, Mas, ini sudah lebih dari cukup!” ucap Aisyah yang tak ditanggapi oleh Bramantyo. 

Setelah selesai mengemasi barang mereka masing-masing, keduanya lalu ikut duduk di meja makan. Di sana sudah duduk ayah dan ibunya  Aisyah. 

"Nak Bram sudah rapih, apa akan kekantor hari ini?" tanya ayah mertua Bramantyo. 

"Iya, Yah, sekalian Bram izin membawa Aisyah ke apartemen Bram, apa boleh, Yah?" ucap Bramantyo meminta izin. 

Usman tersenyum. 

"Pertanyaan macam apa itu, Nak? Aisyah sudah menjadi tanggung jawabmu saat ini, jadi kamu berhak atas dirinya juga,” kata Usman yang tentu saja meskipun merasa berat, namun kenyataan itulah yang harus mereka jalani. 

Kewajiban seorang istri adalah berada di samping suaminya. 

“Ai kamu sudah siap, Nak?” tanya Usman yang kini berganti menatap putrinya tersebut. 

"Insya Allah, Aisyah siap lahir batin, Yah, kamanapun suami Aisyah pergi, maka Aisyah wajib mendampinginya."

"Alhamdulillah, jaga kehormatan suamimu , ,Nak, jaga juga fitrahmu sebagai seorang istri."

Aisyah mengangguk pelan, dadanya masih terasa sesak jika mengingat ucapan Bram sebelumnya tadi. 

"Assalamualaikum, Ayah, Ibu, Bram sama Aisyah pamit, kita akan sering berkunjung ke sini,” ucap Bramantyo berpamitan. 

Bramantyo menggamit satu tangan Aisyah, gerakan yang membuat Aisyah reflek menoleh dengan tatapan herannya. 

"Jangan ge'er kamu, itu sebagian sandiwara yang harus kita perankan di hadapan kedua orang tua kita nantinya." Bramantyo berkata seolah tanpa rasa bersalah sama dalam menanggapi  raut wajah Aisyah. 

"Aku tau, dan akan aku jalani lakonku sebagai istri sahmu, Mas."

"Bagus, ternyata menikah denganmu membawa sebuah keuntungan juga buatku, Ai."

Aisyah menoleh meminta penjelasan atas kalimat ambigu yang diucapkan oleh Bramantyo. 

"Terimakasih, karena dengan menikahimu aku bisa lebih bebas bertemu dengan Sofi, tanpa harus takut ketahuan Papa ataupun Mama, ingat jangan jadi istri pengadu, itu akan membuatku semakin ilfeel saja sama kamu!” 

"Silakan kamu bermain api dengan pernikahan ini, Mas, tapi ingat jangan pernah kamu membawa pulang gundikmu itu ke rumah kita, dan akan kutunjukan kepada kalian betapa banyak hak-hak yang tak mungkin didapatkan oleh wanita yang hanya menjadi simpananmu saja.

bahkan untuk sekedar mengenalkannya  di hadapan orang tuamu pun kamu tak memiliki keberanian, dan bersembunyi di balik tameng pernikahan kita ini, dan yang harus kamu tau, Mas, aku tidak pernah mengadukan apapun tentangmu kepada Mama dan Papa.

Dan jika suatu hari nanti mereka mengetahui tentang kebejatanmu ini, maka itu adalah takdir Allah yang bekerja untukmu, mudah-mudahan sebelum itu terjadi, hidayah sudah datang menghampirimu, Mas, aamiin,” ucap Aisyah dengan suara lirih dan ujung kelopak yang sudah tebal dan menghangat.

Namun, hal itu tidak juga digubris oleh Bramantyo. 

Aisyah memalingkan wajahnya melihat jalanan yang ramai di pagi hari. 

Keduanya sudah sampai di depan pintu apartemen milik Bramantyo. 

Tit, tit, tit! 

Bramantyo tampak menekan  tombol hingga pintu pun terbuka. 

Sebuah apartemen dengan mini bar dan satu kamar tidur, Aisyah merebahkan tubuh lelahnya pada sofa panjang di ruangan tamu apartemen milik Bram. 

Sementara Bram masuk ke dalam kamarnya. 

“Sebaiknya untuk saat ini, semua hal yang berkaitan dengan Sofi harus kusimpan!” kata Bramantyo yang mulai mengemasi satu persatu fhoto Sofi yang terpajang pada dinding kamarnya. 

Aisyah bangun saat mendengar pintu apartemennya berbunyi, ia melangkah demi untuk melihat siapakah gerangan yang bertamu di pagi hari begini?

"Siapa, ya?” kata Aisyah, wanita berbadan mungil itu pun mengintai dari balik gorden di samping pintu. Sesaat kemudian, dia pun membukanya. 

"Maaf saya mencari kekasih saya, bisa beri saya jalan?" Wanita dengan pakaian seksi itu berusaha menerobos masuk, namun Aisyah tak tinggal diam. 

"Suami saya sedang tidur, karena kelelahan sejak semalam kami tidak tidur barang semenit saja, silakan menunggu di luar, ini area privasi suami istri, bukan area sejoli memadu kasih!” ucap Aisyah yang membuat si wanita menatap kesal terhadap dirinya. 

"Cih, nikah dijodohin aja bangga kamu ya, sudah pinter bicara sekarang rupanya?” katanya tak ingin kalah dari ucapan Aisyah. 

"Tentu saya bangga, status saya jelas, tubuh saya halal untuk disentuh oleh suami saya, sedangkan Anda? Hanya sekedar untuk menerima panggilan dari Anda saja, suami saya harus pura-pura sakit perut, lalu pamit ke kamar kecil. Apakah hal itu yang Anda bangga-banggakan?”

Related chapters

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 5. Peringatan untuk Bramantyo

    Melihat wanita itu hanya diam meskipun dengan wajah merah padam menahan amarah, Aisyah pun kembali berucap,“Anda tau tempat yang paling disukai sayton? Yaitu kamar mandi dan segala macam teman-temanya, dan di tempat itulah kalian membicarakan tentang asmara terlarang kalian ini, sungguh sangat rendah sekali tempat kalian di muka bumi, apalagi di akhirat nanti, innalillahi,” ucap Aisyah lagi. "Jaga bicaramu wanita perebut kekasih orang!”"Dan jaga attitude-mu wanita penggoda suami orang!”Wanita itu tidak peduli, lalu mendorong tubuh Aisyah hingga wanita berhijab itu hampir saja jatuh. "Bram, Bram, keluarlah, ini aku Soffi datang, bukankah kamu sudah berjanji untuk bertemu denganku siang ini? Bram!” Soffi terus saja memanggil nama Bramantyo dengan berteriak. Aisyah tersenyum tipis, dia melihat tak ada pergerakan dari dalam kamar sang suami. "Apa perlu saya panggilkan pihak keamanan apartemen ini untuk membantu Anda keluar, Nona?” "Bram!" teriak Soffi dengan langkah setengah berla

    Last Updated : 2025-01-12
  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 1. Sah!

    Saya terima nikahnya, Aisyah Anidia binti Usman Al-hamid dengan mas kawin yang tersebut!”“Sah, alhamdulillah!”Doa-doa pun dilangitkan menandai babak baru dua insan manusia tersebut. Setelah akad nikah tak ada pesta meriah atau pun perayaan spesial yang lainnya, itu adalah syarat mutlak yang diajukan mempelai pria jika kedua orangtuanya menginginkan pernikahan antara dirinya dengan gadis pilihan ayahnya itu segera dilaksanakan. Pernikahan dilaksanakan dikediaman orangtua mempelai wanita. Kedua orangtua mempelai pria sudah pamit pulang beberapa jam setelah akad nikah putranya. "Mas, mau kubuatkan minuman hangat atau dingin?" Wanita berhijab putih itu beringsut dari duduknya mendekati pria yang kini sudah sah menjadi suami dan imam untuk dirinya. "Gantilah dulu pakaianmu itu, Aisyah, aku risih melihatnya, kelihatan sekali kalau dirimu itu sangatlah kampungan, kenapa kamu tidak memilih gaun yang sesuai dengan kastamu saja heh?" hardik sang suami dengan tatapan sinisnya terhadap wani

    Last Updated : 2025-01-11
  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 2. Tak seindah malam pertama

    "Gua duluan ya, kalian puas-puasinlah nongkrong di sini, tunjukin aja kartu nama gua!”Setelah berucap demikian, Bram pun keluar dari Cafe tersebut, ia lajukan Toyota Porsche-nya dengan sedikit lamban, sungguh ia malas sekali pulang ke rumah orangtua Aisyah malam ini. Bram menepikan kendaraannya di halaman sebuah penginapan sederhana. Setelah melakukan reservasi, Bram pun kini sudah berada di kamar penginapannya. Drett! Ponselnya kembali bergetar, namun ia biarkan saja, ia pun memilih memejamkan matanya. Namun, baru beberapa menit dia tertidur, Drett! Bramantyo terjaga saat handphonenya kembali berdering dan kali ini lebih lama. "Siapa sih, malam-malam gini, ganggu orang istirahat aja?" gerutunya dengan mata yang belum terbuka sempurna. "Papa?" ucapnya lirih sebelum mengklik tombol hijau pada layar ponselnya. "Iya, Pa, ada apa?""Pulang ke rumah sekarang juga!""Ru …rumah siapa, Pa?" ucapnya sedikit terbata. "Ya rumah istrimulah, rumah siapa lagi? Jangan berulah jika mas

    Last Updated : 2025-01-11
  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 3. Suami durjana

    Malam semakin sunyi dan bersiap untuk mengganti hari. Suara kokok ayam selalu saja lebih dulu menyapa kemudian disusul dengan merdunya suara adzan seiring tabuh yang juga terdengar bersahut-sahutan memecah kesenyian waktu subuh. Wanita berhijab itu sudah selesai melaksanakan sholat subuh, kemudian ia pun berniat membangunkan sang sualam semakin sunyi dan bersiap untuk mengganti hari. Suara kokok ayam selalu saja lebih dulu menyapa kemudian disusul dengan merdunya suara adzan seiring tabuh yang juga terdengar bersahut-sahutan memecah kesenyian waktu subuh. Wanita berhijab itu sudah selesai melaksanakan sholat subuh, kemudian ia pun berniat membangunkan sang suami yang masih erat memeluk guling dan selimut tebalnya. "Mas!” ucapnya begitu pelan tepat di sisi kanan pipi suaminya. Belum juga ada reaksi dari suaminya tersebut, wanita itu pun mengulang kembali usahanya untuk membangunkan sang suami.“Mas, sholat subuh dulu ya." Wanita itu menepuk pelan lengan suaminya tersebut, namun ia l

    Last Updated : 2025-01-11

Latest chapter

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 5. Peringatan untuk Bramantyo

    Melihat wanita itu hanya diam meskipun dengan wajah merah padam menahan amarah, Aisyah pun kembali berucap,“Anda tau tempat yang paling disukai sayton? Yaitu kamar mandi dan segala macam teman-temanya, dan di tempat itulah kalian membicarakan tentang asmara terlarang kalian ini, sungguh sangat rendah sekali tempat kalian di muka bumi, apalagi di akhirat nanti, innalillahi,” ucap Aisyah lagi. "Jaga bicaramu wanita perebut kekasih orang!”"Dan jaga attitude-mu wanita penggoda suami orang!”Wanita itu tidak peduli, lalu mendorong tubuh Aisyah hingga wanita berhijab itu hampir saja jatuh. "Bram, Bram, keluarlah, ini aku Soffi datang, bukankah kamu sudah berjanji untuk bertemu denganku siang ini? Bram!” Soffi terus saja memanggil nama Bramantyo dengan berteriak. Aisyah tersenyum tipis, dia melihat tak ada pergerakan dari dalam kamar sang suami. "Apa perlu saya panggilkan pihak keamanan apartemen ini untuk membantu Anda keluar, Nona?” "Bram!" teriak Soffi dengan langkah setengah berla

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 4. Diboyong ke apartemen suami

    "Cemburu kamu bilang, Mas?” kata Aisyah dengan raut wajah menatap tajam tak percaya kepada Bramantyo.Namun, suaminya itu tak menjawab, pria itu hanya mengedikkan bahu dengan mata yang melebar.“Tentu saja aku cemburu, di malam pertama kita sebagai suami istri, kamu malah sibuk dengan gundikmu itu, bukannya aku tidak tau, Mas, tapi aku menjaga marwahmu sebagai suamiku di mata Ayah, tapi apa yang kamu lakukan terhadapku? Kamu jahat Mas, jahat!”"Mulai sekarang kamu harus tau jika suamimu ini brengsek dan jahat!" ucap Bramantyo tanpa melihat kepada Aisyah. "Akan tetapi, aku tidak peduli, Mas, selama aku masih punya Allah, maka hatimu pun adalah kepunyaan-Nya, jadi, tak ada yang harus kukhawatirkan, jika takdirku adalah bersamamu, maka aku ingin kita bersama hingga ke jannah-Nya. Sepahit apapun akan aku jalani, karena pelangi tak mungkin muncul tanpa hujan terlebih dulu, tak peduli sehina apa penilaianmu terhadapku, nyatanya di hadapan Allah dan kedua orang tua kita, aku adalah istri s

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 3. Suami durjana

    Malam semakin sunyi dan bersiap untuk mengganti hari. Suara kokok ayam selalu saja lebih dulu menyapa kemudian disusul dengan merdunya suara adzan seiring tabuh yang juga terdengar bersahut-sahutan memecah kesenyian waktu subuh. Wanita berhijab itu sudah selesai melaksanakan sholat subuh, kemudian ia pun berniat membangunkan sang sualam semakin sunyi dan bersiap untuk mengganti hari. Suara kokok ayam selalu saja lebih dulu menyapa kemudian disusul dengan merdunya suara adzan seiring tabuh yang juga terdengar bersahut-sahutan memecah kesenyian waktu subuh. Wanita berhijab itu sudah selesai melaksanakan sholat subuh, kemudian ia pun berniat membangunkan sang suami yang masih erat memeluk guling dan selimut tebalnya. "Mas!” ucapnya begitu pelan tepat di sisi kanan pipi suaminya. Belum juga ada reaksi dari suaminya tersebut, wanita itu pun mengulang kembali usahanya untuk membangunkan sang suami.“Mas, sholat subuh dulu ya." Wanita itu menepuk pelan lengan suaminya tersebut, namun ia l

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 2. Tak seindah malam pertama

    "Gua duluan ya, kalian puas-puasinlah nongkrong di sini, tunjukin aja kartu nama gua!”Setelah berucap demikian, Bram pun keluar dari Cafe tersebut, ia lajukan Toyota Porsche-nya dengan sedikit lamban, sungguh ia malas sekali pulang ke rumah orangtua Aisyah malam ini. Bram menepikan kendaraannya di halaman sebuah penginapan sederhana. Setelah melakukan reservasi, Bram pun kini sudah berada di kamar penginapannya. Drett! Ponselnya kembali bergetar, namun ia biarkan saja, ia pun memilih memejamkan matanya. Namun, baru beberapa menit dia tertidur, Drett! Bramantyo terjaga saat handphonenya kembali berdering dan kali ini lebih lama. "Siapa sih, malam-malam gini, ganggu orang istirahat aja?" gerutunya dengan mata yang belum terbuka sempurna. "Papa?" ucapnya lirih sebelum mengklik tombol hijau pada layar ponselnya. "Iya, Pa, ada apa?""Pulang ke rumah sekarang juga!""Ru …rumah siapa, Pa?" ucapnya sedikit terbata. "Ya rumah istrimulah, rumah siapa lagi? Jangan berulah jika mas

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 1. Sah!

    Saya terima nikahnya, Aisyah Anidia binti Usman Al-hamid dengan mas kawin yang tersebut!”“Sah, alhamdulillah!”Doa-doa pun dilangitkan menandai babak baru dua insan manusia tersebut. Setelah akad nikah tak ada pesta meriah atau pun perayaan spesial yang lainnya, itu adalah syarat mutlak yang diajukan mempelai pria jika kedua orangtuanya menginginkan pernikahan antara dirinya dengan gadis pilihan ayahnya itu segera dilaksanakan. Pernikahan dilaksanakan dikediaman orangtua mempelai wanita. Kedua orangtua mempelai pria sudah pamit pulang beberapa jam setelah akad nikah putranya. "Mas, mau kubuatkan minuman hangat atau dingin?" Wanita berhijab putih itu beringsut dari duduknya mendekati pria yang kini sudah sah menjadi suami dan imam untuk dirinya. "Gantilah dulu pakaianmu itu, Aisyah, aku risih melihatnya, kelihatan sekali kalau dirimu itu sangatlah kampungan, kenapa kamu tidak memilih gaun yang sesuai dengan kastamu saja heh?" hardik sang suami dengan tatapan sinisnya terhadap wani

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status