"Cemburu kamu bilang, Mas?” kata Aisyah dengan raut wajah menatap tajam tak percaya kepada Bramantyo.
Namun, suaminya itu tak menjawab, pria itu hanya mengedikkan bahu dengan mata yang melebar.
“Tentu saja aku cemburu, di malam pertama kita sebagai suami istri, kamu malah sibuk dengan gundikmu itu, bukannya aku tidak tau, Mas, tapi aku menjaga marwahmu sebagai suamiku di mata Ayah, tapi apa yang kamu lakukan terhadapku? Kamu jahat Mas, jahat!”
"Mulai sekarang kamu harus tau jika suamimu ini brengsek dan jahat!" ucap Bramantyo tanpa melihat kepada Aisyah.
"Akan tetapi, aku tidak peduli, Mas, selama aku masih punya Allah, maka hatimu pun adalah kepunyaan-Nya, jadi, tak ada yang harus kukhawatirkan, jika takdirku adalah bersamamu, maka aku ingin kita bersama hingga ke jannah-Nya.
Sepahit apapun akan aku jalani, karena pelangi tak mungkin muncul tanpa hujan terlebih dulu, tak peduli sehina apa penilaianmu terhadapku, nyatanya di hadapan Allah dan kedua orang tua kita, aku adalah istri sahmu, bukan dia yang hanya sekedar gundikmu."
"Maka akan aku jadikan hubungan kita ini sebagai neraka dunia bagimu, Aisyah Anidia!"
"Aku tetap percaya, syurgaku ada pada suamiku!” kata Aisyah tak tinggal diam.
"Halah, omong kosong semua itu, dosa dan neraka tanggung sendiri-sendiri, gak usah sok peduli kamu!” kata Bramantyo kesal.
"Mas!”
Bramantyo segera mengemasi pakaian kedalam kopernya.
"Kamu mau ke mana, Mas? Kenapa semua pakaiannya dikemasi seperti ini?” tanya Aisyah bingung.
"Jika kamu istriku, maka ikutlah kemanapun suamimu pergi, aku ingin kita pergi dari sini!”
"Tapi tidak secepat ini juga, Mas, tidak bisakah menunggu sampai esok?”
"Kalau aku bilang sekarang, ya sekarang!"
Tidak memiliki pilihan lain, Aisyah pun segera mengemasi beberapa barang-barangnya, dan hanya menyisakan beberapa lembar gamis di dalam lemari pakaiannya itu.
Namun, disela-sela kesibukannya yang terburu-buru itu, Aisyah teringat sesuatu, lalu berucap,
"Kemarin ada kurir delivery, Mas, apa kamu yang membelikan semua ini, untukku?"
"Itu khimar, aku bosan melihatmu memakai hijab dengan style yang selalu sama setiap harinya, istri CEO kayak istri gelandangan saja kamu!” kata Bramantyo yang malah membuat Aisyah kepayahan menahan senyum. Ia gigit bibir bagian bawahnya karena bahagia.
"Terimakasih, Mas, ini sudah lebih dari cukup!” ucap Aisyah yang tak ditanggapi oleh Bramantyo.
Setelah selesai mengemasi barang mereka masing-masing, keduanya lalu ikut duduk di meja makan. Di sana sudah duduk ayah dan ibunya Aisyah.
"Nak Bram sudah rapih, apa akan kekantor hari ini?" tanya ayah mertua Bramantyo.
"Iya, Yah, sekalian Bram izin membawa Aisyah ke apartemen Bram, apa boleh, Yah?" ucap Bramantyo meminta izin.
Usman tersenyum.
"Pertanyaan macam apa itu, Nak? Aisyah sudah menjadi tanggung jawabmu saat ini, jadi kamu berhak atas dirinya juga,” kata Usman yang tentu saja meskipun merasa berat, namun kenyataan itulah yang harus mereka jalani.
Kewajiban seorang istri adalah berada di samping suaminya.
“Ai kamu sudah siap, Nak?” tanya Usman yang kini berganti menatap putrinya tersebut.
"Insya Allah, Aisyah siap lahir batin, Yah, kamanapun suami Aisyah pergi, maka Aisyah wajib mendampinginya."
"Alhamdulillah, jaga kehormatan suamimu , ,Nak, jaga juga fitrahmu sebagai seorang istri."
Aisyah mengangguk pelan, dadanya masih terasa sesak jika mengingat ucapan Bram sebelumnya tadi.
"Assalamualaikum, Ayah, Ibu, Bram sama Aisyah pamit, kita akan sering berkunjung ke sini,” ucap Bramantyo berpamitan.
Bramantyo menggamit satu tangan Aisyah, gerakan yang membuat Aisyah reflek menoleh dengan tatapan herannya.
"Jangan ge'er kamu, itu sebagian sandiwara yang harus kita perankan di hadapan kedua orang tua kita nantinya." Bramantyo berkata seolah tanpa rasa bersalah sama dalam menanggapi raut wajah Aisyah.
"Aku tau, dan akan aku jalani lakonku sebagai istri sahmu, Mas."
"Bagus, ternyata menikah denganmu membawa sebuah keuntungan juga buatku, Ai."
Aisyah menoleh meminta penjelasan atas kalimat ambigu yang diucapkan oleh Bramantyo.
"Terimakasih, karena dengan menikahimu aku bisa lebih bebas bertemu dengan Sofi, tanpa harus takut ketahuan Papa ataupun Mama, ingat jangan jadi istri pengadu, itu akan membuatku semakin ilfeel saja sama kamu!”
"Silakan kamu bermain api dengan pernikahan ini, Mas, tapi ingat jangan pernah kamu membawa pulang gundikmu itu ke rumah kita, dan akan kutunjukan kepada kalian betapa banyak hak-hak yang tak mungkin didapatkan oleh wanita yang hanya menjadi simpananmu saja.
bahkan untuk sekedar mengenalkannya di hadapan orang tuamu pun kamu tak memiliki keberanian, dan bersembunyi di balik tameng pernikahan kita ini, dan yang harus kamu tau, Mas, aku tidak pernah mengadukan apapun tentangmu kepada Mama dan Papa.
Dan jika suatu hari nanti mereka mengetahui tentang kebejatanmu ini, maka itu adalah takdir Allah yang bekerja untukmu, mudah-mudahan sebelum itu terjadi, hidayah sudah datang menghampirimu, Mas, aamiin,” ucap Aisyah dengan suara lirih dan ujung kelopak yang sudah tebal dan menghangat.
Namun, hal itu tidak juga digubris oleh Bramantyo.
Aisyah memalingkan wajahnya melihat jalanan yang ramai di pagi hari.
Keduanya sudah sampai di depan pintu apartemen milik Bramantyo.
Tit, tit, tit!
Bramantyo tampak menekan tombol hingga pintu pun terbuka.
Sebuah apartemen dengan mini bar dan satu kamar tidur, Aisyah merebahkan tubuh lelahnya pada sofa panjang di ruangan tamu apartemen milik Bram.
Sementara Bram masuk ke dalam kamarnya.
“Sebaiknya untuk saat ini, semua hal yang berkaitan dengan Sofi harus kusimpan!” kata Bramantyo yang mulai mengemasi satu persatu fhoto Sofi yang terpajang pada dinding kamarnya.
Aisyah bangun saat mendengar pintu apartemennya berbunyi, ia melangkah demi untuk melihat siapakah gerangan yang bertamu di pagi hari begini?
"Siapa, ya?” kata Aisyah, wanita berbadan mungil itu pun mengintai dari balik gorden di samping pintu. Sesaat kemudian, dia pun membukanya.
"Maaf saya mencari kekasih saya, bisa beri saya jalan?" Wanita dengan pakaian seksi itu berusaha menerobos masuk, namun Aisyah tak tinggal diam.
"Suami saya sedang tidur, karena kelelahan sejak semalam kami tidak tidur barang semenit saja, silakan menunggu di luar, ini area privasi suami istri, bukan area sejoli memadu kasih!” ucap Aisyah yang membuat si wanita menatap kesal terhadap dirinya.
"Cih, nikah dijodohin aja bangga kamu ya, sudah pinter bicara sekarang rupanya?” katanya tak ingin kalah dari ucapan Aisyah.
"Tentu saya bangga, status saya jelas, tubuh saya halal untuk disentuh oleh suami saya, sedangkan Anda? Hanya sekedar untuk menerima panggilan dari Anda saja, suami saya harus pura-pura sakit perut, lalu pamit ke kamar kecil. Apakah hal itu yang Anda bangga-banggakan?”
Melihat wanita itu hanya diam meskipun dengan wajah merah padam menahan amarah, Aisyah pun kembali berucap,“Anda tau tempat yang paling disukai sayton? Yaitu kamar mandi dan segala macam teman-temanya, dan di tempat itulah kalian membicarakan tentang asmara terlarang kalian ini, sungguh sangat rendah sekali tempat kalian di muka bumi, apalagi di akhirat nanti, innalillahi,” ucap Aisyah lagi. "Jaga bicaramu wanita perebut kekasih orang!”"Dan jaga attitude-mu wanita penggoda suami orang!”Wanita itu tidak peduli, lalu mendorong tubuh Aisyah hingga wanita berhijab itu hampir saja jatuh. "Bram, Bram, keluarlah, ini aku Soffi datang, bukankah kamu sudah berjanji untuk bertemu denganku siang ini? Bram!” Soffi terus saja memanggil nama Bramantyo dengan berteriak. Aisyah tersenyum tipis, dia melihat tak ada pergerakan dari dalam kamar sang suami. "Apa perlu saya panggilkan pihak keamanan apartemen ini untuk membantu Anda keluar, Nona?” "Bram!" teriak Soffi dengan langkah setengah berla
"Ingat pesan Papa, Ai, nggak usah takut sama crocodile cap biawak macam Bram ini," ucap Umar lalu melihat sekilas kepada Bram. "Ini sebenarnya yang anak Papa, Bram apa Aisyah sih? Kenapa merasa jadi anak tiri begini?" kata Bramantyo merasa tak terima dengan ucapan sang papa yang selalu saja menjelekkan dirinya. "Diem kamu. Benerin dulu kelakuanmu, baru boleh mengajukan keberatan!" hardik sang Papa. Aisyah tersenyum, sungguh sebenarnya ia merasa sangat berdosa karena telah menertawakan suaminya sendiri. Sementara Bram hanya diam. Setelah kedua orang tuanya pergin, Bramantyo dan juga Aisyah pun kembali masuk ke dalam apartemen mereka. "Mas, boleh aku lihat luka di lenganmu?" tanya Aisyah yang kini ikut duduk di samping Bramantyo. "Nggak usah sok perhatian, kamu pasti bahagia banget, kan, karena sekarang Papa ada di pihakmu?" ucap Bramantyo dengan tatapan tak suka, namun Aisyah hanya menggeleng. "Halah, nggak usah ngelak, percuma aku nggak akan percaya!" kata Bramantyo
Aisyah terdiam, tubuhnya membeku dengan bibir mengatup, meskipun rasa sakit di dalam hatinya itu sungguh begitu payah u untuk dia lerai, namun dia harus tetap tenang dalam air mata yang menggenang di dalam perasaan dan juga hatinya. "Soffi?" Bramantyo segera berdiri, namun tidak melangkah dan hanya diam di tempat. "Bram, tadi pagi aku ke apartemenmu lho, tapi istri kontrakmu ini menghalangi jalanku," kata Soffi menunjuk Aisyah dengan tatapan sinis penuh kebenciannya. "Ikut aku!"Bramantyo menarik tangan Soffi pelan. "Apa sih, Bram? Kenapa main tarik-tarik kayak gini? lepasin, sakit!" rintih Soffi yang terus mengusapi pergelangan tangannya. "Kita akan bicara, tapi bukan sekarang dan bukan di sini juga, orang-orang papaku selalu mengawasi gerak-gerikku, aku nggak mau kamu jadi sasaran kemarahan Papa.Untuk hari-hari ke depan jangan dulu menghubungi apalagi menemuiku, interaksi kita cukup di k
Mendengar ucapan itu, Soffi pun meradang, ia kepal tangannya, lalu mendekat, "Heh, aku gak bicara sama kamu ya, jadi ucapanmu itu gak dibutuhkan di sini, lebih baik diam!" kata Soffi dengan nafas angup-angip naik-turun. "Kamu memang tidak sedang berbicara denganku, Nona. Akan tetapi, tolong jangan pura-pura lupa ingatan ataupun amnesia jika saya ini adalah istri dari pria yang dengan tidak tahu malunya Anda cintai dan ingini!" kata Aisyah telak. Soffi terdiam, matanya membelalak dengan bibir membisu, ia akan kembali bicara, namun, "Mas, apa sudah paripurna hasilnya?" kata Aisyah. Namun, tak ada jawaban ataupun pergerakan dari suaminya, hingga wanita bertubuh mungil itu pun memilih pergi pergi meninggalkan suami bersama gundiknya tersebut. "Bram, jangan tinggalin aku!" Bramantyo berhenti sejenak, tubuhnya mematung tanpa menoleh. "Aku harus menyusul istriku, Soffi, maaf!" katanya, lalu kembali mengayunkan langkah kakinya, bergegas. "Tapi aku kangen Bram, ayolah, aku
"Mikirin apa?" Aisyah tersadar dari lamunannya, ternyata ucapannya tadi hanya mampu dia ucapkan di dalam hatinya saja. Menggenggam luka yang tak berdarah, namun sanggup membuat jiwanya melara payah. Malam semakin larut, tak ada lagi suara apa pun yang akhirnya semakin membuat kesunyian dan kesedihan Aisyah semakin menggunung. "Ponselku!" ucapnya, lalu wanita dengan piyama merah muda itu lekas meraih ponsel yang masih ada di dalam tas punggungnya tadi. "Pesan? Ini nomor siapa?" kata Aisyah saat melihat sebuah pesan berikut gambar di layar ponselnya. Brak! Benda pipih itu pun jatuh meluruh ke lantai bersamaan dengan tubuh pemiliknya. "Ternyata dugaanku benar, Robb. Apa yang harus hamba lakukan?" katanya dengan dada yang
"Kita lihat saja, siapa yang akhirnya menjadi pemenang di antara kita berdua, Nona, aku atau kamu? Aku dengan dosaku, dan kamu dengan kebodohanmu!" Aisyah menutup layar ponselnya, sudah tak berniat lagi untuk membalas hujatan dari Soffi melalui pesan singkatnya itu. Malam begitu sunyi, denting jam yang biasanya akan kalah dengan hiruk pikuk bahkan hanya sekedar suara bisikan saja, akan tetapi kali ini, Aisyah bisa mendengar dengan jelas suara detik dan menit itu terus melaju meninggalkan sang waktu. "Mas, cepat pulang!" ucapnya dengan suara lirih dan bibir yang bergetar. Sementara itu di tempat berbeda, "Gak nginep di sini? Ini udah hampir pagi lho, Bram, istri kontrakmu itu juga pasti udah ngorok daritadi!" Soffi terus merayu Bramantyo yang terus saja berjalan ke luar kamarnya. "Sebenarnya iya, tapi, aku udah bilang kalau akan pulang meskipun larut, udah ya, cukup untuk malam ini. B
"Pacar kamu, Mas!" Sungguh, bibir dan hati Aisyah tidaklah bisa diajak untuk saling satu rasa kali ini. Bibirnya tersenyum, tapi hatinya menangis, tangis yang tak ingin dia tampakan di depan siapa pun, terutama wanita yang bergelar pacar gelap suaminya itu. Bram menoleh, tatapannya datar namun tersirat sebuah kekhawatiran di dalamnya. "Hanya ingin mengingatkan, malaikat yang ada di bahu kanan dan kirimu gak pernah libur!" Setelah berucap demikian, Aisyah memilih untuk melanjutkan langkah kakinya seorang diri. Menoleh sekilas , dan rupanya Bram tak memedulikan langkahnya itu. "Aku berdoa, karma itu tidak pernah berlaku untuk dirimu, Mas. Tuhan, tolong panjangkan rasa sabarku agar lebih ikhlas dalam membenarkan jalan suamiku yang keliru melalui tuntunanmu, bukan dengan ego dan amarahku," kata Ais
"Kamu?" Soffi memelototkan matanya, wanita itu tetap memaksa untuk duduk di samping Bram, namun, Leo tak tinggal diam. "Apa Anda ingin posisi Anda di kantor digantikan dengan orang lain? Baiklah!" Tut! Panggilan suara di ponsel Leo pun berdering. "Oke!" kata Soffi yang akhirnya harus duduk di samping Leo. Wajah wanita itu tampak tak suka dengan rahang mengejang. Sementara Bram tengah fokus pada layar laptopnya. "Le, coba lihat perubahan data pada bulan lalu!" kata Bram seraya memperlihatkan layar laptopnya kepada Leo yang duduk di sampingnya. "Mas, ponselmu bergetar!" kata Aisyah memberitahu suaminya yang tengah sibuk itu.
Malam kembali menyapa dengan semua misteri yang kadang tak pernah terpecahkan hingga hari berubah nama menjadi esok, kemarin bahkan esoknya lagi dan lagi. Berganti dengan kisah yang pasti berbeda. "Ai, kenapa belum tidur juga? Besok Mas harus berangkat pagi lho!" ucap Bramantyo berseloroh. Dilihatnya wajah sang istri yang selalu saja meneduhkan itu dengan penuh rasa cinta. "Nungguin kamu, Mas!" Pipi Aisyah bersemu merah saat berucap seperti itu. Dan tentu saja ada makna lain yang tersirat dalam ucapan Aisyah yang ditangkap oleh Bram. "Nungguin Mas? Emangnya apa yang ditungguin, hem?" Bramantyo mendekat, ia tanggalkan kaos oblong berwarna hitam yang dikenakannya tadi, hingga kini yang tersisa hanya selembar boxer press body berwarna hitam di tubuh atletisnya. Aisyah diam, "Aku sudah salah bicara, kan Mas Bram
Beberapa menit sebelumnya. Kalian tentu tahu dengan perumpamaan dunia tak selebar daun kelor, bukan? Baiklah, mari kita buktikan, apakah ungkapan itu berlaku atau mungkin sebaliknya! Seorang pria berbadan tegap dengan dada dan bahu yang bidang berjalan keluar dari kamar hotelnya. Sebuah kacamata hitam tanpak gagah bertengger di hidung bangirnya, ia singsingkan sedikit lengan jasnya untuk melihat waktu pada jarum jam di pergelangan tangannya. Drett! Langkahnya tak terburu-buru saat tiba-tiba ponselnya bergetar. "Saya akan tiba 15 menit dari sekarang!" ucapnya mengakhiri panggilan suara di ponselnya, dan kini benda pintar itu pun sudah kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya. Pria itu pun masuk ke dalam kendaraannya, lalu sesuai dengan perkiraan, 15 menit kemudian
Aisyah tersenyum, sungguh suaminya benar-benar telah berubah kini, dia tidak hanya menjaga tubuh Aisyah dari segala macam marabahaya, akan tetapi menjaga hatinya juga. Menjaga hati dari retak dan luka, menjaga hati dari semua kecewa yang bisa saja kembali hadir dan singgah. Bramantyo benar-benar berubah, rasa sesalnya ia tebus dengan semua sikap dan cintanya yang tulus untuk Aisyah. "MashaAllah, Mas!" Bram tersenyum, lalu akhirnya mereka memilih menjauh, mencari desa lain untuk tempat tempat tinggal mereka. "Mas, itu desa apa? Kok serem sih?" Sebelumnya Aisyah tidak pernah menjadi pribadi yang penakut seperti ini, namun entah mengapa suasana desa di depannya itu sungguh begitu mencekam. "Mas lebih takut dengan iblis yang berwujud manusia ketimbang mereka dengan wujud sebenarnya, Ai. Karena apa? Karena melawan dan mengusir mereka tidak akan melukai perasaanmu, percaya sama Mas, ya!" ungkap Bram, ia gandeng satu tangan istrinya itu untuk kemudian ia bawa berteduh di sebuah
Seberat apa pun masalahmu, ingat semua ini pasti ada akhirnya! "Silakan pergi, tapi biarkan Papa tetap di sini! Kamu bisa saja menjadikan nama besar Papa sebagai modal kehidupanmu yang gak jelas itu, tinggalkan Papa tetap di sini!" Bramantyo tak menduga jika Adrian masih memiliki belas asih kepada papanya, meskipun dengan alasan yang sungguh menyakitkan, akan tetapi, siapa yang akan mengurus ayahnya, sementara Aisyah harus ikut serta bersama dia? "Gak, aku gak mau, siapa yang akan merawat Papa?" ucap Bram keberatan. "Ada Bibi, Tuan Muda, percaya, kan sama Bibi?" Bi Onah, asisten rumah tangga di keluarga Bramantyo itu tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Bi Onah?" Bram berkata lirih dengan secercah harapan di wajahnya. "Tolong jagain Papa ya, Bi!" Langkah kaki terasa be
"Adrian!" ungkap Aisyah menjelaskan tentang pertanyaan suaminya itu. Lupakah dia, ataukah dia tidak menyadarinya? Bram raih satu tangan wanita itu lalu ia bawa masuk ke dalam rumah besar ayahnya ini. "Kita ke kamar Papa dan Mama!" kata Bram lagi, mereka berjalan dengan cepat menuju kamar Usman Sastro Nugroho. Dan lagi, kejanggalan demi kejanggalan yang belum Aisyah temui titik terangnya. Karena Bramantyo selalu saja mengelak meskipun sudah tertangkap basah dan ketahuan. Akan tetapi Aisyah butuh jawaban pasti dari suaminya, meskipun belum juga dia dapatkan. "Pa, Papa!" Kriek! Bram buka pintu kamar ayahnya itu dengan pelan. "Astaghfirullah, Papa!" Bramantyo pun seketika menghambur memeluk tubuh ayahnya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang seorang diri. "Mama mana, Pa?" tanya Bram saat kedua mata ayahnya itu pun terbuka. "Emm, emm!" Hanya itulah yang kini didengar oleh Bramantyo dari bibir ayahnya. Sungguh menyedihkan, saat dulu ayahnya adalah sosok bersahaj
Suasana canggung pun tercipta. Tentu saja, mereka bukanlah pasangan romantis sebelum kejadian itu akhirnya membawa Bramantyo mendekam di dalam penjara, mereka bukan dua sejoli yang memang sudah mendambakan indahnya hidup berumah tangga, mereka adalah pasangan dengan segala carut-marut yang tercipta, dengan segala konflik yang pelik yang harus mereka peluk dengan penuh rasa sakit di dalam hati, namun akhirnya yang mereka rawat dengan penuh kesabaran dan juga rasa ikhlas itu pun berbuah manis, semanis kata-kata dan sikap Bramantyo kepada Aisyah. "Kamu gak suka ya kalau Mas cium-cium kayak tadi?Mas memang segaktahudiri itu, Ai, maaf, harusnya Mas tahu keburukan itu bahkan belum seujung kukupun berbanding dengan secuil ucapan cinta dan sayangku untukmu, gak!" ujar Bram. Aisyah belai pipi sang suami yang kini sudah ditumbuhi bulu-bulu halus itu, "Alhamdulillah, terima kasih atas cinta dan sayangmu untukku, Mas, maaf harus membuatmu menjalani hari-hari yang menyakitkan di dalam sa .
Beberapa jam sebelumnya. "Bram, udah dijemput?" Pak Hasan berjalan mendekati Bramantyo yang sudah siap untuk meninggalkan tempat terkutuk baginya ini. "Pulang sendiri, Pak!" jawab Bram, lalu akhirnya ikut duduk di samping Hasan. "Bram, boleh saya tanya sesuatu ke kamu?" "Tentang apa? Semua hal akan kuberitahu, selain tentang bidadari syurgaku!" "Aisyah?" kata Hasan yang membuat mata elang Bram menukik tajam menatap tak suka. Semua boleh menghinanya, tapi tidak dengan istrinya. Meskipun yang diucapkan oleh Hasan belum tentu seperti yang ia sangkakan, namun tetap saja dia marah dan tak suka. "Anda pikir?" kata Bram menunjukkan sisi dominan yang memang selalu dia tunjukan selama di dalam bilik tahanan ini. "Ya kali, wanita abal-abal sejenis nini kunti ataupun sundel bolong yang dengan butanya kamu jadikan bidadari, syurga lagi! Hahahha, cukup keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya, jangan kamu juga ikut-ikutan!" ucap Hasan yang disertai suara t
"Mas Bram, maafkan aku karena tak mampu melanjutkan amanah yang sudah kamu percayakan ini. Aku tidak memiliki kuasa di perusahaan Papa ini, Mas, maaf!" ucap Aisyah dengan suara lirih. Satu tangannya sibuk memasukkan benda-benda penting miliknya ke dalam tas, sementara satu tangan yang lainnya sibuk menyeka bulir bening yang terus saja mengalirm tanpa bisa dicegah dan juga dijeda. Mengalir seolah tak peduli dengan sejuta sesak dan sakit di dalam dada yang sibuk mencari perisainya sendiri-sendiri di dalam sepinya hati. Tak ada sakit yang seperih ini, saat dia menangis dan tangan yang dia harapkan nyatanya tidak akan pernah ada di dekatnya, dia jauh, bahkan terlalu jauh ustat bisa dia sentuh saat ini. Coba untuk membungkam semua asa yang selalu ada, meskipun terasa begitu susah dan seakan malah memberi harapan kosong dan hampa. Akan tetapi, semakin dia coba, mengapa
Malam semakin sunyi, dinginnya memeluk setiap hati dan jiwa yang kesepian dalam himpitan dan timbunan rasa lelah yang terus mengudara. Hanya suara desahan nafas yang teratur naik turun seirama dengan bunyi jarum jam yang terus menderu meninggalkan sang waktu. "Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh kesedihan, Pak Tua!" ucap Bram saat pria di sampingnya itu belum juga memejamkan kedua Indra penglihatannya. Tubuh pria itu sudah ia rebahkan di atas tikar lusuh yang sudah tidak bermotif lagi. Kepalanya ia sandarkan pada pergelangan tangannya yang mulai keriput dimakan usia. "Panggil aku Hasan, Bram!" Bramantyo menoleh, menciutkan pandangan matanya dengan alis mata tersentak bersama-sama. "Hasan?" ucap Bram dengan alis mengernyit heran. "Iya, Hasan, kenapa, apakah kamu pernah mendengar namaku ini sebelumnya?" Bram menggeleng, "Kenapa baru memberitahu setelah kita akan berpisah?" kata Bram. Pria dengan alis mata tebal itu pun menggeser duduknya agar lebih dekat.