Aisyah terdiam, tubuhnya membeku dengan bibir mengatup, meskipun rasa sakit di dalam hatinya itu sungguh begitu payah u untuk dia lerai, namun dia harus tetap tenang dalam air mata yang menggenang di dalam perasaan dan juga hatinya.
"Soffi?" Bramantyo segera berdiri, namun tidak melangkah dan hanya diam di tempat. "Bram, tadi pagi aku ke apartemenmu lho, tapi istri kontrakmu ini menghalangi jalanku," kata Soffi menunjuk Aisyah dengan tatapan sinis penuh kebenciannya. "Ikut aku!" Bramantyo menarik tangan Soffi pelan. "Apa sih, Bram? Kenapa main tarik-tarik kayak gini? lepasin, sakit!" rintih Soffi yang terus mengusapi pergelangan tangannya. "Kita akan bicara, tapi bukan sekarang dan bukan di sini juga, orang-orang papaku selalu mengawasi gerak-gerikku, aku nggak mau kamu jadi sasaran kemarahan Papa. Untuk hari-hari ke depan jangan dulu menghubungi apalagi menemuiku, interaksi kita cukup di kantor saja, itu pun hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih!" pinta Bramantyo penuh pengharapan kepada kekasih gelapnya itu. "Tapi sampai kapan, Bram? Aku mana bisa begitu?" ucap Soffi merasa keberatan dengan permintaan Bramantyo. "Ini darurat, Soff, mengertilah, aku bisa dipecat dari jabatan CFO di kantor Papa, jika sampai Papa mengetahui kita masih berhubungan seperti ini!" kata Bramantyo. Soffi akan kembali menyela, akan tetapi, "Awww!" Tiba-tiba Bram kembali mengeluhkan sakit pada lengannya. "Kamu kenapa, Bram?" Soffi pun bergerak cepat dengan menyentuh lengan Bramantyo, akan tetapi, "Singkirkan tanganmu, ada aku istri sahnya, tanganmu haram menyentuh tubuh suamiku!" kata Aisyah yang kini sudah berdiri di samping Bramantyo. "Heh, sepertinya kamu harus tau, bahwa apa yang kami lakukan sudah lebih dari ini, Gadis kampung!" "Dan kamu harus tau, status kami sudah lebih legal dari hanya sekedar jamah-menjamah tubuh murahanmu, wanita jahanam!" Pelan sekali Aisyah mengucapkan kalimat itu, hingga tubuhnya bergetar setelahnya, sungguh ia telah tersulut emosinya hingga tak mampu mengendalikan kata-kata yang akhirnya terlontar dari bibirnya tersebut. "Astaghfirullah!" Tanpa terasa airmatanya menetes, ia pun segera masuk ke dalam ruangan dokter dengan mata berair, namun ia segera menyekanya. "Ai, tunggu!" pinta Bram berusaha meraih tangan sang istri yang sudah lebih dulu masuk ke dalam ruangan dokter spesialis itu. "Assalamualaikum, Tan!" Bramantyo yang sebenarnya masuk setelah Aisyah, nyatanya ia yang lebih dulu menyapa dokter cantik berhijab moka yang sebelumnya tengah fokus pada layar ponselnya. "Waalaikumsalam, Bram. Ini siapa lagi? Sudah insyap kamu?" kata sang dokter yang disapa oleh Bramantyo tadi dengan sebutan tante. "Tante, kenapa pertanyaannya horor banget sih?" kata Bramantyo tak terima. "Lho, kok horor sih? Kalimat yang mana?" Bramantyo hanya diam, lalu setelahnya, pria berusia 35 tahun itu pun duduk di kursi yang telah disediakan. "Assalamualaikum, Sayang!" kata dokter Sindi menyapa Aisyah dengan begitu lemah lembut dan juga ramah. "Waalaikumsalam, Dok, saya Aisyah Anidia ... " Ucapan Aisyah terjeda, karena, "Dia istriku, Tan!" kata Bram memberitahu yang tentu saja membuat pipi Aisyah bersemu merah dibuatnya. "Istri? Kapan ijabnya, kok gak ngabarin Tante?" kata dokter Sindi memandang bergantian antara Aisyah dan juga keponakannya tersebut. "Gak penting, sekarang obatin dulu luka dan gatal di lenganku ini, Tan!" "Mas, gak sopan ih!" kata Aisyah memprotes sikap Bram yang dianggapnya tidak sopan tesebut. "Apa? Kamu Jangan tertipu sama Tante Sindi, dia hobby banget ngeroasting!" kata Bramantyo lagi. Tante Sindi tersenyum melihat interaksi sepasang suami istri tesebut. "Makan seafood lagi?" kata dokter Sindi yang seketika membuat Aisyah terlonjak dari duduknya, lalu mendongak menatap wajah tampan Bramantyo. "Kamu alergi Seafood, Mas? Kenapa nggak bilang?" sesal Aisyah, walaupun sebenarnya perasaannya sedang kacau karena kalimat menjijikan yang diucapkan Soffi tadi, namun ia tetap mencoba untuk berdamai dengan perasaannya itu. "Kamu yang nggak perhatian sama suami!" Sang dokter tersenyum, lalu tampak menuliskan resep pada kertas putih di depannya. "Gak apa-apa, Ai, kamu gak usah panik, Tante buatkan resep obat untuk menghilangkan rasa gatal dan luka nya, ya!" kata dokter Sindi seraya menuliskan beberapa resep untuk Bramantyo. Aisyah dan Bram pun keluar dari ruangan dokter Sindi tersebut. "Langsung pulang atau ke mana dulu, Mas?" Saat Bramantyo baru saja akan menjawab pertanyaan Aisyah, tiba-tiba, "Gimana, Bram? Apa yang dokter katakan?" Aisyah menggelengkan kepalanya, "Di mana dia letakkan rasa malunya?" ucapnya di dalam hati. "Soff, aku harus pulang, maaf mengabaikanmu, percayalah ini hanya tentang waktu!" kata Bramantyo coba mengabaikan Soffi. "Tapi sampai kapan, Bram? Aku gak terima kamu buat kayak gini, saat aku butuh kamu, tapi kamunya gak ada, sedangkan aku selalu ada kapanpun kamu mau. Ini gak adil, Bram!" kata Soffi masih tak terima. "Tidak ada keadilan untuk sesuatu yang kamu dapatkan dengan cara mencuri, Nona Soffi!"Mendengar ucapan itu, Soffi pun meradang, ia kepal tangannya, lalu mendekat, "Heh, aku gak bicara sama kamu ya, jadi ucapanmu itu gak dibutuhkan di sini, lebih baik diam!" kata Soffi dengan nafas angup-angip naik-turun. "Kamu memang tidak sedang berbicara denganku, Nona. Akan tetapi, tolong jangan pura-pura lupa ingatan ataupun amnesia jika saya ini adalah istri dari pria yang dengan tidak tahu malunya Anda cintai dan ingini!" kata Aisyah telak. Soffi terdiam, matanya membelalak dengan bibir membisu, ia akan kembali bicara, namun, "Mas, apa sudah paripurna hasilnya?" kata Aisyah. Namun, tak ada jawaban ataupun pergerakan dari suaminya, hingga wanita bertubuh mungil itu pun memilih pergi pergi meninggalkan suami bersama gundiknya tersebut. "Bram, jangan tinggalin aku!" Bramantyo berhenti sejenak, tubuhnya mematung tanpa menoleh. "Aku harus menyusul istriku, Soffi, maaf!" katanya, lalu kembali mengayunkan langkah kakinya, bergegas. "Tapi aku kangen Bram, ayolah, aku
"Mikirin apa?" Aisyah tersadar dari lamunannya, ternyata ucapannya tadi hanya mampu dia ucapkan di dalam hatinya saja. Menggenggam luka yang tak berdarah, namun sanggup membuat jiwanya melara payah. Malam semakin larut, tak ada lagi suara apa pun yang akhirnya semakin membuat kesunyian dan kesedihan Aisyah semakin menggunung. "Ponselku!" ucapnya, lalu wanita dengan piyama merah muda itu lekas meraih ponsel yang masih ada di dalam tas punggungnya tadi. "Pesan? Ini nomor siapa?" kata Aisyah saat melihat sebuah pesan berikut gambar di layar ponselnya. Brak! Benda pipih itu pun jatuh meluruh ke lantai bersamaan dengan tubuh pemiliknya. "Ternyata dugaanku benar, Robb. Apa yang harus hamba lakukan?" katanya dengan dada yang
"Kita lihat saja, siapa yang akhirnya menjadi pemenang di antara kita berdua, Nona, aku atau kamu? Aku dengan dosaku, dan kamu dengan kebodohanmu!" Aisyah menutup layar ponselnya, sudah tak berniat lagi untuk membalas hujatan dari Soffi melalui pesan singkatnya itu. Malam begitu sunyi, denting jam yang biasanya akan kalah dengan hiruk pikuk bahkan hanya sekedar suara bisikan saja, akan tetapi kali ini, Aisyah bisa mendengar dengan jelas suara detik dan menit itu terus melaju meninggalkan sang waktu. "Mas, cepat pulang!" ucapnya dengan suara lirih dan bibir yang bergetar. Sementara itu di tempat berbeda, "Gak nginep di sini? Ini udah hampir pagi lho, Bram, istri kontrakmu itu juga pasti udah ngorok daritadi!" Soffi terus merayu Bramantyo yang terus saja berjalan ke luar kamarnya. "Sebenarnya iya, tapi, aku udah bilang kalau akan pulang meskipun larut, udah ya, cukup untuk malam ini. B
"Pacar kamu, Mas!" Sungguh, bibir dan hati Aisyah tidaklah bisa diajak untuk saling satu rasa kali ini. Bibirnya tersenyum, tapi hatinya menangis, tangis yang tak ingin dia tampakan di depan siapa pun, terutama wanita yang bergelar pacar gelap suaminya itu. Bram menoleh, tatapannya datar namun tersirat sebuah kekhawatiran di dalamnya. "Hanya ingin mengingatkan, malaikat yang ada di bahu kanan dan kirimu gak pernah libur!" Setelah berucap demikian, Aisyah memilih untuk melanjutkan langkah kakinya seorang diri. Menoleh sekilas , dan rupanya Bram tak memedulikan langkahnya itu. "Aku berdoa, karma itu tidak pernah berlaku untuk dirimu, Mas. Tuhan, tolong panjangkan rasa sabarku agar lebih ikhlas dalam membenarkan jalan suamiku yang keliru melalui tuntunanmu, bukan dengan ego dan amarahku," kata Ais
"Kamu?" Soffi memelototkan matanya, wanita itu tetap memaksa untuk duduk di samping Bram, namun, Leo tak tinggal diam. "Apa Anda ingin posisi Anda di kantor digantikan dengan orang lain? Baiklah!" Tut! Panggilan suara di ponsel Leo pun berdering. "Oke!" kata Soffi yang akhirnya harus duduk di samping Leo. Wajah wanita itu tampak tak suka dengan rahang mengejang. Sementara Bram tengah fokus pada layar laptopnya. "Le, coba lihat perubahan data pada bulan lalu!" kata Bram seraya memperlihatkan layar laptopnya kepada Leo yang duduk di sampingnya. "Mas, ponselmu bergetar!" kata Aisyah memberitahu suaminya yang tengah sibuk itu.
Kecewa adalah saat kamu merasa kehilangan, meskipun kamu tidak memilikinya sejak awal. Kata-kata itu sepertinya mampu untuk mewakili perasaan Aisyah saat ini. Dia belum memiliki tubuh ataupun perasaan Bramantyo, namun dia kecewa karena yang dia perjuangan nyatanya malah selalu mengkhianati dirinya lagi dan lagi. Langkah kaki itu melangkah dengan gontai. Hijab dan dress syari berwarna moca yang ia padupadankan dengan sepatu kets berwarna hitam itu semakin membuat langkahnya terasa ringan meskipun masih saja ada yang mengganjal dalam benak dan juga pikirannya. "Sekali lagi, maafkan aku, Mas!" Ia seka bulir bening sebelum akhirnya ia masuk ke dalam angkutan online yang sudah lebih dulu dia pesan saat di dalam hotel tadi, penerbangan malam pun di pilih Aisyah untuk segera tiba di kampung halaman kedua orang tuanya. Sementara itu, di kamar hotelnya. "Aisyah!" Bram langsung masuk ke dalam kamar, namun tak ada siapa pun yang dia temui di sini. Pria itu pun kemudian berjalan men
Jangan menggenggam apa yang tidak dapat sesuatu yang btidak dapat kau raih! Benda pipih itu terjatuh bersama tubuh mungil Aisyah. Setiap kali kesedihan itu datang, maka tak ada yang bisa ia cegah pada deraian telaga nelangsa yabg dengan setia selalu ada. Ada di saat suka dan bahagia, meskipun dalam arti dan makna yang berbeda. "Kenapa selalu begini, Mas? Kenapa ketakutanku selalu saja menjadi kenyataan?" Aisyah menangis pilu tanpa suara, dadanya yang sesak itu semakin membuat luka batinnya semakin menganga. Sedangkan pertanyaan demi pertanyaan kedua orang tuanya tadi pun belum bisa ia beri jawabannya, lalu sekarang, muncul kenyataan sebagai jawaban tanpa harus diungkapkan. Lama dia pandangi wajah teduh suaminya tersebut. Ugh! Bramantyo melenguh merenggangkan otot-otot tangannya, menggeliat sebentar lalu beranjak pelan dari tidurnya. "Aisyah!" kata Bram lalu mencari keberadaan istrinya tersebut. "Ya Tuhan, kenapa tidur di lantai sih?" Bramantyo pun turun dari ran
"Soffi!" Cukup satu kali panggilan itu digaungkan oleh Bramantyo, "Apa, Sayangku? Kenapa galak banget sih?" kata Soffi dengan suara yang dibuat-buat agar terdengar seksi di telinga Bramantyo. "Apa maksud kalimat ancaman yang kamu kirimkan ke ponselku, Soff? Kamu tahu, istriku sudah membacanya?" "Lalu? Dia nangis, terus minta cerai? Ya bagus dong, Bram, itu artinya kamu gak usah susah-susah lagi minta izin poligami sama istri udikmu itu, iya, kan? Harusnya kamu itu berterima kasih sama aku, bukan malah marah-marah gak jelas kayak gini!" kata Soffi dengan satu tangannya memukul dada bidang Bram pelan. Bram meraih tangan itu lalu berkata, "Kamu keterlaluan, Soff, aku muak!"
"Soffi!" Cukup satu kali panggilan itu digaungkan oleh Bramantyo, "Apa, Sayangku? Kenapa galak banget sih?" kata Soffi dengan suara yang dibuat-buat agar terdengar seksi di telinga Bramantyo. "Apa maksud kalimat ancaman yang kamu kirimkan ke ponselku, Soff? Kamu tahu, istriku sudah membacanya?" "Lalu? Dia nangis, terus minta cerai? Ya bagus dong, Bram, itu artinya kamu gak usah susah-susah lagi minta izin poligami sama istri udikmu itu, iya, kan? Harusnya kamu itu berterima kasih sama aku, bukan malah marah-marah gak jelas kayak gini!" kata Soffi dengan satu tangannya memukul dada bidang Bram pelan. Bram meraih tangan itu lalu berkata, "Kamu keterlaluan, Soff, aku muak!"
Jangan menggenggam apa yang tidak dapat sesuatu yang btidak dapat kau raih! Benda pipih itu terjatuh bersama tubuh mungil Aisyah. Setiap kali kesedihan itu datang, maka tak ada yang bisa ia cegah pada deraian telaga nelangsa yabg dengan setia selalu ada. Ada di saat suka dan bahagia, meskipun dalam arti dan makna yang berbeda. "Kenapa selalu begini, Mas? Kenapa ketakutanku selalu saja menjadi kenyataan?" Aisyah menangis pilu tanpa suara, dadanya yang sesak itu semakin membuat luka batinnya semakin menganga. Sedangkan pertanyaan demi pertanyaan kedua orang tuanya tadi pun belum bisa ia beri jawabannya, lalu sekarang, muncul kenyataan sebagai jawaban tanpa harus diungkapkan. Lama dia pandangi wajah teduh suaminya tersebut. Ugh! Bramantyo melenguh merenggangkan otot-otot tangannya, menggeliat sebentar lalu beranjak pelan dari tidurnya. "Aisyah!" kata Bram lalu mencari keberadaan istrinya tersebut. "Ya Tuhan, kenapa tidur di lantai sih?" Bramantyo pun turun dari ran
Kecewa adalah saat kamu merasa kehilangan, meskipun kamu tidak memilikinya sejak awal. Kata-kata itu sepertinya mampu untuk mewakili perasaan Aisyah saat ini. Dia belum memiliki tubuh ataupun perasaan Bramantyo, namun dia kecewa karena yang dia perjuangan nyatanya malah selalu mengkhianati dirinya lagi dan lagi. Langkah kaki itu melangkah dengan gontai. Hijab dan dress syari berwarna moca yang ia padupadankan dengan sepatu kets berwarna hitam itu semakin membuat langkahnya terasa ringan meskipun masih saja ada yang mengganjal dalam benak dan juga pikirannya. "Sekali lagi, maafkan aku, Mas!" Ia seka bulir bening sebelum akhirnya ia masuk ke dalam angkutan online yang sudah lebih dulu dia pesan saat di dalam hotel tadi, penerbangan malam pun di pilih Aisyah untuk segera tiba di kampung halaman kedua orang tuanya. Sementara itu, di kamar hotelnya. "Aisyah!" Bram langsung masuk ke dalam kamar, namun tak ada siapa pun yang dia temui di sini. Pria itu pun kemudian berjalan men
"Kamu?" Soffi memelototkan matanya, wanita itu tetap memaksa untuk duduk di samping Bram, namun, Leo tak tinggal diam. "Apa Anda ingin posisi Anda di kantor digantikan dengan orang lain? Baiklah!" Tut! Panggilan suara di ponsel Leo pun berdering. "Oke!" kata Soffi yang akhirnya harus duduk di samping Leo. Wajah wanita itu tampak tak suka dengan rahang mengejang. Sementara Bram tengah fokus pada layar laptopnya. "Le, coba lihat perubahan data pada bulan lalu!" kata Bram seraya memperlihatkan layar laptopnya kepada Leo yang duduk di sampingnya. "Mas, ponselmu bergetar!" kata Aisyah memberitahu suaminya yang tengah sibuk itu.
"Pacar kamu, Mas!" Sungguh, bibir dan hati Aisyah tidaklah bisa diajak untuk saling satu rasa kali ini. Bibirnya tersenyum, tapi hatinya menangis, tangis yang tak ingin dia tampakan di depan siapa pun, terutama wanita yang bergelar pacar gelap suaminya itu. Bram menoleh, tatapannya datar namun tersirat sebuah kekhawatiran di dalamnya. "Hanya ingin mengingatkan, malaikat yang ada di bahu kanan dan kirimu gak pernah libur!" Setelah berucap demikian, Aisyah memilih untuk melanjutkan langkah kakinya seorang diri. Menoleh sekilas , dan rupanya Bram tak memedulikan langkahnya itu. "Aku berdoa, karma itu tidak pernah berlaku untuk dirimu, Mas. Tuhan, tolong panjangkan rasa sabarku agar lebih ikhlas dalam membenarkan jalan suamiku yang keliru melalui tuntunanmu, bukan dengan ego dan amarahku," kata Ais
"Kita lihat saja, siapa yang akhirnya menjadi pemenang di antara kita berdua, Nona, aku atau kamu? Aku dengan dosaku, dan kamu dengan kebodohanmu!" Aisyah menutup layar ponselnya, sudah tak berniat lagi untuk membalas hujatan dari Soffi melalui pesan singkatnya itu. Malam begitu sunyi, denting jam yang biasanya akan kalah dengan hiruk pikuk bahkan hanya sekedar suara bisikan saja, akan tetapi kali ini, Aisyah bisa mendengar dengan jelas suara detik dan menit itu terus melaju meninggalkan sang waktu. "Mas, cepat pulang!" ucapnya dengan suara lirih dan bibir yang bergetar. Sementara itu di tempat berbeda, "Gak nginep di sini? Ini udah hampir pagi lho, Bram, istri kontrakmu itu juga pasti udah ngorok daritadi!" Soffi terus merayu Bramantyo yang terus saja berjalan ke luar kamarnya. "Sebenarnya iya, tapi, aku udah bilang kalau akan pulang meskipun larut, udah ya, cukup untuk malam ini. B
"Mikirin apa?" Aisyah tersadar dari lamunannya, ternyata ucapannya tadi hanya mampu dia ucapkan di dalam hatinya saja. Menggenggam luka yang tak berdarah, namun sanggup membuat jiwanya melara payah. Malam semakin larut, tak ada lagi suara apa pun yang akhirnya semakin membuat kesunyian dan kesedihan Aisyah semakin menggunung. "Ponselku!" ucapnya, lalu wanita dengan piyama merah muda itu lekas meraih ponsel yang masih ada di dalam tas punggungnya tadi. "Pesan? Ini nomor siapa?" kata Aisyah saat melihat sebuah pesan berikut gambar di layar ponselnya. Brak! Benda pipih itu pun jatuh meluruh ke lantai bersamaan dengan tubuh pemiliknya. "Ternyata dugaanku benar, Robb. Apa yang harus hamba lakukan?" katanya dengan dada yang
Mendengar ucapan itu, Soffi pun meradang, ia kepal tangannya, lalu mendekat, "Heh, aku gak bicara sama kamu ya, jadi ucapanmu itu gak dibutuhkan di sini, lebih baik diam!" kata Soffi dengan nafas angup-angip naik-turun. "Kamu memang tidak sedang berbicara denganku, Nona. Akan tetapi, tolong jangan pura-pura lupa ingatan ataupun amnesia jika saya ini adalah istri dari pria yang dengan tidak tahu malunya Anda cintai dan ingini!" kata Aisyah telak. Soffi terdiam, matanya membelalak dengan bibir membisu, ia akan kembali bicara, namun, "Mas, apa sudah paripurna hasilnya?" kata Aisyah. Namun, tak ada jawaban ataupun pergerakan dari suaminya, hingga wanita bertubuh mungil itu pun memilih pergi pergi meninggalkan suami bersama gundiknya tersebut. "Bram, jangan tinggalin aku!" Bramantyo berhenti sejenak, tubuhnya mematung tanpa menoleh. "Aku harus menyusul istriku, Soffi, maaf!" katanya, lalu kembali mengayunkan langkah kakinya, bergegas. "Tapi aku kangen Bram, ayolah, aku
Aisyah terdiam, tubuhnya membeku dengan bibir mengatup, meskipun rasa sakit di dalam hatinya itu sungguh begitu payah u untuk dia lerai, namun dia harus tetap tenang dalam air mata yang menggenang di dalam perasaan dan juga hatinya. "Soffi?" Bramantyo segera berdiri, namun tidak melangkah dan hanya diam di tempat. "Bram, tadi pagi aku ke apartemenmu lho, tapi istri kontrakmu ini menghalangi jalanku," kata Soffi menunjuk Aisyah dengan tatapan sinis penuh kebenciannya. "Ikut aku!"Bramantyo menarik tangan Soffi pelan. "Apa sih, Bram? Kenapa main tarik-tarik kayak gini? lepasin, sakit!" rintih Soffi yang terus mengusapi pergelangan tangannya. "Kita akan bicara, tapi bukan sekarang dan bukan di sini juga, orang-orang papaku selalu mengawasi gerak-gerikku, aku nggak mau kamu jadi sasaran kemarahan Papa.Untuk hari-hari ke depan jangan dulu menghubungi apalagi menemuiku, interaksi kita cukup di k