"Sudah sampai."
Rhea membuka pintu mobil dan turun secepat yang ia bisa. Gara-gara masih memikirkan kejadian memalukan itu, dia bahkan tidak menyadari bahwa mobil telah memasuki area rumah Hansa sebelum akhirnya mobil mereka berhenti tepat didepan rumah berwarna biru dengan empat pilar putih yang menjulang.
Dalam sekali lihat, kediaman rumah Hansa lebih besar dari rumah keluarganya. Tetapi bangunan itu sendiri tampak kuno dan membosankan seperti pemiliknya. Khas bangunan rumah mewah biasa tanpa ada sisi unik seperti yang dimiliki rumahnya.
Rhea melirik Hansa. Suaminya itu tengah berdialog dengan wanita paruh baya yang Rhea tebak dia adalah kepala pelayan rumah. Sembari menunggu obrolan mereka selesai, Rhea mencoba melihat-lihat teras depan.
"Rhea sayang," Hansa memanggil dalam nada lembut.
Kepala pelayan dan beberapa pelayan lainnya dibelakangnya yang mendengar panggilan itu terkejut bukan main mendengar bosnya berbicara lembut. Itu tidak berarti Hansa adalah majikan yang kasar, hanya saja Hansa adalah tuan yang dingin dan irit bicara, sekali bicara dia selalu memakai nada datar seperti biasa. Ini kejadian langka.
Jeremy menahan tawa saat melihat mereka saling membulatkan mata dan melirik satu sama lain untuk sekedar tahu kuping mereka tidak memiliki masalah pendengaran mendadak.
Alis Rhea berkedut ketika mendengar panggilan menggelikan yang disematkan setelah namanya. Rhea berjalan mendekat.
Hansa merangkul pinggangnya dengan mesra. Rhea akan meninjunya jika mereka berdua sedang sendirian. Sayangnya saat ini ada banyak pasang mata yang melihat mereka dan Rhea tahu betul Hansa memanfaatkan situasi ini.
"Ini adalah Bi Darsa yang aku ceritakan tadi. Dia adalah kepala asisten rumah." Beritahu Hansa.
Rhea tersenyum dan menawarkan jabat tangan sebagai salam. Bi Darsa berumur sekitar 50 tahunan, memiliki tahi lalat di bawah sudut kiri bibirnya, berwajah teduh dan memiliki senyum lebar. Dia mendapatkan persepsi pertama yang baik di matanya. Itu adalah penilaian singkat Rhea. Menjadi artis, dia mengasah kemampuan analisisnya. Hey, dunia hiburan itu keras. Agar bertahan didalamnya, dia harus pintar menerka-nerka setiap orang yang berurusan dengannya mengenai apa orang itu benar-benar tulus padanya atau memiliki motif udang dibalik batu.
"Sayang, kau bisa melihat-lihat rumah terlebih dahulu. Kabari aku atau yang lainnya jika ingin sesuatu."
Masih dengan ekpresi bosan Rhea menyetujui saran Hansa dan mulai berjalan menuju samping rumah kanan mereka dimana terdapat tanah lapang yang hanya ditumbuhi rerumputan. Dalam sekali lihat, Rhea telah memutuskan itu akan menjadi dimana lokasi taman bunganya dibangun. Lima langkah dibelakangnya, ada dua pelayan yang ditugaskan untuk menemaninya. Mereka masih muda, sekitar 24 tahunan. Nama mereka Sinta dan Rani jika Rhea tidak salah ingat.Itu sangat disayangkan bahwa Hansa tampaknya tidak memiliki keinginan untuk memperindah rumahnya. Tidak ada bunga diarea rumah. Sejujurnya, bunga satu-satunya yang dilihatnya di sini adalah bunga bakung yang tumbuh di gerbang depan. Selebihnya, itu ditanami pohon-pohon akasia yang tampaknya diatur presisi dan direncanakan. Rhea tahu dia sibuk, tetapi membuat rumah nyaman memiliki dampat positif yang besar. Tampaknya dia punya pekerjaan besar untuk membuat tempat ini menjadi rumahnya selama dua tahun.
Dilain tempat, Hansa menepuk-nepuk pundak Jeremy yang mendadak panas dingin. Siap menerima semprotan karena menginjak rem tiba-tiba yang bisa membahayakan keselamatan mereka. Itu tidak sengaja tentu saja. Lagipula bukan salahnya jika terlalu terkejut karena baru melihat sisi bosya yang lain yang bersifat kontradiksi dari sikapnya selama ini.
"Jeremy, kerja bagus." Beritahu Hansa. "Bonus bulan ini akan bertambah dua kali lipat."
Jeremy ternganga.
Hansa terkekeh melihat ekspresi asistennya itu dan menepuk bahunya sekali lagi sebelum pergi untuk menyusul istri kesayangannya.
***
"Ini bagian dapurnya." Hansa menerangkan.
Hansa telah mengusir dua pelayan itu agar dia bisa berduaan dengan Rhea. Ia dengan semangat memperkenalkan bagian-bagian dalam rumah di lantai pertama.
Dapurnya berukuran lebar dan bersih, langsung menyatu dengan ruang makan dimana meja makan berbahan kayu jati berdiri dengan kokoh namun tetap memancarkan estetika ruangan. Dinding yang memisahkan bagian dalam dan luar telah diganti seluruhnya dengan kaca tembus pandang sehingga Rhea bisa melihat kumpulan pohon akasia yang berdahan rindang jika duduk di bagian sisi kanan meja.
"Ini adalah Bi Asih."
Rhea menatap wanita yang baru datang dari ruangan lain yang segera menyambut mereka.
"Dia juru masak kita. Dia wanita yang tangguh, dulunya bekerja sebagai koki kapal pesiar sebelum pensiun dan disinilah aku membawanya." Jelas Hansa.
"Kamu mau makan apa nanti malam?"
"Terserah. Asal jangan mengandung kacang. Aku memiliki alergi parah dengan itu."
Rhea memastikan Bi Asih tahu makanan yang menjadi alerginya. Dia melihat orang lain berjalan mendekati mereka.
"Ini anakku. Mia." Bi Asih memperkenalkan.
Rhea taksir umurnya lebih muda darinya. Dia manis dan cantik dengan rambut ikal panjangnya. Mia tidak memakai seragam hitam khas pelayan di rumah ini yang berarti dia bukan.
"Dia terkadang datang untuk menemaniku bekerja dan membantu pekerjaan lainnya disini." Bi Asih melanjutkan.Mia memandangnya singkat sebelum beralih ke Hansa dan tersenyum manis. "Kamu pasti lelah, mau aku buatkan teh hijau seperti biasa?" Tawarnya.
Rhea menahan diri untuk tidak mendengus. Mia menyukai Hansa, itu sudah jelas. Tetapi dia tidak tahu dia terlalu bodoh atau apa untuk sengaja memperlihatkan itu didepan wajahnya.
"Lain kali saja. Aku harus mengajak istriku berkeliling."
Hansa mengajaknya ke lantai dua. Lantai dua lebih terasa rumah yang sebenarnya dibanding lantai pertama. Ada banyak foto-foto yang dipanjang di dinding beralas beludru merah. Hansa menuntunnya melewati ruangan-ruangan lain sebelum berhenti di depan pintu paling sudut.
Hansa membuka pintu lebar-lebar, dan menunjukkannya ke Rhea. "Kamar kita." Ucapnya.
Alih-alih mengagumi kamar berdinding abu-abu muda dengan tingkat kerapian sempurna. Rhea bersedekap dada dan menatap suaminya.
"Kenapa aku harus sekamar denganmu? Rumah ini pasti punya banyak kamar kosong yang bisa aku gunakan."
"Kenapa ya?" Hansa berpura-pura bingung. Dia menyibakkan tirai sehingga cahaya dari luar bisa masuk. Lalu berbalik memandang Rhea dengan senyuman gelinya.
"Sudahlah."
Rhea menyadari bahwa kopernya bahkan telah terdampar di depan pintu kamar lain yang ia yakini sebagai ruang klosetnya.
Dia tengah melihat-lihat judul-judul buku di rak Hansa yang rata-rata berisi tentang bisnis dan bacaan berat lainnya sebelum dia kejutkan dengan tangan Hansa di kedua bahunya, memeluknya dari belakang. Dia tersentak kecil.
"Pasangan sungguhan tidur di satu kamar." Hansa berbisik tepat di daun belakang telinganya. Nada menggoda terselip dalam kalimatnya.
Untuk sesaat Rhea merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Untungnya sebelum mati membeku dengan pipi sewarna tomat, Hansa langsung menuntunnya ke arah jendela berada.
"Lihat yang disana." Tunjuknya.
Dari jendela, Rhea bisa melihat bentangan rumput yang ia ingin jadikan lokasi kebunnya. Oh? Dia tahu maksud Hansa.
"Itu akan menjadi taman." Hansa memberitahu. "Bayangkan kita bangun tidur menyambut pesona cahaya pagi sambil memandangi bunga matahari dari jendela? Bagus kan?"
"Ya." Rhea berbisik mengakui. Terpana membayangkan perkataan Hansa.
Sepertinya menjadi istri Hansa tidak seburuk yang ia pikirkan.
Segalanya tampak vivid. Dia mengintip dari balik jendela kereta kudanya hanya untuk menemukan deretan pohon yang berjejer disepanjang perjalanan yang terlihat tiada ujungnya. Matahari telah tenggelam, hanya menyisakan semburat jingga yang terlihat dari sela-sela batang pohon yang setiap saat tampak semakin berubah menjadi kelabu menyeramkan. Suara-suara hewan penghuni hutan mulai terdengar. Dimulai dari bunyi jangkrik hingga burung gagak yang bertengger diantara rating pohon. Dia mulai menyesali keputusannya untuk memulai perjalanan di siang hari sehingga harus membelah rimba hutan saat malam. Melakukan perjalanan di malam hari sangat riskan dan rawan. Menyusuri hutan yang sebulan lalu sempat terkenal karena penjambretan dan sarang penyamun tentu berada di diatas level yang berbeda. Seperti bunuh diri atau sengaja masuk mencari petaka. Dia sendiri tahu itu. Selain ancaman dari gerombolan bandit dia juga harus mewaspadai serangan hewan buas yang bisa tiba-tiba muncul
Rhea mendengar suara Mia di belakang. Bisik-bisik antar pelayan langsung menyebar, Rhea bisa menangkap apa yang mereka bicarakan adalah betapa selesai Rhea sekarang dan dia akan segera diusir Hansa.Rhea tidak ambil pusing, dia menatap kepingan-kepingan vas yang berceceran di antara meja dan lantai, bercampur dengan darah Karna. Vas itu memang terlihat unik, tapi itu hanya sebuah vas. Tidak seperti Rhea, Karna sangat ketakutan melihat apa yang telah ia lakukan. Dia ingat dulu ada salah satu pelayan yang secara tidak sengaja menggores bagian leher vas hingga meninggalkan bekas dan Hansa langsung memecat pelayan yang malang itu. Menunjukkan bahwa Hansa sangat tidak menoleransi orang-orang yang merusakkan barang peinggalan orangtuanya dan sekarang dia memecahkan satu. Secara teknis dia tidak sengaja melakukannya dan itu karena Rhea. Ya, salahkan Rhea saja! Rhea masih acuh tak acuh meski orang-orang disekelilingnya gempar hanya karena sebuah vas yang hancur. D
"Lihat, dia memberikan aku kuasa penuh atas rumah ini." Rhea bersolek penuh kemenangan. Karna tersenyum kecut, lalu menggelandang pergi.Para pelayan saling berkomunikasi dalam diam. Tampaknya berita yang beredar di sudut-sudut rumah tentang majikannya sangat mencintai Rhea itu benar. Para pelayan berusia muda diam-diam iri dengan si aktris yang berhasil menaklukkan seorang Hansa Adiwinata."Jadi, aku menginginkan semua pegawai di rumah ini untuk berkumpul satu jam kemudian. Diluar." Perintahnya.Mereka mengangguk.Rhea menatap Mia yang masih berdiri di sudut. "Kau," tunjuknya. "Jika kau begitu tidak punya kesibukan hingga selalu kesini, kau bisa mulai menulis surat lamaranmu."Dia berdiri dan menepuk-nepuk piyamanya dalam rangka untuk meluruskan."Bersihkan kekacauan ini."Pada akhirnya dia memanggil Rani dan Sinta untuk memindahkan pakaian di kopernya ke lemari. Itu juga membuat Rhea baru sadar kalau lemari pakaian
"Atau... Cinta dari kehidupan sebelumnya?"Hansa menegang ditempatnya. Dia selalu berpikir bahwa sepupunya orang yang berpikiran pendek tetapi tampaknya dia salah. Sepupunya gila."Sekarang kau mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal." Ia membalas."Memang tidak masuk akal!" Karna menyetujui. "Tapi menikahi Rhea juga langkah yang tidak masuk akal!" Pungkasnya.Sekarang setelah diucapkan, Karna merasa ucapannya memang keterlaluan. "Sudahlah, kamu tampaknya memang sedang di mabuk cinta."Dia beranjak berdiri untuk pergi, tapi sebelumnya dia memberi nasehat, "Hanya mau mengingatkan, hati-hati dengan cinta, karena deritanya tiada akhir."Mungkin Rhea entah bagaimana bisa menaklukkan hati baja Hansa. Mungkin, Hansa memang entah karena eror di otaknya atau tekanan pekerjaan sehingga menjadi rada sinting sehingga jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Rhea yang memakai gaun pengantin. Semua kemungkinan itu tetap tidak mengubah bahwa Hans
"Berhenti disini."Meski bingung, Jeremy menghentikan mobilnya. Dia selalu memarkir mobilnya tepat di depan rumah Hansa untuk mengantar jemput Tuannya itu. Tapi dia tetap mematuhi perintah yang diucapkan Tuannya meski akhir-akhir ini banyak permintaan aneh.Hansa segera keluar dan menyuruh Jeremy memakirkan mobilnya ke tempat biasa. Bukan tanpa alasan dia meminta turun disini. Dia melihat istrinya tengah bermain dengan anjingnya dan Hansa berniat untuk langsung menemuinya.Dia melepaskan jasnya dan melampirkannya ke tangan kirinya. Semakin dia dekat dengan mereka, dia bisa mulai mendengar tawa kecil Rhea yang tengah bersenang-senang melempar boneka tulang untuk diambil anjingnya."Bersenang-senang?" Ia menghampiri.Rhea menoleh kearahnya, "Little White Sangat pintar." Beritahunya.Little White?Anjing itu menginterupsi mereka dengan menempel ke kaki Rhea dan menjatuhkan mainannya. Menatapnya dengan ekor bergoyang-goyang, meminta
Tangannya ditarik paksa.Dia tidak punya waktu untuk berduka mengenai kehilangan dua pelayan setianya. Arya memaksanya untuk turun dari keretanya yang telah rusak, merangsek kedepan sambil mengayunkan pedang ke arah musuh yang mendekati mereka.Kakinya tidak sengaja tersandung sesuatu dan saat dia melihat kebawah, dia berteriak. Dibawahnya ada kepala manusia yang terpenggal. Tubuhnya bergetar hebat. Dia sangat ketakutan sekarang."Tolong pejamkan matamu putri." Perintah Arya yang langsung dipatuhinya.Arya menggendongnya. Dia bisa merasakan cengkraman kuat di lengannya. Tubuhnya berjengit ketika mendengar dentingan pedang yang terdengar keras di lakukan didekatnyaDia berdoa. Berdoa kepada Sang Hyang Widhi untuk selamat dari kematian hari ini. Berdoa agar Arya mendapat kekuatan untuk bisa menghalau para perampok bengis itu.Dia merasa tubuhnya ditempatkan ke sesuatu. Dia membuka matanya dan melihat bahwa dia telah berada di atas kuda m
Rhea bertatapan dengan mata penolongnya. Dia segera membawanya masuk ke dalam gedung yang dengan kaca satu arah membuat para wartawan tidak bisa membidik mereka."Terimakasih." Rhea sangat terbantu akan pertolongan Sebastian.Mereka saling kenal satu sama lain. Rhea dan Sebastian adalah aktris dan aktor utama agensi. Sebastian bergabung tak lama setelah dia menandatangani kontrak. Mereka sekarang adalah ikon agensi Eureka dan dekat dengan CEO nya. Meski begitu, jalan karir mereka berbeda. Rhea dikenal sebagai pemeran ketiga yang selalu antagonis dan anti hero. Sedangkan Sebastian memiliki karir meroket dengan menjadi pemeran pria utama."Mereka menggila sejak kemarin." Ucap Sebastian.Mereka berjalan beriringan. Meski mereka jarang bertemu dalam proyek film, sudah bukan rahasia bagi orang dalam agensi bahwa mereka berteman satu sama lain. Pertemanan senior kata mereka. Sebastian sendiri kemarin menghadiri pernikahan Rhea dan meski terkejut dengan ke
"Sudah sampai."Kay mematikan mesin mobilnya. Dibelakang, Rhea melepaskan seatbeltnya. Tidak lupa kembali memakai kacamata hitam andalannya dan tas jinjing di tangan kirinya."Tidak ingin kutemani masuk?" Kay memastikan kembali.Gedung didepannya ini adalah salah satu gedung terbesar di ibukota. Seluruh gedung telah dibeli dan digunakan seluruhnya oleh Prisma Group yang memiliki banyak anak perusahaan."Tidak usah. Tinggal masuk saja. Hansa bilang dia telah mengutus Jeremy untuk tur perusahaan." Rhea tertawa sendiri di bagian 'tur perusahaan'."Benar, tur perusahaan." Kay didepan mengangguk-angguk iri."Besok jangan lupa ada wawancara. Aku harus membawamu ke salon rambut terlebih dahulu." Kay mengingatkan."Okay." Balas Rhea sambil dengan melakukan gerakan tangan.Seperti yang Hansa janjikan. Jeremy telah menunggunya di pintu masuk. Rhea belum mengenal Jeremy, yang dia tahu, pria itu asisten kepercayaan Hansa."Mar
Rhea menatap dirinya di cermin. Jelas dia sedang tidak dalam keadaan baik. Rambutnya kusut karena ia sendiri lupa kapan menyisir rambut. Pelupuk matanya sedikit bengkak karena habis menangis satu malam. Rhea tidak menyukai tampilannya.Dia melewatkan sarapan bersama pagi ini karena ingin menghindari ibunya. Dia juga akan keluar rumah hari ini, pergi ke tempat baru yang akan ia tuju mengikuti seberapa jauh dia bisa mengendarai mobilnya. Sendirian, tanpa memberitahu Kay atau siapapun. Dia ingin menghilang sejenak, menenangkan diri, dan berpikir mengenai masa depannya yang baru.Dia memakai jaket dengan kaos putih dibaliknya dan ripped jeans yang ia beli beberapa tahun yang lalu yang untungnya masih muat. Dia memakai pakaian yang seadanya yang masih tertinggal di lemarinya.Ketika dia keluar, dia berpapasan dengan Eda.Adiknya bertanya, "Mau kemana?""Pergi." Balasnya singkat.Eda menatapnya selama beberapa detik sebelum mengangguk, lalu pergi.
Dua hari setelah dia bangun dari koma dan dinyatakan sehat, dia akhirnya bisa meninggalkan rumah sakit. Rhea senang dengan hal itu karena dia tidak menyukai berlama-lama tinggal di ruangan dengan alat-alat kesehatan dan bau obat yang menguar di setiap dindingnya.Berbeda dengan sikap penuh bunga yang ditampilkan Rhea. Christina menampilkan aura sebaliknya. Bukan karena dia tidak suka anaknya sembuh, Christina bahkan hampir gila ketika menunggui Rhea agar terbangun dari komanya yang berjalan selama sepuluh hari. Hanya saja, dia sebal dan ingin mulutnya gatal untuk memarahi anak sulungnya itu yang sekarang duduk di kursi belakang mobil suaminya dengan Edward disampingnya.Rhea tidak seharusnya pulang kerumahnya. Dia harusnya pulang bersama Hansa, bukan bersama mereka.Christina sebagai ibu sudah menyadari hubungan Rhea dengan suaminya sedang kisruh alias tidak sedang baik-baik saja. Itu membuatnya bingung, dia hanya tidak mengerti jalan pikiran anaknya yang sepert
Hansa seketika mematung. Dia sangat terkejut dengan perkataan Rhea yang tiba-tiba mengungkit soal perceraian. Tangannya berhenti bergerak dan dia menatap Rhea yang sekarang tengah memalingkan muka dan menolak menatapnya.Kedua mertuanya yang berdiri disampingnya juga sangat terkejut atas perkataan Rhea. Bagaimana tidak? Kalimat pertama yang diucapkan Rhea selepas terbangun dari komanya adalah meminta perceraian didepan suaminya yang merawatnya dengan baik ketika dia tenggelam dalam koma."Rhea, apa kau sadar apa yang kau katakan?" Christina bertanya dengan penuh kehati-hatian. Dia melirik menantunya yang wajahnya langsung berubah drastis dari kebahagiaan menjadi penuh tanda tanya.Rhea menolak untuk melihat mereka. Matanya menunduk dan lebih memilih melihat selang infus yang menyalurkan nutrisi ke tubuhnya."Kalian keluar saja. Aku ingin sendirian bersama Hansa." Ucapnya enggan.Christina ingin mendebat namun tangan Theodorus yang menyentuh bahunya
Rhea terduduk saking tidak bisa berdirinya dia setelah mengetahui akhir kisah dari Sekar yang ada dalam mimpinya. Itu bukan kisah yang akan dia harapkan. Rhea tidak pernah menebak Sekar akan berakhir mati di tangan Arya, juga tidak pernah menebak kehidupan pernikahan Sekar akan lebih sering terselimuti duri dibanding bahagia.Tanpa sadar air mata telah mengalir dari kedua matanya yang ia tujukan kepada Sekar yang masih duduk didepannya."Sekarang kamu telah tahu ceritaku." Sekar menatap Rhea dengan pandangan yang tak terbaca.Itu membuat Rhea semakin tidak mengerti kenapa dia harus memiliki pengalaman seperti ini. Dia sendiri tidak tahu dia masih hidup atau mati, dan sekarang dia sedang berhadapan dengan tokoh di mimpinya. Rasa-rasanya Rhea sudah tahu seperti apa keterkaitan antara mereka berdua tetapi dia mencoba untuk tidak berpikir kearah itu."Jatuh cinta membuat kita bodoh bukan?" Tanya Sekar, melanjutkan kisahnya dengan
Tepat hari minggu pertama sejak istana berduka atas kematian permaisuri, alun-alun kota ramai dengan berbagai kalangan yang kesemuanya punya satu tujuan. Melihat perang tanding antara rajanya dengan patihnya hingga salah satu diantara mereka mati.Mereka semua sudah tahu mengenai berita cinta segitiga diantara raja ratu dan patihnya. Rakyat biasa mengira itu hanyalah rumor yang dibuat untuk mencoreng nama permaisuri. Namun sekarang melihat dua pria itu bertanding yang kabarnya berhubungan dengan kematian Sekar membuat mereka tertarik mendengar gosip lebih dalam lagi.Pertandingan masih akan dimulai di sore hari namun saat siang alun-alun sudah padat dengan orang. Para pejabat kerajaan sudah berdiri di poskonya masing-masing. Terbagi menjadi dua kubu. Kubu pendukung Ayudhipa dan kubu pendukung Arya yang rata-rata dari prajurit bekas perang terakhir.Ketika matahari mulai tergelincir dari puncaknya, rombongan Aryalah yang pertama kali muncul. Dia
Arya langsung melepaskan gagang pedangnya. Seluruh tubuhnya gemetar ketika menyadari apa yang baru saja ia lakukan."Tidak," bisiknya.Dia terduduk lemas ditanah. Matanya menatap siapa yang ia hunus dengan pandangan tidak percaya.Ini semua tidak ada dalam rencananya.Ayudhipa lah yang ingin dia bunuh. Bukan perempuan yang dicintainya yang sekarang tengah berbaring di tanah didepannya dengan darah bersimbah di perutnya."Sekar!" Teriak Ayudhipa.Pria itu menatap pedang yang menancap di perut Sekar dengan ketakutan. Dia segera bersimpuh dan memangkunya."Rwanda!" Teriaknya. Memanggil bawahannya yang izin buang air kecil.Senopati muda itu datang tergopoh-gopoh mendengar teriakan rajanya. Matanya melihat kejadian didepannya dan keterkejutan serta ketakutan terlihat di matanya."Panggil tabib! Cepat!" Perintah Ayudhipa. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Matanya telah berkac
Laksita memberitahunya kabar. Kabar yang membuat dia langsung menebaskan pedangnya ke kumpulan bambu didepannya saking inginnya untuk membunuh seseorang. Tidak peduli dia tengah dilihat oleh pasukannya dibelakangnya.Mereka telah memenangkan pertarungan berdarah selama lima bulan sejak dia diutus memimpin wilayah barat. Arya telah mengerahkan seluruh kemampuan mengatur strateginya untuk menaklukkan pasukan koalisi tiga kadipaten paling barat yang ternyata lebih tangguh dari prediksinya. Lalu apa yang dia dapatkan? Hukuman mati dari raja menantinya di ibukota dengan tuduhan perselingkuhan yang tidak pernah dia lakukan bersama Sekar."Tenang Arya, kami disini berada disisimu." Ucap salah satu senopatinya yang segera diangguki yang lain.Namun itu tak menyurutkan kemarahan Arya yang ditujukan kepada rajanya."Bagaimana keadaan permaisuri?" Tanyanya kepada Laksita yang memang tidak ikut dengannya ke perang terakhir.
Sekar jelas-jelas sangat terkejut dan tersinggung dengan tuduhan yang Ayushita arahkan kepadanya. Bagaimana tidak? Dia tidak peduli dan sama sekali tidak ikut campur dengan kehamilan Ayushita sejak awal. Jika bukan karena adat pun dia tak akan mengunjungi selir itu. Kemarin pun dia datang hanya untuk kunjungan singkat. Kegilaan apa yang tengah Ayushita miliki hingga berani menuduhnya seperti itu?"Jaga ucapanmu selir Ayushita. Kau tahu sendiri aku tidak pernah berhubungan denganmu selain kemarin, itupun kau tahu sendiri aku melakukan apa di rumahmu." Balasnya dengan penuh penekanan.Tuduhan semacam ini hanya akan memunculkan rumor yang semakin menyudutkannya."Sebelum kedatanganmu, bayiku sehat-sehat saja. Tapi gara-gara kamu, aku harus kehilangan anakku!" Balas Ayushita histeris. Dia masih menangis terisak dengan tangan memegangi perutnya. Disampingnya seorang dayangnya tengah mencoba menenangkannya."Yang Mulia, kamu harus bersik
Bulan-bulan berlalu seperti lintasan sekejap mata. Kediaman Sekar masih tertutup dan tampak terlihat dingin dibanding rumah-rumah lainnya. Dia lebih suka tinggal di pendopo belakang rumahnya sambil menyesap teh dan melihat senja berakhir.Hubungannya dengan Ayudhipa masih renggang, sesekali dia menerima pria itu datang dan bermalam di rumahnya tapi hubungan mereka tidak sebagus sebelum mereka menikah.Hari ini dia akan menemui salah satu selir. Kehamilan selir Ayushita telah berusia lima bulan dan sesuai adat istiadat, sang permaisuri harus mengunjunginya dan memberi berkat ke bayi itu. Karena sesuai legalitas, setiap anak yang dilahirkan selir akan menjadi milik permaisuri dan anak itu akan memanggil permaisuri dengan sebutan 'ibunda'.Sekar memakai pakaian resminya yang berwarna merah. Dia naik tandu untuk pergi ke kediaman selir yang dituju dengan sepuluh dayang dan kasimnya yang mengikuti dari belakang."Salam Kanjeng Ratu." Serempak