"Aku. Tidak. Mau."
Ramlan memijit pelipisnya yang terasa berdenyut mendengar Rendi terus menolak keputusannya. Sungguh, anak bungsunya itu sangat pembangkang, belum lagi ia harus dihadapkan dengan seorang menantu labil tidak kalah menyebalkan.
"Kamu pikir aku mau satu sekolah dengan mu? Tidak," Anya membalas ketus, sembari bersedekap di kursinya. Menatap Rendi dengan marah.
Ramlan membuang nafas kasar. Sudah dua minggu sejak Anya bergabung dalam keluarganya dan gadis itu bahkan tidak sekalipun tampak menghormatinya. Apakah ia terlalu lunak kepada anak dan menantunya? Entahlah, ia hanya membutuhkan Rayland sekarang; membantunya mengatur kedua bocah tersebut.
Rayland sendiri sedang dalam perjalanan bisnis, dan baru akan pulang besok bersama anak pertama beserta menantu terbaiknya—Tania. Sementara anak keduanya berkunjung ke Inggris tentu ditemani istrinya—Ui Anh.
Ia lelah. Sungguh!
"Dengan alasan apa kamu menolak, Rendi?" Ramlan menatap anak bungsunya dengan mata sayu. Bibirnya menipis menahan gejolak kata-katanya. Dia harus sabar, pikirnya.
Pemuda 16 tahun itu menoleh, balik menatap ayahnya dengan kesal. "Tentu, sudah cukup aku melihat wajah jeleknya di rumah, aku tida—"
"Siapa yang kamu sebut jelek?"
Semua orang di meja makan menoleh termasuk Anya, tepat setelah mendengar suara bariton terucap dengan dingin dari mulut Rayland. Pria itu baru saja memasuki ruang makan, masih dalam balutan pakaian formalnya, sementara Antonio menyusul di belakangnya.
Pria tampan berusia 25 tahun itu menatap Rendi dengan datar, kemudian beralih kepada seorang gadis yang tidak lain adalah Anya sendiri, dengan pandangan sama datarnya.
"Kak Ray? Kamu sudah pulang? Kupikir kamu akan pulang besok bersama Kak Ryan dan Kak Tania?"
Rendi bertanya keheranan. Tetapi alih-alih menjawab, Rayland justru memasang tampang keruh setelah mendengar pertanyaan tersebut. Lantas, suasana meja makan yang hanya berisi Ramlan, Rendi, dan Anya, berubah sedingin es. Suasana hati Rayland yang mengerikan, sedang memburuk.
"Apa itu adalah jawaban dari pertanyaanku sebelumnya?" Rayland menekan kalimatnya sembari manik gelapnya menyorot sosok Rendi.
Sontak, Rendi menelan ludah. Ramlan bahkan sudah membuang nafas perlahan. Sementara Anya, jangan tanya, sebab gadis bodoh itu ketakutan.
Hidup bersama selama satu minggu—satu minggu lainnya tidak terhitung sebab Rayland berada di luar kota—Anya sudah cukup tahu bagaimana karakter suaminya ketika sedang marah. Sangat mengerikan.
Ada saatnya, seorang pelayan di mansion tanpa sengaja menjatuhkan secangkir teh di atas celana bahannya. Tanpa segan, Rayland meraih garpu dan hampir saja merobek kulit wajah pelayan itu, jika Antonio, tidak segera menarik si pelayan menjauh tepat pada waktunya.
Dan Anya menyaksikan kejadian, tepat di depan mata.
"Kak, sebenarnya, yang aku sebut jelek itu ...," wajah Rendi nampak gelisah, mimiknya menunjukkan reaksi aneh seolah menahan sesuatu. Ketika telunjuknya terangkat, dia melanjutkan, "Anya."
Anya langsung saja melongo. Dia jadi ingin mengutuk Rendi dengan perkataan lebih pedas, tetapi tidak berani mengingat bagaimana suasana hati Rayland saat ini. Anya tidak boleh membuat kekacauan.
Mendengar perkataan Rendi, tatapan Rayland semakin keruh. Bibir merahnya menipis dan aura jahatnya menguar.
"Seharusnya kamu sadar siapa yang kamu sebut jelek, Rendi," Rayland berucap dengan datar sembari langkahnya mantap menuju salah satu kursi di samping Anya. Lalu menatap gadis itu. "Dia istriku, asal kamu tahu," ucapnya, tidak dapat dibantah.
Di kursinya, Anya tanpa sadar tersenyum menang memandang Rendi. Sementara pemuda itu, menatap kakaknya dengan tidak percaya. Rendi sangat kesal, karena Rayland tampak membela Anya.
Namun, belum juga rasa senangnya sampai semenit. Anya harus mendapati fakta mengejutkan hingga membuat sisa-sisa kebahagiaannya menguap bagai air. Membawanya ke dasar terdalam di lautan gelap tak berpenghuni. Suram, penuh kesendirian tidak berujung.
Ketika dengan entengnya, Rayland berucap, "meskipun aku tidak suka padanya," dia menambahkan dengan mimik tenang, tanpa dosa.
Rasanya Anya ingin tenggelam.
Tolong! Tenggelamkan dia sekarang juga.
Tidak hanya ingin tenggelam. Anya pun ingin menangis darah, sesaat setelah mendengar ucapan itu keluar dari mulut cabai seorang Rayland Pram Adiptara—tidak lain dan tidak bukan—suaminya sendiri.
Di saat yang sama, Rendi telah terpingkal hebat mendengar perkataan sadis kakaknya untuk Anya. Seakan-akan, ia telah menang pertarungan tanpa harus ikut bermain.
Poor you Anya!
.
.
.
Gadis itu bahkan tidak bisa membalas.
Maka, di sinilah Anya sekarang.
Duduk diam di kursinya sembari berhadapan dengan gurunya tersebut, adalah kegiatannya saat ini. Lalu latar ratusan rak buku menjadi penghias di dalam perpustakaan mansion Adiptara, sebagai kelasnya. Miss Ani, oh! Sekedar informasi, guru tua ini ingin dipanggil Miss—menyuruhnya mempelajari pelajaran bahasa terlebih dahulu, kerena beranggapan kemampuan bahasa Anya sangat buruk.
Tampaknya, wanita yang mengaku sebagai salah satu orang kepercayaan keluarga Adiptara itu tidak menyukainya. Bayangkan, setelah pertemuan pertama mereka, sebut saja satu jam yang lalu setelah acara sarapan keluarga ini berakhir—wanita itu langsung tiba beberapa menit kemudian, setelah Rayland menghubunginya untuk mengajari Anya—dan menyeretnya ke dalam perpustakaan besar ini, sembari menilai kelayakannya sebagai istri Rayland.
Menjengkelkannya, ia terang-terangan menghujat Anya yang sungguh tidak pantas disandingkan dengan Rayland, tepat di hadapan gadis itu, tanpa difilter terlebih dahulu.
Belum apa-apa—
Anya sudah jengkel padanya!
"Jadi kamu tinggal di Panti Asuhan?" pertanyaan itu terlontar dari bibir merahnya yang mulai keriput, dengan nada yang begitu kentara, meremehkan.
Anya lantas memasang aura permusuhan yang tidak ditutup-tutupi, seraya bersedekap di hadapan Miss Ani. "Ya, aku tinggal di sana. Lalu kenapa?" Menahan diri untuk tidak memaki merupakan hal yang sulit. Anya pun demikian, sekarang ia kesulitan menahan diri untuk tidak membalas Miss Ani yang angkuh.
Sudut bibir Miss Ani berkedut. "Huh! Kasihan sekali Rayland." Tatapnya remeh kemudian ikut bersedekap. "Harus menikahi gadis sepertimu."
Tahan Anya!
Dia hanya orang tua jelek!
Mencoba tenang dan tidak peduli. Anya memasang senyum manis dibuat-buat kepada Miss Ani, yang masih saja menatapnya tidak suka. Apakah wanita tua itu membencinya karena telah merebut Rayland darinya? Oh, ya ampun! Jangan sampai itu benar, karena itu sungguh mengerikan. Kemudian, Anya mengambil salah satu buku di atas meja, lantas mengangkatnya sedikit.
"Mari belajar, Miss," katanya.
Miss Ani mendengkus. Tetapi tangannya ikut mengambil buku dengan sampul yang sama, lalu mulai membukanya.
"Buka halaman pertama, kita mulai dari awal!" dia berseru tegas.
Sementara Anya, hanya bisa menurut.
Anya tahu, bahkan sangat tahu posisinya yang entah beruntung atau tidak. Dinikahi seseorang yang sangat tidak terduga merupakan putra ketiga dari keluarga Adiptara, yang paling sadis dan juga tersohor. Merupakan keajaiban. Katakanlah, ia memang sangat tidak pantas bersanding dengan Rayland seperti yang dipikirkan Miss Ani. Itu sudah menjawab segalanya, kalau Anya bukan siapa-siapa.
Pertama, dari segi fisik, Anya sama sekali tidak cantik, ia hanya seorang gadis biasa berkulit pucat. Tinggal di panti asuhan, bekerja di minimarket yang besar di pusat kota—satu-satunya hal yang bisa ia banggakan—dan terakhir, dia bahkan sangat-sangat rusuh. Itu pun belum separuh dari ketidak-pantasannya untuk Rayland.
Anya bukanlah jenis gadis penurut, ia akan melawan selama itu dirasa benar. Dan adakalanya ia akan membuat orang lain pusing dengan tingkahnya. Tetapi, ia cukup manis untuk gadis seusianya dan dengan caranya sendiri.
Menjadi hal pertama dalam hidupnya, ia tidak bisa membantah seseorang selayaknya Rayland Pram Adiptara. Namun karena berpikir ia akan mudah dikuasai jika terus menurut, maka otak cerdasnya telah menyusun rencana; melawan pria itu suatu saat nanti. Yah, saat ini ia hanya terlihat sedikit penurut di awal. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukannya di masa depan.
Entahlah.
"Kamu melamun? Oh astaga, apa yang bisa aku harapkan dari gadis yang malas belajar seperti mu?" Anya tersadar, ketika mendengar teguran Miss Ani yang sarat akan sinisme.
"Aku tidak melamun, hanya sedang berpikir."
Untuk menghilangkan dirimu!
Miss Ani meraih rotan berukuran kecil tetapi cukup panjang, lantas memukul gadis itu di bahunya. "Jangan melamun," bentaknya.
Anya mendelik tajam. Tetapi tidak mengatakan apapun selain menatap nyalang wanita tua itu, lalu melanjutkan pelajarannya yang sama sekali tidak menyentuh radius otaknya.
Satu jam telah berlalu—
Dan selama itulah Anya mencoba mengikuti keinginan Miss Ani. Wanita itu memintanya memahami beberapa buku di atas meja, dan selama itu pulalah Anya tidak bisa memahami satupun apa yang telah ia baca.
Gadis itu sungguh bodoh!
Dan sekarang—ia bahkan merasa sangat bosan.
Mengangkat wajah dan mendapati wanita tua berkacamata tebal itu sedang fokus membaca. Anya mendapat pencerahan; sebuah siraman ide untuk menjahili Miss Ani yang akan membawanya pada kebebasan segera.
"Miss," panggilnya pelan. Tetapi Anya yakin Miss Ani masih bisa mendengarnya. Dia bahkan telah mengalihkan tatapannya dari buku, beralih menatap gadis rusuh tersebut.
Manik Miss Ani memicing. "Ada apa?" tanyanya was-was. Tampang jahil yang Anya tunjukkan patut ia curigai. Jari telunjuknya mengetuk-mengut meja dengan tidak sabaran. Berpikir mungkin saja Anya sedang merencanakan sesuatu.
Anya menyengir sembari tatapannya tertuju ke arah bawah meja. "Ada kecoa di deka—"
"Huaaaaa—"
Dan ....
Bingo! Anya berhasil!
Seperti yang gadis itu harapkan, Miss Ani menjerit ketakutan. Melompat ke sana kemari sembari mengangkat tinggi-tinggi roknya yang cukup panjang dan tanpa mau menatap Anya lagi, wanita tua malang itu keluar dari perpustakaan dengan mimik ketakutan.
"Bhuahaha ...." Anya terpingkal saat itu juga. Dan kemenangan pertamanya—sungguh membuatnya puas.
Karena keributan tersebut, beberapa pelayan di mansion mulai berhamburan menghampiri Miss Ani yang terus saja menjerit manja, sepanjang menuruni tangga dari lantai dua menuju ruang utama.
Sementara di sana, terdapat Rayland dan Ramlan yang tengah berbincang. Lantas, menatap heran kedatangan Miss Ani.
"Ada apa?"
Miss Ani menatap Ramlan yang baru saja bertanya. Wajahnya pias, bibirnya bergetar, dan kakinya tidak berhenti berjingkrak. "Kecoa ... di perpustakaan ada kecoa," katanya.
Sungguh, wanita itu benci makhluk kecil menjijikkan.
"Bagaimana bisa?"
Pertanyaan dingin itu berasal dari Rayland. Tatapannya menusuk ke arah wanita yang dulunya juga pernah menjadi guru privatnya, seakan mewakili jika apa yang wanita itu katakan tidak masuk di akalnya.
Miss Ani menelan ludah. Sejujurnya, ia masih saja segan dengan sosok putra Adiptara yang satu ini. Meski pernah menjadi gurunya saat menjalani masa pelajaran yang sama seperti yang saat ini Anya jalani. Tapi hal itu tidak lantas membuatnya cukup dekat dengan Rayland—kecuali, untuk sesuatu yang benar-benar pria itu butuhkan darinya—maka Rayland akan menghubunginya seperti beberapa jam yang lalu.
"Anya mengatakan jika di bawah meja ... ada kecoa."
"Dan Miss percaya?" Rayland menatap semakin dingin. Lalu tatapannya berpindah kepada salah seorang pelayan. "Panggilkan Anya," titahnya dengan suara tegas.
Ramlan seketika menghela nafas,
.
.
.
kamu dalam masalah, Anya.
Pertama, ia akan menghadapi sosok Rayland Pram Adiptara secara langsung. Dan sosok kedua, Antonio, yang seolah memiliki karakter copy-an dari tuannya. Akan ikut menjadi guru dadakannya saat suami tercintanya sedang sibuk.
"Ulangi!"
Anya seketika menggigil mendengar ucapan datar itu terus berulang. Dan merupakan ucapan yang sama untuk kesekian kalinya, ketika Anya menyerahkan lembar soal yang telah ia isi dengan jawaban kreasinya.
"Apa lagi sih yang salah?" tanyanya, begitu lesu. Nyatanya, ia sudah sangat mengantuk dan pria yang duduk di kursi kebesarannya itu seolah tidak peduli.
"Jawabanmu tidak pernah benar, Anya. Harus berapa kali ku jelaskan? Semua jawabannya bisa kamu temukan dengan rumus yang sama." Tatapan Rayland semakin dingin. Anya membeku di tempat.
Sayangnya, Anya sungguh tidak ingin mengerjakan soal sekarang. Dia kemudian menggeser meja kecil di hadapannya, dan menatap Rayland dengan tatapan memelas andalannya. "Wahai suami!" Ia mulai puitis. Tetapi anehnya, sudut bibir Rayland yang kaku karena terlalu jarang tersenyum—tidak—bahkan tidak pernah tersenyum, kecuali senyum sinis dan meremehkan, tiba-tiba saja mulai berkedut kecil tanpa ia sadari.
"Hmm?"
"Istrimu ini sungguh mengantuk, bolehkah—" tatapan Anya mengarah pada salah satu ranjang berukuran sedang, bersebelahan dengan ranjang lain, yang berukuran jauh lebih besar di samping kanannya di dalam kamar tersebut. Kemudian melanjutkan, "bolehkah aku tidur di ranjangku sekarang?"
Rayland bersedekap sambil bersandar di sandaran kursi, setelah meletakkan berkas-berkas yang sejak tadi pria itu baca, lalu menatap istri kecilnya dengan tampang datar.
"Tidak."
Anya melongo.
"Tapi aku benar-benar mengantuk dan sudah tidak tahan." Ia menyengir. "Boleh yah, aku tidur."
"Tidak! Sebelum kamu menjawab soal itu." Rayland bersikuku tetap pada pendiriannya.
"Aku tidak akan bisa menjawabnya." Anya kembali memelas. Sebisa mungkin memasang tampang menderita. Berharap akan membuat Rayland iba, lantas membiarkanya tidur. Tapi ....
Rayland justru mendengkus. "Setidaknya, jangan terlalu terang-terangan menunjukkan kalau kamu sungguh bodoh," dia mengejek dengan mulut pedasnya.
Setan!
"Oh ayolah! Kamu ingin aku mati?" Anya memberenggut sambil cemberut.
Melirik Anya sebentar, Rayland menjawab tenang, "tentu."
Manik Anya sontak membesar. Lalu menatap Rayland dengan pandangan tajam, seakan menunjukkan kalau ia protes dengan perkataan pria itu.
Dasar, itu mulut cabai bisa dikondisikan tidak!?
.
.
.
Dan seperti biasa, Anya tidak dapat membantah.
Pelayan malang itu mencoba peruntungan sekali lagi. Lagi-lagi mengetuk pintu jati besar di depannya dengan takut-takut, tetapi sebelum itu terjadi, sebuah suara sudah lebih dulu mendahuluinya, menghentikan apa yang akan dilakukannya.
"Biarkan dia bangun dengan sendirinya."
Si pelayan mengangguk, sedikit menunduk hormat kepada sosok Ramlan yang berdiri di ujung tangga sembari menatapnya. "Semalam dia mendapat hukuman. Jadi biarkan saja dia tidur."
"Baik, Tuan besar." Kemudian pelayan itu pergi.
Setelah kepergian si pelayan, Ramlan menatap pintu jati besar yang merupakan kamar putra ketiganya, yang saat ini telah mengalami penambahan jumlah penghuni, dengan senyum kecil di bibir. Lalu menuruni tangga menuju ruang makan.
Sementara di ruang makan, pria baya itu telah menemukan Rayland beserta putra bungsunya yang pembangkang—Rendi. Mereka berdua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Rayland dengan ipad di tangannya, sudah pasti, pria itu sedang bekerja.
Sedangkan Rendi yang duduk di tempatnya seperti biasa—sebelah kanan meja makan dan di kursi yang sama pula—sedang memainkan ponsel pintarnya. Sesekali membekap mulut, meredam suara tawanya agar tidak sampai meledak. Atau dia akan berakhir dihadiahi tatapan setajam tombak dari kakaknya yang paling menakutkan.
Rendi pun menoleh, ketika merasakan sosok Ramlan sudah duduk di kursi kebesarannya di meja makan itu. "Ayah sudah di sini, lalu di mana bocah itu?" Rendi bertanya, sebab hanya tersisa gadis bertubuh pendek itu lah yang belum menampakkan batang hidungnya.
Rayland meletakkan ipad-nya, sesaat setelah Rendi berucap. Kemudian tatapan dinginnya segera mengarah kepada adiknya. "Kamu jauh lebih bocah," timpalnya pelan, nyaris tidak terdengar. Sayangnya, Rendi masih bisa mendengarnya. Jelas malah. Rendi seketika memberenggut, begitu kesal tetapi tidak dapat melakukan apa-apa.
"Anya masih tidur." Ramlan menyahut.
"What!?" Rendi langsung saja terperangah. Sialan Anya, dia membuatnya menunggu untuk seseorang yang sedang tidur.
"Dia benar-benar tid—"
"Bicara sekali lagi, mobil mu kusita." Manik Rayland menyipit jengkelmultram dengan tingkah protes Rendi yang kekanakan. Untuk ukuran laki-laki, pemuda itu sangat cerewet. Rayland jadi pusing sendiri. Sementara mengancam adalah kiat paling mudah untuk membungkamnya.
Rendi terdiam. Tidak ingin mobil baru kesayangannya menjadi bahan taruhan. Dan mengalah adalah pilihan terbaik sekarang, sebab seperti apapun pembelaan yang ia utarakan, Rayland tidak akan mendengarkan.
Ia selalu kalah.
Bagaimana bisa ia memiliki seorang kakak model macam Rayland yang kaku—yang hobinya selalu saja mengatur dan mengancam—hanya karena jauh lebih berkuasa dibanding dua kakaknya yang lain, dia jadi seperti itu.
Tentunya saja ada alasan lain selain sikapnya yang dingin, Rayland sangat ditakuti pun disegani oleh orang-orang yang mengenalnya. Ia seolah memiliki kemampuan untuk membuat orang lain untuk tunduk dan patuh padanya.
Termasuk Rendi.
Sebelumnya, Rendi tidak begitu peduli dengan sikap kakaknya yang satu ini. Hanya saja, setelah menikah dengan gadis entah-berantah-itu, Rayland jadi lebih sering menegurnya. Dan yang membuatnya kian kesal karena Rayland melakukannya untuk membela Anya.
Dia tidak suka.
Sejatinya, Rendi merupakan tipikal pemuda kaya yang manja, cerewet, meski begitu dia cukup kaku untuk berhubungan dengan orang baru—misalnya, Anya. karenanya, kesan dingin yang selalu ia tunjukkan adalah salah satu bentuk tindakan protesnya, terhadap sesuatu yang tidak dikehendakinya. Ditambah dengan segala keinginan yang selalu terpenuhi. Hal itu didukung dengan posisinya yang masih muda sekaligus anak bungsu. Jadi, sifatnya yang semena-mena pun diperoleh dari keadaannya yang demikian.
Tetapi, Rayland yang tegas tidak akan peduli mengenai itu. Relama Rendi salah di matanya, maka ia akan menegurnya tanpa pandang bulu.
Ketahuilah, Rayland sangat tidak suka dibantah.
Dasar!
Pengidap otoriter yang sungguh parah!
Ramlan menatap Rendi. Dia tidak habis pikir mengapa puteranya yang satu ini, sangat senang mencari masalah dengan Anya. Rendi terlalu sensian menurutnya. "Biarkan saja Anya tidur, lagi pula ia hanya akan berada di rumah dan belajar dengan Miss Ani." Ramlan mencoba menjelaskan, tetapi nampaknya, Rendi tidak akan peduli dengan hal itu.
Meski begitu, dia memilih tidak mengatakan apapun lagi.
Saat ketiganya sedang menikmati hidangan di atas meja dengan tenang, maka muncul lah sosok Anya yang luar biasa menyeramkan. Rambut awut-awutan, mata bengkak, dan jangan lupakan sisa-sisa air liur di pipinya yang pucat.
Sebagai reaksi pertama yang berlebihan, Rendi kembali memuntahkan isi perutnya, tepat di depan kakak dan ayahnya.
Dan karenanya—
Ruang makan pagi itupun heboh oleh teriakan tertahan para pelayan. Menyaksikan bagaimana Rendi dan Anya diseret paksa oleh Antonio dan kawanannya, menjauhkan kedua bocah itu dari amukan Rayland yang sudah beraura suram pun kelam, menahan emosi yang siap meledak, merupakan sebuah tontonan tidak biasa.
Anya yang diseret seketika menggigil hebat. Sesaat setelah telinganya mendengar suara Rayland yang dingin, dalam, sarat akan amarah. Anya merasa ingin menghilang, saat itu juga.
"Bunuh saja mereka berdua!" Rayland berteriak dari arah ruang makan. Ramlan di sampingnya menunduk. Tidak berniat ikut campur.
Rayland sungguh amat marah.
Ya Tuhan,
.
.
.
mulut cabai itu membuat Anya meriang.
Terhitung sudah empat minggu sejak Anya menjadi menantu Adiptara. Dan sejak saat itulah keluarga Adiptara benar-benar dihadapkan pada sebuah kenyataan, bahwa anggoa baru yang mereka bawa ke rumah itu—benar-benar ajaib. Gadis itu sama sekali tidak pernah diam dan seringkali membuat keributan di mansion. Rendi yang pemarah dan cukup labil menjadi sasaran empuknya untuk melakukan ulah. Bukan hanya Rendi—Ramlan Ady Adiptara—yang notabene-nya adalah mertuanya sendiri, pun ikut menjadi korban kejahilan akan tingkah ajaibnya. Pria yang kelihatan sangar diluar itu, sungguh kelimpungan menghadapi sikap anak bungsu serta menantunya sendiri. Kemungkinan besar, orang lain berpikir, Anya dan Rendi merupakansepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Lantas menganggap hal-hal yang mereka lakukan, seperti sal
Anya sungguh terkejut mendapati Rayland sudah berada tepat di depannya. Mengapa pria itu ada di sini? Tidak biasanya pulang sangat cepat. Ataukah karena menyadari ponsel yang selama ini tidak pernah lepas dari tangannya—tiba-tiba tidak berada di sekitarnya—dan menyadari bahwa ponsel itu tertinggal di rumah, di ruang kerjanya? "Berikan ponselku, Anya!" titah Rayland tertahan, mencoba meredam emosinya yang membara. Gadis itu bergeming. Anya tidak tahu harus melakukan apa. Ia sungguh tidak ingin menyerahkannya. Anya merasa perlu memastikan siapa wanita yang beberapa saat lalu menelfon suaminya. Oh! Sekarang ia bahkan terdengar bagai istri yang tengah memergoki suaminya selingkuh. Tetapi, kenyataannya memang terdengar demikian. Melihat aura Rayland yang paling
"Apa kamu lumpuh? Cepatlah bodoh!" Anya mendelik menatap Rendi yang baru saja membentaknya. Gadis kurus itu lantas menarik koper berukuran jumbo yang tidak lebih besar dari badannya sendiri. Menarik koper dengan tergesa ia segera menyusul pemuda pms itu yang sudah berjalan jauh di depan. Meninggalkan bandara menuju mobil pribadi keluarga Adiptara yang sudah lebih dulu menunggu. Dan meninggalkan dia dengan koper besarnya. Mengapa tidak ada pelayan seperti biasanya? Anya berteriak! Kendati kesal. Tetapi Anya memilih diam, tidak mengatakan apapun. Sekarang ia sungguh senang. Rayland dengan tegas mengatakan keluarga ini akan berlibur ke pulau Dewata, Bali. Tapi mengapa harus Bali? Anya bukan ingin ke lain tempat atau keluar negeri. Hanya s
Ketika Anya berpikir Rayland akan sangat marah. Nyatanya ia salah. Pria itu justru menampakkan raut yang tidak bisa Anya sangka. Rayland terlihat sangat tenang, seolah emosi yang beberapa saat lalu ia tunjukkan tidak pernah ada. Bahkan, aura gelapnya yang pekat menghilang dengan cepat dari tubuh tegapnya. Menyisakan tatapan dinginnya kembali, sembari menatap Anya dengan rendah. Anya meringis! Bisakah pria itu berhenti menatapnya demikian? Anya mungkin masih bisa menerima, jika ditatap dengan dingin atau datar—tetapi rendah? Oh! Anya juga manusia yang punya perasaan sekalipun ia hanyalah orang biasa. Memilih memalingkan wajah, Anya menghela nafas sebentar. Menunggu reaksi apa lagi yang akan ditunjukkan Rayland setelah apa yang gadis itu tanyakan. Jujur saja—ia sendiri tidak tahu mengapa
"Anya! Hei, kamu baik?!" Tubuh gadis itu diguncang dengan keras. Seketika Anya membuka mata lantas meraup oksigen dengan rakus. Wajahnya kian memucat dan peluh membasahi tubuhnya. Ketika kesadarannya mulai muncul, manik cokelatnya melebar menemukan sosok Rayland tepat di depannya. Memegangi kedua bahunya. Sekali lagi Anya menjerit dan meronta. Ketika gadis itu mencoba melompat dari ranjang, Rayland segera menahan serta memeluknya dengan kuat. Berharap Anya segera berhenti. "Anya diam!" Suara pria itu meninggi. Tetapi pelukannya tidak mengendor sama sekali. "Jangan bunuh aku!" "Hah? Kamu ini bicara apa?" Nadanya terdengar khawatir. "Anya, buka matamu!" Tetapi gadis itu tidak kunjung membuka mata. Bahkan sekarang mulai menangis. Anya ketakutan dan R
Pagi hari di suatu tempat hujan turun cukup deras. Suasana basah yang khas ditambah aroma tanah yang menenangkan, membuat seseorang yang duduk di salah satu kursi di dalam sebuah ruangan bercat putih mendominasi merasa damai. Suasana seperti inilah yang selalu ia suka. Tenang dan sunyi. Matanya yang bening menatap keluar jendela kaca berjeruji yang membatasi dirinya dengan dunia luar, menatap takjub tetesan air hujan yang turun menerus ke bumi. Ingatannya berputar mengenang masa kecilnya, ketika hujan turun ia akan segera melepas diri, dan membiarkan hujan menyatu dangan raganya. Membasahi tubuh kecilnya hingga benar-benar kedinginan dan menggigil. Tetapi sensasi itulah yang selalu ia nantikan. Ia menyukainya, sebab ibunya akan datang menjenguknya ketika dirinya sedang demam, akibat terlalu lama diguyur hujan. Sudah 20 tahun berlalu
Rayland baru saja keluar dari sebuah ruangan gelap. Tidak ada yang bisa memastikan di mana letak pastinya kecuali pria itu sendiri, dan sosok Antonio di belakangnya. Melewati lorong sunyi yang setara dengan panjang puluhan meter, akhirnya mereka berdua berhasil keluar dari sana. Wajah pria itu begitu suram. Aura hitamnya yang pekat bahkan menguar ke mana-mana. Jika saja Anya berada di sisinya, kemungkinan gadis itu akan pingsan saking takutnya. Kemarahan Rayland bukan tanpa sebab, tepat setelah Anya dan keluarganya pulang ke mansion Adiptara. Pria tampan itu lekas ke tempat ini, membawa serta pengawal pribadi sekaligus asistennya—Antonio. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan sebuah informasi—informasi, yang telah menjadi prioritas utamanya selama beberapa tahun terakhir. Sayangnya, seperti sebelum-sebelumnya, Rayland tidak menemukan apa-a
Tepat ketika Anya terbangun, hal pertama yang ia lihat adalah sosok Tania. Wanita itu menatap Anya yang baru saja membuka mata dengan pandangan terharu, lantas memegang tangannya dengan gerakan cepat terkesan antusias. Anya hanya bisa tersenyum melihat bagaimana Tania begitu senang saat melihatnya sadar. Lalu ketika pandangannya beralih ke sisi kanan ranjang, maniknya menemukan sosok Rendi yang duduk di atas ranjang Rayland, sembari menatapnya dengan pandangan tajam yang selalu pemuda itu tunjukkan. Tapi entah pikiran dari mana, Anya justru tersenyum menyaksikannya. Tentu saja, andai tidak melihat senyum sangar Rendi bukankah artinya dia sudah mati. Sekilas, ketika melihat ke arah Rendi Anya merasakan kehadiran Miss Ani tengah duduk di sofa panjang di dalam kamar; menatapnya dengan pandangan biasa. Mungkin wanita tua itu ingin mengut
"Astaga, Rayaaaa!!" "Buahh! Baa!!" Rendi melotot. Merasa bodoh sendiri memaki bocah perempuan yang masih berusia satu tahun. Beralih menatap ke arah bocah laki-laki di samping Raya; berambut punk, bertindik ala-ala, jangan lupakan tato mainan disekujur tubuhnya. Kemudian pemuda itu menunjuk ke arah dinding kamarnya yang dipenuhi coretan tinta. "Eh, bocah rock jalanan, kamu yang coret dinding kamarku?" tuduhnya, merasa jengkel dengan anak kakaknya yang satu ini. Kenakalannya berada di tingkat dewa. Masih berumur dua tahun saja, cita-citanya sudah ingin menjadi penyanyi rock. Manik kelam milik bocah
Bau dupa merebak kuat memenuhi seluruh tempat. Lalu di beberapa bagian, kelopak bunga mawar bertebaran seolah sengaja diletakkan di antara salju putih yang menyilaukan mata, begitu kontras dengan warna merahnya. Perpaduan dupa dan harum mawar terasa pekat, menusuk hidung sampai ke ubun-ubun. Dan ketika Anya terbangun, wajahnya luar biasa syok menyadari di mana dirinya saat ini. Dunia mimpi-tetapi tidak di pondok kakek Pram. Kerutan di dahinya bertambah seiring kemilau gaun putih yang ia kenakan tertimpa beberapa cahaya matahari, menyembul malu di antara awan, sementara salju terus berguguran. Kemudian maniknya menyipit menatap sekeliling; tidak ada apapun selain hamparan salju di tanah lapang tanpa kontur tanah, selain ranjang yang ia tempati sekarang. Anya termangu. Merasa bingung seb
Drap! Drap! Langkah kaki terdengar terburu, memenuhi nyaris separuh lorong rumah sakit dari arah ruang bersalin menuju ruangan lain--khusus VIP. Beberapa perawat menegur mereka, meminta dengan sopan agar tidak membuat keributan. Rangga berhenti, membiarkan Rendi, Anya, dan Lolita untuk melanjutkan langkah. Sementara dia menatap perawat untuk meminta maaf atas kelancangannya. Perawat yang baru saja menegur lantas memasang mimik mengerti, namun meminta, agar Rangga tidak mengulangi hal yang sama. Sebab ini jelas menggangu pasien yang sedang beristirahat. Sekali lagi meminta maaf, Rangga akhirnya berlalu dengan langkah cepat. Orang pertama yang memasuki ruang inap Rayland adalah Rendi dan Lolita. Sementara Anya, dia berhenti, kakinya tiba-tiba terasa berat d
Tik! Tik! Anya termenung. Memejamkan mata merasai rintik hujan yang mulai membasahi wajah, nyaris seluruh tubuh. Dia berjongkok, menyamai tubuhnya dengan tumpukan tanah basah yang baru saja menenggelamkan tubuh Rain dalam kesunyian. Kesannya bagai mimpi, dan rasanya baru kemarin dia bertemu dengan sosok pria yang kini tengah terbaring damai dalam peraduan terakhirnya. Anya tidak menangis, sebab terlalu lelah dan ia ingin mengakhirinya. Anya hanya ingin menerka, mencoba bertanya kepada diri sendiri, mengapa Rain pergi? Mengapa pria itu memilih pergi setelah semua yang terjadi di antara mereka? Tidak seperti yang Anya duga, nyatanya hujan tidak turun dengan deras. Gerimis yang semula muncul menghilang entah ke mana, t
Membelalak. Rahman seolah tidak mampu mengucapkan satu kata pun sekarang. Maniknya melebar terkejut, melihat bagaimana ledakan yang nyaris menghempaskannya andai tidak segera memasang kuda-kuda pertahanan yang tepat. Tubuhnya jelas akan ikut terjebak dalam pusaran angin, membawa raganya terpental bersama yang lain. Beruntung, sebab ia memiliki refleks yang bagus. Mendongak. Kilat kemarahan di manik pria baya itu bertambah seiring mata gelapnya menatap sosok Anya; melayang di udara dengan posisi yang tidak berubah sedikitpun. Tidak ada riak berarti di wajah gadis itu. Matanya masih membuka dengan iris sehitam arang tanpa setitik pantulan cahaya di sana. Yang dia lakukan hanya diam melayang dengan sorot luar biasa kosong. Bukankah seharusnya proses penengah hanya bisa terjadi saat tubuh pengguna dalam keadaan sadar?
Satu jam sebelum Rayland tertangkap Sejatinya, Lolita begitu malas menghampiri Rayland di kamar mandi. Inginnya hanya berdua saja dengan Ryuu lalu tidur setelahnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia jelas tidak bisa menolak jika mengingat hanya dirinya yang paling memungkinkan untuk bergerak bebas. Jadi, tidak ada pilihan lain selain dia yang harus menghampiri pria itu. Tiba di depan kamar mandi, Lolita mengetuk pintu hingga berulang kali dan Rayland di dalamnya sama sekali tidak merespon. Sampai ketukan ke empat, pintu akhirnya terbuka dan Rayland muncul di baliknya. Satu detik! Dua detik! Tiga detik! "Aaaaaaaa ...," Teriakan Lolita menggema. Bukan tanpa alasan, sebab nyatanya, orang yang muncul dari balik
BRAK!! BRAK!! Darah mengucur deras, mengaliri hidung, mulut, bahkan telinga Rain. Pria itu meluruh lemas ke bawah lantai dengan penampilan mengerikan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan dan darah tidak berhenti merembes dari sana. Manik kelamnya menyorot sosok Rahman yang sedang duduk di kursi, sembari menyeringai setan melihat penderitaannya. Kedua tangannya dirantai begitupun lehernya. Kini, Rain tidak ubahnya seekor hewan penyiksaan. Dua orang pria bertopeng berdiri di sisi Rahman, memegang senapan aneh dan sejak tadi hanya terdiam menyaksikan kekejaman Rahman kepada Rain. Kasih sayang seorang ayah seolah tidak ada dalam jiwanya, lantas menyiksa anak sendiri bukanlah masalah besar baginya. Ketika mengetahui Ren telah terbunuh, Rahma
Perih. Panas. Dan rasa sakit perlahan mulai merambati Antonio dari satu titik, kemudian menyebar hingga ke seluruh perutnya. Satu tembakan bisa ditahan, namun dua tembakan berikutnya menembus dada, memaksa Antonio untuk tersungkur ke lantai. Matanya berkunang, pandangannya mulai memburam, dan kesadarannya nyaris menghilang. Dinginnya lantai seolah tidak berasa, ketika pipinya menghantam keramik di bawahnya. Sosok wanita yang selalu ia kenal ramah dan baik menjadi latar mengerikan, memegangi pistol yang masih mengepulkan asap panas, sedang berdiri mengarah kepadanya. Sejatinya, Antonio tidak menyangka akan kalah secepat ini. Bangun! pikirnya. Rayland masih membutuhkannya dan ia harus melakukan sesuatu, sebelum wanita ular itu melukai Rayland dan Anya. Mereka berdua baru saja bertemu. Tania tidak boleh menghancurkan setitik kebahagi
Langkah kaki yang terdengar pelan beradu dengan suara gesekan ranting pun dedaunan kering, ketika terseret, terdengar bagai gema suara yang khas. Mengalun dengan aneh; srek ... srek. Seonggok tubuh manusia bergerak menyapu bersih dedaunan, ketika bokong hingga ujung kakinya menyentuh tanah, ditarik dengan kasar, sementara dia tidak sadarkan diri. Separuh tubuhnya telah kotor, celana panjangnya di penuhi bekas tanah, lalu sepatu hitamnya hilang sebelah, dan hanya menyisakan kaos kaki. Dari jarak dua meter, tampak bangunan tua beratap flat di penuhi lumut, cat tembok terkelupas, beberapa bagian rusak, dan sekitarnya dirambati tanaman rambat. Pun, dipenuhi semak belukar berduri. Jika dilihat, berpikir dua kali adalah pikiran wajar sebelum mengunjungi tempat tersebut. Begitu kotor dan menakutkan. Bisa jadi, tempat itu adalah sarang destinasi ekperimen paranormal.