Terhitung sudah empat minggu sejak Anya menjadi menantu Adiptara. Dan sejak saat itulah keluarga Adiptara benar-benar dihadapkan pada sebuah kenyataan, bahwa anggoa baru yang mereka bawa ke rumah itu—benar-benar ajaib.
Gadis itu sama sekali tidak pernah diam dan seringkali membuat keributan di mansion. Rendi yang pemarah dan cukup labil menjadi sasaran empuknya untuk melakukan ulah. Bukan hanya Rendi—Ramlan Ady Adiptara—yang notabene-nya adalah mertuanya sendiri, pun ikut menjadi korban kejahilan akan tingkah ajaibnya. Pria yang kelihatan sangar diluar itu, sungguh kelimpungan menghadapi sikap anak bungsu serta menantunya sendiri.
Kemungkinan besar, orang lain berpikir, Anya dan Rendi merupakan sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Lantas menganggap hal-hal yang mereka lakukan, seperti saling melempar benda tajam, pun, menjadi normal.
Sayangnya, mereka berdua akan benar-benar saling membunuh jika saja Antonio, yang kini memiliki tugas tambahan selain untuk mendampingi dan menjadi pengawal pribadi Rayland, ikut menjaga istri tuannya dari hal-hal yang mungkin saja dapat membuat gadis itu terbunuh.
Oh! Keluarga ini benar-benar—
Nyatanya, andai Rayland ingin menghentikan tingkah absurd istri beserta adiknya. Dia hanya perlu menegur. Tetapi bukan seperti apa yang dibayangkan, Rayland justru bersikap seolah yang dilakukan Anya hanyalah sekedar bermain-main. Dia tidak merasa masalah. Pria itu membiarkan apa saja yang dilakukan Anya di rumahnya.
Yang membuat semua orang terkejut, pria itu sangat tenang.
Tidak hanya Rayland, Rangga, dan Ryan sekalipun, justru menganggap tingkah Anya sebagai tontonan menarik yang terkesan lucu, termasuk Ui. Lebih gila lagi, menantu kedua Adiptara—Ui—bahkan akan menjadi pemandu sorak, ketika Rendi dan Anya mulai saling membunuh.
Kemungkinannya, hanya Tania yang normal di mansion itu. Dia akan berakhir menangis saat melihat adegan di mana Anya akan melempar Rendi dengan garpu, bahkan langsung pingsan di tempat, saat Anya melempar Rendi dengan pisau.
Jadi, apa yang terjadi dengan keluarga itu?
Satu hal yang pasti. Dan harus Anya catat dalam ruang ingatannya yang berkapasitas tidak seberapa, bahwa jangan sekali-kali membuat masalah saat aura seorang Rayland sedang dalam masa on. Hal itu bisa ditandai saat sekelilingnya mulai terlihat menghitam.
Ada saat di mana aura itu akan menjadi off dan Anya akan mulai melakukan apa saja.
Benar. Anya dapat melihatnya; warna aura kemarahan seorang Rayland ialah—hitam pekat.
Entah sejak kapan. Tetapi Anya bisa melihat warna aura beberapa orang, termasuk Rendi yang saat marah berwarna merah menyala atau terkadang hijau ketika pemuda itu senang.
Mungkin karena kelebihan atau kemampuan itulah, yang membuatnya bisa bertahan di rumah besar itu, tanpa kekurangan bagian tubuh mana pun.
Anya hanya perlu membaca situasi.
“Aku sangat bosan!”
“Apa?” Miss Ani segera menatap Anya dengan mata melotot. Dia tidak habis pikir. Ini baru beberapa menit sejak mereka memulai pelajaran, dan Anya sudah mulai bosan? Huh! Itu hanya akal-akalan saja. Pastinya.
Manik Anya menyipit. Lagi? Sekarang dia melihat sekeliling wanita itu perlahan-lahan dirambati sulur-sulur cahaya berwarna merah padam. Lantas bersorak, saat menyadari aura kemarahan Miss Ani akan muncul. Ini kesempatan bagus untuk mengakhiri pelajaran.
Melihat warna aura seseorang ternyata menyenangkan.
“Aku. Sangat. Bosan.” Anya mengulangi kalimatnya. Menekannya di tiap kata, seakan mengejek Miss Ani.
Anya menyeringai jahat!
Miss Ani geram. Setelah berpikir gadis itu akan sangat takut padanya, mengingat apa yang sudah ia lakukan untuk menghukumnya saat berulah akan membuatnya jera. Sayangnya, Anya justru semakin menjadi-jadi dan membuatnya tambah kesal.
Seperti sekarang!
“Miss, bagaimana kalau kita bermain kartu itu saja?” Telunjuknya mengarah pada sebuah kartu, yang entah sejak kapan berada di sela-selah rak buku, di dalam perpustakaan. “Saat aku menang, pelajaran kita berakhir, bagaimana?”
Buk!!
Anya meringis. Tangannya yang pucat mengelus kepalanya yang baru saja digetok menggunakan buku. Miss Ani adalah pelakunya. Dia sudah melotot, hampir menjatuhkan bola matanya sendiri saking jengkelnya. “Jangan bermimpi. Rayland akan membunuhku saat tahu kamu melewatkan kelasku lagi dengan banyak alasan.” Miss Ani semakin marah, sementara sulur-sulur auranya kian pekat.
“Huh!”
Pada akhirnya, Anya mendengkus. Ia memilih menyerah. Namun diam-diam Miss Ani menghela nafas lega.
Karena sejujurnya,
.
.
.
Anya selalu membuatnya sial!
Sudah pasti suara lembut dan semerdu alunan lagu melow itu adalah milik Tania. Bibirnya tertarik, membentuk satu senyuman manis yang luar biasa cantik. Anya pernah berpikir, apakah otot-otot diwajah Tania terbuat dari karet, sehingga elastis untuk tersenyum setiap saat.
Ramlan tersenyum. Sangat senang dengan sikap perhatian menantunya. “Ah, tidak perlu. Ayah sudah merasa kenyang.” Sekali lagi, dia tersenyum. Nyatanya, di balik penampilannya yang sangar, Ramlan sangat suka dimanja. Jadi ketika menantu kesayangannya selalu menawarinya untuk menambah porsi makannya. Ramlan benar-benar bahagia.
Seperti inilah menantu yang ia harapkan.
“Kalau begitu biar aku yang makan semuanya.” Anya menyengir, menatap Tania yang balas mengangguk sembari tersenyum padanya. Mengabaikan Ramlan yang sudah berasap di tempat duduknya. Manik pria baya itu memerah, lalu melotot jengkel.
Tatapan Ramlan seketika berubah datar, ketika maniknya menemukan Anya bergerak meraih semua sisa lauk yang kebetulan adalah makanan favoritnya, tanpa meminta persetujuan apapun darinya. Matanya memicing, merasa sebal dengan tingkah Anya yang seenaknya. Tatapannya semakin datar saat melihat gadis itu makan dengan rakus. Padahal, jatah makan malamnya sudah habis, bahkan sudah tambah beberapa kali—dan sekarang gadis itu ingin lagi?
Benar-benar—
“Makan perlahan, Anya. Kamu bisa tersedak dan aku tidak ingin repot saat kamu mati.”
Uhukk!!
Anya tersedak sungguhan. Perkataan Rayland benar-benar berhasil menembus tenggorokannya. Membekukannya saat itu juga. Tanpa diingatkan pun, dia akan berhati-hati.
Cepat-cepat gadis itu mengambil gelas berisi air, yang disodorkan Ui. Siapa yang tahu wanita aneh itu tengah menatap Anya berbinar.
Oh hell—berbinar? Kak-ipar nya ingin ia mati sepertinya?
Sialan!
“Rasakan! kenapa tidak sekalian kam—”
“Rendi," Tania memotong. "Kalau sudah selesai, lebih baik kamu ke kamar dan belajar?” Tania menatap Rendi memelas, seolah meminta pemuda itu untuk tidak membuat keributan.
Rendi terdiam, tidak sampai hati menolak keinginan Tania.
“Hmm, benar juga. Tapi mungkin akan lebih seru andai Rendi melempar Anya dari lantai dua. Oh! Itu terdengar lucu 'kan, Sayang?” Rangga ikut menambahkan, sementara matanya melirik istrinya—Ui—yang balas tersenyum menyebalkan. Seolah-olah mereka berdua sangat menikmati ketika itu terjadi.
Tetapi karena perkataan itu, Tania justru memunculkan sulur-sulur biru muda, menandakan sebentar lagi akan menangis.
Anya hanya bisa mendelik jengkel. Ucapan kakak iparnya sama sekali tidak disaring terlebih dahulu sebelum keluar dari mulutnya. Sekarang, Anya yakin jika kakak ipar kedua beserta istrinya adalah psycho. Mereka seolah menginginkan ia mati ditangan Rendi, dalam keadaan sadis. Itu adalah lelucon untuk mereka.
Dilempar dari lantai dua?! Oh, yang benar saja!
“Anya, kembali ke kamar!”
Anya makan dengan kecepatan tidak wajar. Mendengar perintah Rayland telah keluar dari mulut cabainya. Ia harus segera ke kamar, dan melakukan jam pelajaran tambahan dengan gurunya yang tentu saja adalah—Rayland sendiri.
Anya sudah menantikannya!
Mata gadis itu membesar. Melihat Rayland sudah melangkah menuju tangga yang akan membawanya menuju lantai dua, di mana kamar mereka berada. Anya semakin panik.
“Anya, makan pelan-pelan,” Tania menegur.
“Aku sudah selesa!”
Setelah minum dengan tergesa-gesa, Anya segera berlari menuju tangga dan menyusul Rayland, yang sudah hampir sampai di ujung tangga atas.
“Astaga anak itu!” Ramlan menggeleng gemas, takjub dengan tingkah menantunya. Benar-benar membuat sakit kepalanya bertambah.
Oh, Tuhan! Ramlan merindukan,
.
.
.
ketenangan.
Anya memutar pensil dalam genggamannya. Mata bulatnya membesar, melihat soal-soal yang melambai seakan meminta untuk segera diselesaikan. Sayangnya, gadis itu benar-benar buntu, sama sekali tidak tahu mengerjakannya. Sejatinya, soal-soal itu nyaris serupa dengan soal yang ada di sekolahnya dulu. Namun karena ini Anya, ia pikir situasinya sama saja—sama-sama tidak bisa ia jawab.
Mengangkat kepala. Anya mendapati Rayland sedang duduk di kursi kebesarannya. Tangannya memegang berkas dari kantor, seperti biasanya. Huh! Sungguh workaholic. Anya bahkan tidak ingin membayangkan bagaimana berada di posisi pria itu, masih saja bekerja bahkan saat di rumah, sekalipun ia adalah bosnya.
Itu sungguh mengerikan!
Anya sungguh tidak ingin mencobanya.
“Ada apa? Ada yang sulit? Bukankah tadi sudah ku jelaskan?”
Pertanyaan beruntun pun terdengar. Rayland menyadari tatapan istrinya yang terus-menurus melihat ke arahnya. Ia pikir Anya punya kendala mengerjakan soalnya.
Anya terkesiap. Kemudian tersadar apa yang baru saja ia lakukan.
“Hah?! Tidak ada,” gadis itu berkilah.
Rayland mengangkat sebelah alis. Netranya yang segelap malam menatap Anya dengan tatapan memastikan. Anya langsung saja merona—ketahuilah—gadis itu jatuh cinta, pada suaminya sendiri.
Memalukan!
Ia bahkan tidak tahu kapan tepatnya mulai menyukai Rayland. Faktanya, ia akan merona dan terkadang merasa senang saat Rayland memberinya sedikit perhatian. Hanya saja, perkataan Rayland yang pedas tidak bisa dipungkiri, terkadang membuatnya sakit hati. Namun, itu bukan alasan untuk merasa menyesal telah melabuhkan hatinya kepada pria tampan itu.
“Lalu mengapa terus melihatku?” Rayland masih terus bertanya.
Anya jadi salah tingkah. “Aku tidak!”
“Yah, kamu melakukannya, Anya.”
Anya menghela nafas. Menyadari ia tidak lagi bisa berkelit.
“Aku tidak bisa mengerjakannya.” Anya berterus terang. Meski begitu, matanya melirik dengan takut-takut. Tatapan Rayland terlihat suram.
“Aku tidak tahu bagaimana otakmu bekerja, sungguh bodoh!” Anya membuang nafas lelah, Menyadari ia dikatai pedas lagi.
Tatapan gadis itu kemudian beralih, menemukan Rayland yang kini meraih buku pelajaran. Membukanya dengan gaya elegan, seperti biasa. Pria itu selalu terlihat mempesona apapun yang dilakukannya.
Dan Anya selalu suka terpukau dengannya.
Betapa menyenangkannya, melihat Rayland mengulang kembali penjelasan yang sama—entah yang keberapa kali. Bibir pria itu bergerak, seumpama bunga mawar yang baru saja mekar. Kemudian jemarinya yang panjang dan kekar, bagai boomerang yang siap meledakkan Anya. Dasarnya, gadis itu saja yang terlalu bodoh. Pikirannya bahkan telah melayang ke mana-mana. Tidak pernah benar-benar memperhatikan, saat suaminya yang tampan mulai memberikan penjelasan mengenai pelajaran.
Jadi, bagiamana dia akan menjawab soalnya dengan baik.
Kendati mata bulatnya terlihat sangat fokus, tidak berkedip sama sekali. Sayangnya, fokus itu bukan untuk pelajaran yang tengah Rayland jelaskan, melainkan justru kepada pria itu. Anya tidak akan melewatkan betapa indahnya Rayland di saat-saat seperti ini.
Tidak menyadari, sulur-sulur auranya perlahan terlihat semakin menyala merah muda. Itu terjadi saat ia sangat-sangat bahagia.
“Aku akan memukul kepalamu saat melihat lembar jawabanmu masih kosong, Anya.”
Rayland tiba-tiba bersuara, dan ketika Anya mulai menyadari penjelasan Rayland telah berakhir, ia sungguh panik sendiri. Tatapan pria itu bahkan kian dingin menatapnya.
Anya gelagapan.
“Ah, baik-baik. Ini akan selesai dalam waktu 2 jam.”
“10 menit!” Rayland menegaskan.
“Tidak! 59 menit saja.”
Buk!!
Anya cemberut, meringis sakit saat kepalanya kembali dihadiahi pukulan dari buku. Ia benar-benar akan mati jika tidak mengerjakan soal itu sekarang. Dia tidak ingin terlihat semakin bodoh di hadapan Rayland.
Tidak!
Anya ingin terlihat sebagai wanita seksi yang cerdas. Hoho~
Namun, ia bahkan tidak mendengar apapun saat Rayland menjelaskan pelajaran. Ohh!! Ia benar-benar idiot.
Beberapa menit berlalu ....
Anya sudah mirip cacing kepanasan. Berulang kali nerta coklatnya melirik Rayland yang masih fokus memeriksa laporan kantornya yang menumpuk. Bahkan sekarang sudah hampir habis. Sementara Anya sama sekali belum menyelesaikan soal-soalnya dengan benar.
Jadi, Anya tidak punya pilihan selain menggambar bentuk hati di kertasnya. Itu lebih baik dari pada membiarkan lembar jawabannya kosong, bukan? Siapa yang tahu Rayland akan ikut menggambar bentuk yang sama.
Anya menyeringai diam-diam.
“Sudah?” Rayland menatap Anya.
“Hah? Apa?”
Tatapan Rayland berubah datar. Sebaliknya, Anya meneguk ludah dengan kasar. Ini tidak baik.
“Aku bertanya apakah sudah selesai, berikan padaku dan akanku periksa!”
Anya gemetaran, tetapi tangannya tetap meraih kertas jawabannya, lalu menyodorkannya kepada Rayland. Ketika kertas itu telah berpindah tangan. Anya menahan nafas, dan semakin lama, saat menyadari tatapan Rayland berubah suram.
Perlahan tapi pasti, sulur-sulur hitam pudar di sekitar pria itu mulai terlihat.
Gadis itu menelan ludah.
Hari ini Anya benar-benar,
.
.
.
tamat.
Mereka sedang berada di salah satu Mall di pusat kota untuk membeli keperluan pribadi, atau sekedar berbelanja hal lain. Namun sejujurnya, agenda berbelanja mereka bertiga hari ini lebih kepada perintah Rayland, yang menyuruh Tania agar memilihkan pakaian untuk Anya. Yang selera fashionnya sungguh membuat sakit mata.
Sebaliknya Rendi, ditugaskan menjadi pengawal pribadi dadakan mengingat Antonio tidak bisa menemani. Tetapi sepertinya Rayland salah memilih pengawal, karena nyatanya bahaya itu ada di antara Rendi dan Anya sendiri.
Tania sudah ingin menangis melihat mereka berdua mulai adu jotos. Orang-orang di sekitar pun tidak ingin ketinggalan dan ikut menyoraki.
Oh, astaga! Bagaimana bisa mereka tersenyum saat melihat adegan pembunuhan di depan mata.
“Ayo, mari kita lihat siapa yang akan mengambil sepatu itu, kamu atau aku?” Lagi-lagi Anya menyulut emosi Rendi yang sudah berada di ambang batas.
“Kamu tidak akan punya kesempatan bahkan hanya untuk menyentuhnya sedikitpun.” Rendi menunjuk sepatu mahal yang menjadi rebutan keduanya, dengan raut mengeras.
Anya tidak ingin kalah, ia berkata, “kalau begitu langkahi dulu mayatku.”
Rendi menyeringai. “Tentu. Akan kupastikan untuk menginjaknya.”
Anya melotot.
“Kamuu!!” Anya menunjuk Rendi dengan geram, sementara giginya bergelatuk jengkel. Tangannya yang bebas mengambil sapu—entah dapat dari mana. Lantas mulai mengambil ancang-ancang untuk menyerang Rendi saat itu juga, jika saja ....
“Anya! Septian! BERHENTI!”
Gerakan keduanya berhenti. Berbalik, mereka kemudian menemukan Tania yang terlihat geram. Kendati demikian, tatapannya tidak bertahan lama. Wanita cantik itu, kini kembali menampakkan senyum manis.
“Ayo, kita pergi sekarang. Masih banyak pakaian yang perlu Anya coba.”
Keduanya mendengkus. Meski begitu, mereka menurut dan mulai melangkah meninggalkan kerumunan orang yang menatap kecewa. Sebab, tidak melihat adanya adegan sadis penuh cinta, seperti yang mereka harapkan. Beberapa bahkan bersorak melepas kepergian ketiganya.
Aneh!
Benar-benar orang aneh.
Sepanjang hari yang melelahkan, Tania masih saja menyeret Anya dan Rendi untuk mengikutinya, sementara langkah keduanya terlihat berat dan penuh kemalasan; berpindah menuju tokoh satu ke toko lain. Tangan kedua bocah itu bahkan telah dipenuhi puluhan belanjaan. Anya cemberut, ini sungguh merepotkan.
“Kak pulang saja, yah. Aku sudah lelah.” Anya memelas sembari menatap Tania yang masih saja sibuk memilah baju dan pakaian. Mencoba memastikan, pakaian pilihannya cocok dengan Anya.
Tanpa mengindahkan, jika gadis itu tidak lagi menemukan raut kebahagianan di wajahnya sendiri. Tidak jauh berbeda dengan Anya—Rendi bahkan telah ditenggelamkan dalam rasa jengkel tak berkesudahan, dikarenakan kedua perempuan itu. Ia mendesah setelahnya. Bisa-bisanya ia ikut ke tempat seperti ini dan berakhir membuatnya dirundung kebosanan didampingi lelah berkepanjangan.
Oh! Andai saja ia bisa melawan Rayland. Maka hal pertama yang akan ia lakukan ialah, menendang Anya keluar dari rumahnya. Bahkan jika itu harus menetang tradisi keluarganya yang aneh.
Rendi tidak peduli lagi!
“Berapa lama lagi, sih? Aku mau pulang saja.”
Tatapan Tania beralih kepada Rendi, lalu setelahnya pada Anya.
“Tidak ada kata pulang sampai uang yang diberikan Rayland habis. Kamu tahu 'kan, pria dingin itu akan sangat marah saat perintahnya tidak dipatuhi,” Tania berkata sembari masih saja tersenyum, tanpa dosa. Mengabaikan tampang menyedihkan milik Rendi dan juga Anya.
“Huh!!” Rendi memilih mendengkus, tepat setelah mendengar ucapan Tania yang memang ada benarnya. Ia diam, mengikuti kemanapun kedua perempuan itu pergi.
Rendi hanya tidak ingin terkena amukan kakaknya.
Oh, sungguh! Sudah cukup!
Berjam-jam berlalu dan mereka akhirnya pulang. Tiba di mansion, Anya langsung menuju kamar dan meletakkan puluhan tas belanja secara sembarangan. Beruntung, sebab penghuni lain yang menempati salah satu ranjang king size di kamar itu sedang tidak ada. Jadi, katakanlah, saat ini Anya berada dalam zona aman.
Gadis itu sedang tiduran di ranjangnya. Di dalam kamar terdapat dua ranjang, satu ranjang utama berukuran king size—biasa ditebak itu milik siapa. Dan satu ranjang lagi berukuran sedang, tepat di sebelahnya. Kedua ranjang hanya dibatasi meja kecil seleber 50 cm dengan lampu tidur di atasnya. Selebihnya, tidak ada apapun lagi.
Anya kemudian mengangkat wajah dari timbunan bantal. Ketika sayup-sayup mendengar sebuah suara yang ia duga berasal dari sebuah ponsel. Tatapannya beralih pada ponsel pintarnya yang tergeletak di dekat kaki. Dahinya mengernyit. Itu bukan berasal dari ponselnya. Jadi milik siapa?
Anya segera bangkit. Mulai menelusuri kamar besar milik Rayland guna mencari beradaan ponsel tersebut. Tidak menemukan apa-apa di sekitar ranjang, Anya melangkah masuk ke dalam walk-in-closet. Tetapi tetap saja, ia tidak menemukannya.
Netra cokelatnya pun berbinar, saat melihat sebuah ponsel mahal berwarna hitam. Tergeletak begitu saja di atas meja, di dalam ruang kerja milik Rayland. Ponsel itu hampir tidak terlihat sebab beberapa bagiannya tertutupi oleh tumpukan kertas.
Dengan semangat 45, Anya bergerak mengambil ponsel itu. Senyumnya yang semula secerah matahari siang, tiba-tiba meredup secara perlahan. Ketika melihat sebuah nama asing tertera di layar ponsel milik suaminya—Rayland. Tanpa sadar, sulur abu-abu yang suram perlahan merambat dan mengelilingi tubuhnya yang segera saja terasa kaku.
Seharusnya, ia sudah menebak hal ini!
Seharusnya, ia tidak perlu terkejut.
Tapi tetap saja, ia tidak bisa menerimanya.
Tepat di layar ponsel milik Rayland, tertera sebuah nama yang membuat kaki Anya melemah bagai jeli.
Sweety!
Tidak hanya menampilkan sebuah nama yang membuat hati Anya serasa diremas. Faktanya, gambar seorang wanita cantik tengah tersenyum bahagia, merupakan background terburuk dalam hidup Anya. Menertawai sosoknya yang menyedihkan.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Anya terkesiap, lantas berbalik, kemudian matanya membesar sesaat setelah mendapati sosok Rayland di ambang pintu masuk ruang kerjanya. Anya mulai panik saat melihat sulur-sulur aura pria itu perlahan berubah menjadi hitam pekat, ketika netra segelap malam miliknya mendapati ponsel pribadinya yang tertinggal di ruang kerjanya—berada di tangan Anya.
Anya tahu, mungkin kemarin ia masih bisa selamat.
.
.
.
Tetapi sekarang tidak lagi. Kali ini ia benar-benar akan tamat.
Anya sungguh terkejut mendapati Rayland sudah berada tepat di depannya. Mengapa pria itu ada di sini? Tidak biasanya pulang sangat cepat. Ataukah karena menyadari ponsel yang selama ini tidak pernah lepas dari tangannya—tiba-tiba tidak berada di sekitarnya—dan menyadari bahwa ponsel itu tertinggal di rumah, di ruang kerjanya? "Berikan ponselku, Anya!" titah Rayland tertahan, mencoba meredam emosinya yang membara. Gadis itu bergeming. Anya tidak tahu harus melakukan apa. Ia sungguh tidak ingin menyerahkannya. Anya merasa perlu memastikan siapa wanita yang beberapa saat lalu menelfon suaminya. Oh! Sekarang ia bahkan terdengar bagai istri yang tengah memergoki suaminya selingkuh. Tetapi, kenyataannya memang terdengar demikian. Melihat aura Rayland yang paling
"Apa kamu lumpuh? Cepatlah bodoh!" Anya mendelik menatap Rendi yang baru saja membentaknya. Gadis kurus itu lantas menarik koper berukuran jumbo yang tidak lebih besar dari badannya sendiri. Menarik koper dengan tergesa ia segera menyusul pemuda pms itu yang sudah berjalan jauh di depan. Meninggalkan bandara menuju mobil pribadi keluarga Adiptara yang sudah lebih dulu menunggu. Dan meninggalkan dia dengan koper besarnya. Mengapa tidak ada pelayan seperti biasanya? Anya berteriak! Kendati kesal. Tetapi Anya memilih diam, tidak mengatakan apapun. Sekarang ia sungguh senang. Rayland dengan tegas mengatakan keluarga ini akan berlibur ke pulau Dewata, Bali. Tapi mengapa harus Bali? Anya bukan ingin ke lain tempat atau keluar negeri. Hanya s
Ketika Anya berpikir Rayland akan sangat marah. Nyatanya ia salah. Pria itu justru menampakkan raut yang tidak bisa Anya sangka. Rayland terlihat sangat tenang, seolah emosi yang beberapa saat lalu ia tunjukkan tidak pernah ada. Bahkan, aura gelapnya yang pekat menghilang dengan cepat dari tubuh tegapnya. Menyisakan tatapan dinginnya kembali, sembari menatap Anya dengan rendah. Anya meringis! Bisakah pria itu berhenti menatapnya demikian? Anya mungkin masih bisa menerima, jika ditatap dengan dingin atau datar—tetapi rendah? Oh! Anya juga manusia yang punya perasaan sekalipun ia hanyalah orang biasa. Memilih memalingkan wajah, Anya menghela nafas sebentar. Menunggu reaksi apa lagi yang akan ditunjukkan Rayland setelah apa yang gadis itu tanyakan. Jujur saja—ia sendiri tidak tahu mengapa
"Anya! Hei, kamu baik?!" Tubuh gadis itu diguncang dengan keras. Seketika Anya membuka mata lantas meraup oksigen dengan rakus. Wajahnya kian memucat dan peluh membasahi tubuhnya. Ketika kesadarannya mulai muncul, manik cokelatnya melebar menemukan sosok Rayland tepat di depannya. Memegangi kedua bahunya. Sekali lagi Anya menjerit dan meronta. Ketika gadis itu mencoba melompat dari ranjang, Rayland segera menahan serta memeluknya dengan kuat. Berharap Anya segera berhenti. "Anya diam!" Suara pria itu meninggi. Tetapi pelukannya tidak mengendor sama sekali. "Jangan bunuh aku!" "Hah? Kamu ini bicara apa?" Nadanya terdengar khawatir. "Anya, buka matamu!" Tetapi gadis itu tidak kunjung membuka mata. Bahkan sekarang mulai menangis. Anya ketakutan dan R
Pagi hari di suatu tempat hujan turun cukup deras. Suasana basah yang khas ditambah aroma tanah yang menenangkan, membuat seseorang yang duduk di salah satu kursi di dalam sebuah ruangan bercat putih mendominasi merasa damai. Suasana seperti inilah yang selalu ia suka. Tenang dan sunyi. Matanya yang bening menatap keluar jendela kaca berjeruji yang membatasi dirinya dengan dunia luar, menatap takjub tetesan air hujan yang turun menerus ke bumi. Ingatannya berputar mengenang masa kecilnya, ketika hujan turun ia akan segera melepas diri, dan membiarkan hujan menyatu dangan raganya. Membasahi tubuh kecilnya hingga benar-benar kedinginan dan menggigil. Tetapi sensasi itulah yang selalu ia nantikan. Ia menyukainya, sebab ibunya akan datang menjenguknya ketika dirinya sedang demam, akibat terlalu lama diguyur hujan. Sudah 20 tahun berlalu
Rayland baru saja keluar dari sebuah ruangan gelap. Tidak ada yang bisa memastikan di mana letak pastinya kecuali pria itu sendiri, dan sosok Antonio di belakangnya. Melewati lorong sunyi yang setara dengan panjang puluhan meter, akhirnya mereka berdua berhasil keluar dari sana. Wajah pria itu begitu suram. Aura hitamnya yang pekat bahkan menguar ke mana-mana. Jika saja Anya berada di sisinya, kemungkinan gadis itu akan pingsan saking takutnya. Kemarahan Rayland bukan tanpa sebab, tepat setelah Anya dan keluarganya pulang ke mansion Adiptara. Pria tampan itu lekas ke tempat ini, membawa serta pengawal pribadi sekaligus asistennya—Antonio. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan sebuah informasi—informasi, yang telah menjadi prioritas utamanya selama beberapa tahun terakhir. Sayangnya, seperti sebelum-sebelumnya, Rayland tidak menemukan apa-a
Tepat ketika Anya terbangun, hal pertama yang ia lihat adalah sosok Tania. Wanita itu menatap Anya yang baru saja membuka mata dengan pandangan terharu, lantas memegang tangannya dengan gerakan cepat terkesan antusias. Anya hanya bisa tersenyum melihat bagaimana Tania begitu senang saat melihatnya sadar. Lalu ketika pandangannya beralih ke sisi kanan ranjang, maniknya menemukan sosok Rendi yang duduk di atas ranjang Rayland, sembari menatapnya dengan pandangan tajam yang selalu pemuda itu tunjukkan. Tapi entah pikiran dari mana, Anya justru tersenyum menyaksikannya. Tentu saja, andai tidak melihat senyum sangar Rendi bukankah artinya dia sudah mati. Sekilas, ketika melihat ke arah Rendi Anya merasakan kehadiran Miss Ani tengah duduk di sofa panjang di dalam kamar; menatapnya dengan pandangan biasa. Mungkin wanita tua itu ingin mengut
20 : 12 pm Malam terlihat pekat dan gelap, udara seolah membawa angin suram yang panas mencekam. Menyisakan debu-debu berhamburan menyisir sekitar area jalan kota yang dipadati sekawanan mobil kaum fana. Diantara kesibukan kota yang pelik, sesuatu yang besar tengah terjadi di tempat yang gelap dan sunyi. Menyisakan kebisuan yang kejam pada seseorang yang telah tergeletak kaku, diantara timbunan sampah dan dus bekas. Wajah penuh darah dan mata membeliak dengan sorot mati. Seseorang diantaranya menyorot dengan datar--lurus pada si mayat kaku yang beberapa waktu lalu ia tarik nafas kehidupannya. Lantas, perasaan yang paling dia rindukan menyeruak dengan nikmat merasuki jiwa raganya. Ia menyukai aroma darah segar yang mengalir, ia menyukai bagaimana orang-orang memelas padanya meminta kesempatan hidup, da
"Astaga, Rayaaaa!!" "Buahh! Baa!!" Rendi melotot. Merasa bodoh sendiri memaki bocah perempuan yang masih berusia satu tahun. Beralih menatap ke arah bocah laki-laki di samping Raya; berambut punk, bertindik ala-ala, jangan lupakan tato mainan disekujur tubuhnya. Kemudian pemuda itu menunjuk ke arah dinding kamarnya yang dipenuhi coretan tinta. "Eh, bocah rock jalanan, kamu yang coret dinding kamarku?" tuduhnya, merasa jengkel dengan anak kakaknya yang satu ini. Kenakalannya berada di tingkat dewa. Masih berumur dua tahun saja, cita-citanya sudah ingin menjadi penyanyi rock. Manik kelam milik bocah
Bau dupa merebak kuat memenuhi seluruh tempat. Lalu di beberapa bagian, kelopak bunga mawar bertebaran seolah sengaja diletakkan di antara salju putih yang menyilaukan mata, begitu kontras dengan warna merahnya. Perpaduan dupa dan harum mawar terasa pekat, menusuk hidung sampai ke ubun-ubun. Dan ketika Anya terbangun, wajahnya luar biasa syok menyadari di mana dirinya saat ini. Dunia mimpi-tetapi tidak di pondok kakek Pram. Kerutan di dahinya bertambah seiring kemilau gaun putih yang ia kenakan tertimpa beberapa cahaya matahari, menyembul malu di antara awan, sementara salju terus berguguran. Kemudian maniknya menyipit menatap sekeliling; tidak ada apapun selain hamparan salju di tanah lapang tanpa kontur tanah, selain ranjang yang ia tempati sekarang. Anya termangu. Merasa bingung seb
Drap! Drap! Langkah kaki terdengar terburu, memenuhi nyaris separuh lorong rumah sakit dari arah ruang bersalin menuju ruangan lain--khusus VIP. Beberapa perawat menegur mereka, meminta dengan sopan agar tidak membuat keributan. Rangga berhenti, membiarkan Rendi, Anya, dan Lolita untuk melanjutkan langkah. Sementara dia menatap perawat untuk meminta maaf atas kelancangannya. Perawat yang baru saja menegur lantas memasang mimik mengerti, namun meminta, agar Rangga tidak mengulangi hal yang sama. Sebab ini jelas menggangu pasien yang sedang beristirahat. Sekali lagi meminta maaf, Rangga akhirnya berlalu dengan langkah cepat. Orang pertama yang memasuki ruang inap Rayland adalah Rendi dan Lolita. Sementara Anya, dia berhenti, kakinya tiba-tiba terasa berat d
Tik! Tik! Anya termenung. Memejamkan mata merasai rintik hujan yang mulai membasahi wajah, nyaris seluruh tubuh. Dia berjongkok, menyamai tubuhnya dengan tumpukan tanah basah yang baru saja menenggelamkan tubuh Rain dalam kesunyian. Kesannya bagai mimpi, dan rasanya baru kemarin dia bertemu dengan sosok pria yang kini tengah terbaring damai dalam peraduan terakhirnya. Anya tidak menangis, sebab terlalu lelah dan ia ingin mengakhirinya. Anya hanya ingin menerka, mencoba bertanya kepada diri sendiri, mengapa Rain pergi? Mengapa pria itu memilih pergi setelah semua yang terjadi di antara mereka? Tidak seperti yang Anya duga, nyatanya hujan tidak turun dengan deras. Gerimis yang semula muncul menghilang entah ke mana, t
Membelalak. Rahman seolah tidak mampu mengucapkan satu kata pun sekarang. Maniknya melebar terkejut, melihat bagaimana ledakan yang nyaris menghempaskannya andai tidak segera memasang kuda-kuda pertahanan yang tepat. Tubuhnya jelas akan ikut terjebak dalam pusaran angin, membawa raganya terpental bersama yang lain. Beruntung, sebab ia memiliki refleks yang bagus. Mendongak. Kilat kemarahan di manik pria baya itu bertambah seiring mata gelapnya menatap sosok Anya; melayang di udara dengan posisi yang tidak berubah sedikitpun. Tidak ada riak berarti di wajah gadis itu. Matanya masih membuka dengan iris sehitam arang tanpa setitik pantulan cahaya di sana. Yang dia lakukan hanya diam melayang dengan sorot luar biasa kosong. Bukankah seharusnya proses penengah hanya bisa terjadi saat tubuh pengguna dalam keadaan sadar?
Satu jam sebelum Rayland tertangkap Sejatinya, Lolita begitu malas menghampiri Rayland di kamar mandi. Inginnya hanya berdua saja dengan Ryuu lalu tidur setelahnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia jelas tidak bisa menolak jika mengingat hanya dirinya yang paling memungkinkan untuk bergerak bebas. Jadi, tidak ada pilihan lain selain dia yang harus menghampiri pria itu. Tiba di depan kamar mandi, Lolita mengetuk pintu hingga berulang kali dan Rayland di dalamnya sama sekali tidak merespon. Sampai ketukan ke empat, pintu akhirnya terbuka dan Rayland muncul di baliknya. Satu detik! Dua detik! Tiga detik! "Aaaaaaaa ...," Teriakan Lolita menggema. Bukan tanpa alasan, sebab nyatanya, orang yang muncul dari balik
BRAK!! BRAK!! Darah mengucur deras, mengaliri hidung, mulut, bahkan telinga Rain. Pria itu meluruh lemas ke bawah lantai dengan penampilan mengerikan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan dan darah tidak berhenti merembes dari sana. Manik kelamnya menyorot sosok Rahman yang sedang duduk di kursi, sembari menyeringai setan melihat penderitaannya. Kedua tangannya dirantai begitupun lehernya. Kini, Rain tidak ubahnya seekor hewan penyiksaan. Dua orang pria bertopeng berdiri di sisi Rahman, memegang senapan aneh dan sejak tadi hanya terdiam menyaksikan kekejaman Rahman kepada Rain. Kasih sayang seorang ayah seolah tidak ada dalam jiwanya, lantas menyiksa anak sendiri bukanlah masalah besar baginya. Ketika mengetahui Ren telah terbunuh, Rahma
Perih. Panas. Dan rasa sakit perlahan mulai merambati Antonio dari satu titik, kemudian menyebar hingga ke seluruh perutnya. Satu tembakan bisa ditahan, namun dua tembakan berikutnya menembus dada, memaksa Antonio untuk tersungkur ke lantai. Matanya berkunang, pandangannya mulai memburam, dan kesadarannya nyaris menghilang. Dinginnya lantai seolah tidak berasa, ketika pipinya menghantam keramik di bawahnya. Sosok wanita yang selalu ia kenal ramah dan baik menjadi latar mengerikan, memegangi pistol yang masih mengepulkan asap panas, sedang berdiri mengarah kepadanya. Sejatinya, Antonio tidak menyangka akan kalah secepat ini. Bangun! pikirnya. Rayland masih membutuhkannya dan ia harus melakukan sesuatu, sebelum wanita ular itu melukai Rayland dan Anya. Mereka berdua baru saja bertemu. Tania tidak boleh menghancurkan setitik kebahagi
Langkah kaki yang terdengar pelan beradu dengan suara gesekan ranting pun dedaunan kering, ketika terseret, terdengar bagai gema suara yang khas. Mengalun dengan aneh; srek ... srek. Seonggok tubuh manusia bergerak menyapu bersih dedaunan, ketika bokong hingga ujung kakinya menyentuh tanah, ditarik dengan kasar, sementara dia tidak sadarkan diri. Separuh tubuhnya telah kotor, celana panjangnya di penuhi bekas tanah, lalu sepatu hitamnya hilang sebelah, dan hanya menyisakan kaos kaki. Dari jarak dua meter, tampak bangunan tua beratap flat di penuhi lumut, cat tembok terkelupas, beberapa bagian rusak, dan sekitarnya dirambati tanaman rambat. Pun, dipenuhi semak belukar berduri. Jika dilihat, berpikir dua kali adalah pikiran wajar sebelum mengunjungi tempat tersebut. Begitu kotor dan menakutkan. Bisa jadi, tempat itu adalah sarang destinasi ekperimen paranormal.