Seorang gadis duduk dengan raut tidak tenang, itu tampak di wajah putihnya yang kian memucat disertai peluh sebesar biji jagung menetes pelan di dahinya. Dalam 17 tahun hidupnya, tidak pernah ia merasa segugup dan secanggung ini—benar, ini adalah kali pertamanya ia dihadapkan pada suasana seperti ini dan di situasi yang bahkan tidak pernah terbayangkan, seperti sekarang.
Menghela nafas panjang dan berat, gadis itu mendongak menatap ke tujuh orang di seberang mejanya. Tampak wajah-wajah baru dengan ragam ekspresi balas menatapnya.
Di depannya, seorang pria berwajah cukup sangar dengan brewok yang tumbuh di sepanjang garis rahangnya yang tegas, terlihat menakutkan didampingi tatapan mengintimidasi yang nyata, membuat nyalinya seakan ciut. Padahal jika menilik dari kehidupan gadis itu, ia adalah gadis cerewet pula pemberontak.
Karena situasi yang berbeda, ia merasa khawatir, lantas memutuskan untuk tidak menunjukkan taring andalannya, apalagi di hadapan keluarga ini.
Mungkin nanti.
Tidak bisa dipungkiri, gadis itu harus mengakui jika pria baya seumuran pak Jonh—guru matematika berusia 50 tahunan di sekolahnya—tidak dapat menutupi ketampanannya di masa muda bahkan jika usianya telah merambat setengah abad. Pengakuan yang sama pun patut diberikan kepada ketiga laki-laki lain di samping kiri-kanannya, yang duduk menempati kursi pada meja persegi panjang mewah di hadapannya.
Mereka semua tampak seperti aktor-aktor opera yang ia sukai di layar kaca.
Bola matanya yang besar sedikit melirik ke arah dua wanita lain di seberang meja sebelah kiri, berdampingan dengan dua laki-laki dewasa awal 30-an yang menatap cukup ramah kepadanya, jika harus dibandingkan dengan tatapan si Tua Brewok yang mengerikan. Lalu dari arah kanan searah dengan tiga kursi kosong, tatapan membakar dari satu-satunya orang yang duduk di barisan tersebut membuatnya bergidik hingga ke tulang-tulang.
Lalu, sebagai pengalihan akan kegugupannya, ia memilih memasang senyum terbaik yang justru terlihat bodoh.
15 menit pun berlalu,
.
.
.
dan suasananya terlalu hening, pikirnya.
"Jadi, namamu Anya Hadi?" Si Pria Brewok memulai percakapan dengan suaranya yang anehnya—sedikit mirip suara perempuan.
Ehh?! Perempuan?!
Hening sesaat.
Miring ke kanan, lalu membulatkan mata, sementara mulutnya membulat, si gadis bernama Anya Hadi kemudian menatap ke kiri-kanannya. Mencoba memastikan, reaksi apa yang akan penghuni meja makan lain tunjukkan setelah mendengar suara aneh tersebut. Sayangnya, mereka hanya diam, beku bagai balok es. Jujur saja, gadis itu sangat ingin tertawa sekarang. Tidak ada dalam bayangannya, jika bibir si Pria Brewok akan mengeluarkan suara gemulai yang aduhai, alih-alih suara bariton pria yang khas. Tentu, orang sepertinya akan terjungkal saking lucunya. Dan Anya berusaha menahannya.
Wajahnya sudah semerah tomat, sedang hidungnya kembang-kempis dengan gerakan cepat; menahan diri untuk tidak menyemburkan tawanya saat itu juga. Dan ketika tatapan si Pria Brewok mengarah kepadanya dengan mata menyipit curiga, Anya tidak punya pilihan selain terbahak keras.
Terlalu terbawa suasana, Anya seakan lupa dengan siapa ia berhadapan. Bahkan tanpa rasa malu, memukul meja makan dengan keras sembari tertawa. Begitu kerasnya hingga piring tak berdosa di atas meja bergetar hebat; merasa was-was kalau gadis gila itu akan memecahkan piring.
Anya melirik ke arah si Pria Brewok. Sementara yang ditatap telah memasang wajah permusuhan. "Tuan, apakah Anda Mawar? Pengisi suara samaran di tv? Sebab suara kalian sama. Pfftt ... ahahaha ... mereka pasti terinspirasi dari suara Anda."
Tawa kerasnya terus menggema memenuhi ruang makan, begitu kontras dengan suasana hening pun mimik datar yang ditunjukkan keluarga itu. Menyadari kelakukannya, tangannya dengan cepat membekap mulutnya yang tidak bisa dikontrol. Hampir saja, dia membuka kedok kelakuan absurdnya sendiri.
Tentu saja, semua orang menatapnya dengan aneh sekarang.
"Ah, maafkan saya," sesalnya, sembari memasang tampang menyedihkan. Seolah telah melakukan kejahatan besar yang tidak dapat dimaafkan, dan akan segera mendapat vonis hukuman mati dengan cara digantung. Segera, Anya menatap segan pria baya itu. "Hmm ... benar, nama saya Anya ... Anya Hadi," katanya, lembut.
Pria baya brewok itu lantas berdehem keras; menyindir Anya yang justru menatapnya tanpa dosa. Sementara tangan kekarnya bergerak meraih janggut di dagunya yang agak panjang, mengelusnya dengan sayang sembari mata tajamnya membalas tatapan Anya dengan sedikit jengkel—ia berkata, "selamat datang di Keluarga Adiptara." Maniknya memicing, sedang dagunya terangkat tinggi, lalu tangannya tidak berhenti mengelus janggut dengan gerakan naik-turun.
Anya mengangguk diselingi cengiran sebagai balasan.
"Aku rasa kamu telah mendengar nama Adiptara sebelumnya, sebagai keluarga kaya dengan label no. 1." Si Pria Bersuara Aduhai menyeringai, meski begitu, mata gelapnya berkilat angkuh ketika melirik Anya.
Alih-alih termakan akan kesombongan dari ucapan tersebut, Anya justru mati-matian menahan diri agar tidak tertawa. Suara itu terdengar begitu lucu, tidak pernah sebelumnya Anya mendengar suara pria benar-benar mirip suara perempuan.
Lantas, orang yang merasa ditertawai segera memasang tampang keruh.
Rupanya, gadis ini bukan lawan yang mudah.
"Ayah, aku rasa dia belum tahu mengenai kami."
Tiba-tiba, salah seorang wanita cantik yang duduk di samping kirinya menyahut, sembari menatap satu-satunya gadis remaja di sana dengan senyum ramah. Kemudian tatapan matanya yang sedikit sayu menatap ayah mertuanya. " Bukankah selama ini hanya identitas Ayah yang diketahui semua orang, sedangkan ke empat anak lelaki dan dua menantu Anda, identitasnya dirahasiakan dari publik dengan alasan keamanan," ucapnya, masih dengan senyum ramah.
Kening si Pria Brewok mengerut dalam, jemarinya menopang dagu, dan wajahnya nampak berpikir. "Benar juga," katanya. Wanita itu segera tersenyum menyadari telah mendapatkan persetujuan.
"Biarkan aku memperkenalkan keluarga ini kepadanya," usulnya kemudian.
Anya hanya bisa terkesima, betapa sopan dan cantiknya wanita itu dalam bertutur kata. Bisa ia pastikan, wanita itu merupakan salah satu menantu dari keluarga ini.
Tidak untuk melebih-lebihkan, sebab Adiptara memang benar adalah keluarga nomor satu di negara ini. Mereka terkenal karena kekayaannya yang melimpah. Jangan lupakan perusahaan raksasa mereka di bidang industri, pertambangan, bahkan kabarnya mulai merambah ke bidang pariwisata.
Sayangnya, beberapa tahun silam yang menjadi sejarah besar keluarga tersebut—sang Ny. Adiptara atau istri dari Ramlan Ady Adiptara ditemukan tewas di sebuah penginapan mewah di Bali, dalam keadaan tubuh mengenaskan dipenuhi luka tusukan—benar, Ny. Sinta Adiptara telah terbunuh.
Hari itu—telah menjadi hari paling kelam bagi keluarga tersohor tersebut. Semua awak media meliput berita kematian sang Ny. Adiptara, memaksa seluruh pelosok negeri tahu peristiwanya, tidak terkecuali orang-orang di Panti Asuhan Asih.
Lambat laun seiring berjalannya waktu, kejadian naas itu mulai dilupakan. Dengan kekuasaan Adiptara, kasus ini segera menghilang dari negeri, tidak terkecuali ke empat anak lelakinya yang masih berada diusia kanak-kanak.
Identitas ke empat anak lelaki tersebut seolah ikut terseret arus dilupakan. Wajah kanak-kanak mereka yang lugu, tidak lagi ditemukan di media dan koran manapun hingga sekarang—pun, tidak ada yang tahu pasti, seperti apa rupa dewasa dari ke empat bocah tampan Adiptara.
Karena, Ramlan Ady Adiptara memutuskan merahasiakan identitas anak-anaknya dari media massa, bahkan menggantinya dengan identitas lain yang tentu tidak lagi diketahui orang biasa.
Pria paru baya itu menginginkan,
.
.
.
keselamatan keluarganya.
Gadis burik itu terkesima.
Kemudian keningnya berkerut saat menyadari sesuatu.
"Nama samaran?"
Tania tersenyum cantik. "Semua Adiptara kecuali Ayah, memiliki nama samaran saat di tempat umum dan kamu akan tahu alasannya nanti. Tentu, kamu juga akan memilikinya."
Anya mengangguk.
Tania beralih kepada pria tampan di sebelahnya, dan senyumnya kian merekah ketika berkata, "dia, Ryan Pram Adiptara, putra pertama keluarga Adiptara sekaligus suamiku." Dan sekali lagi, wanita itu tersenyum.
Seperti inikah yang disebut murah senyum? pikir Anya.
Anya bahkan ikut tersenyum seakan tertular. Sayangnya, gadis tengik itu tersenyum pongah membuatnya terlihat bodoh.
"Namaku dulu Priam Adiptara, alasan mengapa namaku berganti, hal itu tidak perlu dibahas sekarang, sebab kita fokus saja pada perkenalan dengan nama yang saat ini saja, yah!" Ryan ikut menambahkan, bahkan pria itu menggunakan bahasa yang lebih akrab kepadanya. Oh! Jangan lupakan senyum manisnya yang baru saja melelehkan Anya.
"Baik!"
"Ah! Jangan lupa nama samaranku, Jaya Anggara," lanjutnya.
Anya mulai berpikir. Nyatanya, keluarga orang kaya tidak selalu angkuh, sebab senyum manis yang Tania dan Ryan berikan kepadanya sudah cukup menjadi bukti, bahwa mereka adalah orang yang ramah.
Sayangnya, pikiran itu segera lenyap. Anya bergidik ngeri saat merasakan sebuah tatapan setajam belati menghunusnya dari arah kanan mejanya. Ia pun menoleh, lalu mendapati sepasang mata elang terang-terangan menatapnya; satu-satunya orang yang duduk di kursi sebelah kanan ditemani dua kursi kosong di sampingnya.
Glukk!!
Anya meneguk ludahnya.
"Anya! Dia Rendi Pram Adiptara, anak bungsu keluarga ini dan dia satu tahun di bawahmu. Nama samarannya—"
"Septian Brawijaya," Anya memotong dengan tiba-tiba.
Kemudian melanjutkan dengan nada dingin, sementara tatapannya berubah garang saat menatap pemuda yang lebih muda setahun darinya itu, "dan dia telah merusak sepeda ku di depan minimarket," tudingnya, membara.
Rendi tersenyum dingin, lalu membalas, "sepedamu yang menghalangi mobilku, itu pantas dimusnahkan. Lagi pula, kamu membuatku muntah ... jadi, kita impas," ujarnya, mengejek.
Anya tersulut emosi!
Dasar setan!
"Wah!" Rotasi mata yang berlebihan menunjukkan kekesalan Anya. "Angkuh sekali kamu. Lihat saja nanti. Sekarang aku adalah kakak iparmu dan nantikan apa yang akan aku perbuat padamu," balas Anya tidak kalah mengejek, seakan lupa tempat di mana keberadaannya sekarang.
"Ekhmm!"
Andai Ramlan tidak menginterupsi perang dingin antara putra bungsu dan menantu barunya, tidak ada yang tahu akan sejauh mana pertikaian itu terus berlanjut. Diam-diam, Tania menghembuskan nafas lega.
Ramlan menatap Anya tidak senang, kemudian beralih menatap menantunya—Tania—dengan senyum. "Lanjut—"
"Wah!!"
Belum usai perkataannya, seseorang telah menerobos terlebih dahulu. Ramlan bahkan sudah mendelik jengkel saat ucapannya dipotong begitu saja. Ia sangat tahu siapa pelakunya, karena itulah dia lebih memilih diam. Namun, sorot matanya menunjukkan ketidaksukaan.
"Aku suka anak ini, di mana kira-kira adik ipar menemukannya? Dia unik." Kalimat itu berhasil keluar dari mulut wanita dewasa lain yang duduk di samping Tania.
Anya sendiri terkejut, ia pikir menantu Adiptara yang satu itu sangat kalem. Nyatanya, wanita ini justru tidak seperti yang ia duga. Seolah sedang menunggu sesuatu yang menarik sebelum menunjukkan taringnya, eh?
Keluarga ini sungguh tidak terduga.
"Kenalkan ...," dia menyeringai sembari mengulurkan tangan, kemudian dibalas Anya dengan uluran yang sama. "Aku Ui Anh Adiptara, istri manusia aneh ini." Dagunya mengarah kepada pria tampan di samping kirinya. "Namanya Rangga Pram Adiptara atau panggil saja Julio, kamu pun bisa memanggilku dengan nama lain, Septiana."
"Hai Anya!" sapa Rangga.
Dan Anya melongo.
Gadis itu sungguh merasa bingung dengan semua kejutan tiba-tiba ini, banyak yang ingin ia tanyakan tetapi lidahnya seakan berubah bentuk menjadi jeli sehingga sulit digunakan. Jujur saja, hal-hal yang terjadi padanya sungguh tidak dapat ia cerna dengan baik. Semua seolah terjadi begitu saja.
Di mulai sejak dua hari yang lalu, tepatnya setelah ia pulang sekolah dan menemukan tiga orang berjas hitam menyerupai bodyguard, dan satu orang berpakaian formal berwarna abu gelap di ruang tamu panti asuhan tempat ia tinggal. Menjadi awal dari segalanya.
Mengejutkannya, mereka datang dengan maksud melamarnya untuk tuan muda mereka—yang konon katanya, telah memasuki usia menikah (menurut kalender perhitungan pernikahan keluarga Adiptara)—dengan siapapun itu dan dari kalangan manapun itu. Asalkan si gadis, wanita, atau janda sekalipun, baik sengaja maupun tidak sengaja menyentuh pertama kali sang tuan muda saat tepat berusia 25 tahun.
Aneh bukan?
Dan sialnya, itu Anya.
Seperti itulah pikiran seorang Anya, saat menemukan ke empat orang itu menjelaskan alasan mereka melamarnya untuk seseorang yang bahkan tidak ia ketahui. Sayangnya, dia bahkan tidak dapat mengatakan tidak bersedia—jika mengingat keuntungan apa yang akan didapatkannya jika bibir kecilnya dengan mantap berkata—ia bersedia.
Pantinya terlilit hutang dan ia membutuhkan uang.
Entah orang lain akan melakukan hal yang sama atau tidak jika berada di posisinya. Tetapi, Anya tidak bisa membiarkan saat keluarganya, rumahnya, dan satu-satunya hidupnya, akan dimusnahkan. Oh! Bukan, bukan keluarga Adiptara yang akan membumi hanguskan Panti Asuhan Asih, tetapi para rentenir pemilik tanah yang tidak berperikemanusian memasang sewa tanah yang tindak mampu panti asuhan kecil itu bayar.
Maka sebagain imbalan, ia akan membiarkan Adiptara menjadi donatur tetap sekaligus penebus sewa tanah.
Dan, secepat angin berhembus—Rayland Pram Adiptara—putra ketiga Ramlan Ady Adiptara resmi memperistri Anya Hadi esok harinya.
Dan begitulah,
.
.
.
Kisah Adiptara Family's dimulai.
Di sana, ketika Anya menoleh ke arah ambang pintu masuk yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang makan mansion ini—Rayland Pram Adiptara—muncul bak malaikat pencabut nyawa dengan sejuta pesona, siap mencabut nyawa seorang Anya Hadi dengan ketampanan pria berusia 25 tahun itu.
Bahkan, tanpa menoleh barang sedikitpun kepada Anya, pria angkuh itu duduk dengan tenang di samping adik laknatnya—Rendi Pram Adiptara—untuk menempati salah satu kursi kosong di sana. Lantas berkata, "gadis pendek ini tidak akan memiliki nama samaran atau pun nama belakang Adiptara, namanya tetap akan sama—Anya Hadi," paparnya sepihak. Dan anehnya, semua orang termasuk ayahnya sendiri menurut dengan patuh.
Tanpa sanggahan. Dan tanpa bantahan.
Dan Anya tertegun mengetahui fakta baru,
.
.
.
bahwa—Rayland Pram Adiptara—jauh lebih berkuasa.
"Terima kasih sudah datang ke minimarket kami, berkunjung lagi, yah!!"
Anya tersenyum melepas salah seorang pengunjung minimarket tempat ia bekerja, setelah transaksi pembayaran selesai mereka lakukan di meja kasir. Karena keramahan gadis itu, sang pengunjung merasa senang, sontak balas tersenyum ramah.
Devi—teman Anya yang bekerja di minimarket, tidak bisa untuk tidak tersenyum melihat tingkah kawannya yang ajaib. Pasalnya, beberapa saat yang lalu gadis itu mengamuk seperti orang gila di depan minimarket kepada seorang pengemudi mobil mewah, yang diduga menabrak sepedanya saat ia hendak memarkirnya seperti hari biasa.
Jangan bayangkan tingkah gila apa yang dilakukannya kepada si pengemudi mobil. Tepat ketika sesosok pemuda tampan berseragam Sma keluar dari dalam mobil, untuk menghadapi sosok Anya secara langsung. Tanpa diduga, gadis itu sudah menyemburkan air bekas kumuran dari dalam mulutnya—tepat di wajah—dan jangan bayangkan bagaimana pengemudi mobil tersebut bereaksi.
Pemuda itu muntah di tempat.
Entah apa yang akan terjadi beberapa menit selanjutnya, jika seandainya dua orang berbaju hitam tidak segera membawa pergi pemuda itu dengan mobilnya; setelah meninggalkan sebuah jaminan perbaikan sepeda berupa kartu nama. Mungkin akan terjadi perang ketiga dadakan di sana. Mengingat, si pemuda terlihat begitu angkuh.
"Di mana saya dapat menemukan sebuah permen cokelat?"
Lamunan Devi buyar saat sebuah suara terdengar tidak jauh di depannya.
Dan ia tertegun. Menatap takjub sosok tinggi di hadapannya; seorang pria tampan yang ia sendiri tidak mampu mendeskripsikan seberapa tampannya dia. Gadis bertubuh tambun itu tidak merasa melebih-lebihkan apapun yang ia lihat sekarang, sebab itu semua fakta mutlak. Dan siapapun tidak dapat merubahnya.
"Apakah di sini tidak ada permen coklat?"
Desiran suaranya yang dingin mampu membekukan Devi saat itu juga. Secepat ia terkesima, maka secepat itu pulalah ia menyadari bahwa pria yang menjulang tinggi di depannya saat ini, adalah seorang pelanggan yang tampak berbahaya. Dengan senyum canggung, Devi segera mengarahkan pria luar biasa itu menuju rak penuh makanan ringan—termasuk sebuah permen coklat.
Dengan senyum segan, Devi menunjuk rak di depannya. "Silahkan, Anda bisa menemukannya di sini. Permen cokelat seperti apa yang Anda cari?"
Si pria tampak berpikir dengan wajah dingin, lantas tangannya bergerak meraih handphone dari dalam saku celananya yang terlihat mahal, untuk menghubungi seseorang. "Permen cokelat seperti apa yang kamu inginkan, Sweety?" tanyanya.
Tanpa sadar, Devi merona mendengar bagaimana suara dingin itu berucap kepada seseorang di balik panggilan telfon, tepat setelah terhubung. Ia ikut tersenyum, kendati jelas kalimat manis tersebut bukan ditunjukkan untuknya. Hanya saja, Devi merasa laki-laki dingin sekalipun bisa bersikap demikian kepada kekasihnya.
Beberapa saat setelah percakapan telfon berakhir, pria itu justru memasang tampang keruh, dia berkata, "berikan aku semua jenis coklat di rak," pintanya, lalu melangkah pergi menuju lemari pendingin yang dipenuh berbagai jenis minuman.
Dibukanya lemari es, sementara dengan cepat maniknya memindai satu persatu jenis minuman yang ada di dalam sana selama beberapa saat. Seolah menimang, akan memilih jenis minuman apa yang hendak ia minum. Lantas, matanya yang tajam menyipit melihat botol air mineral hanya tersisa satu, dan ketika tangannya terulur mencoba meraih air mineral satu-satunya—tahu-tahu—sebuah tangan kurus, pucat, telah lebih dulu menyambarnya dengan tergesa.
Tanpa menyadari, telah menyentuh tangan si pria.
Namun pria itu sangat sadar—bahwa gadis itulah yang pertama kali menyentuhnya tepat saat ia berusia 25 tahun—bahkan mendahului kekasihnya sendiri.
"Hehehe ... maaf Tuan, tadi saya makan somai pedas di depan. Jadi butuh air, saya kepedasan." Gadis itu menyengir bodoh, disertai tatapan tanpa dosa ketika meminum air mineral satu-satunya—tepat di depan si pria.
Pria itu tertegun bercampur syok!
Tidak mungkin 'kan?! pikirnya.
Lantas, ia mulai menyesal, sebab memilih berbelanja seorang sendiri dan tidak meminta kepada asisten pribadinya seperti biasanya.
Apa ini takdir?
Entahlah. Namun pastinya, ia tidak bisa menolak.
Anya tidak sempat menyaksikan bagaimana pria di depannya melakukan perubahan ekspresi begitu cepat, sehingga tidak menyadari jika pria bertampang dingin itu sempat menampilkan mimik yang sulit diartikan, sembari menatap Anya yang masih saja memasang tampang bodoh.
Anya segera melepas senyum bodohnya, ketika menyadari pria itu tidak mengatakan apa-apa. Tetapi, manik gelapnya sama sekali tidak berhenti menatap Anya dengan tatapan beku. Tanpa sadar, Anya meneguk ludah dengan kasar. Kerongkongannya seolah terasa kering, meski telah minum air mineral beberapa waktu lalu.
"Hmm ... maaf, mungkin air mineral di lemari pendingin sudah habis. Tapi, di belakang sana masih banyak air mineral lainnya," ujarnya, sedikit gugup, sembari telunjuknya menunjuk ke arah belakang gudang penyimpanan. "Kalau Anda mau, saya bisa ambilkan sekarang," tawarnya.
Ia pikir, si pelanggan angkuh sedang marah karena didahului mengambil botol air mineral, "yah, walaupun tidak dingin lagi, sih," tambahnya dengan canggung, tanpa sadar memalingkan wajah menatap kembali lemari pendingin. Karena sejujurnya gadis itu mulai sedikit takut.
Seolah tidak terjadi apapun, pria itu justru berlalu dengan cepat sambil mendengkus remeh ketika melewati tubuh Anya yang mematung.
"Sampai ketemu lagi, Anya Hadi," tuntasnya, lalu meninggalkan minimarket seraya membawa sekantong penuh permen cokelat yang diambilnya dari Devi—yang ikut mematung di meja kasir—sembari menatap beberapa lembar uang seratus ribuan yang diletakkan si pria tampan nan misterius di sana.
"Anya!" panggil Devi. "Sepertinya kamu dalam masalah," ucapnya, menatap Anya yang masih mematung di tempat.
Seraya menyentuh name tag di dada kirinya dengan lesu, Anya berujar,
"yah, sepertinya."
Sejatinya, semua yang terjadi di bumi ini,
.
.
.
telah direncanakan.
"Aku. Tidak. Mau." Ramlan memijit pelipisnya yang terasa berdenyut mendengar Rendi terus menolak keputusannya. Sungguh, anak bungsunya itu sangat pembangkang, belum lagi ia harus dihadapkan dengan seorang menantu labil tidak kalah menyebalkan. "Kamu pikir aku mau satu sekolah dengan mu? Tidak," Anya membalas ketus, sembari bersedekap di kursinya. Menatap Rendi dengan marah. Ramlan membuang nafas kasar. Sudah dua minggu sejak Anya bergabung dalam keluarganya dan gadis itu bahkan tidak sekalipun tampak menghormatinya. Apakah ia terlalu lunak kepada anak dan menantunya? Entahlah, ia hanya membutuhkan Rayland sekarang; membantunya mengatur kedua bocah tersebut. Rayland sendiri sedang dalam perjalanan bisnis, dan baru akan pulang besok bersama ana
Terhitung sudah empat minggu sejak Anya menjadi menantu Adiptara. Dan sejak saat itulah keluarga Adiptara benar-benar dihadapkan pada sebuah kenyataan, bahwa anggoa baru yang mereka bawa ke rumah itu—benar-benar ajaib. Gadis itu sama sekali tidak pernah diam dan seringkali membuat keributan di mansion. Rendi yang pemarah dan cukup labil menjadi sasaran empuknya untuk melakukan ulah. Bukan hanya Rendi—Ramlan Ady Adiptara—yang notabene-nya adalah mertuanya sendiri, pun ikut menjadi korban kejahilan akan tingkah ajaibnya. Pria yang kelihatan sangar diluar itu, sungguh kelimpungan menghadapi sikap anak bungsu serta menantunya sendiri. Kemungkinan besar, orang lain berpikir, Anya dan Rendi merupakansepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Lantas menganggap hal-hal yang mereka lakukan, seperti sal
Anya sungguh terkejut mendapati Rayland sudah berada tepat di depannya. Mengapa pria itu ada di sini? Tidak biasanya pulang sangat cepat. Ataukah karena menyadari ponsel yang selama ini tidak pernah lepas dari tangannya—tiba-tiba tidak berada di sekitarnya—dan menyadari bahwa ponsel itu tertinggal di rumah, di ruang kerjanya? "Berikan ponselku, Anya!" titah Rayland tertahan, mencoba meredam emosinya yang membara. Gadis itu bergeming. Anya tidak tahu harus melakukan apa. Ia sungguh tidak ingin menyerahkannya. Anya merasa perlu memastikan siapa wanita yang beberapa saat lalu menelfon suaminya. Oh! Sekarang ia bahkan terdengar bagai istri yang tengah memergoki suaminya selingkuh. Tetapi, kenyataannya memang terdengar demikian. Melihat aura Rayland yang paling
"Apa kamu lumpuh? Cepatlah bodoh!" Anya mendelik menatap Rendi yang baru saja membentaknya. Gadis kurus itu lantas menarik koper berukuran jumbo yang tidak lebih besar dari badannya sendiri. Menarik koper dengan tergesa ia segera menyusul pemuda pms itu yang sudah berjalan jauh di depan. Meninggalkan bandara menuju mobil pribadi keluarga Adiptara yang sudah lebih dulu menunggu. Dan meninggalkan dia dengan koper besarnya. Mengapa tidak ada pelayan seperti biasanya? Anya berteriak! Kendati kesal. Tetapi Anya memilih diam, tidak mengatakan apapun. Sekarang ia sungguh senang. Rayland dengan tegas mengatakan keluarga ini akan berlibur ke pulau Dewata, Bali. Tapi mengapa harus Bali? Anya bukan ingin ke lain tempat atau keluar negeri. Hanya s
Ketika Anya berpikir Rayland akan sangat marah. Nyatanya ia salah. Pria itu justru menampakkan raut yang tidak bisa Anya sangka. Rayland terlihat sangat tenang, seolah emosi yang beberapa saat lalu ia tunjukkan tidak pernah ada. Bahkan, aura gelapnya yang pekat menghilang dengan cepat dari tubuh tegapnya. Menyisakan tatapan dinginnya kembali, sembari menatap Anya dengan rendah. Anya meringis! Bisakah pria itu berhenti menatapnya demikian? Anya mungkin masih bisa menerima, jika ditatap dengan dingin atau datar—tetapi rendah? Oh! Anya juga manusia yang punya perasaan sekalipun ia hanyalah orang biasa. Memilih memalingkan wajah, Anya menghela nafas sebentar. Menunggu reaksi apa lagi yang akan ditunjukkan Rayland setelah apa yang gadis itu tanyakan. Jujur saja—ia sendiri tidak tahu mengapa
"Anya! Hei, kamu baik?!" Tubuh gadis itu diguncang dengan keras. Seketika Anya membuka mata lantas meraup oksigen dengan rakus. Wajahnya kian memucat dan peluh membasahi tubuhnya. Ketika kesadarannya mulai muncul, manik cokelatnya melebar menemukan sosok Rayland tepat di depannya. Memegangi kedua bahunya. Sekali lagi Anya menjerit dan meronta. Ketika gadis itu mencoba melompat dari ranjang, Rayland segera menahan serta memeluknya dengan kuat. Berharap Anya segera berhenti. "Anya diam!" Suara pria itu meninggi. Tetapi pelukannya tidak mengendor sama sekali. "Jangan bunuh aku!" "Hah? Kamu ini bicara apa?" Nadanya terdengar khawatir. "Anya, buka matamu!" Tetapi gadis itu tidak kunjung membuka mata. Bahkan sekarang mulai menangis. Anya ketakutan dan R
Pagi hari di suatu tempat hujan turun cukup deras. Suasana basah yang khas ditambah aroma tanah yang menenangkan, membuat seseorang yang duduk di salah satu kursi di dalam sebuah ruangan bercat putih mendominasi merasa damai. Suasana seperti inilah yang selalu ia suka. Tenang dan sunyi. Matanya yang bening menatap keluar jendela kaca berjeruji yang membatasi dirinya dengan dunia luar, menatap takjub tetesan air hujan yang turun menerus ke bumi. Ingatannya berputar mengenang masa kecilnya, ketika hujan turun ia akan segera melepas diri, dan membiarkan hujan menyatu dangan raganya. Membasahi tubuh kecilnya hingga benar-benar kedinginan dan menggigil. Tetapi sensasi itulah yang selalu ia nantikan. Ia menyukainya, sebab ibunya akan datang menjenguknya ketika dirinya sedang demam, akibat terlalu lama diguyur hujan. Sudah 20 tahun berlalu
Rayland baru saja keluar dari sebuah ruangan gelap. Tidak ada yang bisa memastikan di mana letak pastinya kecuali pria itu sendiri, dan sosok Antonio di belakangnya. Melewati lorong sunyi yang setara dengan panjang puluhan meter, akhirnya mereka berdua berhasil keluar dari sana. Wajah pria itu begitu suram. Aura hitamnya yang pekat bahkan menguar ke mana-mana. Jika saja Anya berada di sisinya, kemungkinan gadis itu akan pingsan saking takutnya. Kemarahan Rayland bukan tanpa sebab, tepat setelah Anya dan keluarganya pulang ke mansion Adiptara. Pria tampan itu lekas ke tempat ini, membawa serta pengawal pribadi sekaligus asistennya—Antonio. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan sebuah informasi—informasi, yang telah menjadi prioritas utamanya selama beberapa tahun terakhir. Sayangnya, seperti sebelum-sebelumnya, Rayland tidak menemukan apa-a
"Astaga, Rayaaaa!!" "Buahh! Baa!!" Rendi melotot. Merasa bodoh sendiri memaki bocah perempuan yang masih berusia satu tahun. Beralih menatap ke arah bocah laki-laki di samping Raya; berambut punk, bertindik ala-ala, jangan lupakan tato mainan disekujur tubuhnya. Kemudian pemuda itu menunjuk ke arah dinding kamarnya yang dipenuhi coretan tinta. "Eh, bocah rock jalanan, kamu yang coret dinding kamarku?" tuduhnya, merasa jengkel dengan anak kakaknya yang satu ini. Kenakalannya berada di tingkat dewa. Masih berumur dua tahun saja, cita-citanya sudah ingin menjadi penyanyi rock. Manik kelam milik bocah
Bau dupa merebak kuat memenuhi seluruh tempat. Lalu di beberapa bagian, kelopak bunga mawar bertebaran seolah sengaja diletakkan di antara salju putih yang menyilaukan mata, begitu kontras dengan warna merahnya. Perpaduan dupa dan harum mawar terasa pekat, menusuk hidung sampai ke ubun-ubun. Dan ketika Anya terbangun, wajahnya luar biasa syok menyadari di mana dirinya saat ini. Dunia mimpi-tetapi tidak di pondok kakek Pram. Kerutan di dahinya bertambah seiring kemilau gaun putih yang ia kenakan tertimpa beberapa cahaya matahari, menyembul malu di antara awan, sementara salju terus berguguran. Kemudian maniknya menyipit menatap sekeliling; tidak ada apapun selain hamparan salju di tanah lapang tanpa kontur tanah, selain ranjang yang ia tempati sekarang. Anya termangu. Merasa bingung seb
Drap! Drap! Langkah kaki terdengar terburu, memenuhi nyaris separuh lorong rumah sakit dari arah ruang bersalin menuju ruangan lain--khusus VIP. Beberapa perawat menegur mereka, meminta dengan sopan agar tidak membuat keributan. Rangga berhenti, membiarkan Rendi, Anya, dan Lolita untuk melanjutkan langkah. Sementara dia menatap perawat untuk meminta maaf atas kelancangannya. Perawat yang baru saja menegur lantas memasang mimik mengerti, namun meminta, agar Rangga tidak mengulangi hal yang sama. Sebab ini jelas menggangu pasien yang sedang beristirahat. Sekali lagi meminta maaf, Rangga akhirnya berlalu dengan langkah cepat. Orang pertama yang memasuki ruang inap Rayland adalah Rendi dan Lolita. Sementara Anya, dia berhenti, kakinya tiba-tiba terasa berat d
Tik! Tik! Anya termenung. Memejamkan mata merasai rintik hujan yang mulai membasahi wajah, nyaris seluruh tubuh. Dia berjongkok, menyamai tubuhnya dengan tumpukan tanah basah yang baru saja menenggelamkan tubuh Rain dalam kesunyian. Kesannya bagai mimpi, dan rasanya baru kemarin dia bertemu dengan sosok pria yang kini tengah terbaring damai dalam peraduan terakhirnya. Anya tidak menangis, sebab terlalu lelah dan ia ingin mengakhirinya. Anya hanya ingin menerka, mencoba bertanya kepada diri sendiri, mengapa Rain pergi? Mengapa pria itu memilih pergi setelah semua yang terjadi di antara mereka? Tidak seperti yang Anya duga, nyatanya hujan tidak turun dengan deras. Gerimis yang semula muncul menghilang entah ke mana, t
Membelalak. Rahman seolah tidak mampu mengucapkan satu kata pun sekarang. Maniknya melebar terkejut, melihat bagaimana ledakan yang nyaris menghempaskannya andai tidak segera memasang kuda-kuda pertahanan yang tepat. Tubuhnya jelas akan ikut terjebak dalam pusaran angin, membawa raganya terpental bersama yang lain. Beruntung, sebab ia memiliki refleks yang bagus. Mendongak. Kilat kemarahan di manik pria baya itu bertambah seiring mata gelapnya menatap sosok Anya; melayang di udara dengan posisi yang tidak berubah sedikitpun. Tidak ada riak berarti di wajah gadis itu. Matanya masih membuka dengan iris sehitam arang tanpa setitik pantulan cahaya di sana. Yang dia lakukan hanya diam melayang dengan sorot luar biasa kosong. Bukankah seharusnya proses penengah hanya bisa terjadi saat tubuh pengguna dalam keadaan sadar?
Satu jam sebelum Rayland tertangkap Sejatinya, Lolita begitu malas menghampiri Rayland di kamar mandi. Inginnya hanya berdua saja dengan Ryuu lalu tidur setelahnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia jelas tidak bisa menolak jika mengingat hanya dirinya yang paling memungkinkan untuk bergerak bebas. Jadi, tidak ada pilihan lain selain dia yang harus menghampiri pria itu. Tiba di depan kamar mandi, Lolita mengetuk pintu hingga berulang kali dan Rayland di dalamnya sama sekali tidak merespon. Sampai ketukan ke empat, pintu akhirnya terbuka dan Rayland muncul di baliknya. Satu detik! Dua detik! Tiga detik! "Aaaaaaaa ...," Teriakan Lolita menggema. Bukan tanpa alasan, sebab nyatanya, orang yang muncul dari balik
BRAK!! BRAK!! Darah mengucur deras, mengaliri hidung, mulut, bahkan telinga Rain. Pria itu meluruh lemas ke bawah lantai dengan penampilan mengerikan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan dan darah tidak berhenti merembes dari sana. Manik kelamnya menyorot sosok Rahman yang sedang duduk di kursi, sembari menyeringai setan melihat penderitaannya. Kedua tangannya dirantai begitupun lehernya. Kini, Rain tidak ubahnya seekor hewan penyiksaan. Dua orang pria bertopeng berdiri di sisi Rahman, memegang senapan aneh dan sejak tadi hanya terdiam menyaksikan kekejaman Rahman kepada Rain. Kasih sayang seorang ayah seolah tidak ada dalam jiwanya, lantas menyiksa anak sendiri bukanlah masalah besar baginya. Ketika mengetahui Ren telah terbunuh, Rahma
Perih. Panas. Dan rasa sakit perlahan mulai merambati Antonio dari satu titik, kemudian menyebar hingga ke seluruh perutnya. Satu tembakan bisa ditahan, namun dua tembakan berikutnya menembus dada, memaksa Antonio untuk tersungkur ke lantai. Matanya berkunang, pandangannya mulai memburam, dan kesadarannya nyaris menghilang. Dinginnya lantai seolah tidak berasa, ketika pipinya menghantam keramik di bawahnya. Sosok wanita yang selalu ia kenal ramah dan baik menjadi latar mengerikan, memegangi pistol yang masih mengepulkan asap panas, sedang berdiri mengarah kepadanya. Sejatinya, Antonio tidak menyangka akan kalah secepat ini. Bangun! pikirnya. Rayland masih membutuhkannya dan ia harus melakukan sesuatu, sebelum wanita ular itu melukai Rayland dan Anya. Mereka berdua baru saja bertemu. Tania tidak boleh menghancurkan setitik kebahagi
Langkah kaki yang terdengar pelan beradu dengan suara gesekan ranting pun dedaunan kering, ketika terseret, terdengar bagai gema suara yang khas. Mengalun dengan aneh; srek ... srek. Seonggok tubuh manusia bergerak menyapu bersih dedaunan, ketika bokong hingga ujung kakinya menyentuh tanah, ditarik dengan kasar, sementara dia tidak sadarkan diri. Separuh tubuhnya telah kotor, celana panjangnya di penuhi bekas tanah, lalu sepatu hitamnya hilang sebelah, dan hanya menyisakan kaos kaki. Dari jarak dua meter, tampak bangunan tua beratap flat di penuhi lumut, cat tembok terkelupas, beberapa bagian rusak, dan sekitarnya dirambati tanaman rambat. Pun, dipenuhi semak belukar berduri. Jika dilihat, berpikir dua kali adalah pikiran wajar sebelum mengunjungi tempat tersebut. Begitu kotor dan menakutkan. Bisa jadi, tempat itu adalah sarang destinasi ekperimen paranormal.