Ketika Anya berpikir Rayland akan sangat marah. Nyatanya ia salah. Pria itu justru menampakkan raut yang tidak bisa Anya sangka. Rayland terlihat sangat tenang, seolah emosi yang beberapa saat lalu ia tunjukkan tidak pernah ada. Bahkan, aura gelapnya yang pekat menghilang dengan cepat dari tubuh tegapnya. Menyisakan tatapan dinginnya kembali, sembari menatap Anya dengan rendah.
Anya meringis!
Bisakah pria itu berhenti menatapnya demikian? Anya mungkin masih bisa menerima, jika ditatap dengan dingin atau datar—tetapi rendah? Oh! Anya juga manusia yang punya perasaan sekalipun ia hanyalah orang biasa. Memilih memalingkan wajah, Anya menghela nafas sebentar. Menunggu reaksi apa lagi yang akan ditunjukkan Rayland setelah apa yang gadis itu tanyakan. Jujur saja—ia sendiri tidak tahu mengapa mengangkat pertanyaan itu ketika tersadar. Lidahnya seolah bergerak sendiri, lantas mengucapkan sesuatu yang tidak diduga.
Tetapi yang pasti—bahwa apa yang gadis itu tanyakan berdasar dari mimpi aneh yang ia alami selama tidak sadarkan diri. Entah itu bisa disebut mimpi atau tidak. Ia sendiri tidak bisa menjabarkan kejadian mistis yang dialaminya.
Bermula ketika ia terbangun di sebuah ruangan dengan pencahayaan temaram. Itu cukup luas jika disebut sebuah kamar. Tetapi ruangan itu benar-benar sebuah kamar mewah namun terkesan old. Di dalamnya terdapat banyak perabot tetapi bernilai estetika, dan tentunya—mungkin saja mahal.
Ketika Anya mengerti mengapa kamar ini kekurangan cahaya, adalah karena jendela besar yang Anya duga menghadap ke laut—tertutupi sebuah tirai besar. Anya bisa mendengar desiran ombak walau samar. Tetapi, gadis itu tidak sampai idiot untuk mengenali, jika mungkin saja ini sebuah villa mewah dengan view laut di depan.
Lalu, apa yang ia lakukan di sini?
Perlahan. Anya menarik tirai. Seisi kamar langsung saja berubah terang. Silau matahari yang menyakitkan mata, memaksa tangan gadis itu bergerak cepat menghalangi pantulan cahaya yang mencoba masuk mengenai retinanya—menjadikan tangannya sendiri sebagai tameng. Kemudian perlahan gadis rusuh itu membuka mata, sekaligus menurunkan tangan. Matanya membelalak, sedetik kemudian ia menatap takjub ke arah laut di hadapannya. Membentang luas bak permadani biru yang mewah.
Anya sampai membuka mulut saking terkesimanya. Entah berada di dunia nyata atau mimpi sekalipun. Tetap saja, gadis itu bertingkah apa adanya. Bodoh dan terkesan ndeso. Mungkin karena ini lah, baik Rayland atau Rendi selalu menatapnya remeh dan—rendah.
Dasar dua saudara menyebalkan!
Dan juga, angkuh!
Puas menatap laut. Anya berbalik.Tetapi, siapa yang akan menduga jika ia akan segera berteriak dengan keras. Tepat di bawah lantai samping ranjang bagian depan, Anya melihat sesosok mayat wanita dengan kondisi tubuh mengenaskan. Wajah, beserta sebagian tubuh atasnya rusak parah hingga tidak bisa dikenali. Ia menduga, lukanya berasal dari tusukan benda tajam—kemungkinan besar adalah pisau.
Mulanya Anya tidak melihat keberadaan mayat itu, sebab berada di sisi lain ranjang dekat jendela besar, yang beberapa saat lalu gadis itu tarik tirainya. Sampai ketika berada tepat di posisinya sekarang, ia dapat melihatnya dengan jelas. Oh! Mengapa ia harus melihat pemandangan mengerikan seperti ini.
Apakah ini yang disebut setelah baik pasti ada buruk?
Haha!
Sama ketika ia pertama kali melihat pantai yang indah, dan kemudian disuguhi pemandangan mayat mengerikan? Sungguh. Anya ingin muntah.
Cukup lama Anya terdiam, mencoba mengumpulkan tenaga, keberanian, juga fokusnya. Baru kemudian, melangkah mendekati si Mayat Wanita. Kesimpulan paling besar, bahwa mayat ini mungkin saja merupakan pemilik kamar. Itu terlihat cocok dengan pakaian terusannya yang berwarna putih dengan belahan dada rendah.
Anya tidak tahu mengenai fashion. Maka dari itu, suaminya sendiri sering sakit mata karenanya. Tetapi Anya bisa melihat, jika pakaian yang dikenakannya, mampu menunjukkan status sosialnya. Itu mewah dan elegan untuk ukuran baju di era lampau. Entah jaman apa dan tahun berapa. Ia tidak bisa memastikan, karena ia bodoh dalam pelajaran sejarah. Oh! Bukan hanya sejarah—tetapi semua hal mengenai pelajaran.
Sungguh keterlaluan!
Mencoba mengamati lebih dekat. Anya melangkah menuju sisi di seberang ranjang yang semula ia tempati. Tetapi lagi-lagi gadis penakut itu menjerit kesetanan. Tepat di pojokan bawah ranjang dekat dengan meja, Anya mendapati seorang bocah laki-laki. Bocah itu sangat tampan, sampai-sampai mengingatkannya pada seseorang.
Karena si bocah hanya duduk diam dengan tatapan dingin diselingi raut datar, memandang lurus tepat ke arah si Mayat Wanita. Anya menduga, bocah itu tidak mendengar suara teriakannya yang mengalahkan suara speaker.
Atau, Anya sendiri memang tidak pernah terlihat.
Sekarang Anya paham. Gadis itu berada dalam ingatan seseorang dengan perantara mimpi. Seolah sengaja memperlihatkan kepadanya, sebuah peristiwa kelam di masa lalu. Tapi yang Anya tidak mengerti ialah, mengapa harus dirinya?
Anya tidak paham sama sekali.
Menyadari dirinya hanyalah banyangan semu. Anya mencoba mendekati si Bocah Tampan, mengabaikan si Mayat Wanita yang minta segera dimakamkan. Ketika ia semakin dekat, Anya kembali dibuat terkejut, menyadari siapa bocah itu.Dia—adalah suaminya saat ini—Rayland Pram Adiptara, dalam versi bocah.
Ia sangat yakin dengan yang satu ini. Walaupun terdapat perbedaan besar dalam versi bocah dan dewasanya, yang mungkin saja membuat orang lain keliru atau bahkan tidak bisa mengenali sama sekali. Tetapi Anya bisa. Terpuji lah penglihatan aura-nya. Aura setiap orang berbeda-beda, termasuk Rayland. Pria itu cenderung beraura gelap dan akan semakin pekat ketika sedang marah. Anya mengenali itu semua sebagai seseorang yang dapat melihat warna aura orang lain.
Tidak sampai di sana. Lagi-lagi Anya dibuat tercengang. Bagaimana tidak, bocah yang merupakan Rayland mini itu tengah menggenggam sebilah pisau dapur, cukup besar. Sementara darah milik si Mayat Wanita mengenai sebagian besar bajunya. Membuatnya terlihat menyeramkan. Tidak mungkin 'kan, jika bocah laki-laki tampan—yang merupakan Rayland Pram Adiptara—menjadi pelaku pembunuhan sadis ini?
Anya gemetar membayangkannya.
Seketika, Anya menyadari sesuatu, dan matanya membuka lebar-lebar,
..
.
bahwa wanita itu adalah Sinta Adiptara.
Terkesiap. Gadis itu tersadar dan menoleh begitu cepat, ketika mendengar suara berat milik Rayland. Pria itu berdiri tepat di depannya, memberikan sensasi aneh kepadanya. Apa ini cara barunya untuk mengintimidasi?
Sejujurnya, Anya sangat ingin berteriak di depan wajah Rayland, dan mengatakan bahwa ia melihatnya melalui mimpi, juga tidak bermaksud menanyakan itu. Sayangnya, keberaniannya berada di titik nol. Dia tidak berani melakukannya.
Hei! Lidahnya bergerak sendiri. Ia bertanya bukan karena kemauannya.
Ini menyebalkan.
"Tidak, hanya saja ... aku bermimpi aneh." Gadis itu menunduk. Tiba-tiba merasa takut.
Oh sial!
Rayland mengangkat sebelah alisnya. Lantas tersenyum mengejek kepada Anya. "Jadi, kamu mengatakan itu hanya karena sebuah mimpi?"
"Ya."
Tanpa siapa pun menyadari. Ramlan, Ryan, Rangga, dan bahkan Rendi sekalipun, memasang tampang lega. Mereka berpikir, gadis itu kemungkinan hanya membual dan tanpa sadar mengangkat sesuatu yang cukup sensitif, untuk ditanyakan kepada keluarga inti Adiptara. Jadi, tidak ada yang perlu mereka khawatirkan. Setidaknya untuk saat ini.
"Rayland, ada baiknya Anya tidur dan banyak istirahat dulu sekarang." Tania mendekat dan dengan sayang mengelus puncak kepala gadis itu.
Anya jadi terharu~
Karena berpikir Anya memang terlihat lelah. Rayland kemudian memutuskan untuk menyetujui usulan Tania. Rayland menatap satu persatu anggota keluarganya, seolah tatapan mata tajamnya dapat memberitahu, bahwa mereka harus keluar dari kamar. Tanpa mengatakan apapun, mereka keluar, menuju kamar hotel masing-masing.
Rendi yang hendak berjalan kembali, langsung berhenti, mendapati ayahnya masih saja berdiri bengong, menatap pintu kamar hotel Anya dan Rayland. Tatapan pria baya brewok itu meredup. Helaan nafas beratnya pun terdengar, hingga ke telinga Rendi. Sementara jarak memisahkan mereka dua meter jauhnya. Pemuda itu kemudian berjalan mendekat, lantas menepuk pundak Ramlan pelan untuk menyadarkannya. Ramlan berbalik, menatap anak bungsunya dengan senyum.
"Kembali lah ke kamarmu, Rendi," pintanya lalu balas menepuk pundak anaknya, dan berjalan pergi mendahului.
"Ayah," panggil Rendi.
Ramlan menoleh. Mengangkat sebelah alis ia kemudian membuat gestur seolah berkata, 'ada apa?'
Tersenyum, Rendi kemudian berucap, "semua akan baik-baik saja, Ayah."
Tidak dapat menahan senyum, Ramlan membalas dengan senyum menenangkan yang sama, "Kakakmu akan baik-baik saja."
Baru kemudian, rendi berjalan pergi. Jujur saja, dia sangat syok, menduga Anya tahu peristiwa naas itu. Dan cukup lega ketika Anya mengatakan itu hanya sebuah mimpi. Tetapi yang paling mengganggunya—atau mungkin bukan hanya dia saja—adalah mengenai kebetulan tak biasa akan mimpi tersebut.
Bagaimana bisa Anya bermimpi demikian?
Dan, dari mana dia tahu jika bocah itu merupakan Rayland?
Dasar Anya! Selalunya membuat pusing,
.
.
.
dan khawatir.
Sudah dua hari berlalu sejak kejadian itu. Kini, Anya terlihat baik-baik saja. Dia bahkan telah kembali pada pengaturan awal seorang Anya. Gadis itu sudah bisa menjahili siapapun—kecuali Rayland. Dia bahkan mampu berlari dan melompat ke sana kemari sembari berteriak 'I Love Bali'. Memalukan! Rendi benar-benar tidak dapat menahan malu. Karenanya, ia akan menyeret Anya dari kerumunan pantai, ketika hal itu terjadi.
Berbeda dengan Rendi. Kedua kakak ipar atau kakaknya sekalipun, justru berpikir sebaliknya. Mereka beranggapan Anya sangat manis dan lucu. Saking lucunya menurut Ui—kakak iparnya yang satu ini bahkan pernah tertawa bak kuntilanak beranak empat—melihat Anya tersandung kaki para pengunjung lain.Terakhir, Anya terjungkal ke depan dan hidungnya mendarat lebih dulu. Lantas mimisan dengan darah cukup banyak.
Apa itu bisa disebut lucu?
Sinting!
Menatap bosan. Rendi memilih bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju stand minuman es kelapa muda. Sembari menunggu Abang penjual menyelesaikan pesanannya. Ia memilih kembali menatap kumpulan keluarganya, minus sang ayah—dengan tatapan bosan, sementara mulutnya menguap lebar. Ramlan sendiri memilih bersama para koleganya. Karena, pria baya itu tentu harus membatasi pertemuan mereka di tempat umum, untuk menjaga kerahasiaan keluarga.
Lagi. Dari sudut pandang seorang Rendi yang cerdas dan pandai berolahraga. Hanya bisa mengelus dada ketika berhasil menangkap pergerakan Anya yang lagi-lagi salah juga berantakan. Jadinya, permainan volli yang beranggotakan Tania, Anya, Ui dan Rangga—ricuh dan mengundang gelak tawa orang-orang sekitar. Benar-benar memalukan.
Apa jadinya, andai orang-orang tahu jika keluarga konyol itu adalah seorang Adiptara yang tersohor. Sementara mereka yang telah memberi julukan, atau sekedar mempercayai julukan 'The Mysterious Adiptara Family'—akan muntah darah karena tidak sesuai realita.
Huh! Apanya.
Beralih, ke arah dua orang yang duduk santai sembari menonton pertandingan volli, secara live berskala internatioblok. Dialah Rayland dan Ryan. Rendi menggeleng. Ia merasa harus mengecek keadaan kakak ketiganya itu ke dokter karena melihatnya tertawa. Kendati hanya sebuah tawa remeh dan biasa saja. Tetapi ini Rayland loh, pikirnya. Jangankan tertawa. Menunggu menderita lebih dulu dan seseorang baru akan mendapatkan senyum mengejeknya.
Lalu tatapannya beralih kepada kakak pertamanya. Sembari meneguk es kelapa yang baru saja diterimanya dari si Abang Penjual. Tekstur kelapa yang terasa agak kenyal kembali terasa, baru kemudian terdorong keluar. Menyemburkannya kembali. Ketika melihat kakak tertuanya yang berwibawah masuk kelapangan volli, sembari berjoget tidak jelas untuk merayakan bola pertama Anya.
Oh, Rendi bisa gila.
Ada apa dengan keluarganya yang keren?
"Hoi, Septian! Aku juga ingin es kelapa," Anya berteriak dari tempatnya, memanggil Rendi dengan nama samaran sambil menyengir bodoh.
"Ogah!"
Anya memberenggut. "Pelit! Pemalas pula."
Rendi melotot.
"Apa? Beli sendiri!" bentaknya, lalu melenggang pergi.
Rayland di tempatnya duduk, merasa tergerak. Mengangkat tangan sedikit. Antonio sudah berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya.
"Kamu dengar apa yang dia inginkan?" Tanpa menoleh, ia sudah tahu bahwa Antonio mengangguk dan mendengarkan.
"Ya, Tuan."
"Kalau begitu, dapatkan," tuntasnya, terdengar tegas.
Kemudian Antonio melangkah dengan cepat, menuju stand penjual es kelapa yang sama dengan Rendi kunjungi beberapa saat lalu. Segera, ia membeli beberapa buah, sekalian untuk majikannya yang lain. Anya bersorak, lalu menjulurkan lidah ke arah Rendi yang duduk di kursi santai di sebelah kursi Ryan sebelumnya—ketika Antonio memberinya dua es kelapa sekaligus.
"Blee!! ... Aku punya dua!"
"Bocah!" Rendi kesal. Perempatan siku muncul di dahinya yang mulus. Tapi dia tetap diam di tempat.
Selama kurang lebih dua jam pertandingan konyol itu terjadi. Selama itu pulalah Anya berteriak kesenangan. Dia semakin mahir mencetak angka, kendati teknik melempar bolanya sangat jauh dari kata benar. Tetapi yang lebih menjengkelkan adalah, baik Tania, Rangga, atau Ui sekalipun, tidak ada yang ingin berkomentar mengenai itu. Dan Rendi jadi kesal sendiri.
Rayland yang masih setia menjadi penonton, pada akhirnya bangkit berdiri. Menatap Anya, pria itu berkata, "Anya, ayo kembali." Anya pun menurut.
Maka seperti itulah permainan volli konyol ala Anya dihentikan.
"Astaga! Barusan itu benar-benar luar biasa." Anya mulai bercerita di depan Rayland, ketika mereka tiba di kamar hotel.
"Biasa saja," balas Rayland.
"Itu karena kamu hanya menonton." Anya menatap Rayland sangsi. Ia tidak terima. Padahal pria itu ikut menikmati bahkan menunggui mereka.
"Buang-buang tenaga."
"Hei! Itu berolahraga tahu." Gadis itu mulai kesal.
"Terserah!" Rayland tidak peduli. Pria itu melenggang masuk ke kamar mandi meninggalkan Anya, yang memberenggut kesal di ranjangnnya.Memilih rebahan sembari menunggu Rayland selesai dengan urusan mandinya. Pikiran Anya mulai mengelana. Ia berpikir, kenapa sosok wanita yang ia lihat waktu itu tidak nampak lagi. Jujur saja Anya takut. Sangat takut malah. Tetapi ia perlu memastikan sesuatu mengenai dirinya.
Pandangannya beralih ke arah jendela di samping kirinya. Senja mulai terlihat dan Anya baru menyadari mereka terlalu lama di luar. Tidak masalah karena ia menikmatinya.
Buk!!
Anya berbalik. Lalu mendapati Rayland dengan pakaian santai yang baru saja melemparnya dengan handuk bekas pakainya. Hei! Dia itu sengaja yah menggodanya, pikirnya.
"Mandi!"
Huh!
"Ia, ia. Tapi jangan dilempar juga."
Bangkit dari rebahannya, Anya meraih handuk. Lantas berjalan malas menuju kamar mandi. Rasanya seluruh keramik yang ia injak menahan langkahnya, mendorongnya untuk kembali pada kasurnya yang nyaman. Tetapi, tatapan Rayland yang tidak berhentih mengikuti pergerakannya membuatnya tidak bisa melakukan itu. Pandangan mata tajam si Sadis baru berakhir, setelah ia berhasil meraih gagang pintu kamar mandi dan masuk ke dalam.
Dasar!
Tetapi sebelum Anya benar-benar menutup pintu kamar mandi. Telinganya masih bisa menangkap ucapan Rayland.
"Jangan sampai tidur. Kalau itu terjadi akan aku biarkan sampai kamu mati."
Anya merinding. Bulu kuduknya bahkan mulai berteriak panik dan ketakutan. Oh!! Bagaimana bisa pria bermulut kiloan cabai itu mengatakan hal seperti itu dengan sangat tenang. Anya yang sungguh malang. Jadi ketika gadis itu mandi, ia sangat sadar—sesadar-sadarnya.
Ia tidak ingin berakhir mati di kamar mandi lantas menjadi hantu penghuni wc. Kurang dari 10 menit, ia bahkan sudah membuka pintu kamar mandi dan melenggang keluar. Rayland seketika mengangkat alisnya tinggi. Sedikit heran, menemukan istri ke kanak-kanakannya yang mandi cukup lama menjadi begitu singkat. Tetapi, pria itu memilih diam dan melihat saja.
"Kenapa?" tanya Anya. Rayland diam, tetapi manik matanya menatap gadis itu tanpa ekspresi berarti. Anya jadi salah tingkah. Lantas melangkah terburu-buru menuju ranjangnya, tepat di sebelah ranjang Rayland. Naik kasur, sementara tangannya bergerak menarik selimut, menutupi tubuhnya nyaris seluruhnya.
"Anya," Rayland memanggil.
Menurunkan selimut. Anya cukup terkejut, telah mendapati Rayland berdiri tepat di samping ranjangnya. Berdiri tegap bak malikat pencabut nyawa. Ia bisa melihat betapa tampannya pria itu dari sudut pandangnya saat ini. Cahaya lampu yang cukup terang menyinari wajahnya yang memang bersinar—bertambah indah. Anya pikir Rayland diberkati begitu banyak. Dia kaya, tampan, dan cerdas apalagi. Sayangnya, sifatnya yang keterlaluan membuatnya menyadari, bahwa memang tidak ada yang sempurna. Lalu mengapa dirinya diberkahi sangat sedikit? Huh!
"Anya," pria itu lagi-lagi memanggil. Anya jadi ketar-ketir sendiri.
Apa sih?
"Ya?"
"Bagaimana jika aku benar-benar melakukannya?" Rayland terlihat serius. Sinar cahaya lampu yang terang mempertegas segala mimik wajahnya.
"Hah?" Anya semakin bingung. Dia itu kenapa sih? pikirnya.
"Apanya? Memang apa yang kamu lakukan?" Kerutan di dahi gadis itu kian bertambah.
Entah sadar atau tidak, tetapi Rayland sudah duduk di tepi ranjang Anya. Gadis itu bahkan jauh lebih tidak sadar. Sementara ia terbangun, duduk bersandar di sandaran ranjang. Mereka saling tatap untuk waktu yang lama. Anya yang menatap Rayland menunggu, sebaliknya, pria itu menatap Anya dengan serius.
"Bagaimana kalau yang kamu tanyakan, dan bahkan kamu pikirkan adalah benar, Anya." Tatapan Rayland semakin tajam. Auranya pun sampai terlihat. Pekat dan juga hitam. Menyaksikan itu, Anya menelan ludahnya yang mengering.
"Kamu benar, yang membunuh ibuku adalah—aku."
Bukan main kagetnya Anya. Apa pria itu sedang bercanda dan mempermainkannya? Tetapi tatapan seriusnya mematahkan anggapan Anya.
"Kenapa? Kamu sekarang takut?" Pria itu menyeringai setan.
"Katakan, Anya!" ia mendesak.
Dan, siapa yang akan menduga jika tangan Rayland sudah terulur, lantas mencekik Anya dengan keras.
"A-ap—"
"Sekarang giliranmu, Anya!"
Cekikannya semakin kuat dan Anya kesulitan bernafas. Tangan kurusnya menggapai tangan Rayland di lehernya, mencoba melepasnya. Tetapi pria itu begitu kuat. Wajahnya memerah, sementara bulir keringat sudah menuruni wajahnya.
Apa Rayland sungguh seorang pembunuh?
Dan ia akan segera mati?
Gadis itu semakin melemah. Ia butuh oksigen untuk mengambil nafas. Begitu tidak menyangka bahwa Rayland adalah orang seperti ini. Harusnya ia telah menduga sejak awal, jika pria itu benar-benar berbahaya. Seharusnya ... ia segera sadar setelah melihat auranya yang mengerikan.
Sekali lagi, ia mencoba melawan pria itu tetapi sia-sia. Tangan Rayland di lehernya pun tidak bergerak sama sekali.
Anya menyerah. Matanya berair. Pertahanannya runtuh, dan ia menangis detik itu juga. Semua kenangan yang telah ia lalui berputar bak kaset rusak menyakiti hatinya. Tetapi, Anya menyadari, betapa ia merindukan ibunya.
Matanya mengerjap, lantas tersenyum. Anya sadar ini hanyalah halusinasi, meski begitu, ia tetap bahagia; melihat sosok Rayland berubah secara perlahan menjadi figur ibunya. Sementara tangan pria itu mesih mencekik lehernya. Apakah ia sangat-sangat merindukan wanita itu. Mulutnya memang berkata bahwa ia membencinya. Tetapi hatinya tidak dapat berbohong, kalau ia sangat merindukannya.
Tersenyum masam, gadis itu menyesalkan—bahwa ia baru akan mengakui,
.
.
.
jika ia sangat merindukan ibunya, saat sekarat.
"Anya! Hei, kamu baik?!" Tubuh gadis itu diguncang dengan keras. Seketika Anya membuka mata lantas meraup oksigen dengan rakus. Wajahnya kian memucat dan peluh membasahi tubuhnya. Ketika kesadarannya mulai muncul, manik cokelatnya melebar menemukan sosok Rayland tepat di depannya. Memegangi kedua bahunya. Sekali lagi Anya menjerit dan meronta. Ketika gadis itu mencoba melompat dari ranjang, Rayland segera menahan serta memeluknya dengan kuat. Berharap Anya segera berhenti. "Anya diam!" Suara pria itu meninggi. Tetapi pelukannya tidak mengendor sama sekali. "Jangan bunuh aku!" "Hah? Kamu ini bicara apa?" Nadanya terdengar khawatir. "Anya, buka matamu!" Tetapi gadis itu tidak kunjung membuka mata. Bahkan sekarang mulai menangis. Anya ketakutan dan R
Pagi hari di suatu tempat hujan turun cukup deras. Suasana basah yang khas ditambah aroma tanah yang menenangkan, membuat seseorang yang duduk di salah satu kursi di dalam sebuah ruangan bercat putih mendominasi merasa damai. Suasana seperti inilah yang selalu ia suka. Tenang dan sunyi. Matanya yang bening menatap keluar jendela kaca berjeruji yang membatasi dirinya dengan dunia luar, menatap takjub tetesan air hujan yang turun menerus ke bumi. Ingatannya berputar mengenang masa kecilnya, ketika hujan turun ia akan segera melepas diri, dan membiarkan hujan menyatu dangan raganya. Membasahi tubuh kecilnya hingga benar-benar kedinginan dan menggigil. Tetapi sensasi itulah yang selalu ia nantikan. Ia menyukainya, sebab ibunya akan datang menjenguknya ketika dirinya sedang demam, akibat terlalu lama diguyur hujan. Sudah 20 tahun berlalu
Rayland baru saja keluar dari sebuah ruangan gelap. Tidak ada yang bisa memastikan di mana letak pastinya kecuali pria itu sendiri, dan sosok Antonio di belakangnya. Melewati lorong sunyi yang setara dengan panjang puluhan meter, akhirnya mereka berdua berhasil keluar dari sana. Wajah pria itu begitu suram. Aura hitamnya yang pekat bahkan menguar ke mana-mana. Jika saja Anya berada di sisinya, kemungkinan gadis itu akan pingsan saking takutnya. Kemarahan Rayland bukan tanpa sebab, tepat setelah Anya dan keluarganya pulang ke mansion Adiptara. Pria tampan itu lekas ke tempat ini, membawa serta pengawal pribadi sekaligus asistennya—Antonio. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan sebuah informasi—informasi, yang telah menjadi prioritas utamanya selama beberapa tahun terakhir. Sayangnya, seperti sebelum-sebelumnya, Rayland tidak menemukan apa-a
Tepat ketika Anya terbangun, hal pertama yang ia lihat adalah sosok Tania. Wanita itu menatap Anya yang baru saja membuka mata dengan pandangan terharu, lantas memegang tangannya dengan gerakan cepat terkesan antusias. Anya hanya bisa tersenyum melihat bagaimana Tania begitu senang saat melihatnya sadar. Lalu ketika pandangannya beralih ke sisi kanan ranjang, maniknya menemukan sosok Rendi yang duduk di atas ranjang Rayland, sembari menatapnya dengan pandangan tajam yang selalu pemuda itu tunjukkan. Tapi entah pikiran dari mana, Anya justru tersenyum menyaksikannya. Tentu saja, andai tidak melihat senyum sangar Rendi bukankah artinya dia sudah mati. Sekilas, ketika melihat ke arah Rendi Anya merasakan kehadiran Miss Ani tengah duduk di sofa panjang di dalam kamar; menatapnya dengan pandangan biasa. Mungkin wanita tua itu ingin mengut
20 : 12 pm Malam terlihat pekat dan gelap, udara seolah membawa angin suram yang panas mencekam. Menyisakan debu-debu berhamburan menyisir sekitar area jalan kota yang dipadati sekawanan mobil kaum fana. Diantara kesibukan kota yang pelik, sesuatu yang besar tengah terjadi di tempat yang gelap dan sunyi. Menyisakan kebisuan yang kejam pada seseorang yang telah tergeletak kaku, diantara timbunan sampah dan dus bekas. Wajah penuh darah dan mata membeliak dengan sorot mati. Seseorang diantaranya menyorot dengan datar--lurus pada si mayat kaku yang beberapa waktu lalu ia tarik nafas kehidupannya. Lantas, perasaan yang paling dia rindukan menyeruak dengan nikmat merasuki jiwa raganya. Ia menyukai aroma darah segar yang mengalir, ia menyukai bagaimana orang-orang memelas padanya meminta kesempatan hidup, da
Rain menatap keluar jendela berjeruji dengan pandangan lurus. Tatapan dingin miliknya kian dingin pun datar, menambah kebisuan merebak di dalam ruangannya. Senja menyorot wajah rupawannya dengan luar biasa melalui kaca jendela transparan, cahaya kekuningan menyapu rupa itu dengan gradasi yang memukau. Gelap terangnya berada di titik yang pas membuat visualnya kian indah. Dan tidak ada yang bisa mengubah hal tersebut. Perpaduan senja dan dirinya menyatu dengan kuat, seakan apapun tidak dapat memisahkan. Kendati demikian, dia merupakan bagian dari istilah 'burung dalam sangkar emas'. Dan Rain sangat mengutuk istilah tersebut. Meski tubuhnya sedikit kurus sebab terlalu jarang makan, tetapi itu tidak dapat mengubah hal mutlaknya sebagai sosok yang menawan. Tangannya terulur meraih sebuah buku tidak jauh dari temp
"Hoi! Siapa di sana?" Salah seorang penjaga berteriak, berjalan mendekat dia menemukan seorang wanita bertubuh mungil; sedang mencoba masuk ke dalam kamar pasien paling berbahaya di RSJ tersebut. Temannya yang baru saja datang menyusul, lantas berjalan mendekat kepada Si Pria berambut cepak berbadan kekar yang beberapa saat lalu berteriak, kemudian ikut menatap pada sosok anak Smp di sebelahnya. Kedua penjaga itu baru saja datang setelah pergantian shift, kurang dari satu menit lalu. Dan ketika sampai di depan kamar Rain, mereka sudah mendapati Si Wanita berbadan Smp, berniat membuka pintu besi di depannya. Bagaimana bisa dia sampai di sini? Sedangkan tepat di depan lorong begitu banyak pria kawanan hitam berjaga. Selain itu, dia masih harus melalui mereka sebelum sampai kemari? Pikir mereka. &nb
Aura gelap yang suram menguar dengan hebat saat Rayland memasuki ruang utama mansion Adiptara. Rautnya yang tegas semakin mengerikan saat rahang kokohnya menegang, sebab menahan gejolak amarah yang sudah diambang batasnya. Lantas Antonio di belakangnya berjalan dengan cepat mengikuti langkah Rayland yang tidak kalah cepat. Pria itu sangat marah. Dia marah kepada semua orang di mansion itu terlebih kepada Rendi, adiknya. Dan ketika Rayland yang telah selimuti kabut amarah, menemukan sosok Rendi yang baru saja bangkit dari posisi duduknya di sofa; mencoba menyambut kedatangan Rayland dengan raut bersalah, kemudian segera ditonjok tepat di rahang. Rendi yang tidak siap langsung saja terjungkal, terduduk kembali di sofa sembari tangannya memegangi wajah bagian rahangnya yang baru saja di hadiahi bogem mentah. Tetapi pemuda itu tidak melakukan perlawanan, sebab ta
"Astaga, Rayaaaa!!" "Buahh! Baa!!" Rendi melotot. Merasa bodoh sendiri memaki bocah perempuan yang masih berusia satu tahun. Beralih menatap ke arah bocah laki-laki di samping Raya; berambut punk, bertindik ala-ala, jangan lupakan tato mainan disekujur tubuhnya. Kemudian pemuda itu menunjuk ke arah dinding kamarnya yang dipenuhi coretan tinta. "Eh, bocah rock jalanan, kamu yang coret dinding kamarku?" tuduhnya, merasa jengkel dengan anak kakaknya yang satu ini. Kenakalannya berada di tingkat dewa. Masih berumur dua tahun saja, cita-citanya sudah ingin menjadi penyanyi rock. Manik kelam milik bocah
Bau dupa merebak kuat memenuhi seluruh tempat. Lalu di beberapa bagian, kelopak bunga mawar bertebaran seolah sengaja diletakkan di antara salju putih yang menyilaukan mata, begitu kontras dengan warna merahnya. Perpaduan dupa dan harum mawar terasa pekat, menusuk hidung sampai ke ubun-ubun. Dan ketika Anya terbangun, wajahnya luar biasa syok menyadari di mana dirinya saat ini. Dunia mimpi-tetapi tidak di pondok kakek Pram. Kerutan di dahinya bertambah seiring kemilau gaun putih yang ia kenakan tertimpa beberapa cahaya matahari, menyembul malu di antara awan, sementara salju terus berguguran. Kemudian maniknya menyipit menatap sekeliling; tidak ada apapun selain hamparan salju di tanah lapang tanpa kontur tanah, selain ranjang yang ia tempati sekarang. Anya termangu. Merasa bingung seb
Drap! Drap! Langkah kaki terdengar terburu, memenuhi nyaris separuh lorong rumah sakit dari arah ruang bersalin menuju ruangan lain--khusus VIP. Beberapa perawat menegur mereka, meminta dengan sopan agar tidak membuat keributan. Rangga berhenti, membiarkan Rendi, Anya, dan Lolita untuk melanjutkan langkah. Sementara dia menatap perawat untuk meminta maaf atas kelancangannya. Perawat yang baru saja menegur lantas memasang mimik mengerti, namun meminta, agar Rangga tidak mengulangi hal yang sama. Sebab ini jelas menggangu pasien yang sedang beristirahat. Sekali lagi meminta maaf, Rangga akhirnya berlalu dengan langkah cepat. Orang pertama yang memasuki ruang inap Rayland adalah Rendi dan Lolita. Sementara Anya, dia berhenti, kakinya tiba-tiba terasa berat d
Tik! Tik! Anya termenung. Memejamkan mata merasai rintik hujan yang mulai membasahi wajah, nyaris seluruh tubuh. Dia berjongkok, menyamai tubuhnya dengan tumpukan tanah basah yang baru saja menenggelamkan tubuh Rain dalam kesunyian. Kesannya bagai mimpi, dan rasanya baru kemarin dia bertemu dengan sosok pria yang kini tengah terbaring damai dalam peraduan terakhirnya. Anya tidak menangis, sebab terlalu lelah dan ia ingin mengakhirinya. Anya hanya ingin menerka, mencoba bertanya kepada diri sendiri, mengapa Rain pergi? Mengapa pria itu memilih pergi setelah semua yang terjadi di antara mereka? Tidak seperti yang Anya duga, nyatanya hujan tidak turun dengan deras. Gerimis yang semula muncul menghilang entah ke mana, t
Membelalak. Rahman seolah tidak mampu mengucapkan satu kata pun sekarang. Maniknya melebar terkejut, melihat bagaimana ledakan yang nyaris menghempaskannya andai tidak segera memasang kuda-kuda pertahanan yang tepat. Tubuhnya jelas akan ikut terjebak dalam pusaran angin, membawa raganya terpental bersama yang lain. Beruntung, sebab ia memiliki refleks yang bagus. Mendongak. Kilat kemarahan di manik pria baya itu bertambah seiring mata gelapnya menatap sosok Anya; melayang di udara dengan posisi yang tidak berubah sedikitpun. Tidak ada riak berarti di wajah gadis itu. Matanya masih membuka dengan iris sehitam arang tanpa setitik pantulan cahaya di sana. Yang dia lakukan hanya diam melayang dengan sorot luar biasa kosong. Bukankah seharusnya proses penengah hanya bisa terjadi saat tubuh pengguna dalam keadaan sadar?
Satu jam sebelum Rayland tertangkap Sejatinya, Lolita begitu malas menghampiri Rayland di kamar mandi. Inginnya hanya berdua saja dengan Ryuu lalu tidur setelahnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia jelas tidak bisa menolak jika mengingat hanya dirinya yang paling memungkinkan untuk bergerak bebas. Jadi, tidak ada pilihan lain selain dia yang harus menghampiri pria itu. Tiba di depan kamar mandi, Lolita mengetuk pintu hingga berulang kali dan Rayland di dalamnya sama sekali tidak merespon. Sampai ketukan ke empat, pintu akhirnya terbuka dan Rayland muncul di baliknya. Satu detik! Dua detik! Tiga detik! "Aaaaaaaa ...," Teriakan Lolita menggema. Bukan tanpa alasan, sebab nyatanya, orang yang muncul dari balik
BRAK!! BRAK!! Darah mengucur deras, mengaliri hidung, mulut, bahkan telinga Rain. Pria itu meluruh lemas ke bawah lantai dengan penampilan mengerikan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan dan darah tidak berhenti merembes dari sana. Manik kelamnya menyorot sosok Rahman yang sedang duduk di kursi, sembari menyeringai setan melihat penderitaannya. Kedua tangannya dirantai begitupun lehernya. Kini, Rain tidak ubahnya seekor hewan penyiksaan. Dua orang pria bertopeng berdiri di sisi Rahman, memegang senapan aneh dan sejak tadi hanya terdiam menyaksikan kekejaman Rahman kepada Rain. Kasih sayang seorang ayah seolah tidak ada dalam jiwanya, lantas menyiksa anak sendiri bukanlah masalah besar baginya. Ketika mengetahui Ren telah terbunuh, Rahma
Perih. Panas. Dan rasa sakit perlahan mulai merambati Antonio dari satu titik, kemudian menyebar hingga ke seluruh perutnya. Satu tembakan bisa ditahan, namun dua tembakan berikutnya menembus dada, memaksa Antonio untuk tersungkur ke lantai. Matanya berkunang, pandangannya mulai memburam, dan kesadarannya nyaris menghilang. Dinginnya lantai seolah tidak berasa, ketika pipinya menghantam keramik di bawahnya. Sosok wanita yang selalu ia kenal ramah dan baik menjadi latar mengerikan, memegangi pistol yang masih mengepulkan asap panas, sedang berdiri mengarah kepadanya. Sejatinya, Antonio tidak menyangka akan kalah secepat ini. Bangun! pikirnya. Rayland masih membutuhkannya dan ia harus melakukan sesuatu, sebelum wanita ular itu melukai Rayland dan Anya. Mereka berdua baru saja bertemu. Tania tidak boleh menghancurkan setitik kebahagi
Langkah kaki yang terdengar pelan beradu dengan suara gesekan ranting pun dedaunan kering, ketika terseret, terdengar bagai gema suara yang khas. Mengalun dengan aneh; srek ... srek. Seonggok tubuh manusia bergerak menyapu bersih dedaunan, ketika bokong hingga ujung kakinya menyentuh tanah, ditarik dengan kasar, sementara dia tidak sadarkan diri. Separuh tubuhnya telah kotor, celana panjangnya di penuhi bekas tanah, lalu sepatu hitamnya hilang sebelah, dan hanya menyisakan kaos kaki. Dari jarak dua meter, tampak bangunan tua beratap flat di penuhi lumut, cat tembok terkelupas, beberapa bagian rusak, dan sekitarnya dirambati tanaman rambat. Pun, dipenuhi semak belukar berduri. Jika dilihat, berpikir dua kali adalah pikiran wajar sebelum mengunjungi tempat tersebut. Begitu kotor dan menakutkan. Bisa jadi, tempat itu adalah sarang destinasi ekperimen paranormal.