"Apa kamu lumpuh? Cepatlah bodoh!"
Anya mendelik menatap Rendi yang baru saja membentaknya. Gadis kurus itu lantas menarik koper berukuran jumbo yang tidak lebih besar dari badannya sendiri. Menarik koper dengan tergesa ia segera menyusul pemuda pms itu yang sudah berjalan jauh di depan. Meninggalkan bandara menuju mobil pribadi keluarga Adiptara yang sudah lebih dulu menunggu. Dan meninggalkan dia dengan koper besarnya.
Mengapa tidak ada pelayan seperti biasanya?
Anya berteriak!
Kendati kesal. Tetapi Anya memilih diam, tidak mengatakan apapun. Sekarang ia sungguh senang. Rayland dengan tegas mengatakan keluarga ini akan berlibur ke pulau Dewata, Bali. Tapi mengapa harus Bali? Anya bukan ingin ke lain tempat atau keluar negeri. Hanya saja—bagaimana mereka bisa datang kembali ke kota yang telah merenggut nyawa sang Ny. Adiptara. Apakah mereka sudah lupa? Atau hanya pura-pura lupa?
Anya memilih diam, meski hatinya ingin bertanya.
Tidak berniat merusak suasana hatinya yang secerah matahari pagi. Anya memilih mengabaikan segala tingkah menyebalkan Rendi yang terus mengusiknya. Seumur-umur ini adalah kali pertamanya. Bahkan naik pesawat sekalipun. Dan sialnya, pengalaman pertamanya dengan burung besi raksasa itu sangat-sangat buruk.
Selama berada di pesawat, Anya benar-benar harus menahan malu setelah menyadari apa yang sudah dilakukannya. Gadis itu muntah sebanyak empat kali. Anya tidak akan memucat jika saja wadah tempat muntahannya adalah Rendi. Tapi ini, jangan tanya. Itu Rayland loh! Roh-nya mungkin saja sudah tidak di raganya ketika itu terjadi.
Begitu netra segelap malam milik Rayland menatapnya, dengan tatapan yang sulit ia artikan—melebihi sulitnya soal matematika yang selama ini berusaha ia pecahkan—badannya meriang dan hawa panas membakar tubuhnya. Umpama padang pasir, Anya adalah butiran debunya; dihempaskan ke sana-kemari oleh angin. Dan Rayland adalah inginnya. Sangat-sangat panas.
Beruntung, itu pesawat pribadi keluarga Adiptara.
"Masih pusing?"
Anya menoleh ketika Rayland di sampingnya bersuara. Sebenarnya, gadis rusuh itu tidak begitu mendengar apa yang baru saja Rayland katakan. Jadi, ia memilih mengangguk sembari melempar senyum sok manis.
"Tidur saja kalau begitu." Rayland menatap Anya sekilas, kemudian kembali fokus pada tab dalam genggamannya. Mereka hanya bertiga di dalam mobil. Seorang pria kaku berkulit kecoklatan, sedang menyupiri keduanya menuju hotel Adiptara di depan jok kemudi—dialah Antonio. Sementara kursi tengah, sudah pasti di isi Anya dan juga Rayland.
Benar-benar sunyi!
Sebelum ini, Anya tidak tahu harus naik mobil yang mana. Pasalnya, ada dua mobil sedan berwarna hitam terparkir di hadapannya. Menyadari mobil di barisan pertama digunakan oleh Rangga, Ryan, Ui, dan juga Tania. Sedang mobil satunya hanya diisi Rendi dan seorang supir berwajah sangar. Anya pun tidak punya pilihan, selain mengikuti pemuda itu.
Namun ....
Tepat ketika Anya akan memasuki mobil. Rayland muncul entah dari mana—sebab pria itu pergi begitu saja setelah turun dari pesawat. Meninggalkan Anya dengan segala kemalangannya; koper besar juga wajah kusut ditambah rasa pusing. Tetapi lihat sekarang, pria dingin itu sekarang berada di depannya. Memegang tangannya sembari menatapnya seolah ia adalah makhluk paling bersalah.
"Ikut bersamaku!" Pria itu memerintah tanpa segan, seolah tidak ingin dibantah.
Anya terseok saat Rayland menariknya. Tidak kasar namun juga tidak lembut. Gadis itu hanya terkejut. Matanya bahkan membesar saat menyadari ia diseret menuju mobil lain, yang terparkir tidak jauh dari mobil yang ditumpangi Rendi. Dia tidak pernah ingat ada mobil itu sebelumnya. Apa mobil itu memang baru saja tiba?
Entahlah.
Bola mata cokelatnya menatap samar pada Rendi, yang juga menatapnya diam dari balik mobil, yang pintunya masih saja terbuka lebar. Tatapan pemuda itu terlihat aneh. Pun auranya terlihat suram. Mengapa Rendi menatapnya demikian? Hanya sekilas, namun Anya menyadarinya sebelum mobil yang ditumpanginya melaju. Terakhir, Anya memasuki mobil bersamaan dengan Rayland, dua menit setelah mobil yang ditumpangi Rendi berlalu.
Tidak banyak waktu yang mereka gunakan sampai akhirnya tiba di hotel Adiptara. Masing-masing dari mereka check-in dengan nama samaran seperti biasa. Kecuali Anya dan Ramlan tentunya. Oh! Jangan lupakan mertuanya, ia berangkat dengan pesawat lain dan satu jam lebih cepat dari ke empat anak serta ketiga menantunya.
Jadi, mereka sudah mendapati Ramlan telah duduk anteng di restoran hotel, sembari makan makanan mewah ditemani para petinggi. Jangan lupakan dua pengawal suram berbaju hitam yang berdiri tegak bagai tiang listrik. Anya menduga tidak hanya dua. Benar saja—ia bisa melihat beberapa orang berpakaian sama, berdiri tidak jauh dari Ramlan. Katakanlah, keberadaan mereka ialah sebagai bayangan pengintai. Mereka bertugas dari jauh.
Ketika manik gadis itu berhasil menangkap tatapan mertuanya. Anya langsung memasang tampang keruh, menyadari mertuanya menatapnya mengejek. Dasar pria tua! Secepat angin ia membuang muka, secepat itu pulalah ia melangkah menyusul Rayland yang telah berjalan beberapa langkah di depan.
"Masuklah." Rayland membuka pintu kamar hotel. Mata tajamnya menatap Anya dengan tatapan datar andalannya. "Jangan hanya berdiri Anya. Cepatlah masuk."
"I-iya iya ..., " balas Anya, seadanya.
Bisakah Rayland menatapnya lebih lembut?
Oh! Mimpi.
"Rayland, kamu ingin mandi lebih dulu?" Anya bertanya setelah mengambil pakaian dari dalam koper. Beberapa saat lalu, Antonio menawarkan diri untuk mengangkutnya menuju kamar hotel. Akhirnya, ia bisa melepas benda berat itu.
Rayland yang gila kerja masih juga menatap tab di tangannya. Tanpa menoleh, dia berkata, "mandi lah, aku sudah mandi dua kali, kamu jauh lebih bau dan kotor."
Menelan ludah dengan rasa sepahit empedu. Anya tahu maksud Rayland. Huh! Bilang saja karena ia telah muntah sebanyak empat kali, dan mengenai pria itu. Jadi beginikah caranya membalas? Dasar. Tidak kreatif.
Tidak ingin mendapat masalah, kaki kecilnya segera melangkah mantap menuju kamar mandi. Menyalakan air, kemudian berendam di bath-up, pun ditemani aroma buah anggur kesukaannya. Terakhir, memejamkan mata meresapi kenyamanan itu. Oh! Ketika kamu lelah kemudian berendam melepas penat.
Rasanya itu ... sungguh segar!!
Dan__
Anya tertidur,
.
.
.
saking nyamannya.
"Anya, lain kali jangan diulangi. Bahaya! Bagaimana jika kamu kedinginan." Dan Anya sudah tahu dari mana datangnya suara lembut ini.
Anya mengangguk.
"Wah, mengapa aku justru penasaran melihat Anya mati kedinginan. Hihihi ... bukankah begitu, Sayang?"
Gadis itu bahkan sudah sangat hapal suara cekikikan wanita psycho di hadapannya.
Anya menggeleng.
"Benar juga, pasti kulitnya pucat semua. Heheh~" Rangga yang dipanggil sayang segera membalas dengan antusias, menjawab pertanyaan Ui. Kemudian dibalas Anya dengan gelengan sama.
Anya tidak ingin mengatakan apapun. Dia hanya ingin tenang sekarang.
"Kamu pasti sangat lelah, yah?" Anya menoleh dan mendapati Ryan. Pria itu menyampaikan rasa simpatinya, tetapi orang mana yang memasang tampang prihatin dengan seringaian di bibir. Ya ampun! Anya jadi pusing. Beruntung, mertua girl-nya sedang sibuk dengan koleganya, lantas beliau tidak ikut memberinya petuah, karena telah tidur di kamar mandi.
Anya memerah saat mengingat jika yang membawanya keluar dari sana adalah Rayland. Namun Rayland menyangkal, ketika ditanyai apakah dia sendiri yang telah memakaikan Anya baju. Auranya bahkan menggelap. Anya sontak bergidik sendiri. Kakak dan adiknya pun memilih diam, menyadari sang Singa telah terbangun. Akhirnya, tidak ada lagi yang ingin bertanya setelahnya.
Samar, sebuah lantunan lagu melow terdengar. Restoran tempat mereka makan berada di lantai dasar hotel. Mengusung tema outdoor sehingga pengunjung bisa merasakan sejuknya angin laut, menerpa wajah di pagi hari sembari sarapan. Hotel ini tepat di depan laut. Begitu cantik dan indah.
Anya terkesima menatap biru laut dengan gelombang ombak rendah, seolah memanggilnya menuju pantai; bermain dengan pasir dan air, hingga pakaian basah. Anya menarik ujung bibirnya, tersenyum pahit. Kemungkinan ia tidak akan pernah menginjakkan kaki di tempat ini, kalau saja tidak menikah dengan Rayland, dan menjadi bagian dari keluarga Adiptara. Meski ia harus menyadari, Rayland bukan miliknya.
Hatinya sakit setiap kali memikirkan itu.
Lalu, bagaimana kabar pantinya? Anak-anak di sana, apakah mengingat, juga merindukannya seperti ia yang selalu merindukan mereka? Sementara sahabatnya Devi, apakah dia pun demikian? Merindukannya? Oh! Anya juga merindukan si Tambun.
Sejak menikah, Anya sama sekali tidak diperbolehkan keluar rumah, atau bertemu dengan siapapun. Hal ini diperparah dengan aturan homeschooling yang mengharuskannya terus belajar. Rasanya bagai belajar dengan sistem Romusha.
Menurut Miss Ani, Anya harus mampu mendapingi Rayland. Tapi jika dipikir lagi, mengapa Anya harus. Sebab yang akan menyandang nama Nyonya Adiptara dari Rayland merupakan Amora. Bukan dia! Sekalipun Anya adalah istri pertama.
Anya segera menggerutu tidak jelas, ketika menemukan bayangan wajah tua Miss Ani dalam kepalanya. Menjengkelkan!
Sementata itu, dan sama sekali tidak menyadari, sampai manik cokelatnya berhasil menangkap sesosok wanita paru baya berwajah cantik, balas menatapnya lekat di bibir pantai. Anya dibuat terkejut. Apa yang dilakukan si wanita di sana? Beberapa wisatawan memang sudah terlihat berada tepi di pantai. Tetapi, yang paling menggangunya adalah wanita itu.
Merasa heran, sebab auranya tidak tampak sama sekali. Untuk memastikan penglihatan auranya masih bekerja, Anya menatap orang-orang di sekitarnya. Rasa bingung pun melandanya, faktanya ia masih bisa melihat aura-aura beberapa pengunjung; gembira, sedih, suram, bahkan putus asa. Menariknya ialah, bahwa wanita berbaju putih terusan dengan belahan dada cukup rendah itu, sama sekali tidak memiliki warna aura, sementara tatapannya tidak lepas kepadanya.
Aneh, sebab Anya tidak mengenalnya sama sekali.Anya segera terkesiap, mendapati seorang anak laki-laki berlari dari arah kanan si wanita. Bersiap menabraknya, seolah tidak melihat keberadaannya. Anya semakin syok saat manik cokelatnya berhasil menangkap, ketika si anak berhasil menembus tubuh sang Wanita Misterius. Seakan-akan, ia adalah sejenis hologram. Tahu-tahu, anak itu sudah terkapar di atas pasir, sementara darah menyembur dari dalam mulut.
Anya bangkit dari kursi. Bak orang linglung, ia berlari menuju pantai. Menghampiri si bocah yang sudah dikerumuni beberapa orang, di antaranya merupakan kedua orang tuanya. Anya sama sekali tidak memikirkan apapun selain berlari ke arah sana. Dunia sekitar seakan berubah menjadi kilasan-kilasan tidak kasat mata. Berusaha berteriak tetapi tidak ada siapapun yang mendengarnya.
Anya merasa pusing. Pandangannya memburam.
"Anya!"
Anya tersadar. Matanya membulat dan nafasnya menderu dengan tidak stabil saking cepatnya. Ia berbalik, dan menatap Rayland yang memeluknya sangat erat. Pria itu terlihat kacau, dipenuhi keheranan. Ada apa sebenarnya? Anya tidak paham. Mengapa pria ini tiba-tiba ada di sini—dan memeluknya?
Mengabaikan Rayland. Anya kembali menoleh. Sayangnya, ia telah menemukan bahwa si anak telah dibawa pergi oleh orang-orang. Dia pun tidak lagi menemukan si Wanita Misterius.
"Apa yang terjadi?!"
"Anya, kamu kenapa?!"
"Hei! Kamu baik-baik saja?!"
Kembali berbalik, saat suara Tania dan Ryan terdengar dari belakang. Kemudian Anya mendapati semua orang dan bahkan Rendi, menatapnya khawatir.
Apa yang salah?
"Ke mana wanita berbaju putih itu?" Anya bertanya dengan cepat. Mengabaikan semua pertanyaan khawatir dari masing-masing kakak iparnya.
Kening Rayland mengerut. Tangan kekarnya semakin memeluk Anya dengan erat. "Wanita mana yang kamu maksud?"
Anya menatap Rayland sengit. Seakan telah kehilangan rasa takut, akibat dirundung rasa panik juga linglung. Membuatnya begitu berani menatap Rayland demikian. "Kamu tidak lihat? Wanita berbaju putih itulah yang mencelakai anak itu, dan mungkin saja akan membunuhnya! Aku harus menyelamatkannya, wanita itu benar-benar jahat!" Anya berteriak.
Semua orang dibuat terkejut. Anya memang gadis ajaib bin aneh. Tetapi Rendi menduga ini bukanlah sifat Anya. Anya tidak akan berteriak kesetanan, dengan pandangan kosong seperti itu. Gadis itu lebih terlihat buta arah. Dia tidak sadar dengan apa yang dia lakukan sekarang.
"Anya! Sadarlah! Tidak ada wanita berbaju putih!" Rahang Rayland mengeras, melihat Anya yang sekarang. Tatapan gadis itu kosong. Dia sedang berhalusinasi.
Ketika Anya mulai bergerak berontak melepaskan diri dari Rayland. Pria itu bergerak lebih cepat, mempererat pelukannya; mengunci tubuh Anya yang tiba-tiba saja sekeras batu. Lantas menyuruh Antonio mengambilkan suntikan penenang, dan obat itu bereaksi dengan cepat. Tepat setelah disuntik, tubuh Anya melemas dan akhirnya jatuh pingsan dalam pelukan Rayland.
Tidak butuh waktu yang lama, bagi Rayland untuk menempatkan Anya dalam gendongannya. Membawa istrinya menjauh dari bibir pantai, disusul yang lain di belakang. Tania bahkan sudah menangis, sementara Ryan mencoba menenangkan istrinya. Mereka semua syok.
Sangat.
Anya tidak pernah begini sebelumnya.
Semua bermula ketika Anya mulai melamun saat sarapan. Gadis itu memang sedikit menanggapi, ketika suaminya menegur untuk segera menghabiskan sarapannya. Tetapi kemudian, akan kembali melamun dengan tidak biasa, bahkan sampai mengiraukan teguran Rayland yang mulai kesal. Siapa menduga, jika Anya akan bangkit dengan kasar dari kursinya, mulai berteriak, sembari berlari menuju pantai, dan berakhir membuat seorang bocah ketakutan.
Hingga si bocah jatuh pingsan, sementara mulutnya mengeluarkan darah.
Semua orang menjadi panik.
Anya bisa saja mengamuk seperti orang kesurupan di tengah laut. Kalau saja Rayland tidak segera meraih tubuh istrinya, sembari memeluk dan mencoba membuatnya sadar. Sayangnya, Anya tidak kunjung membaik. Sekarang bahkan membual, telah melihat seorang wanita berbaju putih. Kemudian akhirnya berakhir pingsan sesaat setelah disuntik.
Sepertinya Anya butuh istirahat,
.
.
.
ia terlihat tidak baik-baik saja.
Tania duduk paling dekat dengannya. Mengelus tangan kecilnya, berharap dapat memberi sedikit kehangatan. Ia ingin Anya segera sadar, tetapi tampaknya Anya sendiri belum ingin terbangun. Gadis itu telihat damai.
Ryan sendiri berdiri tidak jauh di belakang istrinya. Tatapannya lurus, menghunus Anya dengan sorot prihatin. Rendi, Rangga, dan bahkan Ui, pun tampak tidak berniat meninggalkan kamar hotel milik Rayland. Mereka hanya duduk diam, sembari menatap kosong tubuh Anya.
Suasana ini. Sangat mirip saat-saat di mana keluarga itu kehilangan sosok seorang ibu. Seorang ratu keluarga Adiptara. Bedanya, tidak ada tangis Rendi kecil seperti saat itu, atau para pelayat yang ingin memberi belasungkawa.
Hei, Anya tidak mati—dia hanya pingsan.
Tetapi, mengapa suasananya sesuram ini?
"Rayland, haruskah kita pulang saja, atau setidaknya mengabari Ayah?" Ryan menatap adiknya; Rayland. Pria itu duduk di sofa dengan tenang, tetapi tatapan tajamnya tidak pernah lepas memandang Anya, sembari tangan menumpu di kedua lutut. Lantas berdiri, berjalan mendekat ke sisi ranjang.
"Tidak perlu. Dia tidak apa-apa." Rayland mengulurkan tangan, mengelus pipi pucat istrinya. Entah, ia melakukannya dengan sadar atau tidak.
Tetapi tindakan kecilnya justru berhasil membuat semua orang di ruangan itu terdiam. Rayland memang tidak memiliki perasaan khusus layaknya seorang pria kepada wanita untuk Anya. Semua orang tahu itu. Rayland bahkan telah menyimpan nama wanita lain di hatinya. Hanya saja, dia pun tidak membenci istrinya. Dia jelas menyayangi Anya, dalam konteks yang berbeda dan dengan caranya sendiri.
"Kak, tetapi setidaknya Ayah harus tahu." Rendi bersuara, setelah diam cukup lama.
Menatap adik satu-satunya, Rayland berkata, "Ayah pasti sudah tahu. Tunggu saja dan dia akan segera muncul."
Dan__
Brakkk!!!
Seperti apa yang Rayland katakan, pintu kamar hotel berderak terbuka dengan keras. Seseorang baru saja membukanya dengan kasar, tanpa sengaja membantingnya. Suara gaduh tiba-tiba memecah keheningan. Dan Ramlan Ady Adiptara muncul di baliknya.
"Apa yang terjadi? Mengapa Anya bisa sampai pingsan? Apa kalian mengurangi jatah makannya?"
Kecuali Rayland. Semua orang di ruangan itu dibuat terkejut dengan kedatangan Ramlan yang rusuh. Rendi bahkan sudah menganga. Matanya menatap bergantian, ke arah kakak ketiga dan juga ayahnya. Benar-benar.
Sekarang, pria baya itu mendekati Anya. Menatap menatunya dengan kening berkerut. Ramlan mencoba menebak, apakah gadis itu sedang berbohong atau sebaliknya.
"Huh! Gadis ini hanya berpura-pura, dia sedang tertidur."
"Ayah~" Tani merengek kepada ayah mertuanya yang masih saja bercanda. Sedang yang lain hanya mampu menepuk jidat dengan lapang dada.
Ramlan mendesah. Dia tahu Anya sedang tidak bermain-main. Tetapi__
"Ayah hanya mencoba membuat kalian tertawa. Kalian tahu, suasana ini membuat Ayah tidak nyaman," katanya, sedih.
Tatapan Ramlan berubah sendu. Pria Brewok itu menerawang jauh ke masa lalu. Kenangan pahit, yang hingga saat ini tidak dapat ia enyahkan dari alam bawah sadarnya. Selalu memaksa untuk diingat, kendati itu merupakan ingatan yang paling ingin ia hapus. Tapi tetap saja. Bayangan tubuh istrinya mati tidak pernah hilang. Itu tersimpan permanen dalam memorinya. Sementara cara terbaik untuk menghapusnya ialah dengan merelakan. Pria paru baya itu mencoba selalu datang ke Bali, ingin menunjukkan, dia tidak baik-baik saja. Tidak akan terluka lagi. Meski terkadang, hatinya masih saja gentar.
"Aku haus."
Mereka menoleh ketika suara parau Anya terdengar. Gadis itu sadar. Dengan Cekatan, Tania meraih segelas air di meja kecil, di samping tempat tidur. Membantu Anya minum kemudian tersenyum cantik menyambut si Gadis Rusuh. Kendati masih pusing, Anya tetap membalas senyuman menenangkan Tania, lantas berbaring kembali. Matanya sejenak terpejam.
Ia benar-benar merasa pusing.
"Apa yang kamu rasakan Anya?" Ramlan mulai bertanya.
"Pusing," Anya menjawab pelan.
Hening seketika melanda ruangan itu. Mereka ingin bertanya, tetapi tidak tega melihat kondisi Anya yang jauh dari kata ceria pula pemberontak. Sebaliknya, ia terlihat begitu rapuh dan lemah. Ia tampak tertekan. Tetapi, apa yang membuatnya sampai seperti itu?
Membuka mata. Anya menatap ayah mertuanya. Lalu sedetik kemudian, tatapan matanya yang sedikit sayu dan lelah, berbalik menatap Rayland yang balas menatapnya. Lama gadis itu mengamati suaminya. Seakan waktu berhenti, dan semua suara di muka bumi menghilang digantikan dentingan khas jarum jam. Anya membuka mulut, lantas mengatakan sesuatu yang membuat Ramlan dan ke empat anak lelakinya terkejut bukan main. Rayland yang semula tenang, kini ikut memasang mimik serupa bercampur syok.
Anya bahkan telah melihat sulur-sulur auranya yang pekat dan semakin menghitam.
"Apa yang baru saja kamu katakan, Anya?" Rayland bertanya sekali lagi. Rahang pria tampan itu mengeras. Amarahnya naik, namun ia berusaha menahan diri untuk tidak berakhir membunuh istrinya sendiri.
Saat ini juga.
Pria itu seolah ingin memastikan, jika apa yang beberapa saat lalu Anya katakan adalah salah. Faktanya, sama sekali tidak ada yang tahu mengenai hal ini. Hanya ayah dan ke ketiga saudaranya, yang selalu menyimpan dan menutupi perkara itu dari siapa pun, bahkan kepada kedua kakak ipar-nya sekalipun. Meski telah bertahun-tahun menjadi bagian dari Adiptara, tetapi baik Tania ataupun Ui, mereka buta akan fakta tersebut. Lalu, dari mana Anya yang bahkan baru lima bulan bergabung, mengetahui hal sensitif seperti itu? Sekalipun seseorang menjadi bagian di antara mereka, tidak ada yang bisa menjamin dia mampu.
Menatap Rayland dengan tegas. Anya tidak terintimidasi sama sekali, lantas mengulang perkataannya.
"Rayland, mengapa kamu berada di samping Ibumu ketika beliau merenggang nyawa, setelah dibunuh dengan sadis. Sementara semua orang tahu, Ibumu berlibur seorang diri?" Tatapan gadis itu tepat mengenai manik Rayland yang sudah menggelap. Tetap, Anya tidak berhenti dan melanjutkan.
"Kamu bahkan memegang sebuah pisau."
Kenapa?
.
.
.
Apakah Rayland yang telah membunuh ibunya sendiri? pikirnya.
Ketika Anya berpikir Rayland akan sangat marah. Nyatanya ia salah. Pria itu justru menampakkan raut yang tidak bisa Anya sangka. Rayland terlihat sangat tenang, seolah emosi yang beberapa saat lalu ia tunjukkan tidak pernah ada. Bahkan, aura gelapnya yang pekat menghilang dengan cepat dari tubuh tegapnya. Menyisakan tatapan dinginnya kembali, sembari menatap Anya dengan rendah. Anya meringis! Bisakah pria itu berhenti menatapnya demikian? Anya mungkin masih bisa menerima, jika ditatap dengan dingin atau datar—tetapi rendah? Oh! Anya juga manusia yang punya perasaan sekalipun ia hanyalah orang biasa. Memilih memalingkan wajah, Anya menghela nafas sebentar. Menunggu reaksi apa lagi yang akan ditunjukkan Rayland setelah apa yang gadis itu tanyakan. Jujur saja—ia sendiri tidak tahu mengapa
"Anya! Hei, kamu baik?!" Tubuh gadis itu diguncang dengan keras. Seketika Anya membuka mata lantas meraup oksigen dengan rakus. Wajahnya kian memucat dan peluh membasahi tubuhnya. Ketika kesadarannya mulai muncul, manik cokelatnya melebar menemukan sosok Rayland tepat di depannya. Memegangi kedua bahunya. Sekali lagi Anya menjerit dan meronta. Ketika gadis itu mencoba melompat dari ranjang, Rayland segera menahan serta memeluknya dengan kuat. Berharap Anya segera berhenti. "Anya diam!" Suara pria itu meninggi. Tetapi pelukannya tidak mengendor sama sekali. "Jangan bunuh aku!" "Hah? Kamu ini bicara apa?" Nadanya terdengar khawatir. "Anya, buka matamu!" Tetapi gadis itu tidak kunjung membuka mata. Bahkan sekarang mulai menangis. Anya ketakutan dan R
Pagi hari di suatu tempat hujan turun cukup deras. Suasana basah yang khas ditambah aroma tanah yang menenangkan, membuat seseorang yang duduk di salah satu kursi di dalam sebuah ruangan bercat putih mendominasi merasa damai. Suasana seperti inilah yang selalu ia suka. Tenang dan sunyi. Matanya yang bening menatap keluar jendela kaca berjeruji yang membatasi dirinya dengan dunia luar, menatap takjub tetesan air hujan yang turun menerus ke bumi. Ingatannya berputar mengenang masa kecilnya, ketika hujan turun ia akan segera melepas diri, dan membiarkan hujan menyatu dangan raganya. Membasahi tubuh kecilnya hingga benar-benar kedinginan dan menggigil. Tetapi sensasi itulah yang selalu ia nantikan. Ia menyukainya, sebab ibunya akan datang menjenguknya ketika dirinya sedang demam, akibat terlalu lama diguyur hujan. Sudah 20 tahun berlalu
Rayland baru saja keluar dari sebuah ruangan gelap. Tidak ada yang bisa memastikan di mana letak pastinya kecuali pria itu sendiri, dan sosok Antonio di belakangnya. Melewati lorong sunyi yang setara dengan panjang puluhan meter, akhirnya mereka berdua berhasil keluar dari sana. Wajah pria itu begitu suram. Aura hitamnya yang pekat bahkan menguar ke mana-mana. Jika saja Anya berada di sisinya, kemungkinan gadis itu akan pingsan saking takutnya. Kemarahan Rayland bukan tanpa sebab, tepat setelah Anya dan keluarganya pulang ke mansion Adiptara. Pria tampan itu lekas ke tempat ini, membawa serta pengawal pribadi sekaligus asistennya—Antonio. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan sebuah informasi—informasi, yang telah menjadi prioritas utamanya selama beberapa tahun terakhir. Sayangnya, seperti sebelum-sebelumnya, Rayland tidak menemukan apa-a
Tepat ketika Anya terbangun, hal pertama yang ia lihat adalah sosok Tania. Wanita itu menatap Anya yang baru saja membuka mata dengan pandangan terharu, lantas memegang tangannya dengan gerakan cepat terkesan antusias. Anya hanya bisa tersenyum melihat bagaimana Tania begitu senang saat melihatnya sadar. Lalu ketika pandangannya beralih ke sisi kanan ranjang, maniknya menemukan sosok Rendi yang duduk di atas ranjang Rayland, sembari menatapnya dengan pandangan tajam yang selalu pemuda itu tunjukkan. Tapi entah pikiran dari mana, Anya justru tersenyum menyaksikannya. Tentu saja, andai tidak melihat senyum sangar Rendi bukankah artinya dia sudah mati. Sekilas, ketika melihat ke arah Rendi Anya merasakan kehadiran Miss Ani tengah duduk di sofa panjang di dalam kamar; menatapnya dengan pandangan biasa. Mungkin wanita tua itu ingin mengut
20 : 12 pm Malam terlihat pekat dan gelap, udara seolah membawa angin suram yang panas mencekam. Menyisakan debu-debu berhamburan menyisir sekitar area jalan kota yang dipadati sekawanan mobil kaum fana. Diantara kesibukan kota yang pelik, sesuatu yang besar tengah terjadi di tempat yang gelap dan sunyi. Menyisakan kebisuan yang kejam pada seseorang yang telah tergeletak kaku, diantara timbunan sampah dan dus bekas. Wajah penuh darah dan mata membeliak dengan sorot mati. Seseorang diantaranya menyorot dengan datar--lurus pada si mayat kaku yang beberapa waktu lalu ia tarik nafas kehidupannya. Lantas, perasaan yang paling dia rindukan menyeruak dengan nikmat merasuki jiwa raganya. Ia menyukai aroma darah segar yang mengalir, ia menyukai bagaimana orang-orang memelas padanya meminta kesempatan hidup, da
Rain menatap keluar jendela berjeruji dengan pandangan lurus. Tatapan dingin miliknya kian dingin pun datar, menambah kebisuan merebak di dalam ruangannya. Senja menyorot wajah rupawannya dengan luar biasa melalui kaca jendela transparan, cahaya kekuningan menyapu rupa itu dengan gradasi yang memukau. Gelap terangnya berada di titik yang pas membuat visualnya kian indah. Dan tidak ada yang bisa mengubah hal tersebut. Perpaduan senja dan dirinya menyatu dengan kuat, seakan apapun tidak dapat memisahkan. Kendati demikian, dia merupakan bagian dari istilah 'burung dalam sangkar emas'. Dan Rain sangat mengutuk istilah tersebut. Meski tubuhnya sedikit kurus sebab terlalu jarang makan, tetapi itu tidak dapat mengubah hal mutlaknya sebagai sosok yang menawan. Tangannya terulur meraih sebuah buku tidak jauh dari temp
"Hoi! Siapa di sana?" Salah seorang penjaga berteriak, berjalan mendekat dia menemukan seorang wanita bertubuh mungil; sedang mencoba masuk ke dalam kamar pasien paling berbahaya di RSJ tersebut. Temannya yang baru saja datang menyusul, lantas berjalan mendekat kepada Si Pria berambut cepak berbadan kekar yang beberapa saat lalu berteriak, kemudian ikut menatap pada sosok anak Smp di sebelahnya. Kedua penjaga itu baru saja datang setelah pergantian shift, kurang dari satu menit lalu. Dan ketika sampai di depan kamar Rain, mereka sudah mendapati Si Wanita berbadan Smp, berniat membuka pintu besi di depannya. Bagaimana bisa dia sampai di sini? Sedangkan tepat di depan lorong begitu banyak pria kawanan hitam berjaga. Selain itu, dia masih harus melalui mereka sebelum sampai kemari? Pikir mereka. &nb
"Astaga, Rayaaaa!!" "Buahh! Baa!!" Rendi melotot. Merasa bodoh sendiri memaki bocah perempuan yang masih berusia satu tahun. Beralih menatap ke arah bocah laki-laki di samping Raya; berambut punk, bertindik ala-ala, jangan lupakan tato mainan disekujur tubuhnya. Kemudian pemuda itu menunjuk ke arah dinding kamarnya yang dipenuhi coretan tinta. "Eh, bocah rock jalanan, kamu yang coret dinding kamarku?" tuduhnya, merasa jengkel dengan anak kakaknya yang satu ini. Kenakalannya berada di tingkat dewa. Masih berumur dua tahun saja, cita-citanya sudah ingin menjadi penyanyi rock. Manik kelam milik bocah
Bau dupa merebak kuat memenuhi seluruh tempat. Lalu di beberapa bagian, kelopak bunga mawar bertebaran seolah sengaja diletakkan di antara salju putih yang menyilaukan mata, begitu kontras dengan warna merahnya. Perpaduan dupa dan harum mawar terasa pekat, menusuk hidung sampai ke ubun-ubun. Dan ketika Anya terbangun, wajahnya luar biasa syok menyadari di mana dirinya saat ini. Dunia mimpi-tetapi tidak di pondok kakek Pram. Kerutan di dahinya bertambah seiring kemilau gaun putih yang ia kenakan tertimpa beberapa cahaya matahari, menyembul malu di antara awan, sementara salju terus berguguran. Kemudian maniknya menyipit menatap sekeliling; tidak ada apapun selain hamparan salju di tanah lapang tanpa kontur tanah, selain ranjang yang ia tempati sekarang. Anya termangu. Merasa bingung seb
Drap! Drap! Langkah kaki terdengar terburu, memenuhi nyaris separuh lorong rumah sakit dari arah ruang bersalin menuju ruangan lain--khusus VIP. Beberapa perawat menegur mereka, meminta dengan sopan agar tidak membuat keributan. Rangga berhenti, membiarkan Rendi, Anya, dan Lolita untuk melanjutkan langkah. Sementara dia menatap perawat untuk meminta maaf atas kelancangannya. Perawat yang baru saja menegur lantas memasang mimik mengerti, namun meminta, agar Rangga tidak mengulangi hal yang sama. Sebab ini jelas menggangu pasien yang sedang beristirahat. Sekali lagi meminta maaf, Rangga akhirnya berlalu dengan langkah cepat. Orang pertama yang memasuki ruang inap Rayland adalah Rendi dan Lolita. Sementara Anya, dia berhenti, kakinya tiba-tiba terasa berat d
Tik! Tik! Anya termenung. Memejamkan mata merasai rintik hujan yang mulai membasahi wajah, nyaris seluruh tubuh. Dia berjongkok, menyamai tubuhnya dengan tumpukan tanah basah yang baru saja menenggelamkan tubuh Rain dalam kesunyian. Kesannya bagai mimpi, dan rasanya baru kemarin dia bertemu dengan sosok pria yang kini tengah terbaring damai dalam peraduan terakhirnya. Anya tidak menangis, sebab terlalu lelah dan ia ingin mengakhirinya. Anya hanya ingin menerka, mencoba bertanya kepada diri sendiri, mengapa Rain pergi? Mengapa pria itu memilih pergi setelah semua yang terjadi di antara mereka? Tidak seperti yang Anya duga, nyatanya hujan tidak turun dengan deras. Gerimis yang semula muncul menghilang entah ke mana, t
Membelalak. Rahman seolah tidak mampu mengucapkan satu kata pun sekarang. Maniknya melebar terkejut, melihat bagaimana ledakan yang nyaris menghempaskannya andai tidak segera memasang kuda-kuda pertahanan yang tepat. Tubuhnya jelas akan ikut terjebak dalam pusaran angin, membawa raganya terpental bersama yang lain. Beruntung, sebab ia memiliki refleks yang bagus. Mendongak. Kilat kemarahan di manik pria baya itu bertambah seiring mata gelapnya menatap sosok Anya; melayang di udara dengan posisi yang tidak berubah sedikitpun. Tidak ada riak berarti di wajah gadis itu. Matanya masih membuka dengan iris sehitam arang tanpa setitik pantulan cahaya di sana. Yang dia lakukan hanya diam melayang dengan sorot luar biasa kosong. Bukankah seharusnya proses penengah hanya bisa terjadi saat tubuh pengguna dalam keadaan sadar?
Satu jam sebelum Rayland tertangkap Sejatinya, Lolita begitu malas menghampiri Rayland di kamar mandi. Inginnya hanya berdua saja dengan Ryuu lalu tidur setelahnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia jelas tidak bisa menolak jika mengingat hanya dirinya yang paling memungkinkan untuk bergerak bebas. Jadi, tidak ada pilihan lain selain dia yang harus menghampiri pria itu. Tiba di depan kamar mandi, Lolita mengetuk pintu hingga berulang kali dan Rayland di dalamnya sama sekali tidak merespon. Sampai ketukan ke empat, pintu akhirnya terbuka dan Rayland muncul di baliknya. Satu detik! Dua detik! Tiga detik! "Aaaaaaaa ...," Teriakan Lolita menggema. Bukan tanpa alasan, sebab nyatanya, orang yang muncul dari balik
BRAK!! BRAK!! Darah mengucur deras, mengaliri hidung, mulut, bahkan telinga Rain. Pria itu meluruh lemas ke bawah lantai dengan penampilan mengerikan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan dan darah tidak berhenti merembes dari sana. Manik kelamnya menyorot sosok Rahman yang sedang duduk di kursi, sembari menyeringai setan melihat penderitaannya. Kedua tangannya dirantai begitupun lehernya. Kini, Rain tidak ubahnya seekor hewan penyiksaan. Dua orang pria bertopeng berdiri di sisi Rahman, memegang senapan aneh dan sejak tadi hanya terdiam menyaksikan kekejaman Rahman kepada Rain. Kasih sayang seorang ayah seolah tidak ada dalam jiwanya, lantas menyiksa anak sendiri bukanlah masalah besar baginya. Ketika mengetahui Ren telah terbunuh, Rahma
Perih. Panas. Dan rasa sakit perlahan mulai merambati Antonio dari satu titik, kemudian menyebar hingga ke seluruh perutnya. Satu tembakan bisa ditahan, namun dua tembakan berikutnya menembus dada, memaksa Antonio untuk tersungkur ke lantai. Matanya berkunang, pandangannya mulai memburam, dan kesadarannya nyaris menghilang. Dinginnya lantai seolah tidak berasa, ketika pipinya menghantam keramik di bawahnya. Sosok wanita yang selalu ia kenal ramah dan baik menjadi latar mengerikan, memegangi pistol yang masih mengepulkan asap panas, sedang berdiri mengarah kepadanya. Sejatinya, Antonio tidak menyangka akan kalah secepat ini. Bangun! pikirnya. Rayland masih membutuhkannya dan ia harus melakukan sesuatu, sebelum wanita ular itu melukai Rayland dan Anya. Mereka berdua baru saja bertemu. Tania tidak boleh menghancurkan setitik kebahagi
Langkah kaki yang terdengar pelan beradu dengan suara gesekan ranting pun dedaunan kering, ketika terseret, terdengar bagai gema suara yang khas. Mengalun dengan aneh; srek ... srek. Seonggok tubuh manusia bergerak menyapu bersih dedaunan, ketika bokong hingga ujung kakinya menyentuh tanah, ditarik dengan kasar, sementara dia tidak sadarkan diri. Separuh tubuhnya telah kotor, celana panjangnya di penuhi bekas tanah, lalu sepatu hitamnya hilang sebelah, dan hanya menyisakan kaos kaki. Dari jarak dua meter, tampak bangunan tua beratap flat di penuhi lumut, cat tembok terkelupas, beberapa bagian rusak, dan sekitarnya dirambati tanaman rambat. Pun, dipenuhi semak belukar berduri. Jika dilihat, berpikir dua kali adalah pikiran wajar sebelum mengunjungi tempat tersebut. Begitu kotor dan menakutkan. Bisa jadi, tempat itu adalah sarang destinasi ekperimen paranormal.