Setelah cukup lama berbincang bersama Bapak Anjas. Akhirnya, Andara menyampaikan maksud kedatangannya yang sebenarnya ke sana. Sepertinya ia sengaja mengajak Pak Anjas membahas masalah pesta yang digelar muda-mudi pada penyambutan tahun baru. Agar ia dapat mengetahui apa pandangan. Dari seorang ayah yang anak gadisnya akan ia ajak mendatangi pesta tersebut. Andara memang cerdas dalam membaca situasi terlebih dahulu sebelum maju.
Karena dirasa Pak Anjas tak keberatan dengan adanya acara tersebut, barulah ia menyampaikan bahwa ia berkeinginan mengajak Adinda menghadiri acara itu bersama. Sebuah pesta sederhana ala pemuda desa. Dengan mengajak semua muda-mudi berkumpul di Balai Desa. Membuat api unggun, bernyanyi, membakar jagung, ayam, ikan, dan menikmati minuman soda dingin. Semuanya dilakukan atas dasar ingin menjalin kekompakan antar muda-mudi.
Dan itu memang dilakukan setiap tahunnya. Yang selalu dilaksanakan bertepatan dengan pergantian tahun. Desa ini sejak dahulu selalu damai. Masyarakat hidup dengan rukun dan saling membantu. Sebelum datangnya keluarga Bapak Karman dan keluarganya. Beliau adalah ayah dari Giyo Ramadhan. Pemuda yang mengikuti jejak sang ayah yaitu menjadi seorang preman.
Pemuda dengan wajah tampan, dan kulit berwarna putih bersih itu sebenarnya. Memiliki usia dua tahun lebih tua dari Adinda. Namun, karena ia tak pernah menyentuh pekerjaan tani layaknya sang ibu. Ia terlihat seperti sebaya dengan anak usia 20 tahunan. Ia juga tak pernah sekalipun ikut sang ibu mengelola kebun mereka.
Sedangkan sang ayah sudah lama pergi. Menghilang tanpa kabar, bagai ditelan bumi. Sebenarnya, Giyo memiliki saudara yang sudah menikah. Akan tetapi semuanya berada di tempat yang jauh dari mereka. Giyo memiliki bakat menjadi gangster yang langsung diturunkan sang ayah. Bahkan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) ia sudah banyak membuat masalah.
“Maaf, Pak, Ndra. Sepertinya saya harus pamit terlebih dulu,” ujar Giyo menyela pembicaraan Pak Anjas dan juga Andara yang tampak semakin asyik.
“Loh, mau ke mana, Gi? Buru-buru sekali,” jawab Pak Anjas merespons ucapan Giyo.
“Anu, Pak, ternyata sudah ada teman yang menunggu di rumah.”
“Oh begitu, ya sudah kalau begitu. Nanti ke sini lagi, kita cerita tentang wilayah lagi.”
“Tentu saja, Pak. Mari, Pak, Ndra duluan, ya.”
Andara menganggukkan kepalanya. Ia bahkan memperhatikan, Giyo hingga pemuda itu menghilang di balik rumah warga. Dengan wajah tersenyum getir Pak Anjas tampak prihatin dengan Giyo. Andara menyadari hal tersebut, dan dia malah tampak kurang menyukainya. Tentu saja, Giyo adalah saingan terpendam untuknya.
Karena beberapa kali ia melihat secara langsung, keduanya pergi bersama. Dan itu hal yang jarang dilakukan oleh, Adinda terhadap pria lain. Kecuali dirinya, yang memang seakan sudah mengantongi surat izin dari orang tua gadis yang menjadi incaran banyak pemuda. Andara yang selama ini merasa aman. Kini mulai gelisah karena kedekatan wanitanya dengan Giyo.
“Giyo ini sebenarnya anak yang baik. Sayang dia sudah salah memilih pergaulan, dan juga ruang lingkup kehidupan,” ungkap Pak Anjas ketika Giyo sudah tidak tampak lagi.
“Mungkin saat ini, dia tengah mencari jati diri, Pak.” Andara masih berusaha berkata bijak dan tidak ingin menilai, Giyo dengan bagian buruknya saja.
“Kalian tidak tahu saja, dia memiliki hati yang sangat lembut aslinya,” guman Adinda dari balik jendela kamarnya. Raut mukanya tampak sedih meratapi Kepergian, sang pria pujaan.
Ia seakan tidak terima. Ketika perkataan sang ayah yang seolah merendahkan Giyo. Adinda tidak sadar bahwa apa yang dikatakan ayahnya itu benar adanya. Tapi, tentu saja menurut gadis cantik itu tak akan mau menerima kenyataan yang menyudutkan lelakinya. Begitulah, bila virus cinta sudah menyerang.
“Pak, saya ingin mohon izin dulu. Soalnya masih ada beberapa bahan yang harus saya disiapkan sama teman-teman yang lain,” ujar Andara tampak sangat santai dan berwibawa.
“Baiklah, Nak Andara. Apa Dinda tidak perlu ikut sekarang?” tanya Pak Anjas terlihat sangat percaya pada pemuda ini.
“Dinda merupakan tamu spesial, Pak, jadi dia tidak boleh berkutat dengan segala yang masih belum jadi.”
“Hahaha, Bapak senang mendapatkan calon menantu seperti, Nak Andara.”
Seketika baik Andara, maupun Adinda yang menguping sama-sama terkejut mendengar ucapan Bapak Anjas. Dengan jelas dan santainya beliau mengatakan hal itu, di mana pastinya banyak pemuda yang ingin menggantikan posisi Andara. Dari balik dinding kamar, Adinda tiba-tiba terduduk lemas. Seakan ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Begitu pula dengan Andara. Pemuda itu tampak masih belum sepenuhnya yakin ada ucapan Pak Anjas. Pria paruh baya itu tampak paham dengan perasaan Andara. Beliau tersenyum lapang. Menepuk bahu kanan, Andara dengan hangat dan penuh kasih.
“Bapak serius dengan ucapan yang baru saja kamu dengar. Jujur saja, Bapak sangat berharap kamu akan menjadi pendamping Adinda, nantinya,” ungkap beliau terdengar tulus dan jujur.
“Tapi, apa yang membuat Bapak sangat yakin pada saya?” tanya Andara penasaran.
“Karena kamu akan mampu memutus tali rantai keburukan di keluarga kami,” ujar Pak Anjas dengan mantap.
Andara terdiam sejenak. Ia tampak meyakinkan hatinya untuk memastikan ini nyata. Bapak Anjas tersenyum penuh harapan. Sedangkan, Adinda dengan mata berkaca-kaca dilanda kebimbangan. Haruskah ia bahagia? Atau justru harus sedih. Karena jika Andara sudah resmi mendapatkan tempat di hati sang ayah. Maka sangat kecil kemungkinan Giyo akan mendapatkan bagian.
Sebenarnya, Gio memang kalah jauh jika harus bersaing dengan Andara. Andara Mahardika ia merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ia memiliki seorang adik perempuan. Kini Anda tengah sengaja mengambil libur selama satu tahun. Sebelum kelak ia akan melanjutkan pendidikannya. Andara, dikenal memiliki banyak prestasi yang membanggakan. Ia juga hidup dalam ruang lingkup keluarga yang baik dan terdidik ajaran agama yang kuat.
Andara Mahardika pernah ditunjuk sebagai perwakilan Provinsi Majib. Untuk mengikuti kontes bela diri tingkat nasional. Ia juga beberapa kali membawa nama sekolahnya menjadi pemenang dalam cabang olah raga, lari estafet, maraton, dan juga sudah pasti voli. Pribadinya memang dikenal santun dan juga sangat menghargai wanita.
“Kenapa harus dia? Kenapa aku harus menyukai pria yang sama sepertimu, Ayah,” gumam Adinda dengan air mata yang sudah mulai berlinang.
“Aku sendiri tak ingin hidup dengan orang yang salah seperti Bunda. Tapi, hatiku memaksa aku untuk memihak padanya,” ucapnya lirih, “bahkan, aku seakan tak sanggup bila harus jauh dari, Giyo Ramadhan.”
Air mata itu tanpa terasa terjatuh begitu saja, rasa yang sulit untuk dimengerti dan dipahami orang lain. Sebuah perasaan yang hanya sang empunya hatilah—mampu menjabarkannya dengan benar. Namun terkadang, sang pemilik rasa pun tak mampu menjabarkannya secara rinci. Bahkan tak jarang, ia sendiri pun bingung mengapa bisa demikian.
Ketika di hadapan dengan dua raga yang memiliki perbedaan yang nyata, aku pun tak dapat memberikan alasan mengapa aku memilih salah satunya. _Adinda||Adinda_
Andara tampak sudah mampu menguasai dirinya. Ia sudah kembali tenang. Dengan tersenyum bahagia, Andara meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa apa yang dikatakan ayah dari wanitanya akan menjadi nyata. Yah, tentu itu juga salah satu pintanya pada sang pencipta.“Pak, kalau begitu saya permisi dulu. Kelak malam saya akan datang lagi dan menjemput, Dinda,” ujar Andara dengan nada yang lembut.“Baiklah, Nak. Bapak senang kalau kalian semakin dekat begini,” ujar Bapak Anjas kembali.“Terima kasih, Pak, saya merasa sangat tersanjung mendapat dukungan secara langsung dari, Bapak.”Andara membungkukkan badannya. Sebagi tanda hormatnya. Bapak Ajas tersenyum dan meminta pemuda itu bangkit kembali. Dari roman mukanya dapat dipastikan, sang ayah tengah bahagia. Tentu saja, tidak dengan Adinda yang nyatanya mulai mencintai orang lain. Pemuda dengan kepribadian yang tidak disukai sang ayah.“Dinda, ini Andaranya mau pam
Tanpa sadar ia malah tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan Giyo. Jelas sekali senyum itu ditujukannya untuk sang pemuda. Ia seakan memahami makna dari kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh sang pujaan. Adinda tahu, bahkan sangat sadar pada siapa ia sedang jatuh hati. Namun, apa daya seorang gadis lugu. Ia tak akan mampu menolak atau pun menghindar.Terlebih ini kali pertama untuknya jatuh cinta kepada orang yang memiliki karakter jauh berbeda dengannya. Sebuah jalinan kasih dalam diam, yang sudah dapat dipastikan akan terus begitu. Berlaku kucing-kucingan dengan keadaan. Terkadang, ia menangis di pojok kamar dalam heningnya malam. Tentu saja ia juga ingin merasakan jatuh cinta layaknya, gadis pada umumnya.Mereka yang bisa dengan bebas bertemu. Meski di depan orang tuanya. Sayangnya hal itu tidak berlaku untuknya. Ia memilih meletakkan hatinya pada orang yang tidak disukai keluarganya. Andai ia dapat menentukan pada siapa hatinya akan terpaut, pastilah ia akan
Tak terasa, waktu sudah hampir petang. Kini sang kembang ranum sudah berhenti dengan rasa bimbangnya. Ia bersiap dengan riasan tipisnya. Gaun panjang berwarna hitam, dengan jaket berbahan jeans, ditambah dengan sepasang sepatu Sneakers senada dengan gaunnya. Adinda tampak gugup. Ia duduk di tepi tempat tidurnya. Beberapa kali ia melirik jam yang ada di dinding kamarnya. Kemudian memainkan jemari tangannya seolah mereka tengah mengalami keram.“Assalamualaikum,” terdengar suara Andara memberikan salam.“Waalaikumsallam. Eh, Nak Andara. Ayo masuk dulu. Dinda masih bersiap,” sahut Pak Anjas. Sungguh ramah dan bersahabat sikap sang ayah menyambut tamu putrinya.“Baik, Pak.”Sungguh santun perilaku, Andara. Ia langsung mencium tangan, Pak Anjas yang sudah lama menaruh rasa kagum terhadap etika sang pemuda. Semua orang tua, pasti akan menaruh hati pada pemuda yang berkelakuan baik. Ketika ada bebera
Beberapa saat berlalu, Adinda masih menanti apa yang ingin disampaikan oleh Giyo. Ia menatap pemuda itu lekat. Tahu-tahu Giyo mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Justru yang membuat sorot mata keduanya beradu. Pandangan itu seakan menyatu tak ingin dipisahkan. Namun bibir masih terkunci rapat. Seakan segalanya sudah diungkapkan hanya menggunakan bahasa kalbu. Yang hanya dapat dirasakan oleh keduanya. Siapa pun yang menyaksikan pemandangan tersebut, dapat merasakan adanya getaran cinta yang coba disembunyikan oleh mereka. Giyo secara perlahan melangkah mendekati, Adinda yang masih terpaku di tempatnya. Kini jelas sudah wajah keduanya dapat terlihat satu sama lain. Giyo tersenyum. Andara terlihat tidak nyaman. Ia sedikit menjauh dari keduanya. Sepertinya ia memberikan sedikit ruang agar Giyo bisa leluasa menyampaikan hajatnya. Namun sayangnya, Giyo masih diam dan saling tatap dengan Adinda. Suasana yang begitu ramai, seakan terasa sunyi mencekam. Jika dilih
Bima dan Hendri langsung menjauh dari dua orang yang terlihat semakin lengket. Giyo benar-benar ingin memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Andara semakin dibuat kesal karena Adinda sama sekali tidak menolak perlakuan Giyo padanya, sedangkan dia saja yang sudah lebih dulu dekat dan sering kali menyatakan isi hatinya. Tidak berani berlaku demikian terhadap wanita yang sangat dicintainya. Andara tampak kecewa, wanita yang dijaganya hanya diam saja ketika di dekap pria lain.“Dinda. Aku bahkan belum berani menggenggam tanganmu. Tapi kamu dengan mudahnya memberikan tanganmu padanya!” hardik Andara dalam remang cahaya.Ia terduduk lemas di tengah lapangan. Berteman sunyi dan gelap gulita. Dapat dipahami betapa hancur hatinya saat ini. Tak akan mudah baginya melihat wanita yang ia cintai disentuh pria lain. Andara memegangi dahinya. Mata itu terlihat berkaca-kaca. Jelas kecewa itu sangat berat dirasanya.Tidak lama setelah itu, Giyo menundukkan kepalanya. I
Adinda yang baru saja kembali bersama Andara. Tampak canggung karena teman-temannya memperhatikan mereka. Adinda tidak ingin berada dekat dengan Balai Desa. Ia memilih duduk di bagian halaman parkir yang bersebelahan dengan jalan. Tentu saja, Andara menemaninya dengan setia. Di sana keduanya hanya duduk diam tanpa bicara. “Hayo!!! Lagi apa kalian berdua di tempat remang-remang,” canda Zami dengan raut wajah riangnya. Adinda dan Andara sama-sama terperanjat. Dengan kompak melirik ke arah sumber suara. Zami dari arah belakang berjalan menghampiri keduanya. Zami satu-satunya sahabat Andara yang tidak ikut membenci pemuda itu, ketika Adinda memilih dekat dengannya. Zami juga selalu menunjukkan sikap netral. Ia memilih tak terlalu ingin berharap banyak dari gadis yang ia sendiri tahu tak akan ia dapatkan. “Hai, kalian kenapa? Roman-romannya masalah hati ini,” celetuk Zami menghampiri keduanya. “Aisshhh!” umpat Andara dengan raut wajah kesal. “Din,
Mereka yang tadinya bergembira merayakan pesta tahun baru. Beramai-ramai datang untuk melihat ada yang terjadi sebenarnya. Malam itu mereka semua menjadi saksi mata nyata. Ketika secepat kilat, Giyo menangkis laju pisau yang dihujamkan pria tadi ke bagian perut kanannya. Beberapa gadis bahkan berteriak. Untung saja kegaduhan itu tidak membangunkan orang tua Adinda yang sudah terlelap.Tidak sedikit pun, Giyo memalingkan wajahnya. Giyo terus menuntun, Adinda untuk masuk ke dalam rumah. Dengan santai dan berlaku seakan tidak terjadi apa-apa. Giyo menenangkan Adinda yang masih syok. Ibu Giyo tersadar dari tidurnya. Dan keluar kamar tidurnya dengan wajah lelah yang tampak sudah mulai dihinggapi keriput.Tampaknya Beliau terjaga karena mendengar keributan. Seketika Beliau panik melihat tangan anak bungsunya berdarah. Di sana juga ada gadis yang selama ini sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Waktu memang sudah menunjukkan tengah malam. Bahkan mendekati dini hari. Memang
Bruk! Bruk! Kini suara kegaduhan di luar sana semakin menjadi. Perlahan dia menghentikan tangan sang ibu yang tengah membersihkan lukanya. Ibunya mendongak seakan ingin protes. Akan tetapi ia sudah terlebih dahulu memberikan kode dengan mengatupkan kedua tangannya. Agar sang ibu tidak bisa mencegahnya. Setelah sang ibu mengangguk. Dia bangkit dan berjalan mendekati pintu depan rumahnya. Suara hentakan musik kini terdengar semakin jelas. Tercium juga bau menyengat dari botol minuman yang berserakan. Banyak teman-temannya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sedangkan, di bagian tempat pemanggangan banyak lagi pemuda yang berkumpul. Giyo melirik ke berbagai arah. Seakan tengah mencari sesuatu. “Di mana, Dinda!” seru seorang pria yang tengah duduk di atas sebuah sepeda motor di samping rumah Giyo. “Dia aman sama aku. Kamu enggak perlu khawatir. Aku bahkan jauh lebih mampu melindungi dia!” sergah Giyo tidak kalah sengit. Hahaha! “Melindungi katamu? Apa kausudah benar-benar mabuk, Giy