Tak terasa, waktu sudah hampir petang. Kini sang kembang ranum sudah berhenti dengan rasa bimbangnya. Ia bersiap dengan riasan tipisnya. Gaun panjang berwarna hitam, dengan jaket berbahan jeans, ditambah dengan sepasang sepatu Sneakers senada dengan gaunnya. Adinda tampak gugup. Ia duduk di tepi tempat tidurnya. Beberapa kali ia melirik jam yang ada di dinding kamarnya. Kemudian memainkan jemari tangannya seolah mereka tengah mengalami keram.
“Assalamualaikum,” terdengar suara Andara memberikan salam.
“Waalaikumsallam. Eh, Nak Andara. Ayo masuk dulu. Dinda masih bersiap,” sahut Pak Anjas. Sungguh ramah dan bersahabat sikap sang ayah menyambut tamu putrinya.
“Baik, Pak.”
Sungguh santun perilaku, Andara. Ia langsung mencium tangan, Pak Anjas yang sudah lama menaruh rasa kagum terhadap etika sang pemuda. Semua orang tua, pasti akan menaruh hati pada pemuda yang berkelakuan baik. Ketika ada beberapa orang―yang mendekati anak gadisnya. Sudah di pastikan setiap orang tua akan menginginkan kebaikan untuk anaknya. Tak akan membiarkan putri mereka jatuh pada orang yang salah.
Bapak Anjas langsung mengajak Andara masuk ke dalam rumah. Keduanya terdengar berbincang santai. Ibu Puji datang membawakan mereka teh hangat dan sepiring pisang goreng. Adinda yang mendengar kedekatan, Andara dan orang tuanya hanya tertunduk di depan cermin. Ia menatap lurus ke depan dengan penuh makna. Garis mukanya melukiskan sebuah kebimbangan. Sejak pertama Adinda memang sudah memilih, Andara.
Namun, setelah kehadiran Giyo. Ia mulai ragu apakah hatinya masih sepenuhnya untuk, Andara. Atau justru telah terbagi pada hati yang baru. Giyo membawa warna baru dalam hidupnya. Banyak hal baru yang ia tahu ketika bersama dengan Giyo. Bukan hanya tentang keburukan pria itu, akan tetapi ia mulai mengerti bagaimana mereka yang dianggap meresahkan bertahan di tengah masyarakat. Adinda bahkan condong menyukai waktu bersama dengan Giyo.
“Harusnya kamu yang ada di sana, Giyo. Bukan dia,” gumam Adinda lirih.
“Harusnya aku juga bisa menyukai, Andara yang nyatanya memang sangat baik. Tapi ....”
Ia menghentikan kalimatnya. Kemudian wajahnya yang terlihat layu tertunduk menatap lantai. Untuk beberapa saat Adinda hanya berdiam diri. Ia tidak melakukan sesuatu yang berarti. Sepertinya gadis itu juga masih terbayang akan beberapa jam yang lalu. Sampai detik ini, Adinda belum juga mengaktifkan telepon selulernya.
Setelah ia terlihat cukup semangat. Ia menemui pemuda tampan yang sejak tadi menantunya. Tentu saja penampilan, Adinda akan menarik perhatian Andara yang tampak sangat takjub. Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya, Adinda melangkahkan kaki menuju halaman rumahnya. Kini kabut mulai menebal. Pertanda sang gulita akan segera tiba menyapa dunia.
Ia menaiki sepeda motor yang selama ini sudah menemaninya. Andara jelas terlihat bangga karena mampu membawa wanita yang selama ini menjadi rebutan. Wajah berseri sang pemuda jelas sekali menunjukkan rasa bahagianya. Tidak lama mereka sudah tiba. Ternyata hampir semuanya sudah berkumpul. Seiring berjalannya waktu sang malam pun sudah sepenuhnya datang.
Mereka mulai melakukan berbagai persiapan. Adinda langsung bergabung bersama rombongan wanita untuk menyiapkan menu selingan. Beberapa di antara mereka menggoda, Adinda yang datang bersama pemuda idaman. Adinda tidak pernah ambil pusing dengan ocehan mereka, ia langsung mengerjakan apa yang bisa ia perbuat.
“Din. Kamu dipanggil, Andara sebentar ke depan,” ujar salah seorang gadis yang merupakan warga penduduk asli sana.
“Iya. Terima kasih ya, Wi,” sahut Adinda langsung beranjak dari duduknya.
“Sama-sama, Din.”
Adinda berjalan menuju bagian depan Balai Desa. Di mana mereka melangsungkan acara malam ini. Dikarenakan kampung mereka jauh dari pusat kota. Ditambah dengan hutan yang masih sangat lebat. Maka mereka semua masih memakai listrik dari PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air.) untuk itu pencahayaan yang dihasilkan pun masih belum begitu jelas. Sudah pasti berbeda dengan pencahayaan di kota.
Adinda sempat mencari ke beberapa tempat. Pada akhirnya, ia melihat Andara tengah sibuk membelah kayu bakar. Perlahan ia menghampirinya. Tentu saja, kehadiran Adinda di sana membangkitkan semangat, Andara menjadi lebih berkobar. Adinda tersenyum dan berjongkok di hadapan pemuda itu, ia memperhatikan gerak gerik Andara dengan seksama. Hingga membuat Andara tersipu.
“Ada apa, And?” tanya Adinda dengan nada yang lembut.
“Sebenarnya tidak ada yang penting. Aku hanya ingin minta tolong pegangi ini,” sahut Andara menyerahkan telepon genggamnya.
“Ya ampun, And. Kalau hanya itu, bukannya kamu bisa titip dengan yang lain,” kata Adinda seraya tersenyum menenangkan.
“Aku tidak bisa percaya sepenuhnya dengan orang lain, Din.” Andara tersenyum melihat wanitanya dengan tatapan kagum.
“Dasar kamu. Ada banyak orang di sini, kenapa harus aku coba.”
“Karena hanya kamu yang bisa membuat aku luluh.”
Adinda mengambil telepon genggam itu, seraya menggelengkan kepalanya. Kemudian ia langsung menyimpan benda itu ke dalam saku jaketnya. Adinda ikut duduk di dekat, Andara. Ia malah membantu menyusun kayu yang sudah dibelah. Andara memandanginya hangat. Sungguh tatapan itu penuh rasa cinta.
Sorot matanya tidak dapat teralihkan dari wajah menawan sang wanita pujaan hati. Seketika bibirnya mengembang menyajikan sunggingan senyuman—sangat menawan. Setelah itu, keduanya ikut bergabung dengan yang lain. Mereka dengan suka cita menyiapkan segala menu untuk dibakar pada pemanggangan yang telah disiapkan. Andara duduk di sebelah, Adinda yang sedang mengupas jagung muda. Keduanya tampak berbincang dengan akrab.
“Wei, Giyo!” pekik salah seorang pemuda yang berada di bagian parkir.
Mendengar nama itu disebut, Adinda secara spontan menoleh ke arah asal―. Di sana sudah berdiri seorang pria. Dengan penampilan tampak sedikit lebih mencolok. Sweeter berwarna ungu pastel dengan paduan kemeja dengan sebagai dalamannya. Cara jalannya yang sedikit sempoyongan. Serta anting yang digunakannya malam itu, lebih cantik dengan rantai panjang yang menjuntai.
Perlahan ia mendekat ke arah Adinda dan juga Andara yang terdiam. Seketika, Adinda menundukkan pandangannya. Matanya sayu, dengan roman muka yang lemah. Adinda duduk di bagian sedikit lebih gelap dari sisi kiri Andara. Sehingga jika tidak diperhatikan benar. Maka tidak akan disadari bahwa ia ada di sana.
“An. Mana Adikku?” tanya Giyo secara langsung kepada Andara.
“Adik? Memangnya, Abang ini punya Adik?” Andara malah balik bertanya.
“Adinda! Mana dia!” seru Giyo dengan kening yang berkerut.
“Oh, Dinda. Lah, ini masa enggak bisa lihat,” sahut Andara yang juga tampak tidak menyukai kehadiran Giyo di sana.
“Hmm?”
Giyo memiringkan kepalanya memperhatikan bagian yang ditunjuk Andara. Matanya melengkung membentuk bulan sabit. Sudut bibirnya terangkat ke atas. Giyo tampak sangat lega bisa melihat wanita yang membuatnya hampir menggila. Baru saja dia hampir mengamuk di tempat pesta yang diadakannya sendiri. Semua itu disebabkan karena ada mata-matanya yang melapor. Bahwa sang pujaan tengah terlibat perbincangan akrab bersama, Andara.
“Hai, Din,” sapa Giyo. Jelas itu hanya sekedar basa-basi.
“Hai, Kak. Ada apa?” tanya Adinda masih duduk di tempatnya.
“Bisa kita bicara sebentar?”
“Mau ngomong apa? kenapa enggak di sini saja,” sela Andara.
“Ada hal yang harus aku bicarakan sama, Adinda. Dan ini hanya kami berdua yang paham!” balas Giyo.
“Sudah-sudah. Enggak apa kok, And. Sebentar saja,” sahut Adinda menengahi.
“Oke. Aku akan pergi dari sini. Tapi kamu ingat, kalau ada apa-apa panggil aku,” ujar Andara dengan tatapan sengit menatap Giyo.
Adinda mengiyakan dengan anggukkan kepala. Akhirnya Andara menjauh dari keduanya. Kini hanya ada Giyo dan Adinda yang saling tertunduk. Giyo tampak ragu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan, Adinda seakan menanti sesuatu yang akan diucapkan oleh Giyo. Sungguh pemandangan yang sedikit langka. Melihat seorang Giyo Ramadhan berada di tengah acara pemuda desa yang dikenal bertolak belakang dengan pola pikirnya.
Beberapa saat berlalu, Adinda masih menanti apa yang ingin disampaikan oleh Giyo. Ia menatap pemuda itu lekat. Tahu-tahu Giyo mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Justru yang membuat sorot mata keduanya beradu. Pandangan itu seakan menyatu tak ingin dipisahkan. Namun bibir masih terkunci rapat. Seakan segalanya sudah diungkapkan hanya menggunakan bahasa kalbu. Yang hanya dapat dirasakan oleh keduanya. Siapa pun yang menyaksikan pemandangan tersebut, dapat merasakan adanya getaran cinta yang coba disembunyikan oleh mereka. Giyo secara perlahan melangkah mendekati, Adinda yang masih terpaku di tempatnya. Kini jelas sudah wajah keduanya dapat terlihat satu sama lain. Giyo tersenyum. Andara terlihat tidak nyaman. Ia sedikit menjauh dari keduanya. Sepertinya ia memberikan sedikit ruang agar Giyo bisa leluasa menyampaikan hajatnya. Namun sayangnya, Giyo masih diam dan saling tatap dengan Adinda. Suasana yang begitu ramai, seakan terasa sunyi mencekam. Jika dilih
Bima dan Hendri langsung menjauh dari dua orang yang terlihat semakin lengket. Giyo benar-benar ingin memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Andara semakin dibuat kesal karena Adinda sama sekali tidak menolak perlakuan Giyo padanya, sedangkan dia saja yang sudah lebih dulu dekat dan sering kali menyatakan isi hatinya. Tidak berani berlaku demikian terhadap wanita yang sangat dicintainya. Andara tampak kecewa, wanita yang dijaganya hanya diam saja ketika di dekap pria lain.“Dinda. Aku bahkan belum berani menggenggam tanganmu. Tapi kamu dengan mudahnya memberikan tanganmu padanya!” hardik Andara dalam remang cahaya.Ia terduduk lemas di tengah lapangan. Berteman sunyi dan gelap gulita. Dapat dipahami betapa hancur hatinya saat ini. Tak akan mudah baginya melihat wanita yang ia cintai disentuh pria lain. Andara memegangi dahinya. Mata itu terlihat berkaca-kaca. Jelas kecewa itu sangat berat dirasanya.Tidak lama setelah itu, Giyo menundukkan kepalanya. I
Adinda yang baru saja kembali bersama Andara. Tampak canggung karena teman-temannya memperhatikan mereka. Adinda tidak ingin berada dekat dengan Balai Desa. Ia memilih duduk di bagian halaman parkir yang bersebelahan dengan jalan. Tentu saja, Andara menemaninya dengan setia. Di sana keduanya hanya duduk diam tanpa bicara. “Hayo!!! Lagi apa kalian berdua di tempat remang-remang,” canda Zami dengan raut wajah riangnya. Adinda dan Andara sama-sama terperanjat. Dengan kompak melirik ke arah sumber suara. Zami dari arah belakang berjalan menghampiri keduanya. Zami satu-satunya sahabat Andara yang tidak ikut membenci pemuda itu, ketika Adinda memilih dekat dengannya. Zami juga selalu menunjukkan sikap netral. Ia memilih tak terlalu ingin berharap banyak dari gadis yang ia sendiri tahu tak akan ia dapatkan. “Hai, kalian kenapa? Roman-romannya masalah hati ini,” celetuk Zami menghampiri keduanya. “Aisshhh!” umpat Andara dengan raut wajah kesal. “Din,
Mereka yang tadinya bergembira merayakan pesta tahun baru. Beramai-ramai datang untuk melihat ada yang terjadi sebenarnya. Malam itu mereka semua menjadi saksi mata nyata. Ketika secepat kilat, Giyo menangkis laju pisau yang dihujamkan pria tadi ke bagian perut kanannya. Beberapa gadis bahkan berteriak. Untung saja kegaduhan itu tidak membangunkan orang tua Adinda yang sudah terlelap.Tidak sedikit pun, Giyo memalingkan wajahnya. Giyo terus menuntun, Adinda untuk masuk ke dalam rumah. Dengan santai dan berlaku seakan tidak terjadi apa-apa. Giyo menenangkan Adinda yang masih syok. Ibu Giyo tersadar dari tidurnya. Dan keluar kamar tidurnya dengan wajah lelah yang tampak sudah mulai dihinggapi keriput.Tampaknya Beliau terjaga karena mendengar keributan. Seketika Beliau panik melihat tangan anak bungsunya berdarah. Di sana juga ada gadis yang selama ini sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Waktu memang sudah menunjukkan tengah malam. Bahkan mendekati dini hari. Memang
Bruk! Bruk! Kini suara kegaduhan di luar sana semakin menjadi. Perlahan dia menghentikan tangan sang ibu yang tengah membersihkan lukanya. Ibunya mendongak seakan ingin protes. Akan tetapi ia sudah terlebih dahulu memberikan kode dengan mengatupkan kedua tangannya. Agar sang ibu tidak bisa mencegahnya. Setelah sang ibu mengangguk. Dia bangkit dan berjalan mendekati pintu depan rumahnya. Suara hentakan musik kini terdengar semakin jelas. Tercium juga bau menyengat dari botol minuman yang berserakan. Banyak teman-temannya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sedangkan, di bagian tempat pemanggangan banyak lagi pemuda yang berkumpul. Giyo melirik ke berbagai arah. Seakan tengah mencari sesuatu. “Di mana, Dinda!” seru seorang pria yang tengah duduk di atas sebuah sepeda motor di samping rumah Giyo. “Dia aman sama aku. Kamu enggak perlu khawatir. Aku bahkan jauh lebih mampu melindungi dia!” sergah Giyo tidak kalah sengit. Hahaha! “Melindungi katamu? Apa kausudah benar-benar mabuk, Giy
Beberapa kali Giyo pernah bermasalah dengan pria dewasa dan tua. Terlebih ketika para pria itu memiliki sifat yang buruk. Giyo akan tampil layaknya pahlawan bagi para wanita ini. Jika ditanya apa alasan ia mau melakukan hal itu, dia selalu menjawab, “ketika aku lihat pria tua menyiksa wanita. Dalam bayanganku selalu teringat sosok, Pria Bajingan yang telah mengubahku menjadi monster.” Memanglah sang ayah dari dulu dikenal Ringan Tangan. “Bagaimana dia bisa mencintai kamu, kalau kamu masih berteman dengan benda itu.” sang ibu menunjuk ke arah botol yang kini tinggal tersisa sedikit isinya. “Hmmm. Entah, ‘lah, Bu. Aku sendiri bingung. Namun aku sudah jatuh hati sejak awal melihatnya,” ujar Giyo yang kini memilih bangkit dan mempersilakan sang ibu untuk duduk di sisinya. “Ibu sangat mengenal pribadi anak itu dan keluarganya. Mereka tidak akan bisa dengan mudah menyerahkan anak semata wayangnya kepada Pemuda Brandal seperti kamu!” cetus
Sepanjang langkah, hingga ia berhasil dibaringkan―ranjang. Pandangan mata Giyo tetap tertuju pada wajah Adinda. Tampaknya gadis itu kini merasa malu. Mendapat perlakuan demikian. Sehingga, setelah menyelimuti tubuh itu menggunakan selembar kain.Dan tentu saja, kain yang sama dengan yang digunakannya semalaman. Secara buru-buru ia membalikkan badan. Sepertinya dia berniat meninggalkan Giyo yang masih terdiam dalam pandangan. Belum satu meter ia melangkah. Seketika itu juga tangan kirinya tertahan oleh genggaman erat dari Giyo.Seketika wajah Adinda merona berseri. Dengan salah tingkah dia membalikkan tubuhnya secara perlahan. Giyo menatapnya dengan sorot mata yang serius. Kini ia duduk kaku dengan tangan yang masih menggenggam jemari lentik, Adinda. Gadis dengan wajah ayu nan menawan itu tampak menahan sebuah gejolak asmara.“Kamu mau ke mana?” tanya Giyo dengan nada yang berat.“A-anu, mau ke bawah. Bantu Ibu masak,” jawab Adinda
Mendengar nada suara Andara yang semakin meninggi. Dengan cepat, Adinda menampakkan dirinya di samping Giyo. Seketika Andara terperanjat melihat gadis yang ia cintai berada satu kamar dengan pria yang paling ia benci. Wajahnya memerah. Manik matanya melotot seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Giyo menyeringai dengan tatapan penuh kemenangan. Adinda meminta Giyo untuk mundur terlebih dahulu. Setelah pemuda itu beralih ke belakang tubuhnya. Adinda menatap Andara dengan tatapan sayu. Ia tahu pria itu akan kembali tersakiti. Namun, itulah yang terbaik bagi mereka semua. Adinda sempat mengambil nafas panjang dan menghembuskannya. Sebelum akhirnya dia berbicara pada Andara. Pemuda yang selama ini sudah menjaganya dengan sangat baik. Bahkan, bisa dikatakan Andara sangat menghormatinya sebagai wanita yang harus dijaga. “And. Aku akan turun sebentar lagi. Tunggu aku, ya,” ujar Adinda sebelum berbalik. “Tunggu! Kamu mau pulang sama dia?” tanya Giyo dengan ra