Bima dan Hendri langsung menjauh dari dua orang yang terlihat semakin lengket. Giyo benar-benar ingin memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Andara semakin dibuat kesal karena Adinda sama sekali tidak menolak perlakuan Giyo padanya, sedangkan dia saja yang sudah lebih dulu dekat dan sering kali menyatakan isi hatinya. Tidak berani berlaku demikian terhadap wanita yang sangat dicintainya. Andara tampak kecewa, wanita yang dijaganya hanya diam saja ketika di dekap pria lain.
“Dinda. Aku bahkan belum berani menggenggam tanganmu. Tapi kamu dengan mudahnya memberikan tanganmu padanya!” hardik Andara dalam remang cahaya.
Ia terduduk lemas di tengah lapangan. Berteman sunyi dan gelap gulita. Dapat dipahami betapa hancur hatinya saat ini. Tak akan mudah baginya melihat wanita yang ia cintai disentuh pria lain. Andara memegangi dahinya. Mata itu terlihat berkaca-kaca. Jelas kecewa itu sangat berat dirasanya.
Tidak lama setelah itu, Giyo menundukkan kepalanya. Ia langsung melepaskan tangan Adinda yang digenggamnya. Adinda melirik wajah Giyo seakan ingin melontarkan pertanyaan. Giyo balas menatap wajah gadis cantik yang sangat dicintainya. Giyo tersenyum simpul. Perlahan kedua tangannya memegangi wajah mungil Adinda. Kini sang gadis lugu benar-benar sudah terbuai perlakuan pemuda yang memberikannya pengalaman baru.
“Dinda, kamu tidak aman bersama denganku,” ungkap Giyo lirih.
Adinda yang sebelumnya memejamkan mata. Kini kembali membuka matanya dengan raut wajah penuh tanya. Adinda terlihat bingung dengan perkataan Giyo. Entah sudah berapa kali Giyo melakukan hal ini padanya. Selalu mematahkan harapnya di saat dia tengah menikmati suasana. Adinda menatap Giyo dengan tatapan kosong.
“Aku takut, Dinda. Aku takut tidak mampu menahan diri lebih jauh lagi,” kata Giyo dengan menundukkan wajahnya.
“Kamu itu aneh! Kamu takut melukai aku, tapi kamu mengikat hatiku. Sudahlah! Aku capek, Kak. Lebih baik kamu kembali,” balas Adinda dengan melepaskan tangan Giyo dari wajahnya.
“Din. Kamu harus paham dengan keadaan aku. Aku ingin predator Dinda!”
“TERUS KENAPA KAMU DEKATI AKU, GIYO!!”
Teriakan Adinda mengundang perhatian orang-orang di sekitar mereka. Kini puluhan pasang mata tertuju pada keduanya. Adinda tampak benar-benar kesal dengan pria yang memang tidak jelas apa maunya. Adinda berdiri. Giyo mengikuti dan berusaha menenangkannya. Namun, kali ini Adinda menepis tangan Giyo yang ingin memegang pundaknya.
“Mau kamu apa sebenarnya! Kaubuat aku terlihat rendah di hadapan semua orang, tapi dengan sekejap kamu bilang,’Kamu takut melampaui batas!’ Cih! Aku muak mendengarnya Giyo!” seru Adinda tertahan karena ia sengaja memelankan suaranya agar tidak didengar yang lain.
“Dinda. Aku ini tidak sebaik Andara, aku hanya takut kamu akan membenciku pada akhirnya,” balas Giyo dengan lirih.
“Sudahlah! Kalau kamu tidak menyukaiku, lebih baik mulai detik ini kita saling berjauhan.”
“Dinda bukan itu maksudku.”
Adinda membalik tubuhnya dan bersiap meninggalkan Giyo. Ia menoleh ke belakang setelah itu langsung berjalan meninggalkan Giyo. Kali ini Giyo tidak menghentikannya. Ia perlahan berjalan kembali pada tempat acaranya yang tidak berjauhan dari sana. Andara yang melihat Adinda menuju tempat yang gelap langsung berlari menyusul gadis itu, bagaimanapun kecewa hatinya namun ia tetap tidak akan tega melihat wanitanya terluka.
“Dinda! Tunggu aku,” panggil Andara.
Adinda terus berjalan menuju jalan raya yang tampak lenggang. Andara mengejarnya, menarik tangannya, dan langsung memeluk tubuh gadis yang ia cintai. Bertepatan dengan itu, secara serentak kembang api memenuhi langit gelap. Memberikan warna-warni indah. Adinda menangis dalam pelukan pria yang selalu sabar menemaninya.
“Please, Din. Jangan bertindak nekat,” ujar Andara panik.
Pelukan yang diberikan Andara tampak tulus. Ia sangat mencintai gadis ini. Adinda masih sesenggukan dalam dekapan Andara. Setelah ia dapat menenangkan diri, Andara mengendurkan dekapannya. Dengan lembut Andara memegangi pundak Adinda.
Prang! Prang!
Giyo yang sejak tadi berdiam diri di pojok ruang tamunya. Semenjak kembalinya ia dari mengunjungi Adinda. Suasana rumahnya saat ini sangat riuh dan berisik. Banyak orang berlalu-lalang sesuakanya. Aroma keras menyengat dari luar. Sampah kacang dan makanan ringan lainnya berserakan. Namun tetap saja, Giyo tidak bergeming meski baru saja terdengar benda pecah.
“Giyo. Ayolah bergabung bersama yang lain,” bujuk salah seorang temannya yang terlihat memiliki perawakan yang besar.
“Kalian lanjut saja, aku sedang tidak berselera,” jawab Giyo singkat.
“Ayolah, Bang! Masa hanya karena satu wanita Abang jadi loyo begini,” ejek temannya itu.
“Aku sedang tidak berselera, Zen. Pergilah.”
“Abang kenapa semenjak dekat sama cewek itu jadi cengeng begini! Wanita kayak begitu banyak Bang. Di Club Stars Ladies juga bertebaran.”
Reaksi Giyo langsung berubah. Ketika pria itu menyebutkan bahwa Adinda sama saja, dengan wanita malam yang banyak mereka temui selama ini. Giyo bangkit dengan sorot mata tajam yang mematikan. Melihat reaksi yang ditunjukkan Giyo, pemuda yang bernama Zenix itu secara spontan menjauh dari Giyo. Dia langsung menuju pintu berniat berlari keluar.
“Coba ulangi lagi perkataan kautadi Zen!” perintah Giyo dengan raut wajah dingin.
“Maaf Bang. Aku enggak maksud menyamakan dia sama mereka, aku asal bicara saja,” sesal Zenix dengan wajah pucat pasi.
“Sekali lagi aku dengar ada yang menjelekkan, Adinda Maharani akan langsung berhadapan dengan aku!” peringatan yang disampaikan Giyo untuk seluruh anggotanya yang ada di sana.
Brakk!!
Giyo memukul pintu rumahnya hingga terdapat retakkan kecil pada bekas pukulannya. Setelah itu dia masuk ke dalam rumahnya. Dengan tertatih ia menaiki tangga menuju kamar pribadinya. Cinta benar sudah merasuki hati pemuda dengan julukan Raja Cobra tersebut, ia juga tak mampu menahan amarah saat mendengar wanita yang dicintainya dijelek-jelekkan.
“Ada apa, Zen?” tanya anggota lainnya.
“Entahlah! Kayaknya cewek itu sudah mencuci otak Bang Giyo,” balas Zenix.
“Kali ini kamu benar, Zen. Sejak Bang Giyo dekat sama cewek itu, dia suka galau enggak jelas,” sahut yang lain.
“Cewek mana?” tanya seseorang yang terlihat baru tiba.
“Eh, Bos.”
Semua yang ada di sana langsung membungkuk pada pria itu, ia terlihat berbeda umur cukup jauh dari mereka semua. Pria itu datang mengendarai mobil mewah yang di letakkan di depan rumah warga. Ia juga terlihat sangat dihormati. Sepertinya dia adalah pemimpin dari kelompok mereka yang sebenarnya. Pria itu langsung diberi kursi untuk duduk.
“Di mana anak emasku?” tanyanya pada Zenix.
“Ada di atas, Bos, sebentar akan saya panggilkan.” Zenix langsung bergegas menuju kamar Giyo.
“Bang Giyo! Abang dicari sama Bos Dragon,” panggil Zenix dari depan pintu kamar Giyo.
“Siapa? Dragon! Mau apa dia ke sini?” tanya Giyo masih enggan membukakan pintu.
“Beliau ingin menemui, Abang. Katanya, sih aku juga enggak tahu.”
“Oke. Sebentar lagi.”
Adinda yang baru saja kembali bersama Andara. Tampak canggung karena teman-temannya memperhatikan mereka. Adinda tidak ingin berada dekat dengan Balai Desa. Ia memilih duduk di bagian halaman parkir yang bersebelahan dengan jalan. Tentu saja, Andara menemaninya dengan setia. Di sana keduanya hanya duduk diam tanpa bicara. “Hayo!!! Lagi apa kalian berdua di tempat remang-remang,” canda Zami dengan raut wajah riangnya. Adinda dan Andara sama-sama terperanjat. Dengan kompak melirik ke arah sumber suara. Zami dari arah belakang berjalan menghampiri keduanya. Zami satu-satunya sahabat Andara yang tidak ikut membenci pemuda itu, ketika Adinda memilih dekat dengannya. Zami juga selalu menunjukkan sikap netral. Ia memilih tak terlalu ingin berharap banyak dari gadis yang ia sendiri tahu tak akan ia dapatkan. “Hai, kalian kenapa? Roman-romannya masalah hati ini,” celetuk Zami menghampiri keduanya. “Aisshhh!” umpat Andara dengan raut wajah kesal. “Din,
Mereka yang tadinya bergembira merayakan pesta tahun baru. Beramai-ramai datang untuk melihat ada yang terjadi sebenarnya. Malam itu mereka semua menjadi saksi mata nyata. Ketika secepat kilat, Giyo menangkis laju pisau yang dihujamkan pria tadi ke bagian perut kanannya. Beberapa gadis bahkan berteriak. Untung saja kegaduhan itu tidak membangunkan orang tua Adinda yang sudah terlelap.Tidak sedikit pun, Giyo memalingkan wajahnya. Giyo terus menuntun, Adinda untuk masuk ke dalam rumah. Dengan santai dan berlaku seakan tidak terjadi apa-apa. Giyo menenangkan Adinda yang masih syok. Ibu Giyo tersadar dari tidurnya. Dan keluar kamar tidurnya dengan wajah lelah yang tampak sudah mulai dihinggapi keriput.Tampaknya Beliau terjaga karena mendengar keributan. Seketika Beliau panik melihat tangan anak bungsunya berdarah. Di sana juga ada gadis yang selama ini sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Waktu memang sudah menunjukkan tengah malam. Bahkan mendekati dini hari. Memang
Bruk! Bruk! Kini suara kegaduhan di luar sana semakin menjadi. Perlahan dia menghentikan tangan sang ibu yang tengah membersihkan lukanya. Ibunya mendongak seakan ingin protes. Akan tetapi ia sudah terlebih dahulu memberikan kode dengan mengatupkan kedua tangannya. Agar sang ibu tidak bisa mencegahnya. Setelah sang ibu mengangguk. Dia bangkit dan berjalan mendekati pintu depan rumahnya. Suara hentakan musik kini terdengar semakin jelas. Tercium juga bau menyengat dari botol minuman yang berserakan. Banyak teman-temannya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sedangkan, di bagian tempat pemanggangan banyak lagi pemuda yang berkumpul. Giyo melirik ke berbagai arah. Seakan tengah mencari sesuatu. “Di mana, Dinda!” seru seorang pria yang tengah duduk di atas sebuah sepeda motor di samping rumah Giyo. “Dia aman sama aku. Kamu enggak perlu khawatir. Aku bahkan jauh lebih mampu melindungi dia!” sergah Giyo tidak kalah sengit. Hahaha! “Melindungi katamu? Apa kausudah benar-benar mabuk, Giy
Beberapa kali Giyo pernah bermasalah dengan pria dewasa dan tua. Terlebih ketika para pria itu memiliki sifat yang buruk. Giyo akan tampil layaknya pahlawan bagi para wanita ini. Jika ditanya apa alasan ia mau melakukan hal itu, dia selalu menjawab, “ketika aku lihat pria tua menyiksa wanita. Dalam bayanganku selalu teringat sosok, Pria Bajingan yang telah mengubahku menjadi monster.” Memanglah sang ayah dari dulu dikenal Ringan Tangan. “Bagaimana dia bisa mencintai kamu, kalau kamu masih berteman dengan benda itu.” sang ibu menunjuk ke arah botol yang kini tinggal tersisa sedikit isinya. “Hmmm. Entah, ‘lah, Bu. Aku sendiri bingung. Namun aku sudah jatuh hati sejak awal melihatnya,” ujar Giyo yang kini memilih bangkit dan mempersilakan sang ibu untuk duduk di sisinya. “Ibu sangat mengenal pribadi anak itu dan keluarganya. Mereka tidak akan bisa dengan mudah menyerahkan anak semata wayangnya kepada Pemuda Brandal seperti kamu!” cetus
Sepanjang langkah, hingga ia berhasil dibaringkan―ranjang. Pandangan mata Giyo tetap tertuju pada wajah Adinda. Tampaknya gadis itu kini merasa malu. Mendapat perlakuan demikian. Sehingga, setelah menyelimuti tubuh itu menggunakan selembar kain.Dan tentu saja, kain yang sama dengan yang digunakannya semalaman. Secara buru-buru ia membalikkan badan. Sepertinya dia berniat meninggalkan Giyo yang masih terdiam dalam pandangan. Belum satu meter ia melangkah. Seketika itu juga tangan kirinya tertahan oleh genggaman erat dari Giyo.Seketika wajah Adinda merona berseri. Dengan salah tingkah dia membalikkan tubuhnya secara perlahan. Giyo menatapnya dengan sorot mata yang serius. Kini ia duduk kaku dengan tangan yang masih menggenggam jemari lentik, Adinda. Gadis dengan wajah ayu nan menawan itu tampak menahan sebuah gejolak asmara.“Kamu mau ke mana?” tanya Giyo dengan nada yang berat.“A-anu, mau ke bawah. Bantu Ibu masak,” jawab Adinda
Mendengar nada suara Andara yang semakin meninggi. Dengan cepat, Adinda menampakkan dirinya di samping Giyo. Seketika Andara terperanjat melihat gadis yang ia cintai berada satu kamar dengan pria yang paling ia benci. Wajahnya memerah. Manik matanya melotot seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Giyo menyeringai dengan tatapan penuh kemenangan. Adinda meminta Giyo untuk mundur terlebih dahulu. Setelah pemuda itu beralih ke belakang tubuhnya. Adinda menatap Andara dengan tatapan sayu. Ia tahu pria itu akan kembali tersakiti. Namun, itulah yang terbaik bagi mereka semua. Adinda sempat mengambil nafas panjang dan menghembuskannya. Sebelum akhirnya dia berbicara pada Andara. Pemuda yang selama ini sudah menjaganya dengan sangat baik. Bahkan, bisa dikatakan Andara sangat menghormatinya sebagai wanita yang harus dijaga. “And. Aku akan turun sebentar lagi. Tunggu aku, ya,” ujar Adinda sebelum berbalik. “Tunggu! Kamu mau pulang sama dia?” tanya Giyo dengan ra
Danau dengan luas kurang lebih 30 hektar, dengan air berwarna biru kehijauan. Dulunya menjadi tempat keduanya melepas jenuh. Kini tampak ada jarak yang tak terlihat antara keduanya. Adinda masih terisak dan mengatur napasnya. Sedangkan Andara tampak berkali-kali membuang napas dengan keras. Sekali lagi Andara melirik pada wajah, gadis cantik yang terlihat sembab karena menangis.Akhhhh!“Aku tetap tidak bisa membenci kamu, Din, sudah jangan menangis lagi,” ujar Andara menghampiri Adinda, lalu mengelap sisa air mata di wajah Adinda.“Entah aku yang terlalu bodoh, atau kamu yang tidak mengizinkan aku menjauh. Tapi aku tetap tidak terima kamu dengan dia!”Andara masih terlihat meluapkan isi hatinya. Kali ini dia benar-benar sudah berada pada titik akhir kesabaran. Jelas sekali terlihat dia ingin meluapkan emosinya, atau bahkan membenci Adinda. Namun, hatinya tidak menginginkan hal itu terjadi. Setelah ia merasa cukup tenang, Andara me
Sejak kepulangannya bersama Andara yang disaksikan, Giyo secara langsung. Hingga menjelang siang, Adinda terlihat menantikan pesan singkat, atau bahkan telepon dari Pemuda yang sudah resmi menjadi kekasihnya. Adinda tengah menyisir rambut indahnya di depan cermin. Tok! Tok! “Assalamualaikum, Mak Dinda,” panggil seseorang dari depan rumahnya. Adinda menjawab salam tersebut sambil mengintip dari jendela kamarnya. Seorang wanita paruh baya berdiri di depan halaman rumahnya, dengan sebuah mangkuk kaca yang bertutup ‘kan daun pisang di atasnya. Dari luar terlihat, cairan berwarna cokelat keputihan dengan berbagai potongan sesuatu di dalam benda berbentuk bulat itu. “Ah! itu pasti kolak buatan ‘si Ibu,” gumam Adinda dengan senyuman nakal. Wanita tua itu adalah, ibu kandung dari pria yang sudah membuatnya gundah hampir seharian. Belian adalah ibunya Giyo Ramadhan. Tidak lama, Bu Puji keluar dan mempersilahkan tamunya masuk. Kedua wanita tersebut, lal