Beberapa kali Giyo pernah bermasalah dengan pria dewasa dan tua. Terlebih ketika para pria itu memiliki sifat yang buruk. Giyo akan tampil layaknya pahlawan bagi para wanita ini. Jika ditanya apa alasan ia mau melakukan hal itu, dia selalu menjawab, “ketika aku lihat pria tua menyiksa wanita. Dalam bayanganku selalu teringat sosok, Pria Bajingan yang telah mengubahku menjadi monster.” Memanglah sang ayah dari dulu dikenal Ringan Tangan. “Bagaimana dia bisa mencintai kamu, kalau kamu masih berteman dengan benda itu.” sang ibu menunjuk ke arah botol yang kini tinggal tersisa sedikit isinya. “Hmmm. Entah, ‘lah, Bu. Aku sendiri bingung. Namun aku sudah jatuh hati sejak awal melihatnya,” ujar Giyo yang kini memilih bangkit dan mempersilakan sang ibu untuk duduk di sisinya. “Ibu sangat mengenal pribadi anak itu dan keluarganya. Mereka tidak akan bisa dengan mudah menyerahkan anak semata wayangnya kepada Pemuda Brandal seperti kamu!” cetus
Sepanjang langkah, hingga ia berhasil dibaringkan―ranjang. Pandangan mata Giyo tetap tertuju pada wajah Adinda. Tampaknya gadis itu kini merasa malu. Mendapat perlakuan demikian. Sehingga, setelah menyelimuti tubuh itu menggunakan selembar kain.Dan tentu saja, kain yang sama dengan yang digunakannya semalaman. Secara buru-buru ia membalikkan badan. Sepertinya dia berniat meninggalkan Giyo yang masih terdiam dalam pandangan. Belum satu meter ia melangkah. Seketika itu juga tangan kirinya tertahan oleh genggaman erat dari Giyo.Seketika wajah Adinda merona berseri. Dengan salah tingkah dia membalikkan tubuhnya secara perlahan. Giyo menatapnya dengan sorot mata yang serius. Kini ia duduk kaku dengan tangan yang masih menggenggam jemari lentik, Adinda. Gadis dengan wajah ayu nan menawan itu tampak menahan sebuah gejolak asmara.“Kamu mau ke mana?” tanya Giyo dengan nada yang berat.“A-anu, mau ke bawah. Bantu Ibu masak,” jawab Adinda
Mendengar nada suara Andara yang semakin meninggi. Dengan cepat, Adinda menampakkan dirinya di samping Giyo. Seketika Andara terperanjat melihat gadis yang ia cintai berada satu kamar dengan pria yang paling ia benci. Wajahnya memerah. Manik matanya melotot seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Giyo menyeringai dengan tatapan penuh kemenangan. Adinda meminta Giyo untuk mundur terlebih dahulu. Setelah pemuda itu beralih ke belakang tubuhnya. Adinda menatap Andara dengan tatapan sayu. Ia tahu pria itu akan kembali tersakiti. Namun, itulah yang terbaik bagi mereka semua. Adinda sempat mengambil nafas panjang dan menghembuskannya. Sebelum akhirnya dia berbicara pada Andara. Pemuda yang selama ini sudah menjaganya dengan sangat baik. Bahkan, bisa dikatakan Andara sangat menghormatinya sebagai wanita yang harus dijaga. “And. Aku akan turun sebentar lagi. Tunggu aku, ya,” ujar Adinda sebelum berbalik. “Tunggu! Kamu mau pulang sama dia?” tanya Giyo dengan ra
Danau dengan luas kurang lebih 30 hektar, dengan air berwarna biru kehijauan. Dulunya menjadi tempat keduanya melepas jenuh. Kini tampak ada jarak yang tak terlihat antara keduanya. Adinda masih terisak dan mengatur napasnya. Sedangkan Andara tampak berkali-kali membuang napas dengan keras. Sekali lagi Andara melirik pada wajah, gadis cantik yang terlihat sembab karena menangis.Akhhhh!“Aku tetap tidak bisa membenci kamu, Din, sudah jangan menangis lagi,” ujar Andara menghampiri Adinda, lalu mengelap sisa air mata di wajah Adinda.“Entah aku yang terlalu bodoh, atau kamu yang tidak mengizinkan aku menjauh. Tapi aku tetap tidak terima kamu dengan dia!”Andara masih terlihat meluapkan isi hatinya. Kali ini dia benar-benar sudah berada pada titik akhir kesabaran. Jelas sekali terlihat dia ingin meluapkan emosinya, atau bahkan membenci Adinda. Namun, hatinya tidak menginginkan hal itu terjadi. Setelah ia merasa cukup tenang, Andara me
Sejak kepulangannya bersama Andara yang disaksikan, Giyo secara langsung. Hingga menjelang siang, Adinda terlihat menantikan pesan singkat, atau bahkan telepon dari Pemuda yang sudah resmi menjadi kekasihnya. Adinda tengah menyisir rambut indahnya di depan cermin. Tok! Tok! “Assalamualaikum, Mak Dinda,” panggil seseorang dari depan rumahnya. Adinda menjawab salam tersebut sambil mengintip dari jendela kamarnya. Seorang wanita paruh baya berdiri di depan halaman rumahnya, dengan sebuah mangkuk kaca yang bertutup ‘kan daun pisang di atasnya. Dari luar terlihat, cairan berwarna cokelat keputihan dengan berbagai potongan sesuatu di dalam benda berbentuk bulat itu. “Ah! itu pasti kolak buatan ‘si Ibu,” gumam Adinda dengan senyuman nakal. Wanita tua itu adalah, ibu kandung dari pria yang sudah membuatnya gundah hampir seharian. Belian adalah ibunya Giyo Ramadhan. Tidak lama, Bu Puji keluar dan mempersilahkan tamunya masuk. Kedua wanita tersebut, lal
Setelah sedikit bercanda bersama ibu dan juga Bu Nur, Dinda dengan entengnya langsung membuka tutup mangkok yang dibawa oleh ibu kekasihnya. Karena sang ibu sedang asyik mengobrol Dinda langsung beranjak dari tempat duduknya. Baru saja dia hendak melangkah ke dapur, tangannya dicegat oleh―. “Dasar anak satu ini! Sejak kapan kamu enggak sopan begitu? Bukannya, Mama selalu ajarkan kamu tata krama yang baik?” ujar sang ibu dengan kedua mata yang membesar. “Maaf, Ma. Dinda sudah enggak sabar lagi mau makannya,” ungkap Dinda tertunduk sedih. “Sudahlah, Dik. Tidak apa-apa, sama saya ini. Biarkan saja, dia memang sudah lama ingin makan itu,” sambung Bu Nur. “Kakak, kalau dibiarkan dia begitu. Akan kebiasaan sampai nanti, bagaimana nanti kalau di depan mertuanya.” Kata terakhir yang diucapkan oleh Bu Puji membuat, Adinda dan Bu Nur saling pandang. Kedua pasang mata mereka terkesan membelalak. Seperti ada yang sedang keduanya bicarakan melalui tatapan
Siang itu terasa sangat terik. Hingga para burung saja seakan enggan untuk melayang di atas awang. Untung saja angin yang berhembus menjadikan suasa sedikit terasa nyaman, entah memang karena sudah waktunya untuk tidur siang, atau hanya karena malas keluar rumah. Tengah hari itu terasa hening. Seakan tidak aktivitas yang terjadi. Adinda terpojok di sandaran kursi. Sedangkan wajah Giyo hanya berjarak sejengkal saja, dari mukanya yang membuat napas Adinda seakan tidak bisa bernapas dengan benar. Wajahnya yang merona kini kian menunjukkan semunya. Giyo yang melihat hal tersebut tersenyum, lalu dengan cepat dia mendaratkan sebuah ciuman hangat pada kening Adinda. Adinda tidak dapat berkata-kata, dia hanya bisa membelalakkan matanya. Sambil menutupi mulutnya yang menganga dengan tangan kanan. Sedang Giyo menghempaskan tubuhnya di atas kursi yang ada di samping, gadis cantik yang tampak belum mampu menguasai segala keterkejutannya. Giyo kembali menoleh ke arahnya, lalu ter
Raut wajahnya memang terlihat ramah dan teriring senyuman manis di sana, akan tetapi tampaknya Adinda serasa enggan meladeni mereka yang datang ke rumahnya. Sepertinya memang ia belum terbiasa dengan lingkungan sekitar. Selama di tempat kelahirannya, tidak ditemukan gerombolan pemuda yang akan mendatangi rumah seorang gadis. Hanya untuk berkenalan. Namun di sini semuanya sudah lumrah terjadi. Terlebih di sini memang sangat jarang ditemukan seorang gadis. Hal itu dikarenakan kebiasaan masyarakat penduduk, akan menjodohkan anak gadisnya dengan seorang pemuda ketika ia memasuki usia 18 tahun. Usia tersebut dianggap sudah cukup matang untuk menjalani peliknya biduk rumah tangga. Dan itulah yang menjadikan daerah tersebut memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi. “Din,!” panggil Abi. “Eh! Iya ada apa, Bi?” tanya Adinda tersentak dari lamunannya. “Itu, Sandi tanya kamu sama Andara itu pacaran?” “Oh, enggak ‘kok kami hanya teman biasa.”