Raut wajahnya memang terlihat ramah dan teriring senyuman manis di sana, akan tetapi tampaknya Adinda serasa enggan meladeni mereka yang datang ke rumahnya. Sepertinya memang ia belum terbiasa dengan lingkungan sekitar. Selama di tempat kelahirannya, tidak ditemukan gerombolan pemuda yang akan mendatangi rumah seorang gadis. Hanya untuk berkenalan.
Namun di sini semuanya sudah lumrah terjadi. Terlebih di sini memang sangat jarang ditemukan seorang gadis. Hal itu dikarenakan kebiasaan masyarakat penduduk, akan menjodohkan anak gadisnya dengan seorang pemuda ketika ia memasuki usia 18 tahun. Usia tersebut dianggap sudah cukup matang untuk menjalani peliknya biduk rumah tangga. Dan itulah yang menjadikan daerah tersebut memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi.
“Din,!” panggil Abi.
“Eh! Iya ada apa, Bi?” tanya Adinda tersentak dari lamunannya.
“Itu, Sandi tanya kamu sama Andara itu pacaran?”
“Oh, enggak ‘kok kami hanya teman biasa.”
Semua wanita patut kamu hormati, bukan dilecehkan ataupun direndahkan. _Adinda||Adinda_
Tepat seminggu sudah terjadinya peristiwa di mana Dinda tidak membenarkan sikap, Giyo yang seakan merendahkan Manda temannya. Meski hampir semua orang tahu latar belakang gadis itu, akan tetapi bagi Adinda dia tidak membiarkan pelecehan sekecil apa pun pada seorang wanita. Baik secara verbal maupun non verbal. Hubungannya dan Giyo sempat mengalami sedikit masalah selama satu hari setelahnya, sebelum akhirnya Giyo berhasil kembali meluluhkan hati sang gadis. Dengan melakukan hal tak terduga di depan khalayak ramai. Meski Adinda merasa malu, akan tetapi dia merasa senang karena mendapat perlakuan yang diidamkan gadis pada umumnya. Hari itu, Giyo dan tim volinya akan bertanding. Di sebuah desa yang cukup jauh dari tempat mereka, meski hanya pertandingan persahabatan. Akan tetapi perlombaan tersebut melibatkan beberapa wilayah yang ada di kecamatan tersebut, dan tim Giyo berhasil menjadi perwakilan untuk kampung mereka, di sana juga tentunya ada Andara yang memang satu t
Sore itu terasa lebih hangat dari biasanya, masih dapat terlihat sisa butiran air hujan di dedaunan. Setelah sempat langit menyiram bumi, seusai riuhnya atas kemenangan tim voli Kampung Tanjung Agung. Hanya sebentar saja, tampaknya sang arwana tak tega melihat dua insan tak kunjung pulang dari lapangan yang perlahan sunyi. Kebahagiaan jelas terlukis di wajah keduanya, tak tampak sedikit pun keraguan, curiga, bimbang, atau semacamnya, karena yang ada hanya rasa cinta yang menggebu. Giyo memberikan jaketnya dan menyelimutkannya pada, Adinda gadis cantik yang terlihat semakin sendu akan tetapi berbinar. Keduanya sengaja berteduh di sebuah pos jaga malam, yang terletak di pinggir jalan raya di saat hujan turun. Sedangkan rombongan yang lainnya, sudah terlebih dulu berjalan. Giyo memang sengaja membawa pelan laju motor modifikasinya, sudah pasti ia memiliki alasan agar memiliki waktu lebih lama bersama kekasihnya. Beberapa orang yang melewati keduanya, memberikan reaksi y
Semuanya mengalir dengan lancar. Bagai aliran air sungai yang terus melaju tanpa berniat untuk singgah, atau pun bertahan bersama hulu yang memilih angkuh dengan posisinya yang mendahului segalanya. Lembapnya sisa hujan menimbulkan aroma tanah basah. Sangat meneduhkan. Semuanya bertambah indah ketika dedaunan hijau masih saja terlihat segar, bayu yang berhembus pun menambah sejuknya suasana. Dua insan manusia yang saling mencinta, tengah menikmati indahnya masa muda dengan rasa yang menggebu. Di bawah lindapnya hutan yang dibelah oleh jalan aspal hitam, yang mana jalanan ini dijadikan penghubung antar berbagai desa satu dengan yang lainnya. Sepanjang perjalanan hanya dapat dilihat dedaunan hijau, dengan nyanyian berbagai burung pengiring berjalannya waktu. “Dinda, kamu masih kedinginan enggak?” tanya Giyo dengan tangan kiri yang berada di perutnya. Terlihat kokoh, erat, dan seakan enggan melepaskan genggamannya. Pada kedua tangan wanita cantik yang kini tenga
Malam itu, Adinda tampak gelisah. Berulang kali ia mencoba memejamkan mata, akan tetapi sang indra penglihatan tampaknya belum mau menuruti kata otak yang sudah lelah. Adinda kembali mengecek telepon genggamnya, tampaknya dia sedang menunggu kabar dari seseorang. Tentu saja, orang yang selalu ada di kepalanya hanya Giyo. Adinda tersenyum dengan kedua pipi yang merona. Tampaknya gadis itu masih mengingat kejadian petang tadi, yang hampir saja membuat jiwanya melayang karena menahan malu. Tertangkap basah dengan Zenix. Adinda menarik selimut dan menutupi tubuhnya hingga menyisakan bagian rambut saja. “Ai, aku jadi malu banget kepergok,” gumam Adinda dengan menendang selimut dari dalam. “AAAAAA! Giyo kamu membuatku gila kalau begini ceritanya!” Ketika dia membuka balutan selimutnya, wajahnya memerah dengan bulir keringat yang melekat di dahinya. Adinda kembali menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia beringsut ke dinding dan menyandarkan tubuhn
Giyo dan rombongannya sudah siap dengan semua peralatan yang terlihat asing. Ada cairan yang terlihat dijauhkan dari api atau pun gas. Beberapa senjata tajam dan juga palu besar. Giyo sudah berada di dalam mobilnya, dengan kretek yang masih mengeluarkan kepulan asap putih. Kring! Kring! Brum! Brum! Suara dering telepon genggam milik Giyo berbarengan dengan suara deruman mobil para anggota Giyo yang lain. “Bang, ayo, semuanya sudah siap!” Teriak Zenix yang ada di sebelah Giyo. “Oke!” Brum! Brum! Empat buah mobil yang beriringan dengan Giyo yang berada paling depan. Tampak membelah heningnya malam itu, Giyo masih belum sadar dengan panggilan dari sang mata-mata yang ia tugaskan mengawasi Adinda. Sepanjang jalan, Giyo tampak seakan kosong. Pandangannya melesat jauh, akan tetapi dia masih mampu mengemudikan mobil dengan sangat baik. Zenix yang memang satu mobil dengannya, tampak memperhat
Menjelang pukul delapan pagi, Giyo tiba di kampungnya dengan motor dan pakaian yang terlihat basah. Banyak warga yang berkumpul di depan kediaman Adinda, di sana juga terlihat ayah dari Andara. Giyo tampak ingin melangkah dan berbaur dengan warga. Namun, dia mengurungkan niatnya. Dan kembali lagi masuk ke dalam kamarnya. Sang ibu juga tidak ada di rumah, dan sepertinya ada di rumah Adinda juga. Giyo terlihat gelisah. Dia mondar-mandir di dalam kamarnya seraya berkali-kali mencoba berpikir jernih. Seketika itu, Giyo seakan teringat sesuatu dan buru-buru memeriksa telepon genggamnya. “Apa!” teriak Giyo yang tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ternyata sudah banyak sekali panggilan tak terjawab, serta pesan singkat. Baik itu dari orang suruhannya, atau dari Adinda langsung. “Kenapa aku bisa tidak terpikir! Dasar bodoh, kamu, Giyo!” Plak! Plak! Giyo menyakiti dirinya sendiri dengan menampar wajahnya. Giyo terlihat menyesal sekaligus kebingung
“Gi, sudah pulang kamu?” tanya Denis dengan raut wajah merendahkan. “Iya,” sahut Giyo singkat. “Enak, ya kalau jadi ketua gang itu, bisa suka-suka ke mana mau pergi.” Denis seperti sengaja menyindir Giyo, akan tetapi orang yang disindir sama sekali tidak peduli. Dia masih saja berjalan dengan santai. Ke arah kerumunan warga lain yang duduk di sisi kiri rumah Adinda. Yang bisa langsung melihat aliran yang ada di bagian bawah. Giyo duduk di samping seorang pemuda. Dan itu adalah Dika, pemuda yang sengaja ia tugaskan memantau situasi yang terjadi di sana selama Giyo pergi. Dan Dika memang jarang diajak pergi melakukan operasi karena dia masih terlalu muda. Lagi pula belum memiliki pengalaman. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Giyo dengan mimik muka datar. “Mereka itu bagian dari kelompokBandit Bajang Hitam. Dan yang melakukan operasi adalah Reno pemuda yang memang sejak awal menyukai Kakak,” terang Dika menjelaskan secar
“Ada apa Bang?” tanya Dika mendekati Giyo yang terlihat masih tidak menyangka dengan perubahan keputusan yang diberikan kekasihnya. “Ini, Kakakmu bisa berubah pikiran dalam satu menit. Aku tadinya bingung harus pakai alasan apa untuk pergi, tapi dia bilang aku boleh pergi sekarang,” terang Giyo masih kebingungan. “Bang, kalau dia sudah memberikan izin pada Abang. Terus Abang tunggu apa lagi?” “Aku masih tidak yakin, Dik.” “Sudahlah, Bang. Biar Kakak jadi urusan aku.” “Kamu yakin bisa mengatasinya?” “Yakin. Abang saja yang tidak berani sama Kakak,hehehe.” “Sudah berani kamu sekarang, ya. Sudah ada dompleng!” Hahaha! Setelah itu, Giyo langsung bergegas mengambil topinya yang diletakkan di atas meja. Setelah itu, sebelum menarik gas motornya, dia menepuk pundak Dika. Seakan ia menitipkan wanitanya kepada Dika. Pemuda itu tersenyum mengamati kepergian sang ketua gang.” Dika memang satu-satunya
Tok! Tok! “Siapa?” ujar Tiwi dari balik pintu rumah Adinda. “Wi, ini aku Zenix. Aku mau ngomong sama Kak Dinda,” sahut Zenix dari balik pintu. Tiwi menoleh ke arah Adinda dan juga Angel yang di mana ia seolah meminta persetujuan. Setelah kedua sahabatnya mengangguk. Barulah Tiwi berani membukakan pintu. Saat pintu terbuka Giyo berdiri di sana dengan Zenix berada di sebelahnya. Begitu pula dengan Andika. Giyo masuk dengan raut wajah datar. Tanpa basa-basi ia menghampiri Adinda dan berhenti tepat di hadapan gadis itu. Adinda tampak gugup menghadapi Giyo yang jelas-jelas sudah ada di depannya. Zenix memberikan kode kepada Angel untuk menjauh. Gadis itu mengerti dan memilih untuk duduk bersama Tiwi di sofa ruang tamu. “Kapan aku mengiyakan kita putus? Kapan aku menyetujui omongan kamu? Kapan!” bentak Giyo dengan raut wajah memerah menahan gejolak amarah. “Tapi aku—” kalimat Adinda mendadak berhenti saat jari telunjuk Giyo menutupi bibir tipisnya. “Kamu masih pacar aku. Enggak ada pe
Giyo sudah pulih dan kembali ke rumahnya. Di sana Adinda terus berusaha mencari kesempatan untuk menjenguk kekasihnya itu. Hari itu suasana kediaman Giyo memang sangat sepi. Sedangkan kedua orang tua Adinda menghadiri pesta pernikahan saudaranya yang mengharuskan keduanya menginap selama beberapa hari di sana. Hal itu dimanfaatkan Adinda untuk merawat Giyo. “Sayang, sini aku periksa dulu lukanya,” ujar Adinda yang baru saja masuk ke kamar Giyo dengan membawa nampan berisi, perban, obat merah, dan beberapa kain kasa. “Ternyata enak juga kalau ada istri yang merawat kayak begini,” balas Giyo yang membuat Adinda tersipu malu. Wajahnya bersemu merah jambu. “Permisi, ya Sayang. Maaf kalau sakit.” “Kalau cuman kayak begini enggak ngaruh sedikit pun. Kalau kamu yang ngurusin, digosok-gosok juga aku mau.” Adinda menekan luka Giyo yang membuat pria itu meringis. Adinda tertawa. Giyo membalik tubuhnya yang membuat Adinda terkejut dan spontan mengelak. Giyo mendesak hingga tubuh Adinda berad
“Bangsat lu! Hia!”Giyo menyerang Dragon. Perkelahian antar keduanya tidak terhindarkan. Giyo sudah nyaris hampir mengalahkan Dragon. Sesaat sebelum sebuah belati menancap dipunggung kirinya. Saat menoleh Giyo melihat sang ketua berada di sana. “Apa yang buat lu rela mati demi cewek itu Gi?” ujarnya dengan tatapan kosong.“Lu rela mau ngebunuh rekan lu sendiri hanya demi satu orang gadis yang belum tentu lu bisa dapatin.”“Kenapa lu jadi sebegok ini?”Giyo tidak peduli dengan ocehan sang ketua. Kini ia malah berusaha menyerang sang ketua. Namun ia kalah jumlah, Giyo terpojok. Tubuhnya mengalami banyak luka memar. Dari punggungnya pun masih mengalir geti segar.Perlahan Giyo tampak melemah. Dan akhirnya dia terjatuh. Sang ketua membawanya ke rumah sakit. Giyo dirawat di sana. Setelah ia siuman Giyo menyadari di sampingnya ada Adinda yang terlihat lelah dan sangat khawatir. Giyo membelai kepala Adinda dengan perlahan.“Sayang aku ada di mana?” ucap Giyo lirih dengan nada yang le
Setelah perdebatan cukup panjang dengan berat hati Adinda mengizinkan Giyo pergi. Sebelum pria itu melangkah memasuki mobil berwarna hitam dengan kaca film berwarna hitam pula. Giyo memeluk erat dan memberikan ciuman kecil di kening Adinda. Air mata di sudut mata wanita itu tidak bisa dibendung lagi. Setelah Giyo benar-benar menghilang dari pandangan, Adinda terduduk dengan lemah. “Aku cuman takut. Takutku adalah takut aku yang akan kehilangan dia,” ungkap Adinda lirih dalam pelukan Tiwi. “Kamu tenang aja Din. Kak Giyo enggak akan kenapa-kenapa,” ungkap Tiwi menenangkan sahabatnya. “Aku takut Wi.” “Kakak Ipar tenang aja. Bang Giyo itu jagoan. Mana mungkin dia kalah,” sambung Zenix terlihat simpati pada kekasih ketua kelompok mereka. “Zen, apa yang bisa aku lakukan supaya abangmu bisa keluar dari gang ini?” “Enggak ada Kak. Kalian menikah pun. Abang harus tetap berada di dalam sini. Apalagi Abang terlalu banyak memegang kunci kelompok.” “Ancamannya nyawa ‘kan Zen?” setelah menye
“Din, entar siang kami main ke rumah kamu, ya,” ujar Tiwi saat bertemu di balai. “Maaf Wi. Nanti siang aku ada keperluan sama Kak Giyo,” sahut Adinda dengan santai seraya menaiki motornya. “Tapi, kita sudah lama enggak kumpul. Kamu sekarang suka menyendiri, kalau enggak pasti sama Kak Giyo.” “Iya namanya juga dia pacar aku. Udah, ya Wi aku duluan.” Semenjak kejadian hari itu, Adinda memang menutup diri. Dia menjauhi, Andara, dua sahabatnya, dan teman-temannya yang lain. Semenjak itu pula, ia terlihat sangat patuh kepada, Giyo. Sang ibu sempat merasa curiga dengan perubahan Adinda. Ibunya pernah mendesak agar, Adinda jujur mengatakan ada apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Adinda memilih tetap bungkam dan berusaha menutupi aibnya. Para tetangga pun mulai banyak membicarakan kedekatan Adinda dan Giyo yang dinilai terlalu fulgar. Banyak aduan yang diterima orang tua Adinda, akan kedekatan dirinya dan Giyo. Bahkan ada salah satu tetangga yang mengaku melihat Adinda dan Giyo berlaku ti
Setelah dua hari sehabis pertemuan keduanya di danau. Hari ini Giyo mengajak Adinda berkunjung ke rumah pamannya yang jaraknya cukup jauh dari daerah tempat tinggal mereka. Adinda beralasan kepada kedua orang tuanya ingin membeli sesuatu di kota. Yang mana sang ayah awalnya meminta Adinda untuk pergi bersama Andara saja. Namun dengan manis, Adinda beralasan kalau Andara tidak bisa menemaninya. Akhirnya sang ayah pun mengizinkan Adinda untuk pergi bersama Giyo. Sebelum keduanya berangkat, berkali-kali sang ayah berpesan agar Giyo menjaga Adinda sebagai adik. Dan Giyo tentu saja menyanggupi permintaan Pak Anjas. Keduanya pergi dengan mengendarai motor gede milik Giyo. “Good luck, Bang!” kalimat yang dilontarkan Zenix tampaknya membuat Adinda seakan bertanya-tanya. Di perjalanan Giyo banyak bercerita akan perjalanan hidupnya. Kedua tangan Adinda yang melingkar di pinggang Giyo. Membuat keduanya tidak memiliki batas. Kepala Adinda yang tidak mengenakan helm pengaman pun bersandar pada p
Semenjak kejadian itu Adinda mulai dijauhi oleh pemuda dan pemudi desa setempat. Mereka tidak menyangka Adinda yang selugu dan sebaik itu, akan berpacaran dengan pria bejat seperti Giyo. Beberapa pemuda malah berniat memisahkan mereka karena mereka tidak ingin Adinda menjadi rusak. Terlebih si Andara saingan utama Giyo. Brem! Brem! “Pulang juga lu akhirnya Bang,” ujar Zenix yang terlihat senang dengan kedatangan Giyo dengan motor gedenya. “HM.” Giyo hanya menjawab dengan nada datar. Giyo turun dari motornya, lalu melemparkan jaket kulit dengan warna cokelat gelap ke atas sofa. Lalu dengan wajah tampak letih Giyo membanting tubuhnya pada sofa yang sama. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil dan memeriksa telepon seluler miliknya. Lalu dengan kedua lengan yang bertopang pada paha. Giyo tampak mencoba menghubungi seseorang. “Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku sudah sampai di rumah ini, kamu bisa ke rumah atau nanti kita ketemu di tempat biasa?” wajahnya yang semula tampak leti
“Kak Giyo!” pekik Tiwi. “Aku harus bagaimana?” tanya Adinda cemas. “’Loh! Kenapa malah bagaimana, Din? Kamu angkat telepon itu, dan tanya sekarang dia ada di mana?” tuntun Angel yang memang selalu lebih tenang dibanding kedua sahabatnya. “Oke!” “Halo, iya, Kak?” ujar Adinda saat menerima panggilan tersebut. Tiwi memberikan kode agar Adinda mau memperdengarkan perbincangannya dengan Giyo. Dengan melakukan media sepiker yang ada di telepon seluler tersebut, Adinda mengikuti keinginan sahabatnya tersebut hingga keduanya terlihat senang. “Sayang, kamu di mana sekarang?” tanya Giyo dengan suara lembutnya. “Em! Di rumah ada apa, Kak?” sahut Adinda dengan wajah yang merona merah muda karena merasa malu. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Aku hanya khawatir sama kamu saja, aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu setelah apa yang kudengar.” “Sekarang, Kakak ada di mana? Sudah pulang dari sana?” “Masih di tempat yang aku bilang ingin datangi tadi, aku sekarang baru bisa lega dan tenang.” “Ap
Sebagai orang yang berhasil merebut hati Adinda tentu saja Giyo sangat bangga. Dia bahkan terlihat sangat puas dengan apa yang ia dapatkan saat ini. Selama ini dia suka mendapatkan ejekan dari beberapa orang temannya, bahwa Giyo ini tidak menyukai wanita. Dan kini dia bisa membuktikan bahwa dia normal. Adinda, Tiwi, dan Angel tertawa riang menertawakan cerita yang di suguhkan Tiwi. Gadis-gadis ini terlihat sangat dekat dan kompak. Meski Adinda masih baru di kampung mereka, akan tetapi dia sudah mampu bergaul dengan baik. Kepada semua pemuda dan mudi Kampung Tanjung Agung. “Eh, Din, kamu tahu enggak kalau, Manda itu pernah suka sama pacarmu,” bisik Angel. Dibenarkan oleh Tiwi yang menganggukkan kepala. “Ha? Masa sih begitu? Aku enggak yakin, dia mau sama Giyo,” sahut Adinda dengan mengerutkan dahinya. “Dulu, dia suka banget sore-sore masak, berbenah rumah, dan mencuci baju Giyo,” ujar Tiwi, “orang-orang sini pada memuji dia dan berusaha menyanjung dia. Kalau dia ada di depan mereka,