Tepat seminggu sudah terjadinya peristiwa di mana Dinda tidak membenarkan sikap, Giyo yang seakan merendahkan Manda temannya. Meski hampir semua orang tahu latar belakang gadis itu, akan tetapi bagi Adinda dia tidak membiarkan pelecehan sekecil apa pun pada seorang wanita. Baik secara verbal maupun non verbal.
Hubungannya dan Giyo sempat mengalami sedikit masalah selama satu hari setelahnya, sebelum akhirnya Giyo berhasil kembali meluluhkan hati sang gadis. Dengan melakukan hal tak terduga di depan khalayak ramai. Meski Adinda merasa malu, akan tetapi dia merasa senang karena mendapat perlakuan yang diidamkan gadis pada umumnya.
Hari itu, Giyo dan tim volinya akan bertanding. Di sebuah desa yang cukup jauh dari tempat mereka, meski hanya pertandingan persahabatan. Akan tetapi perlombaan tersebut melibatkan beberapa wilayah yang ada di kecamatan tersebut, dan tim Giyo berhasil menjadi perwakilan untuk kampung mereka, di sana juga tentunya ada Andara yang memang satu t
Semua orang pernah salah, semua orang juga―melakukan perbuatan yang mungkin tidak baik. Tapi, tidak ada satu manusia pun yang berhak untuk mencaci kehidupan orang yang diberi stempel salah tersebut. _Adinda||Adinda_
Sore itu terasa lebih hangat dari biasanya, masih dapat terlihat sisa butiran air hujan di dedaunan. Setelah sempat langit menyiram bumi, seusai riuhnya atas kemenangan tim voli Kampung Tanjung Agung. Hanya sebentar saja, tampaknya sang arwana tak tega melihat dua insan tak kunjung pulang dari lapangan yang perlahan sunyi. Kebahagiaan jelas terlukis di wajah keduanya, tak tampak sedikit pun keraguan, curiga, bimbang, atau semacamnya, karena yang ada hanya rasa cinta yang menggebu. Giyo memberikan jaketnya dan menyelimutkannya pada, Adinda gadis cantik yang terlihat semakin sendu akan tetapi berbinar. Keduanya sengaja berteduh di sebuah pos jaga malam, yang terletak di pinggir jalan raya di saat hujan turun. Sedangkan rombongan yang lainnya, sudah terlebih dulu berjalan. Giyo memang sengaja membawa pelan laju motor modifikasinya, sudah pasti ia memiliki alasan agar memiliki waktu lebih lama bersama kekasihnya. Beberapa orang yang melewati keduanya, memberikan reaksi y
Semuanya mengalir dengan lancar. Bagai aliran air sungai yang terus melaju tanpa berniat untuk singgah, atau pun bertahan bersama hulu yang memilih angkuh dengan posisinya yang mendahului segalanya. Lembapnya sisa hujan menimbulkan aroma tanah basah. Sangat meneduhkan. Semuanya bertambah indah ketika dedaunan hijau masih saja terlihat segar, bayu yang berhembus pun menambah sejuknya suasana. Dua insan manusia yang saling mencinta, tengah menikmati indahnya masa muda dengan rasa yang menggebu. Di bawah lindapnya hutan yang dibelah oleh jalan aspal hitam, yang mana jalanan ini dijadikan penghubung antar berbagai desa satu dengan yang lainnya. Sepanjang perjalanan hanya dapat dilihat dedaunan hijau, dengan nyanyian berbagai burung pengiring berjalannya waktu. “Dinda, kamu masih kedinginan enggak?” tanya Giyo dengan tangan kiri yang berada di perutnya. Terlihat kokoh, erat, dan seakan enggan melepaskan genggamannya. Pada kedua tangan wanita cantik yang kini tenga
Malam itu, Adinda tampak gelisah. Berulang kali ia mencoba memejamkan mata, akan tetapi sang indra penglihatan tampaknya belum mau menuruti kata otak yang sudah lelah. Adinda kembali mengecek telepon genggamnya, tampaknya dia sedang menunggu kabar dari seseorang. Tentu saja, orang yang selalu ada di kepalanya hanya Giyo. Adinda tersenyum dengan kedua pipi yang merona. Tampaknya gadis itu masih mengingat kejadian petang tadi, yang hampir saja membuat jiwanya melayang karena menahan malu. Tertangkap basah dengan Zenix. Adinda menarik selimut dan menutupi tubuhnya hingga menyisakan bagian rambut saja. “Ai, aku jadi malu banget kepergok,” gumam Adinda dengan menendang selimut dari dalam. “AAAAAA! Giyo kamu membuatku gila kalau begini ceritanya!” Ketika dia membuka balutan selimutnya, wajahnya memerah dengan bulir keringat yang melekat di dahinya. Adinda kembali menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia beringsut ke dinding dan menyandarkan tubuhn
Giyo dan rombongannya sudah siap dengan semua peralatan yang terlihat asing. Ada cairan yang terlihat dijauhkan dari api atau pun gas. Beberapa senjata tajam dan juga palu besar. Giyo sudah berada di dalam mobilnya, dengan kretek yang masih mengeluarkan kepulan asap putih. Kring! Kring! Brum! Brum! Suara dering telepon genggam milik Giyo berbarengan dengan suara deruman mobil para anggota Giyo yang lain. “Bang, ayo, semuanya sudah siap!” Teriak Zenix yang ada di sebelah Giyo. “Oke!” Brum! Brum! Empat buah mobil yang beriringan dengan Giyo yang berada paling depan. Tampak membelah heningnya malam itu, Giyo masih belum sadar dengan panggilan dari sang mata-mata yang ia tugaskan mengawasi Adinda. Sepanjang jalan, Giyo tampak seakan kosong. Pandangannya melesat jauh, akan tetapi dia masih mampu mengemudikan mobil dengan sangat baik. Zenix yang memang satu mobil dengannya, tampak memperhat
Menjelang pukul delapan pagi, Giyo tiba di kampungnya dengan motor dan pakaian yang terlihat basah. Banyak warga yang berkumpul di depan kediaman Adinda, di sana juga terlihat ayah dari Andara. Giyo tampak ingin melangkah dan berbaur dengan warga. Namun, dia mengurungkan niatnya. Dan kembali lagi masuk ke dalam kamarnya. Sang ibu juga tidak ada di rumah, dan sepertinya ada di rumah Adinda juga. Giyo terlihat gelisah. Dia mondar-mandir di dalam kamarnya seraya berkali-kali mencoba berpikir jernih. Seketika itu, Giyo seakan teringat sesuatu dan buru-buru memeriksa telepon genggamnya. “Apa!” teriak Giyo yang tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ternyata sudah banyak sekali panggilan tak terjawab, serta pesan singkat. Baik itu dari orang suruhannya, atau dari Adinda langsung. “Kenapa aku bisa tidak terpikir! Dasar bodoh, kamu, Giyo!” Plak! Plak! Giyo menyakiti dirinya sendiri dengan menampar wajahnya. Giyo terlihat menyesal sekaligus kebingung
“Gi, sudah pulang kamu?” tanya Denis dengan raut wajah merendahkan. “Iya,” sahut Giyo singkat. “Enak, ya kalau jadi ketua gang itu, bisa suka-suka ke mana mau pergi.” Denis seperti sengaja menyindir Giyo, akan tetapi orang yang disindir sama sekali tidak peduli. Dia masih saja berjalan dengan santai. Ke arah kerumunan warga lain yang duduk di sisi kiri rumah Adinda. Yang bisa langsung melihat aliran yang ada di bagian bawah. Giyo duduk di samping seorang pemuda. Dan itu adalah Dika, pemuda yang sengaja ia tugaskan memantau situasi yang terjadi di sana selama Giyo pergi. Dan Dika memang jarang diajak pergi melakukan operasi karena dia masih terlalu muda. Lagi pula belum memiliki pengalaman. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Giyo dengan mimik muka datar. “Mereka itu bagian dari kelompokBandit Bajang Hitam. Dan yang melakukan operasi adalah Reno pemuda yang memang sejak awal menyukai Kakak,” terang Dika menjelaskan secar
“Ada apa Bang?” tanya Dika mendekati Giyo yang terlihat masih tidak menyangka dengan perubahan keputusan yang diberikan kekasihnya. “Ini, Kakakmu bisa berubah pikiran dalam satu menit. Aku tadinya bingung harus pakai alasan apa untuk pergi, tapi dia bilang aku boleh pergi sekarang,” terang Giyo masih kebingungan. “Bang, kalau dia sudah memberikan izin pada Abang. Terus Abang tunggu apa lagi?” “Aku masih tidak yakin, Dik.” “Sudahlah, Bang. Biar Kakak jadi urusan aku.” “Kamu yakin bisa mengatasinya?” “Yakin. Abang saja yang tidak berani sama Kakak,hehehe.” “Sudah berani kamu sekarang, ya. Sudah ada dompleng!” Hahaha! Setelah itu, Giyo langsung bergegas mengambil topinya yang diletakkan di atas meja. Setelah itu, sebelum menarik gas motornya, dia menepuk pundak Dika. Seakan ia menitipkan wanitanya kepada Dika. Pemuda itu tersenyum mengamati kepergian sang ketua gang.” Dika memang satu-satunya
Tiwi dan Angel menundukkan wajahnya, keduanya tampak sadar apa yang mereka nilai selama ini itu salah. Keduanya mendekati Adinda yang masih menatap kosong. Lalu bersamaan mendekap Adinda, ketiga gadis ini terlihat saling mengerti dan memahami perasaan mereka masing-masing. “Din, kita baru beberapa bulan saling kenal. Tapi, sumpah baru kali ini aku merasa bisa secepat ini paham isi hati orang lain. Kamu yang sabar, ya,” ujar Angel langsung memeluk erat Adinda. “Aaaa! Kalian ini, jangan begini ‘dong nanti aku malah enggak bisa lagi pura-pura bahagia,” canda Adinda berusaha menenangkan kedua sahabatnya. “Kamu tahu, enggak Din?” Tiwi mengajukan pertanyaan. “Enggak! Kamu ‘kan belum kasih tahu aku,hehe.” “Dinda! malah bercanda, orang serius juga.” “Hehe, iya, iya, ada apa ‘sih kayaknya serius amat?” “Itu ‘loh kamu ingat pemuda yang namanya Riki?” “Yang mana, ya, ‘kok aku jadi lupa?” “Cowok yang