“Gi, sudah pulang kamu?” tanya Denis dengan raut wajah merendahkan.
“Iya,” sahut Giyo singkat.
“Enak, ya kalau jadi ketua gang itu, bisa suka-suka ke mana mau pergi.”
Denis seperti sengaja menyindir Giyo, akan tetapi orang yang disindir sama sekali tidak peduli. Dia masih saja berjalan dengan santai. Ke arah kerumunan warga lain yang duduk di sisi kiri rumah Adinda. Yang bisa langsung melihat aliran yang ada di bagian bawah.
Giyo duduk di samping seorang pemuda. Dan itu adalah Dika, pemuda yang sengaja ia tugaskan memantau situasi yang terjadi di sana selama Giyo pergi. Dan Dika memang jarang diajak pergi melakukan operasi karena dia masih terlalu muda. Lagi pula belum memiliki pengalaman.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Giyo dengan mimik muka datar.
“Mereka itu bagian dari kelompok Bandit Bajang Hitam. Dan yang melakukan operasi adalah Reno pemuda yang memang sejak awal menyukai Kakak,” terang Dika menjelaskan secar
“Ada apa Bang?” tanya Dika mendekati Giyo yang terlihat masih tidak menyangka dengan perubahan keputusan yang diberikan kekasihnya. “Ini, Kakakmu bisa berubah pikiran dalam satu menit. Aku tadinya bingung harus pakai alasan apa untuk pergi, tapi dia bilang aku boleh pergi sekarang,” terang Giyo masih kebingungan. “Bang, kalau dia sudah memberikan izin pada Abang. Terus Abang tunggu apa lagi?” “Aku masih tidak yakin, Dik.” “Sudahlah, Bang. Biar Kakak jadi urusan aku.” “Kamu yakin bisa mengatasinya?” “Yakin. Abang saja yang tidak berani sama Kakak,hehehe.” “Sudah berani kamu sekarang, ya. Sudah ada dompleng!” Hahaha! Setelah itu, Giyo langsung bergegas mengambil topinya yang diletakkan di atas meja. Setelah itu, sebelum menarik gas motornya, dia menepuk pundak Dika. Seakan ia menitipkan wanitanya kepada Dika. Pemuda itu tersenyum mengamati kepergian sang ketua gang.” Dika memang satu-satunya
Tiwi dan Angel menundukkan wajahnya, keduanya tampak sadar apa yang mereka nilai selama ini itu salah. Keduanya mendekati Adinda yang masih menatap kosong. Lalu bersamaan mendekap Adinda, ketiga gadis ini terlihat saling mengerti dan memahami perasaan mereka masing-masing. “Din, kita baru beberapa bulan saling kenal. Tapi, sumpah baru kali ini aku merasa bisa secepat ini paham isi hati orang lain. Kamu yang sabar, ya,” ujar Angel langsung memeluk erat Adinda. “Aaaa! Kalian ini, jangan begini ‘dong nanti aku malah enggak bisa lagi pura-pura bahagia,” canda Adinda berusaha menenangkan kedua sahabatnya. “Kamu tahu, enggak Din?” Tiwi mengajukan pertanyaan. “Enggak! Kamu ‘kan belum kasih tahu aku,hehe.” “Dinda! malah bercanda, orang serius juga.” “Hehe, iya, iya, ada apa ‘sih kayaknya serius amat?” “Itu ‘loh kamu ingat pemuda yang namanya Riki?” “Yang mana, ya, ‘kok aku jadi lupa?” “Cowok yang
Sebagai orang yang berhasil merebut hati Adinda tentu saja Giyo sangat bangga. Dia bahkan terlihat sangat puas dengan apa yang ia dapatkan saat ini. Selama ini dia suka mendapatkan ejekan dari beberapa orang temannya, bahwa Giyo ini tidak menyukai wanita. Dan kini dia bisa membuktikan bahwa dia normal. Adinda, Tiwi, dan Angel tertawa riang menertawakan cerita yang di suguhkan Tiwi. Gadis-gadis ini terlihat sangat dekat dan kompak. Meski Adinda masih baru di kampung mereka, akan tetapi dia sudah mampu bergaul dengan baik. Kepada semua pemuda dan mudi Kampung Tanjung Agung. “Eh, Din, kamu tahu enggak kalau, Manda itu pernah suka sama pacarmu,” bisik Angel. Dibenarkan oleh Tiwi yang menganggukkan kepala. “Ha? Masa sih begitu? Aku enggak yakin, dia mau sama Giyo,” sahut Adinda dengan mengerutkan dahinya. “Dulu, dia suka banget sore-sore masak, berbenah rumah, dan mencuci baju Giyo,” ujar Tiwi, “orang-orang sini pada memuji dia dan berusaha menyanjung dia. Kalau dia ada di depan mereka,
“Kak Giyo!” pekik Tiwi. “Aku harus bagaimana?” tanya Adinda cemas. “’Loh! Kenapa malah bagaimana, Din? Kamu angkat telepon itu, dan tanya sekarang dia ada di mana?” tuntun Angel yang memang selalu lebih tenang dibanding kedua sahabatnya. “Oke!” “Halo, iya, Kak?” ujar Adinda saat menerima panggilan tersebut. Tiwi memberikan kode agar Adinda mau memperdengarkan perbincangannya dengan Giyo. Dengan melakukan media sepiker yang ada di telepon seluler tersebut, Adinda mengikuti keinginan sahabatnya tersebut hingga keduanya terlihat senang. “Sayang, kamu di mana sekarang?” tanya Giyo dengan suara lembutnya. “Em! Di rumah ada apa, Kak?” sahut Adinda dengan wajah yang merona merah muda karena merasa malu. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Aku hanya khawatir sama kamu saja, aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu setelah apa yang kudengar.” “Sekarang, Kakak ada di mana? Sudah pulang dari sana?” “Masih di tempat yang aku bilang ingin datangi tadi, aku sekarang baru bisa lega dan tenang.” “Ap
Semenjak kejadian itu Adinda mulai dijauhi oleh pemuda dan pemudi desa setempat. Mereka tidak menyangka Adinda yang selugu dan sebaik itu, akan berpacaran dengan pria bejat seperti Giyo. Beberapa pemuda malah berniat memisahkan mereka karena mereka tidak ingin Adinda menjadi rusak. Terlebih si Andara saingan utama Giyo. Brem! Brem! “Pulang juga lu akhirnya Bang,” ujar Zenix yang terlihat senang dengan kedatangan Giyo dengan motor gedenya. “HM.” Giyo hanya menjawab dengan nada datar. Giyo turun dari motornya, lalu melemparkan jaket kulit dengan warna cokelat gelap ke atas sofa. Lalu dengan wajah tampak letih Giyo membanting tubuhnya pada sofa yang sama. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil dan memeriksa telepon seluler miliknya. Lalu dengan kedua lengan yang bertopang pada paha. Giyo tampak mencoba menghubungi seseorang. “Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku sudah sampai di rumah ini, kamu bisa ke rumah atau nanti kita ketemu di tempat biasa?” wajahnya yang semula tampak leti
Setelah dua hari sehabis pertemuan keduanya di danau. Hari ini Giyo mengajak Adinda berkunjung ke rumah pamannya yang jaraknya cukup jauh dari daerah tempat tinggal mereka. Adinda beralasan kepada kedua orang tuanya ingin membeli sesuatu di kota. Yang mana sang ayah awalnya meminta Adinda untuk pergi bersama Andara saja. Namun dengan manis, Adinda beralasan kalau Andara tidak bisa menemaninya. Akhirnya sang ayah pun mengizinkan Adinda untuk pergi bersama Giyo. Sebelum keduanya berangkat, berkali-kali sang ayah berpesan agar Giyo menjaga Adinda sebagai adik. Dan Giyo tentu saja menyanggupi permintaan Pak Anjas. Keduanya pergi dengan mengendarai motor gede milik Giyo. “Good luck, Bang!” kalimat yang dilontarkan Zenix tampaknya membuat Adinda seakan bertanya-tanya. Di perjalanan Giyo banyak bercerita akan perjalanan hidupnya. Kedua tangan Adinda yang melingkar di pinggang Giyo. Membuat keduanya tidak memiliki batas. Kepala Adinda yang tidak mengenakan helm pengaman pun bersandar pada p
“Din, entar siang kami main ke rumah kamu, ya,” ujar Tiwi saat bertemu di balai. “Maaf Wi. Nanti siang aku ada keperluan sama Kak Giyo,” sahut Adinda dengan santai seraya menaiki motornya. “Tapi, kita sudah lama enggak kumpul. Kamu sekarang suka menyendiri, kalau enggak pasti sama Kak Giyo.” “Iya namanya juga dia pacar aku. Udah, ya Wi aku duluan.” Semenjak kejadian hari itu, Adinda memang menutup diri. Dia menjauhi, Andara, dua sahabatnya, dan teman-temannya yang lain. Semenjak itu pula, ia terlihat sangat patuh kepada, Giyo. Sang ibu sempat merasa curiga dengan perubahan Adinda. Ibunya pernah mendesak agar, Adinda jujur mengatakan ada apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Adinda memilih tetap bungkam dan berusaha menutupi aibnya. Para tetangga pun mulai banyak membicarakan kedekatan Adinda dan Giyo yang dinilai terlalu fulgar. Banyak aduan yang diterima orang tua Adinda, akan kedekatan dirinya dan Giyo. Bahkan ada salah satu tetangga yang mengaku melihat Adinda dan Giyo berlaku ti
Setelah perdebatan cukup panjang dengan berat hati Adinda mengizinkan Giyo pergi. Sebelum pria itu melangkah memasuki mobil berwarna hitam dengan kaca film berwarna hitam pula. Giyo memeluk erat dan memberikan ciuman kecil di kening Adinda. Air mata di sudut mata wanita itu tidak bisa dibendung lagi. Setelah Giyo benar-benar menghilang dari pandangan, Adinda terduduk dengan lemah. “Aku cuman takut. Takutku adalah takut aku yang akan kehilangan dia,” ungkap Adinda lirih dalam pelukan Tiwi. “Kamu tenang aja Din. Kak Giyo enggak akan kenapa-kenapa,” ungkap Tiwi menenangkan sahabatnya. “Aku takut Wi.” “Kakak Ipar tenang aja. Bang Giyo itu jagoan. Mana mungkin dia kalah,” sambung Zenix terlihat simpati pada kekasih ketua kelompok mereka. “Zen, apa yang bisa aku lakukan supaya abangmu bisa keluar dari gang ini?” “Enggak ada Kak. Kalian menikah pun. Abang harus tetap berada di dalam sini. Apalagi Abang terlalu banyak memegang kunci kelompok.” “Ancamannya nyawa ‘kan Zen?” setelah menye