Malam itu, Adinda tampak gelisah. Berulang kali ia mencoba memejamkan mata, akan tetapi sang indra penglihatan tampaknya belum mau menuruti kata otak yang sudah lelah. Adinda kembali mengecek telepon genggamnya, tampaknya dia sedang menunggu kabar dari seseorang.
Tentu saja, orang yang selalu ada di kepalanya hanya Giyo. Adinda tersenyum dengan kedua pipi yang merona. Tampaknya gadis itu masih mengingat kejadian petang tadi, yang hampir saja membuat jiwanya melayang karena menahan malu. Tertangkap basah dengan Zenix. Adinda menarik selimut dan menutupi tubuhnya hingga menyisakan bagian rambut saja.
“Ai, aku jadi malu banget kepergok,” gumam Adinda dengan menendang selimut dari dalam.
“AAAAAA! Giyo kamu membuatku gila kalau begini ceritanya!”
Ketika dia membuka balutan selimutnya, wajahnya memerah dengan bulir keringat yang melekat di dahinya. Adinda kembali menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia beringsut ke dinding dan menyandarkan tubuhn
Ketika cinta telah kutetapkan untuk kamu, maka tidak ada yang bisa mengubahnya. _Giyo||Adinda_
Giyo dan rombongannya sudah siap dengan semua peralatan yang terlihat asing. Ada cairan yang terlihat dijauhkan dari api atau pun gas. Beberapa senjata tajam dan juga palu besar. Giyo sudah berada di dalam mobilnya, dengan kretek yang masih mengeluarkan kepulan asap putih. Kring! Kring! Brum! Brum! Suara dering telepon genggam milik Giyo berbarengan dengan suara deruman mobil para anggota Giyo yang lain. “Bang, ayo, semuanya sudah siap!” Teriak Zenix yang ada di sebelah Giyo. “Oke!” Brum! Brum! Empat buah mobil yang beriringan dengan Giyo yang berada paling depan. Tampak membelah heningnya malam itu, Giyo masih belum sadar dengan panggilan dari sang mata-mata yang ia tugaskan mengawasi Adinda. Sepanjang jalan, Giyo tampak seakan kosong. Pandangannya melesat jauh, akan tetapi dia masih mampu mengemudikan mobil dengan sangat baik. Zenix yang memang satu mobil dengannya, tampak memperhat
Menjelang pukul delapan pagi, Giyo tiba di kampungnya dengan motor dan pakaian yang terlihat basah. Banyak warga yang berkumpul di depan kediaman Adinda, di sana juga terlihat ayah dari Andara. Giyo tampak ingin melangkah dan berbaur dengan warga. Namun, dia mengurungkan niatnya. Dan kembali lagi masuk ke dalam kamarnya. Sang ibu juga tidak ada di rumah, dan sepertinya ada di rumah Adinda juga. Giyo terlihat gelisah. Dia mondar-mandir di dalam kamarnya seraya berkali-kali mencoba berpikir jernih. Seketika itu, Giyo seakan teringat sesuatu dan buru-buru memeriksa telepon genggamnya. “Apa!” teriak Giyo yang tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ternyata sudah banyak sekali panggilan tak terjawab, serta pesan singkat. Baik itu dari orang suruhannya, atau dari Adinda langsung. “Kenapa aku bisa tidak terpikir! Dasar bodoh, kamu, Giyo!” Plak! Plak! Giyo menyakiti dirinya sendiri dengan menampar wajahnya. Giyo terlihat menyesal sekaligus kebingung
“Gi, sudah pulang kamu?” tanya Denis dengan raut wajah merendahkan. “Iya,” sahut Giyo singkat. “Enak, ya kalau jadi ketua gang itu, bisa suka-suka ke mana mau pergi.” Denis seperti sengaja menyindir Giyo, akan tetapi orang yang disindir sama sekali tidak peduli. Dia masih saja berjalan dengan santai. Ke arah kerumunan warga lain yang duduk di sisi kiri rumah Adinda. Yang bisa langsung melihat aliran yang ada di bagian bawah. Giyo duduk di samping seorang pemuda. Dan itu adalah Dika, pemuda yang sengaja ia tugaskan memantau situasi yang terjadi di sana selama Giyo pergi. Dan Dika memang jarang diajak pergi melakukan operasi karena dia masih terlalu muda. Lagi pula belum memiliki pengalaman. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Giyo dengan mimik muka datar. “Mereka itu bagian dari kelompokBandit Bajang Hitam. Dan yang melakukan operasi adalah Reno pemuda yang memang sejak awal menyukai Kakak,” terang Dika menjelaskan secar
“Ada apa Bang?” tanya Dika mendekati Giyo yang terlihat masih tidak menyangka dengan perubahan keputusan yang diberikan kekasihnya. “Ini, Kakakmu bisa berubah pikiran dalam satu menit. Aku tadinya bingung harus pakai alasan apa untuk pergi, tapi dia bilang aku boleh pergi sekarang,” terang Giyo masih kebingungan. “Bang, kalau dia sudah memberikan izin pada Abang. Terus Abang tunggu apa lagi?” “Aku masih tidak yakin, Dik.” “Sudahlah, Bang. Biar Kakak jadi urusan aku.” “Kamu yakin bisa mengatasinya?” “Yakin. Abang saja yang tidak berani sama Kakak,hehehe.” “Sudah berani kamu sekarang, ya. Sudah ada dompleng!” Hahaha! Setelah itu, Giyo langsung bergegas mengambil topinya yang diletakkan di atas meja. Setelah itu, sebelum menarik gas motornya, dia menepuk pundak Dika. Seakan ia menitipkan wanitanya kepada Dika. Pemuda itu tersenyum mengamati kepergian sang ketua gang.” Dika memang satu-satunya
Tiwi dan Angel menundukkan wajahnya, keduanya tampak sadar apa yang mereka nilai selama ini itu salah. Keduanya mendekati Adinda yang masih menatap kosong. Lalu bersamaan mendekap Adinda, ketiga gadis ini terlihat saling mengerti dan memahami perasaan mereka masing-masing. “Din, kita baru beberapa bulan saling kenal. Tapi, sumpah baru kali ini aku merasa bisa secepat ini paham isi hati orang lain. Kamu yang sabar, ya,” ujar Angel langsung memeluk erat Adinda. “Aaaa! Kalian ini, jangan begini ‘dong nanti aku malah enggak bisa lagi pura-pura bahagia,” canda Adinda berusaha menenangkan kedua sahabatnya. “Kamu tahu, enggak Din?” Tiwi mengajukan pertanyaan. “Enggak! Kamu ‘kan belum kasih tahu aku,hehe.” “Dinda! malah bercanda, orang serius juga.” “Hehe, iya, iya, ada apa ‘sih kayaknya serius amat?” “Itu ‘loh kamu ingat pemuda yang namanya Riki?” “Yang mana, ya, ‘kok aku jadi lupa?” “Cowok yang
Sebagai orang yang berhasil merebut hati Adinda tentu saja Giyo sangat bangga. Dia bahkan terlihat sangat puas dengan apa yang ia dapatkan saat ini. Selama ini dia suka mendapatkan ejekan dari beberapa orang temannya, bahwa Giyo ini tidak menyukai wanita. Dan kini dia bisa membuktikan bahwa dia normal. Adinda, Tiwi, dan Angel tertawa riang menertawakan cerita yang di suguhkan Tiwi. Gadis-gadis ini terlihat sangat dekat dan kompak. Meski Adinda masih baru di kampung mereka, akan tetapi dia sudah mampu bergaul dengan baik. Kepada semua pemuda dan mudi Kampung Tanjung Agung. “Eh, Din, kamu tahu enggak kalau, Manda itu pernah suka sama pacarmu,” bisik Angel. Dibenarkan oleh Tiwi yang menganggukkan kepala. “Ha? Masa sih begitu? Aku enggak yakin, dia mau sama Giyo,” sahut Adinda dengan mengerutkan dahinya. “Dulu, dia suka banget sore-sore masak, berbenah rumah, dan mencuci baju Giyo,” ujar Tiwi, “orang-orang sini pada memuji dia dan berusaha menyanjung dia. Kalau dia ada di depan mereka,
“Kak Giyo!” pekik Tiwi. “Aku harus bagaimana?” tanya Adinda cemas. “’Loh! Kenapa malah bagaimana, Din? Kamu angkat telepon itu, dan tanya sekarang dia ada di mana?” tuntun Angel yang memang selalu lebih tenang dibanding kedua sahabatnya. “Oke!” “Halo, iya, Kak?” ujar Adinda saat menerima panggilan tersebut. Tiwi memberikan kode agar Adinda mau memperdengarkan perbincangannya dengan Giyo. Dengan melakukan media sepiker yang ada di telepon seluler tersebut, Adinda mengikuti keinginan sahabatnya tersebut hingga keduanya terlihat senang. “Sayang, kamu di mana sekarang?” tanya Giyo dengan suara lembutnya. “Em! Di rumah ada apa, Kak?” sahut Adinda dengan wajah yang merona merah muda karena merasa malu. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Aku hanya khawatir sama kamu saja, aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu setelah apa yang kudengar.” “Sekarang, Kakak ada di mana? Sudah pulang dari sana?” “Masih di tempat yang aku bilang ingin datangi tadi, aku sekarang baru bisa lega dan tenang.” “Ap
Semenjak kejadian itu Adinda mulai dijauhi oleh pemuda dan pemudi desa setempat. Mereka tidak menyangka Adinda yang selugu dan sebaik itu, akan berpacaran dengan pria bejat seperti Giyo. Beberapa pemuda malah berniat memisahkan mereka karena mereka tidak ingin Adinda menjadi rusak. Terlebih si Andara saingan utama Giyo. Brem! Brem! “Pulang juga lu akhirnya Bang,” ujar Zenix yang terlihat senang dengan kedatangan Giyo dengan motor gedenya. “HM.” Giyo hanya menjawab dengan nada datar. Giyo turun dari motornya, lalu melemparkan jaket kulit dengan warna cokelat gelap ke atas sofa. Lalu dengan wajah tampak letih Giyo membanting tubuhnya pada sofa yang sama. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil dan memeriksa telepon seluler miliknya. Lalu dengan kedua lengan yang bertopang pada paha. Giyo tampak mencoba menghubungi seseorang. “Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku sudah sampai di rumah ini, kamu bisa ke rumah atau nanti kita ketemu di tempat biasa?” wajahnya yang semula tampak leti