Beberapa saat berlalu, Adinda masih menanti apa yang ingin disampaikan oleh Giyo. Ia menatap pemuda itu lekat. Tahu-tahu Giyo mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Justru yang membuat sorot mata keduanya beradu. Pandangan itu seakan menyatu tak ingin dipisahkan. Namun bibir masih terkunci rapat.
Seakan segalanya sudah diungkapkan hanya menggunakan bahasa kalbu. Yang hanya dapat dirasakan oleh keduanya. Siapa pun yang menyaksikan pemandangan tersebut, dapat merasakan adanya getaran cinta yang coba disembunyikan oleh mereka. Giyo secara perlahan melangkah mendekati, Adinda yang masih terpaku di tempatnya. Kini jelas sudah wajah keduanya dapat terlihat satu sama lain. Giyo tersenyum.
Andara terlihat tidak nyaman. Ia sedikit menjauh dari keduanya. Sepertinya ia memberikan sedikit ruang agar Giyo bisa leluasa menyampaikan hajatnya. Namun sayangnya, Giyo masih diam dan saling tatap dengan Adinda. Suasana yang begitu ramai, seakan terasa sunyi mencekam. Jika dilihat dari sisi Andara yang terlihat gelisah. Ia tampak membenci keadaan ini.
“Ini orang mau ngomong apa, ‘sih!” gumam Andara dengan perhatian yang tidak pernah teralihkan barang sekejap saja.
Berkali-kali ia mencoba menarik nafas. Kemudian menghembuskannya dengan keras. Raut wajahnya jelas menggambarkan rasa tidak sukanya. Andara tengah dilanda luapan cemburu yang memuncak. Mungkin, dikarenakan ia sudah tidak sanggup menyaksikan semuanya. Ia memilih menjauh dari tempat itu dengan melempar sembarangan jagung yang sejak tadi digenggamnya.
“Eh! Kamu kenapa, And! Mau ke mana?” tanya Adinda seketika tersadar dan langsung mengalihkan pandangannya pada Andara yang semakin menjauh.
Andara tidak menjawab perkataan Adinda. Dia berjalan cepat menuju bagian belakang. Adinda tampak menyadari kepergian Andara disebabkan olehnya. Ia terlihat menyesal telah mengecewakan pria yang sudah sangat baik padanya. Kemudian ia menundukkan pandangannya. Garis muka gadis cantik itu tak bersemangat.
Giyo menatap tajam terhadap perubahan ekspresi wajah wanitanya. Terlihat tangan kanannya mengepalkan. Sepertinya ia sadar adanya cinta segitiga antara mereka. Memang harusnya Adinda lebih memilih Andara, karena mereka lebih dulu mengenal dan dekat. Sedangkan Giyo datang di tengah hangatnya kedekatan mereka sedang terjalin.
“Kamu suka sama dia!” sindir Giyo dengan―datar dan dingin.
“Hah! Maksudnya? Dia siapa Kak,” sahut Adinda terkejut dengan perkataan Giyo.
“Andara!”
“Terus memangnya kenapa? Toh, kita tidak memiliki kejelasan juga, bukan?”
Entah bagaimana, Adinda benar-benar berhasil membungkam mulut Giyo. Gadis itu tampak masih menyimpan rasa kesal terhadap perselisihan keduanya tadi siang. Ia terlihat santai menatap wajah dingin Giyo. Di mana pemuda dengan predikat buruk itu tampak diam, sepertinya ia tengah merangkai kata. Jelas ia harus menemukan alasan yang tepat. Agar dapat diterima dengan baik oleh Adinda.
“Dinda, aku tidak suka kalau kamu menatap pria lain dengan rasa,” ungkap Giyo lirih.
“Lalu, apa aku harus terus menunggu sampai Kakak memperjelas semuanya?” tanya Adinda menantang.
“Din. Sebenarnya apalah arti sebuah status formalitas. Bukankah lebih bagus kita saling berpegang pada komitmen untuk saling memiliki.”
“Hah! Komitmen? Bagaimana komitmen itu bisa terwujud, jika aku saja tidak tahu kita ini apa!”
Kali ini Adinda tampak meluapkan segala isi hatinya. Tak ada ragu sedikit pun di hatinya. Ia mengatakannya dengan lantang dan jelas. Justru Giyolah yang terpojok saat ini. Ia bingung harus berkata apa terhadap wanita pujaannya. Giyo terlihat gugup dan salah tingkah.
“Lalu apa mau kamu? Apa kamu mau mengungkapkannya di sini,” bisik Giyo dengan nada yang berat.
“Silakan. Lakukanlah jika Kakak memiliki keberanian,” tantang Adinda tegas.
“Dinda. Ayolah, jangan buat suasana semakin kacau, Dek. Tolong mengerti terhadap kondisiku,” pinta Giyo dengan hampir memohon.
“Aku sudah sangat mengerti, akan tetapi kamu tidak memiliki keberanian.”
“Salah! Kamu salah mengatakan aku tidak berani. Kamu tidak tahu posisiku bila harus bersaing dengannya di hadapan Ayahmu!”
Tampaknya perdebatan keduanya masih berlanjut. Adinda menarik tangan Giyo. Dia menyuruhnya duduk di mana tadinya, Andaralah yang ada di sana. Setelah Giyo duduk di sampingnya, Adinda menatap wajah pemuda itu penuh iba. Adinda menghembuskan nafas sebelum menjawab kalimat yang dilontarkan Giyo.
“Kakak. Harus berapa kali aku meyakinkan kamu. Bahwa aku hanya ingin mencintai kamu dan tidak bisa memilih pria mana pun,” terang Adinda mencoba menjelaskan perasaannya.
“Dinda. Aku ini hanya Pria Jahat yang tidak memiliki masa depan. Hidupku suram, sedangkan kamu memiliki hari esok yang sangat cerah,” ungkap Giyo, “mana mungkin aku bisa begitu percaya diri akan mendapatkan kamu pada akhirnya.”
“Aku tidak peduli dengan latar belakang kamu. Aku hanya butuh bukti bahwa kamu mampu mengubahnya,” jawab Adinda, “dan aku hanya ingin kamu meninggalkan duniamu itu, Kak. Sudah cukup. Kamu hanya perlu meninggalkan itu semua untuk hidup denganku.”
“Tidak segampang itu, Adinda Maharani!”
Giyo mengalihkan pandangnya. Ia menatap jauh ke dalam mata wanitanya yang duduk di sampingnya. Wanita yang sangat mengharapkan perubahan pada dirinya. Giyo tersenyum getir. Ia benar tidak mudah untuknya meninggalkan dunianya begitu saja, akan ada risiko yang akan ia terima. Dan Giyo juga menyadari tak mudah baginya untuk masuk kedalam pergaulan masyarakat normal umumnya.
Penampilannya mungkin terlihat seperti anak muda biasa. Dengan wajah tampannya dan juga caranya berpakaian yang terkesan santai. Namun di balik penampilan rupawannya tersebut, tersembunyi sisi kelam yang tersembunyi. Ia mampu berubah menjadi sosok Penjahat Berdarah Dingin. Ketika ia sudah menjalankan aksinya di luar kota. Giyo sendiri selama ini diketahui tak pernah memiliki seorang kekasih. Meski banyak wanita yang mengejar cintanya.
“Dinda. Malam ini aku kembali ingin mengatakan, bahwa aku sangat mencintaimu. Dan entah apa yang akan aku lakukan. Bila satu hari nanti kamu pergi dari hidupku,” ujarnya dengan sorot mata yang tidak berkedip sedikit pun memandangi wanitanya.
“Kakak. Apa kamu percaya bahwa cinta itu buta?” tanya Adinda dengan raut wajah tenang.
“Percaya. Buktinya kamu saat ini sedang merasakan hal itu, aku tahu kamu juga mencintaiku. Tapi―” kalimatnya terhenti ia menundukkan kembali pandangannya.
“Kakak. Aku sendiri terkadang bingung sama hatiku. Kenapa bisa memilih pria yang seperti kamu, ungkap Adinda, “dulu aku sangat tidak menginginkan kisah Ibu dan Ayah kembali terulang. Tapi kenapa sepertinya cerita nyata itu akan berlanjut dengan episode selanjutnya.”
“Andai dulu aku mengikuti nasehat Ibuku. Pasti hari ini aku yang ada di posisi, Andara di mata orang tuamu.”
Adinda hanya terdiam lalu menundukkan wajah. Sepertinya bimbang kembali dirasakannya, Giyo menggores tanah menggunakan ranting. Suasana seketika hening. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba datanglah, Bima bersama Hendri mengejutkan keduanya.
Sepertinya dua orang ini tidak begitu menyukai kehadiran Giyo. Mereka mengambil jagung yang ada di hadapan Adinda tanpa satu kata pun. Giyo dengan santainya malah menggeliatkan badannya. Dengan sengaja ia membentangkan tangannya ke arah punggung, Adinda. Dan seketika ia sengaja merangkul tubuh mungil wanita yang ada di sebelahnya. Sontak hal itu membuat Adinda terkejut.
“Ka-kakak!”
“Hmmm?”
Kedua pria yang merupakan sahabat dari, Andara. Seketika terdiam melihat pemandangan yang ada di hadapan mereka. Selama ini mereka juga merupakan orang yang dekat dengan Adinda selain Andara. Namun, akhir-akhir ini di antara mereka berlima sering terjadi cekcok. Terlebih setelah Adinda menjadi lebih dekat dengan Giyo.
Mereka memilih perlahan menjauh dari Adinda. Sepertinya mereka tidak ingin berurusan dengan pria kejam, yang dikenal beringas ketika marah. Adinda sendiri tidak pernah benar-benar memberikan penolakan secara nyata, setiap kali Giyo melakukan sesuatu padanya. Dan itu yang membuat mereka yakin ada hubungan spesial antara keduanya.
“Kenapa? Ada yang salah, ‘kah?” tanya Giyo pada kedua pemuda yang ada di hadapannya.
“Enggak. Kami hanya butuh jagungnya saja!” sahut Bima sinis.
Druarrr!! Druarr!!
Seketika pandangan semua orang tertuju pada kembang api yang tampak indah di langit malam. Andaralah pelakunya, di tengah lapangan yang gelap ia berdiri sendiri. Dengan tangan terangkat ke atas memegangi gagang kembang api yang meluncur ke udara. Pandangan matanya lurus tertuju pada, Adinda dan Giyo yang saat ini terlihat mesra. Pastilah ia tengah merasakan panasnya terbakar api cemburu.
“Gila itu orang! Masih jam berapa ini,” celetuk Bima dengan seringai.
“Dia itu sedang kesal. Dia kalah! Jika dari kita dia lebih unggul, maka kini ia benar-benar kalah telak dari yang sebenarnya bukan lawannya,” ejek Hendri.
Giyo seketika melirik pada dua orang di hadapannya, Giyo seakan baru saja menyadari sesuatu dari pembicaraan mereka. Kini ia tampak awas pada keduanya. Dia juga mulai menyorot pada bayang-bayang Andara yang terlihat karena kilatan cahaya kembang api. Giyo menyandarkan tubuhnya pada tiang kayu. Dengan tangan yang masih merangkul wanitanya. Dirasa belum cukup. Giyo melepaskan rangkulannya dan langsung menggenggam tangan kiri Adinda.
Bima dan Hendri langsung menjauh dari dua orang yang terlihat semakin lengket. Giyo benar-benar ingin memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Andara semakin dibuat kesal karena Adinda sama sekali tidak menolak perlakuan Giyo padanya, sedangkan dia saja yang sudah lebih dulu dekat dan sering kali menyatakan isi hatinya. Tidak berani berlaku demikian terhadap wanita yang sangat dicintainya. Andara tampak kecewa, wanita yang dijaganya hanya diam saja ketika di dekap pria lain.“Dinda. Aku bahkan belum berani menggenggam tanganmu. Tapi kamu dengan mudahnya memberikan tanganmu padanya!” hardik Andara dalam remang cahaya.Ia terduduk lemas di tengah lapangan. Berteman sunyi dan gelap gulita. Dapat dipahami betapa hancur hatinya saat ini. Tak akan mudah baginya melihat wanita yang ia cintai disentuh pria lain. Andara memegangi dahinya. Mata itu terlihat berkaca-kaca. Jelas kecewa itu sangat berat dirasanya.Tidak lama setelah itu, Giyo menundukkan kepalanya. I
Adinda yang baru saja kembali bersama Andara. Tampak canggung karena teman-temannya memperhatikan mereka. Adinda tidak ingin berada dekat dengan Balai Desa. Ia memilih duduk di bagian halaman parkir yang bersebelahan dengan jalan. Tentu saja, Andara menemaninya dengan setia. Di sana keduanya hanya duduk diam tanpa bicara. “Hayo!!! Lagi apa kalian berdua di tempat remang-remang,” canda Zami dengan raut wajah riangnya. Adinda dan Andara sama-sama terperanjat. Dengan kompak melirik ke arah sumber suara. Zami dari arah belakang berjalan menghampiri keduanya. Zami satu-satunya sahabat Andara yang tidak ikut membenci pemuda itu, ketika Adinda memilih dekat dengannya. Zami juga selalu menunjukkan sikap netral. Ia memilih tak terlalu ingin berharap banyak dari gadis yang ia sendiri tahu tak akan ia dapatkan. “Hai, kalian kenapa? Roman-romannya masalah hati ini,” celetuk Zami menghampiri keduanya. “Aisshhh!” umpat Andara dengan raut wajah kesal. “Din,
Mereka yang tadinya bergembira merayakan pesta tahun baru. Beramai-ramai datang untuk melihat ada yang terjadi sebenarnya. Malam itu mereka semua menjadi saksi mata nyata. Ketika secepat kilat, Giyo menangkis laju pisau yang dihujamkan pria tadi ke bagian perut kanannya. Beberapa gadis bahkan berteriak. Untung saja kegaduhan itu tidak membangunkan orang tua Adinda yang sudah terlelap.Tidak sedikit pun, Giyo memalingkan wajahnya. Giyo terus menuntun, Adinda untuk masuk ke dalam rumah. Dengan santai dan berlaku seakan tidak terjadi apa-apa. Giyo menenangkan Adinda yang masih syok. Ibu Giyo tersadar dari tidurnya. Dan keluar kamar tidurnya dengan wajah lelah yang tampak sudah mulai dihinggapi keriput.Tampaknya Beliau terjaga karena mendengar keributan. Seketika Beliau panik melihat tangan anak bungsunya berdarah. Di sana juga ada gadis yang selama ini sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Waktu memang sudah menunjukkan tengah malam. Bahkan mendekati dini hari. Memang
Bruk! Bruk! Kini suara kegaduhan di luar sana semakin menjadi. Perlahan dia menghentikan tangan sang ibu yang tengah membersihkan lukanya. Ibunya mendongak seakan ingin protes. Akan tetapi ia sudah terlebih dahulu memberikan kode dengan mengatupkan kedua tangannya. Agar sang ibu tidak bisa mencegahnya. Setelah sang ibu mengangguk. Dia bangkit dan berjalan mendekati pintu depan rumahnya. Suara hentakan musik kini terdengar semakin jelas. Tercium juga bau menyengat dari botol minuman yang berserakan. Banyak teman-temannya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sedangkan, di bagian tempat pemanggangan banyak lagi pemuda yang berkumpul. Giyo melirik ke berbagai arah. Seakan tengah mencari sesuatu. “Di mana, Dinda!” seru seorang pria yang tengah duduk di atas sebuah sepeda motor di samping rumah Giyo. “Dia aman sama aku. Kamu enggak perlu khawatir. Aku bahkan jauh lebih mampu melindungi dia!” sergah Giyo tidak kalah sengit. Hahaha! “Melindungi katamu? Apa kausudah benar-benar mabuk, Giy
Beberapa kali Giyo pernah bermasalah dengan pria dewasa dan tua. Terlebih ketika para pria itu memiliki sifat yang buruk. Giyo akan tampil layaknya pahlawan bagi para wanita ini. Jika ditanya apa alasan ia mau melakukan hal itu, dia selalu menjawab, “ketika aku lihat pria tua menyiksa wanita. Dalam bayanganku selalu teringat sosok, Pria Bajingan yang telah mengubahku menjadi monster.” Memanglah sang ayah dari dulu dikenal Ringan Tangan. “Bagaimana dia bisa mencintai kamu, kalau kamu masih berteman dengan benda itu.” sang ibu menunjuk ke arah botol yang kini tinggal tersisa sedikit isinya. “Hmmm. Entah, ‘lah, Bu. Aku sendiri bingung. Namun aku sudah jatuh hati sejak awal melihatnya,” ujar Giyo yang kini memilih bangkit dan mempersilakan sang ibu untuk duduk di sisinya. “Ibu sangat mengenal pribadi anak itu dan keluarganya. Mereka tidak akan bisa dengan mudah menyerahkan anak semata wayangnya kepada Pemuda Brandal seperti kamu!” cetus
Sepanjang langkah, hingga ia berhasil dibaringkan―ranjang. Pandangan mata Giyo tetap tertuju pada wajah Adinda. Tampaknya gadis itu kini merasa malu. Mendapat perlakuan demikian. Sehingga, setelah menyelimuti tubuh itu menggunakan selembar kain.Dan tentu saja, kain yang sama dengan yang digunakannya semalaman. Secara buru-buru ia membalikkan badan. Sepertinya dia berniat meninggalkan Giyo yang masih terdiam dalam pandangan. Belum satu meter ia melangkah. Seketika itu juga tangan kirinya tertahan oleh genggaman erat dari Giyo.Seketika wajah Adinda merona berseri. Dengan salah tingkah dia membalikkan tubuhnya secara perlahan. Giyo menatapnya dengan sorot mata yang serius. Kini ia duduk kaku dengan tangan yang masih menggenggam jemari lentik, Adinda. Gadis dengan wajah ayu nan menawan itu tampak menahan sebuah gejolak asmara.“Kamu mau ke mana?” tanya Giyo dengan nada yang berat.“A-anu, mau ke bawah. Bantu Ibu masak,” jawab Adinda
Mendengar nada suara Andara yang semakin meninggi. Dengan cepat, Adinda menampakkan dirinya di samping Giyo. Seketika Andara terperanjat melihat gadis yang ia cintai berada satu kamar dengan pria yang paling ia benci. Wajahnya memerah. Manik matanya melotot seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Giyo menyeringai dengan tatapan penuh kemenangan. Adinda meminta Giyo untuk mundur terlebih dahulu. Setelah pemuda itu beralih ke belakang tubuhnya. Adinda menatap Andara dengan tatapan sayu. Ia tahu pria itu akan kembali tersakiti. Namun, itulah yang terbaik bagi mereka semua. Adinda sempat mengambil nafas panjang dan menghembuskannya. Sebelum akhirnya dia berbicara pada Andara. Pemuda yang selama ini sudah menjaganya dengan sangat baik. Bahkan, bisa dikatakan Andara sangat menghormatinya sebagai wanita yang harus dijaga. “And. Aku akan turun sebentar lagi. Tunggu aku, ya,” ujar Adinda sebelum berbalik. “Tunggu! Kamu mau pulang sama dia?” tanya Giyo dengan ra
Danau dengan luas kurang lebih 30 hektar, dengan air berwarna biru kehijauan. Dulunya menjadi tempat keduanya melepas jenuh. Kini tampak ada jarak yang tak terlihat antara keduanya. Adinda masih terisak dan mengatur napasnya. Sedangkan Andara tampak berkali-kali membuang napas dengan keras. Sekali lagi Andara melirik pada wajah, gadis cantik yang terlihat sembab karena menangis.Akhhhh!“Aku tetap tidak bisa membenci kamu, Din, sudah jangan menangis lagi,” ujar Andara menghampiri Adinda, lalu mengelap sisa air mata di wajah Adinda.“Entah aku yang terlalu bodoh, atau kamu yang tidak mengizinkan aku menjauh. Tapi aku tetap tidak terima kamu dengan dia!”Andara masih terlihat meluapkan isi hatinya. Kali ini dia benar-benar sudah berada pada titik akhir kesabaran. Jelas sekali terlihat dia ingin meluapkan emosinya, atau bahkan membenci Adinda. Namun, hatinya tidak menginginkan hal itu terjadi. Setelah ia merasa cukup tenang, Andara me