Adinda masih betah berdiri memperhatikan pria yang tengah asyik bercerita bersama sang ayah. Kedua orang itu tampak cocok dalam beberapa hal. Entah bagaimana, keduanya tampak memiliki karakteristik yang sama. Serta keduanya tampak sama-sama memiliki pendirian yang teguh. Tak dapat digoyahkan dengan mudah.
Yang sang ayah tidak duga adalah, pemuda yang sedang menjadi lawan bicaranya ini sebenarnya tengah mengincar anak semata wayangnya. Beliau hanya tahu, bahwa pemuda itu memang anak dari teman dekat istrinya. Dan pemuda ini memiliki latar belakang yang kurang lebih sama dengan dirinya. Karena sejatinya Bapak Anjas Bradi ini, adalah mantan mafia besar di Provinsi Beluk. Tanah kelahiran Beliau dan anak istrinya.
“Kakak, ngapain, sih pakai ke sini segala? ‘Kan aku jadi deg-degan,” gumam Adinda seraya memeluk bagian tembok putih kamarnya.
Gadis kota yang selama ini dikenal lugu. Kini sudah memasuki fase dewasa. Dan mulai merasakan yang namanya jatuh cinta. Ia juga mulai tahu, bagaimana seorang wanita akan salah tingkah. Bila sedang bersama dengan pria yang disukainya. Terlebih bila rasa cinta itu bagai bersambut.
Tidak lama setelah itu, Andara datang bersama motor gedenya. Dengan gagah ia turun dengan sebuah kantong plastik di tangannya. Setiap ia bertandang ke kediaman gadis cantik ini. Ia tak pernah datang dengan tangan kosong. Dan yang lebih membuat ia seakan lebih dekat dengan keluarga Adinda. Sang adik gadisnya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) berteman dekat dengan Adinda.
“Assalamualaikum,” tutur pemuda dengan wajah yang tak kalah tampan, dibandingkan dengan Giyo yang telah lebih dulu berada di sana. Nada yang ia gunakan terdengar sopan dan lembut.
“Waalaikumsallam. Eh, Nak Andara. Ayo, sini duduk,” ujar Pak Anjas menyambut pemuda tampan itu.
“Terima kasih, Pak,” sahut Andara setelah mencium tangan Pak Anjas.
Pria paruh baya itu tampak sangat menyukai Andara. Selama ini memang Beliau selalu mengeluh-eluhkan sosok pemuda baik ini. Bahkan Beliau sangat mendukung kedekatan anak gadisnya dengan pemuda ini. Beliau juga selalu mengatakan bahwa pria seperti, Andaralah yang cocok mendampingi putrinya yang berharga. Dan hal itu tentu membuat sang putri bimbang.
Dulu ia memang sangat menyukai Andara. Bahkan kedua sudah sempat saling ingin berkomitmen. Namun, semenjak kedekatannya dengan Giyo perlahan ia mulai menunjukkan sikap menjauh dari Andara. Padahal yang harusnya ia sadari. Dari sekian banyak pemuda yang bertandang ke rumah mereka. Hanya Andara seorang yang bisa menarik hati sang ayah.
Sebenarnya sejak dulu banyak yang ingin mendekati Adinda. Namun, dikarenakan sifat keras kepala dan keteguhan pendirian sang ayah. Yang memiliki cita-cita mendapatkan menantu yang baik dan memiliki masa depan cerah. Tentu bukan perkara uang saja, akan tetapi lebih—memiliki rasa tanggung jawab yang kuat. Dan memiliki keteguhan iman untuk tetap memimpin anaknya tetap berada dalam jalan yang lurus.
“Din, Dinda. Ke sini sebentar, Nak,” panggil Pak Anjas pada anak gadisnya, “ini ada, Nak Andara datang mau bertemu kamu.”
“Iya Ayah,” jawab Adinda dari dalam kamar.
Adinda yang sejak tadi sudah memperhatikan kondisi di luar. Terlihat beberapa kali membuang nafas panjang sebelum keluar dari kamarnya. Dia menemui, Andara dan juga Giyo yang duduk bersebelahan. Dua pasang mata pemuda yang tadinya terlihat kaku. Kini memiliki objek pandang yang sama. Ketika Adinda duduk di samping sang ayah. Tentu saja mereka sangat mengagumi sosok gadis cantik itu.
Sedangkan Adinda tampak menundukkan pandangannya. Namun, sesekali ia mencuri pandang dengan melirik pria pujaan yang diam-diam dikaguminya. Andara menyerahkan bingkisan yang tadi dibawanya. Adinda mengambil dan membawanya masuk. Kemudian ia menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk tamunya.
Ketika ia mengantarkan minuman kepada, Andara, Giyo, serta sang ayah. Bola matanya malah memperhatikan Giyo yang juga meliriknya. Setelah semuanya selesai ia kembali masuk ke kamar. Ia kembali memperhatikan kedua pemuda tersebut dari jendela kamar. Di sana Adinda tersenyum malu-malu memperhatikan wajah pria mengenakan kaos berwara hitam dengan celana jeans yang terdapat robekan pada bagian lututnya.
Bapak Anjas tampak sangat antusias dengan pembicaraannya bersama pemuda idaman. Di saat keduanya asyik membicarakan pesta yang akan diadakan nanti malam. Adinda yang masih berada di sisi jendela. Tersadar ketika mendengar nada pesan singkat dari telepon selulernya. Ia bergegas untuk melihat siapa pengirimnya. Dan ternyata, pengirimnya adalah Giyo. Pria yang sejak tadi diperhatikan olehnya dari balik gorden jendela yang tertutup.
“Dek.” Isi pesan singkat yang dikirimkan, Giyo padanya.
“Iya, Kakak. Ada apa?” Adinda dengan wajah yang berseri-seri membalas pesan itu.
“Nanti malam kamu akan pergi sama anak ini?”
“Iya, soalnya mereka sudah rencanakan semuanya dari jauh hari. Jadi, Adinda enggak enak kalau harus menolak.”
“Oke! Nanti malam aku juga ada acara di rumahku. Tapi, kalau sempat aku akan mampir ke acara kalian. Untuk memastikan kamu baik-baik saja di sana.”
Membaca balasan yang diberikan oleh, Giyo. Seketika Adinda terlihat sangat senang. Bahkan, ia hampir saja berteriak. Dengan riang gadis itu meloncat bagaikan, seorang bocah yang mendapatkan mainan baru. Diiringi dengan senyuman pertanda ia sangat bahagia mendapatkan segalanya.
Adinda bahkan, terlihat enggan mengakhiri obrolan melalui pesan singkat itu. Adinda benar-benar tengah merasakan dahsyatnya jatuh cinta. Entahlah, apa karena ini kali pertama baginya. Jatuh hati pada pemuda yang memiliki latar belakang yang sama dengan sang ayah. Atau bisa jadi karena ia merasa memiliki tantangan tersendiri. Ketika ia harus menjalani kedekatan secara sembunyi-sembunyi. Entahlah hanya ia dan Tuhan yang paham isi hatinya.
“Oke. Tapi janji, ya, kalau Kakak datang ke sana. Jangan buat onar. Aku enggak mau liat, Kakak mabuk juga,” pinta Adinda dalam pesan yang dikirimkannya kali ini.
Kemudian ia kembali mengintip reaksi, Giyo dari balik gorden kamarnya. Dan ternyata pria itu tersenyum melihat balasan darinya. Hal itu tentu membuatnya ikut tertawa tanpa suara. Adinda ia gadis polos yang tengah berusaha mengikuti kata hatinya. Giyo sebenarnya bukanlah pemuda buruk yang patut ditakuti. Hanya saja, pemuda ini sudah terlanjur terjerumus ke dalam jalan yang salah. Dan itulah yang membuatnya akan kesulitan untuk kembali pada jalur yang benar.
Tentu tak ada yang bisa disalahkan. Jika sudah berkata tentang kata hati dan cinta. Namun terkadang, cinta itu dapat mengganggu fungsi sebenarnya dari anggota tubuh manusia. Itulah kenapa banyak orang yang melakukan hal nekat hanya karena alasan cinta. Terkadang cinta dijadikan alasan untuk memaksakan kesalahan, untuk menjadi benar. Dan itulah mengapa setiap orang tua menginginkan pasangan terbaik bagi anak-anak mereka di masa depannya kelak.
Cemburu dalam diam itu menyiksa kawan. _Giyo||Adinda_
Setelah cukup lama berbincang bersama Bapak Anjas. Akhirnya, Andara menyampaikan maksud kedatangannya yang sebenarnya ke sana. Sepertinya ia sengaja mengajak Pak Anjas membahas masalah pesta yang digelar muda-mudi pada penyambutan tahun baru. Agar ia dapat mengetahui apa pandangan. Dari seorang ayah yang anak gadisnya akan ia ajak mendatangi pesta tersebut. Andara memang cerdas dalam membaca situasi terlebih dahulu sebelum maju. Karena dirasa Pak Anjas tak keberatan dengan adanya acara tersebut, barulah ia menyampaikan bahwa ia berkeinginan mengajak Adinda menghadiri acara itu bersama. Sebuah pesta sederhana ala pemuda desa. Dengan mengajak semua muda-mudi berkumpul di Balai Desa. Membuat api unggun, bernyanyi, membakar jagung, ayam, ikan, dan menikmati minuman soda dingin. Semuanya dilakukan atas dasar ingin menjalin kekompakan antar muda-mudi. Dan itu memang dilakukan setiap tahunnya. Yang selalu dilaksanakan bertepatan dengan pergantian tahun. Desa
Andara tampak sudah mampu menguasai dirinya. Ia sudah kembali tenang. Dengan tersenyum bahagia, Andara meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa apa yang dikatakan ayah dari wanitanya akan menjadi nyata. Yah, tentu itu juga salah satu pintanya pada sang pencipta.“Pak, kalau begitu saya permisi dulu. Kelak malam saya akan datang lagi dan menjemput, Dinda,” ujar Andara dengan nada yang lembut.“Baiklah, Nak. Bapak senang kalau kalian semakin dekat begini,” ujar Bapak Anjas kembali.“Terima kasih, Pak, saya merasa sangat tersanjung mendapat dukungan secara langsung dari, Bapak.”Andara membungkukkan badannya. Sebagi tanda hormatnya. Bapak Ajas tersenyum dan meminta pemuda itu bangkit kembali. Dari roman mukanya dapat dipastikan, sang ayah tengah bahagia. Tentu saja, tidak dengan Adinda yang nyatanya mulai mencintai orang lain. Pemuda dengan kepribadian yang tidak disukai sang ayah.“Dinda, ini Andaranya mau pam
Tanpa sadar ia malah tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan Giyo. Jelas sekali senyum itu ditujukannya untuk sang pemuda. Ia seakan memahami makna dari kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh sang pujaan. Adinda tahu, bahkan sangat sadar pada siapa ia sedang jatuh hati. Namun, apa daya seorang gadis lugu. Ia tak akan mampu menolak atau pun menghindar.Terlebih ini kali pertama untuknya jatuh cinta kepada orang yang memiliki karakter jauh berbeda dengannya. Sebuah jalinan kasih dalam diam, yang sudah dapat dipastikan akan terus begitu. Berlaku kucing-kucingan dengan keadaan. Terkadang, ia menangis di pojok kamar dalam heningnya malam. Tentu saja ia juga ingin merasakan jatuh cinta layaknya, gadis pada umumnya.Mereka yang bisa dengan bebas bertemu. Meski di depan orang tuanya. Sayangnya hal itu tidak berlaku untuknya. Ia memilih meletakkan hatinya pada orang yang tidak disukai keluarganya. Andai ia dapat menentukan pada siapa hatinya akan terpaut, pastilah ia akan
Tak terasa, waktu sudah hampir petang. Kini sang kembang ranum sudah berhenti dengan rasa bimbangnya. Ia bersiap dengan riasan tipisnya. Gaun panjang berwarna hitam, dengan jaket berbahan jeans, ditambah dengan sepasang sepatu Sneakers senada dengan gaunnya. Adinda tampak gugup. Ia duduk di tepi tempat tidurnya. Beberapa kali ia melirik jam yang ada di dinding kamarnya. Kemudian memainkan jemari tangannya seolah mereka tengah mengalami keram.“Assalamualaikum,” terdengar suara Andara memberikan salam.“Waalaikumsallam. Eh, Nak Andara. Ayo masuk dulu. Dinda masih bersiap,” sahut Pak Anjas. Sungguh ramah dan bersahabat sikap sang ayah menyambut tamu putrinya.“Baik, Pak.”Sungguh santun perilaku, Andara. Ia langsung mencium tangan, Pak Anjas yang sudah lama menaruh rasa kagum terhadap etika sang pemuda. Semua orang tua, pasti akan menaruh hati pada pemuda yang berkelakuan baik. Ketika ada bebera
Beberapa saat berlalu, Adinda masih menanti apa yang ingin disampaikan oleh Giyo. Ia menatap pemuda itu lekat. Tahu-tahu Giyo mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Justru yang membuat sorot mata keduanya beradu. Pandangan itu seakan menyatu tak ingin dipisahkan. Namun bibir masih terkunci rapat. Seakan segalanya sudah diungkapkan hanya menggunakan bahasa kalbu. Yang hanya dapat dirasakan oleh keduanya. Siapa pun yang menyaksikan pemandangan tersebut, dapat merasakan adanya getaran cinta yang coba disembunyikan oleh mereka. Giyo secara perlahan melangkah mendekati, Adinda yang masih terpaku di tempatnya. Kini jelas sudah wajah keduanya dapat terlihat satu sama lain. Giyo tersenyum. Andara terlihat tidak nyaman. Ia sedikit menjauh dari keduanya. Sepertinya ia memberikan sedikit ruang agar Giyo bisa leluasa menyampaikan hajatnya. Namun sayangnya, Giyo masih diam dan saling tatap dengan Adinda. Suasana yang begitu ramai, seakan terasa sunyi mencekam. Jika dilih
Bima dan Hendri langsung menjauh dari dua orang yang terlihat semakin lengket. Giyo benar-benar ingin memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Andara semakin dibuat kesal karena Adinda sama sekali tidak menolak perlakuan Giyo padanya, sedangkan dia saja yang sudah lebih dulu dekat dan sering kali menyatakan isi hatinya. Tidak berani berlaku demikian terhadap wanita yang sangat dicintainya. Andara tampak kecewa, wanita yang dijaganya hanya diam saja ketika di dekap pria lain.“Dinda. Aku bahkan belum berani menggenggam tanganmu. Tapi kamu dengan mudahnya memberikan tanganmu padanya!” hardik Andara dalam remang cahaya.Ia terduduk lemas di tengah lapangan. Berteman sunyi dan gelap gulita. Dapat dipahami betapa hancur hatinya saat ini. Tak akan mudah baginya melihat wanita yang ia cintai disentuh pria lain. Andara memegangi dahinya. Mata itu terlihat berkaca-kaca. Jelas kecewa itu sangat berat dirasanya.Tidak lama setelah itu, Giyo menundukkan kepalanya. I
Adinda yang baru saja kembali bersama Andara. Tampak canggung karena teman-temannya memperhatikan mereka. Adinda tidak ingin berada dekat dengan Balai Desa. Ia memilih duduk di bagian halaman parkir yang bersebelahan dengan jalan. Tentu saja, Andara menemaninya dengan setia. Di sana keduanya hanya duduk diam tanpa bicara. “Hayo!!! Lagi apa kalian berdua di tempat remang-remang,” canda Zami dengan raut wajah riangnya. Adinda dan Andara sama-sama terperanjat. Dengan kompak melirik ke arah sumber suara. Zami dari arah belakang berjalan menghampiri keduanya. Zami satu-satunya sahabat Andara yang tidak ikut membenci pemuda itu, ketika Adinda memilih dekat dengannya. Zami juga selalu menunjukkan sikap netral. Ia memilih tak terlalu ingin berharap banyak dari gadis yang ia sendiri tahu tak akan ia dapatkan. “Hai, kalian kenapa? Roman-romannya masalah hati ini,” celetuk Zami menghampiri keduanya. “Aisshhh!” umpat Andara dengan raut wajah kesal. “Din,
Mereka yang tadinya bergembira merayakan pesta tahun baru. Beramai-ramai datang untuk melihat ada yang terjadi sebenarnya. Malam itu mereka semua menjadi saksi mata nyata. Ketika secepat kilat, Giyo menangkis laju pisau yang dihujamkan pria tadi ke bagian perut kanannya. Beberapa gadis bahkan berteriak. Untung saja kegaduhan itu tidak membangunkan orang tua Adinda yang sudah terlelap.Tidak sedikit pun, Giyo memalingkan wajahnya. Giyo terus menuntun, Adinda untuk masuk ke dalam rumah. Dengan santai dan berlaku seakan tidak terjadi apa-apa. Giyo menenangkan Adinda yang masih syok. Ibu Giyo tersadar dari tidurnya. Dan keluar kamar tidurnya dengan wajah lelah yang tampak sudah mulai dihinggapi keriput.Tampaknya Beliau terjaga karena mendengar keributan. Seketika Beliau panik melihat tangan anak bungsunya berdarah. Di sana juga ada gadis yang selama ini sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Waktu memang sudah menunjukkan tengah malam. Bahkan mendekati dini hari. Memang
Tok! Tok! “Siapa?” ujar Tiwi dari balik pintu rumah Adinda. “Wi, ini aku Zenix. Aku mau ngomong sama Kak Dinda,” sahut Zenix dari balik pintu. Tiwi menoleh ke arah Adinda dan juga Angel yang di mana ia seolah meminta persetujuan. Setelah kedua sahabatnya mengangguk. Barulah Tiwi berani membukakan pintu. Saat pintu terbuka Giyo berdiri di sana dengan Zenix berada di sebelahnya. Begitu pula dengan Andika. Giyo masuk dengan raut wajah datar. Tanpa basa-basi ia menghampiri Adinda dan berhenti tepat di hadapan gadis itu. Adinda tampak gugup menghadapi Giyo yang jelas-jelas sudah ada di depannya. Zenix memberikan kode kepada Angel untuk menjauh. Gadis itu mengerti dan memilih untuk duduk bersama Tiwi di sofa ruang tamu. “Kapan aku mengiyakan kita putus? Kapan aku menyetujui omongan kamu? Kapan!” bentak Giyo dengan raut wajah memerah menahan gejolak amarah. “Tapi aku—” kalimat Adinda mendadak berhenti saat jari telunjuk Giyo menutupi bibir tipisnya. “Kamu masih pacar aku. Enggak ada pe
Giyo sudah pulih dan kembali ke rumahnya. Di sana Adinda terus berusaha mencari kesempatan untuk menjenguk kekasihnya itu. Hari itu suasana kediaman Giyo memang sangat sepi. Sedangkan kedua orang tua Adinda menghadiri pesta pernikahan saudaranya yang mengharuskan keduanya menginap selama beberapa hari di sana. Hal itu dimanfaatkan Adinda untuk merawat Giyo. “Sayang, sini aku periksa dulu lukanya,” ujar Adinda yang baru saja masuk ke kamar Giyo dengan membawa nampan berisi, perban, obat merah, dan beberapa kain kasa. “Ternyata enak juga kalau ada istri yang merawat kayak begini,” balas Giyo yang membuat Adinda tersipu malu. Wajahnya bersemu merah jambu. “Permisi, ya Sayang. Maaf kalau sakit.” “Kalau cuman kayak begini enggak ngaruh sedikit pun. Kalau kamu yang ngurusin, digosok-gosok juga aku mau.” Adinda menekan luka Giyo yang membuat pria itu meringis. Adinda tertawa. Giyo membalik tubuhnya yang membuat Adinda terkejut dan spontan mengelak. Giyo mendesak hingga tubuh Adinda berad
“Bangsat lu! Hia!”Giyo menyerang Dragon. Perkelahian antar keduanya tidak terhindarkan. Giyo sudah nyaris hampir mengalahkan Dragon. Sesaat sebelum sebuah belati menancap dipunggung kirinya. Saat menoleh Giyo melihat sang ketua berada di sana. “Apa yang buat lu rela mati demi cewek itu Gi?” ujarnya dengan tatapan kosong.“Lu rela mau ngebunuh rekan lu sendiri hanya demi satu orang gadis yang belum tentu lu bisa dapatin.”“Kenapa lu jadi sebegok ini?”Giyo tidak peduli dengan ocehan sang ketua. Kini ia malah berusaha menyerang sang ketua. Namun ia kalah jumlah, Giyo terpojok. Tubuhnya mengalami banyak luka memar. Dari punggungnya pun masih mengalir geti segar.Perlahan Giyo tampak melemah. Dan akhirnya dia terjatuh. Sang ketua membawanya ke rumah sakit. Giyo dirawat di sana. Setelah ia siuman Giyo menyadari di sampingnya ada Adinda yang terlihat lelah dan sangat khawatir. Giyo membelai kepala Adinda dengan perlahan.“Sayang aku ada di mana?” ucap Giyo lirih dengan nada yang le
Setelah perdebatan cukup panjang dengan berat hati Adinda mengizinkan Giyo pergi. Sebelum pria itu melangkah memasuki mobil berwarna hitam dengan kaca film berwarna hitam pula. Giyo memeluk erat dan memberikan ciuman kecil di kening Adinda. Air mata di sudut mata wanita itu tidak bisa dibendung lagi. Setelah Giyo benar-benar menghilang dari pandangan, Adinda terduduk dengan lemah. “Aku cuman takut. Takutku adalah takut aku yang akan kehilangan dia,” ungkap Adinda lirih dalam pelukan Tiwi. “Kamu tenang aja Din. Kak Giyo enggak akan kenapa-kenapa,” ungkap Tiwi menenangkan sahabatnya. “Aku takut Wi.” “Kakak Ipar tenang aja. Bang Giyo itu jagoan. Mana mungkin dia kalah,” sambung Zenix terlihat simpati pada kekasih ketua kelompok mereka. “Zen, apa yang bisa aku lakukan supaya abangmu bisa keluar dari gang ini?” “Enggak ada Kak. Kalian menikah pun. Abang harus tetap berada di dalam sini. Apalagi Abang terlalu banyak memegang kunci kelompok.” “Ancamannya nyawa ‘kan Zen?” setelah menye
“Din, entar siang kami main ke rumah kamu, ya,” ujar Tiwi saat bertemu di balai. “Maaf Wi. Nanti siang aku ada keperluan sama Kak Giyo,” sahut Adinda dengan santai seraya menaiki motornya. “Tapi, kita sudah lama enggak kumpul. Kamu sekarang suka menyendiri, kalau enggak pasti sama Kak Giyo.” “Iya namanya juga dia pacar aku. Udah, ya Wi aku duluan.” Semenjak kejadian hari itu, Adinda memang menutup diri. Dia menjauhi, Andara, dua sahabatnya, dan teman-temannya yang lain. Semenjak itu pula, ia terlihat sangat patuh kepada, Giyo. Sang ibu sempat merasa curiga dengan perubahan Adinda. Ibunya pernah mendesak agar, Adinda jujur mengatakan ada apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Adinda memilih tetap bungkam dan berusaha menutupi aibnya. Para tetangga pun mulai banyak membicarakan kedekatan Adinda dan Giyo yang dinilai terlalu fulgar. Banyak aduan yang diterima orang tua Adinda, akan kedekatan dirinya dan Giyo. Bahkan ada salah satu tetangga yang mengaku melihat Adinda dan Giyo berlaku ti
Setelah dua hari sehabis pertemuan keduanya di danau. Hari ini Giyo mengajak Adinda berkunjung ke rumah pamannya yang jaraknya cukup jauh dari daerah tempat tinggal mereka. Adinda beralasan kepada kedua orang tuanya ingin membeli sesuatu di kota. Yang mana sang ayah awalnya meminta Adinda untuk pergi bersama Andara saja. Namun dengan manis, Adinda beralasan kalau Andara tidak bisa menemaninya. Akhirnya sang ayah pun mengizinkan Adinda untuk pergi bersama Giyo. Sebelum keduanya berangkat, berkali-kali sang ayah berpesan agar Giyo menjaga Adinda sebagai adik. Dan Giyo tentu saja menyanggupi permintaan Pak Anjas. Keduanya pergi dengan mengendarai motor gede milik Giyo. “Good luck, Bang!” kalimat yang dilontarkan Zenix tampaknya membuat Adinda seakan bertanya-tanya. Di perjalanan Giyo banyak bercerita akan perjalanan hidupnya. Kedua tangan Adinda yang melingkar di pinggang Giyo. Membuat keduanya tidak memiliki batas. Kepala Adinda yang tidak mengenakan helm pengaman pun bersandar pada p
Semenjak kejadian itu Adinda mulai dijauhi oleh pemuda dan pemudi desa setempat. Mereka tidak menyangka Adinda yang selugu dan sebaik itu, akan berpacaran dengan pria bejat seperti Giyo. Beberapa pemuda malah berniat memisahkan mereka karena mereka tidak ingin Adinda menjadi rusak. Terlebih si Andara saingan utama Giyo. Brem! Brem! “Pulang juga lu akhirnya Bang,” ujar Zenix yang terlihat senang dengan kedatangan Giyo dengan motor gedenya. “HM.” Giyo hanya menjawab dengan nada datar. Giyo turun dari motornya, lalu melemparkan jaket kulit dengan warna cokelat gelap ke atas sofa. Lalu dengan wajah tampak letih Giyo membanting tubuhnya pada sofa yang sama. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil dan memeriksa telepon seluler miliknya. Lalu dengan kedua lengan yang bertopang pada paha. Giyo tampak mencoba menghubungi seseorang. “Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku sudah sampai di rumah ini, kamu bisa ke rumah atau nanti kita ketemu di tempat biasa?” wajahnya yang semula tampak leti
“Kak Giyo!” pekik Tiwi. “Aku harus bagaimana?” tanya Adinda cemas. “’Loh! Kenapa malah bagaimana, Din? Kamu angkat telepon itu, dan tanya sekarang dia ada di mana?” tuntun Angel yang memang selalu lebih tenang dibanding kedua sahabatnya. “Oke!” “Halo, iya, Kak?” ujar Adinda saat menerima panggilan tersebut. Tiwi memberikan kode agar Adinda mau memperdengarkan perbincangannya dengan Giyo. Dengan melakukan media sepiker yang ada di telepon seluler tersebut, Adinda mengikuti keinginan sahabatnya tersebut hingga keduanya terlihat senang. “Sayang, kamu di mana sekarang?” tanya Giyo dengan suara lembutnya. “Em! Di rumah ada apa, Kak?” sahut Adinda dengan wajah yang merona merah muda karena merasa malu. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Aku hanya khawatir sama kamu saja, aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu setelah apa yang kudengar.” “Sekarang, Kakak ada di mana? Sudah pulang dari sana?” “Masih di tempat yang aku bilang ingin datangi tadi, aku sekarang baru bisa lega dan tenang.” “Ap
Sebagai orang yang berhasil merebut hati Adinda tentu saja Giyo sangat bangga. Dia bahkan terlihat sangat puas dengan apa yang ia dapatkan saat ini. Selama ini dia suka mendapatkan ejekan dari beberapa orang temannya, bahwa Giyo ini tidak menyukai wanita. Dan kini dia bisa membuktikan bahwa dia normal. Adinda, Tiwi, dan Angel tertawa riang menertawakan cerita yang di suguhkan Tiwi. Gadis-gadis ini terlihat sangat dekat dan kompak. Meski Adinda masih baru di kampung mereka, akan tetapi dia sudah mampu bergaul dengan baik. Kepada semua pemuda dan mudi Kampung Tanjung Agung. “Eh, Din, kamu tahu enggak kalau, Manda itu pernah suka sama pacarmu,” bisik Angel. Dibenarkan oleh Tiwi yang menganggukkan kepala. “Ha? Masa sih begitu? Aku enggak yakin, dia mau sama Giyo,” sahut Adinda dengan mengerutkan dahinya. “Dulu, dia suka banget sore-sore masak, berbenah rumah, dan mencuci baju Giyo,” ujar Tiwi, “orang-orang sini pada memuji dia dan berusaha menyanjung dia. Kalau dia ada di depan mereka,