Malam itu adalah malam yang paling ditunggu kalangan muda-mudi di Desa Tanjung Agung. Segala persiapan menyambut pesta tahun baru sudah diatur—sebaik mungkin. Agar segalanya berjalan dengan lancar. Adinda, masih duduk di kamarnya sambil membaca sebuah buku yang baru saja dibelikan oleh sang ibu. Tadi siang di Balai Minggu (Pekan Minggu). Ia tampak larut dengan kisah yang diceritakan dalam buku cerita fiksi tersebut, —mengangkat tema percintaan yang tidak mendapat restu dari pihak sang wanita.
Tidak lama sang ayah memanggilnya dari luar.
“Din ... Dinda. Sini sebentar, Nak.” Suara sang ayah, langsung membuatnya bangkit dari tempat tidur. Gadis itu kini berjalan keluar kamarnya.
“Ada apa, Yah. Dinda ‘kan lagi—” kalimatnya terhenti ketika melihat satu karung mentimun di samping sang ayah yang tersenyum riang.
Dengan wajah berseri-seri, Dinda berlari menghampiri karung yang berisi penuh dengan buah timun. Ia meletakkan buku yang sejak tadi dipegangnya ke lantai. Setelah itu, ia langsung mengambil satu biji buah atau, sayuran berwarna hijau yang terlihat sangat segar itu. masih melekat sedikit getah pada bagian pangkal tangkainya. Tanpa mencucinya terlebih dahulu, Adinda langsung melahapnya.
Raut wajah gadis itu menunjukkan, sebuah rasa kenikmatan yang tak terbandingkan. Sang ayah, yang memperhatikan tingkah cinta matinya tersebut hanya mampu tersenyum penuh rasa kepuasan yang nyata. Sang ibu keluar dari kamar belakang dan menghampiri sang putri dan suaminya. Adinda sudah hampir menghabiskan satu buah utuh timun segar.
“Adek, pasti timunnya belum dicuci ‘kan sudah langsung di lahap saja,” ujar sang ibu seraya duduk tepat di samping, Adinda yang masih belum ingin menghentikan kegiatan mengunyahnya.
“Biarkan saja dia makan apa yang diinginkannya,” jawab sang ayah yang langsung membelanya.
“Bela saja terus ... itulah yang membuat anak ini, jadi manja.” Akan tetapi sang ibu malah ikutan mengambil beberapa buah mentimun segar. Beliau terlihat memisahkannya.
“Mau kamu apa ‘kan timun itu?” tanya ayah, Adinda dengan dahi berkerut.
“Bagi-bagi ke tetangga.” Sang ibu menjawab singkat. Lalu pergi ke dapur meninggalkan kedua orang terkasihnya masih di hadapan karung yang terisi penuh buah mentimun.
“Never mind, I'll find someone like youI wish nothing but the best for you, too—“
Beberapa saat kemudian,telepon genggam milik Adinda berbunyi. Dengan cepat gadis dengan wajah cantik itu berjalan cepat menuju kamarnya. Dia tersenyum ketika melihat nama yang tertera pada layar teleponnya.
“Teman Terbaik.”
Begitulah ia menulis nama seseorang itu dalam daftar kontaknya. Dari cara ia tersenyum, jelas sekali seseorang itu bukan teman biasa bagi, Adinda. Yah, sebagai wanita dengan reputasi paling cantik di desa itu dia pastilah memiliki banyak teman lelaki. Namun, kali ini bukan teman biasa. Pria itu yang selalu menjaga dan menemaninya ke mana pun. Dan pria itu juga yang telah dipercaya oleh orang tua, Adinda sebagai teman dekat anak semata wayang mereka.
“Halo, iya, And. Ada apa?” tanya Adinda dengan tersenyum kecil.
“Kamu lagi apa, Din? Nanti malam mau aku jemput enggak?” tanya, Andara dengan nada yang lembut.
“Ya ampun! Aku lupa! Aku belum kasih tahu Ayah sama Bundaku. Gimana, dong, And?” Adinda terlihat panik kali ini.
“Kalau kayak gitu. Biar aku ke sana sekarang. Jadi nanti malam kita bisa langsung pergi.” Andara terdengar sangat bertanggung jawab dan berani.
Tanpa disadari oleh pemuda berwajah tampan dengan keahlian bela diri yang mumpuni itu, bahwa sebenarnya Adinda tengah tersipu malu. Akibat mendengar ungkapan pertanggung jawaban dari pria yang sejatinya lebih muda darinya. Namun, kedewasaan tak pernah dapat ditentukan oleh usia. Tapi pola pikir dan sudut pandanglah yang menjadikan seseorang itu dewasa.
“Memangnya kamu enggak takut sama, Ayah?” pancingan yang sengaja dikatakan oleh, Adinda.
“Kenapa aku harus takut? Ayah kamu itu baik banget sama aku,” jawab Andara dengan percaya diri.
“Iya juga, sih. Kamu memang yang paling dekat sama Beliau, dibandingkan keempat sahabatmu.” Adinda juga menyadari bahwa apa yang dikatakan, Andara benar adanya.
“Ya sudah. Aku mau mandi dulu. Kamu mau aku bawakan apa?” tanya Andara lagi.
“Hmmm. Alpokat matang. Kemarin kata, Indri banyak yang matang di belakang rumah kamu,” ujar Adinda tanpa merasa ragu.
“Oke! Tunggu aku sebentar lagi akan datang membawa pesanan, Kakak cantikku,” goda, Andara sebelum mengakhiri panggilannya.
“Hishhh.”
Adinda sebenarnya tengah dekat dengan banyak pemuda di kampung tersebut, akan tetapi hanya Andara dan keempat sahabatnya yang mampu akrab dengan gadis cantik itu. Adinda bahkan lebih terkesan sangat manja kepada Andara, dibandingkan dengan yang lainnya. Yah. Itu semua didukung dengan orang tua mereka yang saling kenal.
Adinda Maharani. Seorang gadis pindahan, beberapa bulan yang lalu dari ibu kota provinsi lain. Ia dan kedua orang tuanya pindah ke desa ini karena hal tertentu. Yang mengharuskan mereka meninggalkan tanah kelahiran mereka. Sejak hari pertama kedatangannya di kampung tersebut, ia sudah berhasil mencuri banyak perhatian. Terlebih dari para pemuda yang memang terpesona akan kecantikan wajahnya.
Setelah panggilannya berakhir. Adinda bermaksud akan merebahkan tubuhnya kembali ke atas kasur. Namun, tiba-tiba terdengar suara seseorang pemuda sedang berbicara dengan ayahnya di teras rumah mereka. Dia mulai terlihat penasaran. Dan akhirnya mengintip dari balik gorden jendela kamarnya.
“Hah. Kak Giyo!” gumamnya dengan menutupi mulut imutnya.
Kamar Adinda memang langsung berhadapan dengan teras rumah. Seketika, Adinda dibuat kembali tersipu oleh pria berperawakan atletis dan memiliki wajah terkesan dingin. Giyo Ramadhan. Pemuda kampung sini yang dipilih menjadi kapten voli. Di setiap pertandingan mewakili nama kampung.
Rumah mereka cukup dekat, jika dibandingkan dengan Andara. Hanya berjarak 250 meter dari kediaman Adinda. Maka akan tiba pada rumah sang pemuda bersama ibunya. Giyo dikenal warga sekitar sebagai pemuda yang memimpin sebuah kelompok perkumpulan anak muda. Di mana kelompok itu sering melakukan tindak kekacauan dan keributan di kampung mereka.
Hanya saja, tak ada yang berani menghentikan kegiatan mereka. Karena jika nekat melawan. Maka dapat dipastikan akan mengalami sesuatu yang buruk. Giyo baru saja kembali dari luar kota. Selama 6 bulan terakhir pemuda itu pergi entah ke mana. Namun, dua bulan yang lalu dia kembali. Dan mulai berkenalan dan dekat dengan Adinda.
“Kira-kira nanti kalau, Andara ke sini. Apa dia akan cemburu?” tanya Adinda pada dirinya sendiri.
Giyo membuatnya mabuk kepayang beberapa waktu belakangan ini. Awalnya, memang Adinda tak pernah menghiraukan Giyo. Namun, semenjak pria itu menolong ayahnya yang terjatuh di jalan saat membawa hasil panen kopi. Dari sanalah, gadis lugu ini mulai terpesona akan sosok pemuda yang ia benci di awal pertemuan.
Bahkan, Adinda terlihat semakin dekat dengan pemuda itu tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Mereka juga suka bertindak layaknya pasangan kekasih. Ketika ada orang lain yang membuat mereka merasa cemburu. sayangnya status keduanya masih belum diperjelas. Berulang kali Giyo hanya meminta Adinda untuk sabar menanti.
Kini pemuda itu tengah duduk pada bangku kayu. Yang langsung mengharap ke arah jendela kamar Adinda. Gadis itu yang tadinya ingin berbaring. Sepertinya kehilangan selera untuk bersantai. Kini ia lebih memilih berdiri di samping jendela. Sambil memperhatikan pria pujaan hatinya. Kedua pipi menggemaskan miliknya bersemu merah merona. Dengan dihiasi senyuman malu-malu.
Ketika engkau melakukan kebaikan pada orang tuaku, di sanalah hatiku langsung memilihmu tuk jadi tambatannya. _Adinda||Adinda_
Adinda masih betah berdiri memperhatikan pria yang tengah asyik bercerita bersama sang ayah. Kedua orang itu tampak cocok dalam beberapa hal. Entah bagaimana, keduanya tampak memiliki karakteristik yang sama. Serta keduanya tampak sama-sama memiliki pendirian yang teguh. Tak dapat digoyahkan dengan mudah. Yang sang ayah tidak duga adalah, pemuda yang sedang menjadi lawan bicaranya ini sebenarnya tengah mengincar anak semata wayangnya. Beliau hanya tahu, bahwa pemuda itu memang anak dari teman dekat istrinya. Dan pemuda ini memiliki latar belakang yang kurang lebih sama dengan dirinya. Karena sejatinya Bapak Anjas Bradi ini, adalah mantan mafia besar di Provinsi Beluk. Tanah kelahiran Beliau dan anak istrinya. “Kakak, ngapain, sih pakai ke sini segala? ‘Kan aku jadi deg-degan,” gumam Adinda seraya memeluk bagian tembok putih kamarnya. Gadis kota yang selama ini dikenal lugu. Kini sudah memasuki fase dewasa. Dan mulai merasakan yang namanya jatuh cinta. Ia juga
Setelah cukup lama berbincang bersama Bapak Anjas. Akhirnya, Andara menyampaikan maksud kedatangannya yang sebenarnya ke sana. Sepertinya ia sengaja mengajak Pak Anjas membahas masalah pesta yang digelar muda-mudi pada penyambutan tahun baru. Agar ia dapat mengetahui apa pandangan. Dari seorang ayah yang anak gadisnya akan ia ajak mendatangi pesta tersebut. Andara memang cerdas dalam membaca situasi terlebih dahulu sebelum maju. Karena dirasa Pak Anjas tak keberatan dengan adanya acara tersebut, barulah ia menyampaikan bahwa ia berkeinginan mengajak Adinda menghadiri acara itu bersama. Sebuah pesta sederhana ala pemuda desa. Dengan mengajak semua muda-mudi berkumpul di Balai Desa. Membuat api unggun, bernyanyi, membakar jagung, ayam, ikan, dan menikmati minuman soda dingin. Semuanya dilakukan atas dasar ingin menjalin kekompakan antar muda-mudi. Dan itu memang dilakukan setiap tahunnya. Yang selalu dilaksanakan bertepatan dengan pergantian tahun. Desa
Andara tampak sudah mampu menguasai dirinya. Ia sudah kembali tenang. Dengan tersenyum bahagia, Andara meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa apa yang dikatakan ayah dari wanitanya akan menjadi nyata. Yah, tentu itu juga salah satu pintanya pada sang pencipta.“Pak, kalau begitu saya permisi dulu. Kelak malam saya akan datang lagi dan menjemput, Dinda,” ujar Andara dengan nada yang lembut.“Baiklah, Nak. Bapak senang kalau kalian semakin dekat begini,” ujar Bapak Anjas kembali.“Terima kasih, Pak, saya merasa sangat tersanjung mendapat dukungan secara langsung dari, Bapak.”Andara membungkukkan badannya. Sebagi tanda hormatnya. Bapak Ajas tersenyum dan meminta pemuda itu bangkit kembali. Dari roman mukanya dapat dipastikan, sang ayah tengah bahagia. Tentu saja, tidak dengan Adinda yang nyatanya mulai mencintai orang lain. Pemuda dengan kepribadian yang tidak disukai sang ayah.“Dinda, ini Andaranya mau pam
Tanpa sadar ia malah tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan Giyo. Jelas sekali senyum itu ditujukannya untuk sang pemuda. Ia seakan memahami makna dari kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh sang pujaan. Adinda tahu, bahkan sangat sadar pada siapa ia sedang jatuh hati. Namun, apa daya seorang gadis lugu. Ia tak akan mampu menolak atau pun menghindar.Terlebih ini kali pertama untuknya jatuh cinta kepada orang yang memiliki karakter jauh berbeda dengannya. Sebuah jalinan kasih dalam diam, yang sudah dapat dipastikan akan terus begitu. Berlaku kucing-kucingan dengan keadaan. Terkadang, ia menangis di pojok kamar dalam heningnya malam. Tentu saja ia juga ingin merasakan jatuh cinta layaknya, gadis pada umumnya.Mereka yang bisa dengan bebas bertemu. Meski di depan orang tuanya. Sayangnya hal itu tidak berlaku untuknya. Ia memilih meletakkan hatinya pada orang yang tidak disukai keluarganya. Andai ia dapat menentukan pada siapa hatinya akan terpaut, pastilah ia akan
Tak terasa, waktu sudah hampir petang. Kini sang kembang ranum sudah berhenti dengan rasa bimbangnya. Ia bersiap dengan riasan tipisnya. Gaun panjang berwarna hitam, dengan jaket berbahan jeans, ditambah dengan sepasang sepatu Sneakers senada dengan gaunnya. Adinda tampak gugup. Ia duduk di tepi tempat tidurnya. Beberapa kali ia melirik jam yang ada di dinding kamarnya. Kemudian memainkan jemari tangannya seolah mereka tengah mengalami keram.“Assalamualaikum,” terdengar suara Andara memberikan salam.“Waalaikumsallam. Eh, Nak Andara. Ayo masuk dulu. Dinda masih bersiap,” sahut Pak Anjas. Sungguh ramah dan bersahabat sikap sang ayah menyambut tamu putrinya.“Baik, Pak.”Sungguh santun perilaku, Andara. Ia langsung mencium tangan, Pak Anjas yang sudah lama menaruh rasa kagum terhadap etika sang pemuda. Semua orang tua, pasti akan menaruh hati pada pemuda yang berkelakuan baik. Ketika ada bebera
Beberapa saat berlalu, Adinda masih menanti apa yang ingin disampaikan oleh Giyo. Ia menatap pemuda itu lekat. Tahu-tahu Giyo mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Justru yang membuat sorot mata keduanya beradu. Pandangan itu seakan menyatu tak ingin dipisahkan. Namun bibir masih terkunci rapat. Seakan segalanya sudah diungkapkan hanya menggunakan bahasa kalbu. Yang hanya dapat dirasakan oleh keduanya. Siapa pun yang menyaksikan pemandangan tersebut, dapat merasakan adanya getaran cinta yang coba disembunyikan oleh mereka. Giyo secara perlahan melangkah mendekati, Adinda yang masih terpaku di tempatnya. Kini jelas sudah wajah keduanya dapat terlihat satu sama lain. Giyo tersenyum. Andara terlihat tidak nyaman. Ia sedikit menjauh dari keduanya. Sepertinya ia memberikan sedikit ruang agar Giyo bisa leluasa menyampaikan hajatnya. Namun sayangnya, Giyo masih diam dan saling tatap dengan Adinda. Suasana yang begitu ramai, seakan terasa sunyi mencekam. Jika dilih
Bima dan Hendri langsung menjauh dari dua orang yang terlihat semakin lengket. Giyo benar-benar ingin memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Andara semakin dibuat kesal karena Adinda sama sekali tidak menolak perlakuan Giyo padanya, sedangkan dia saja yang sudah lebih dulu dekat dan sering kali menyatakan isi hatinya. Tidak berani berlaku demikian terhadap wanita yang sangat dicintainya. Andara tampak kecewa, wanita yang dijaganya hanya diam saja ketika di dekap pria lain.“Dinda. Aku bahkan belum berani menggenggam tanganmu. Tapi kamu dengan mudahnya memberikan tanganmu padanya!” hardik Andara dalam remang cahaya.Ia terduduk lemas di tengah lapangan. Berteman sunyi dan gelap gulita. Dapat dipahami betapa hancur hatinya saat ini. Tak akan mudah baginya melihat wanita yang ia cintai disentuh pria lain. Andara memegangi dahinya. Mata itu terlihat berkaca-kaca. Jelas kecewa itu sangat berat dirasanya.Tidak lama setelah itu, Giyo menundukkan kepalanya. I
Adinda yang baru saja kembali bersama Andara. Tampak canggung karena teman-temannya memperhatikan mereka. Adinda tidak ingin berada dekat dengan Balai Desa. Ia memilih duduk di bagian halaman parkir yang bersebelahan dengan jalan. Tentu saja, Andara menemaninya dengan setia. Di sana keduanya hanya duduk diam tanpa bicara. “Hayo!!! Lagi apa kalian berdua di tempat remang-remang,” canda Zami dengan raut wajah riangnya. Adinda dan Andara sama-sama terperanjat. Dengan kompak melirik ke arah sumber suara. Zami dari arah belakang berjalan menghampiri keduanya. Zami satu-satunya sahabat Andara yang tidak ikut membenci pemuda itu, ketika Adinda memilih dekat dengannya. Zami juga selalu menunjukkan sikap netral. Ia memilih tak terlalu ingin berharap banyak dari gadis yang ia sendiri tahu tak akan ia dapatkan. “Hai, kalian kenapa? Roman-romannya masalah hati ini,” celetuk Zami menghampiri keduanya. “Aisshhh!” umpat Andara dengan raut wajah kesal. “Din,