Andara tampak sudah mampu menguasai dirinya. Ia sudah kembali tenang. Dengan tersenyum bahagia, Andara meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa apa yang dikatakan ayah dari wanitanya akan menjadi nyata. Yah, tentu itu juga salah satu pintanya pada sang pencipta.
“Pak, kalau begitu saya permisi dulu. Kelak malam saya akan datang lagi dan menjemput, Dinda,” ujar Andara dengan nada yang lembut.
“Baiklah, Nak. Bapak senang kalau kalian semakin dekat begini,” ujar Bapak Anjas kembali.
“Terima kasih, Pak, saya merasa sangat tersanjung mendapat dukungan secara langsung dari, Bapak.”
Andara membungkukkan badannya. Sebagi tanda hormatnya. Bapak Ajas tersenyum dan meminta pemuda itu bangkit kembali. Dari roman mukanya dapat dipastikan, sang ayah tengah bahagia. Tentu saja, tidak dengan Adinda yang nyatanya mulai mencintai orang lain. Pemuda dengan kepribadian yang tidak disukai sang ayah.
“Dinda, ini Andaranya mau pamit,” panggil Pak Anjas pada putri semata wayangnya.
“Iya, Ayah. Ini Dinda datang,” sahut sang anak dengan bergegas menuju teras rumah.
Adinda keluar dari dalam rumah dengan wajah tertunduk. Dia kemudian, mengangkat muka polos nan lugunya. Ketika berhadapan langsung dengan Andara. Terpegun sudah, pemuda yang selama ini telah banyak menolak cinta para gadis. Melihat wanita pujaannya berdiri dengan roman muka tersipu.
Seakan menatap indahnya seorang, Dewi. Tilikan itu memancarkan aura ketulusan yang mendalam. Seakan dia tak akan mampu menyakiti makhluk lemah yang ia tatap saat ini, jangankan melukai, bahkan mencubit sedikit pun ia tak akan tega. Begitulah, bila rasa cinta kasih sudah merasuki jiwa seorang kaum adam.
Ia akan memperlakukan wanitanya dengan sepenuh jiwa. Tidak akan ada keinginan buruk, apa lagi menyakiti perasaan dari makhluk perasa yang bernama wanita. Sesungguhnya, wanita dihadirkan ke dunia untuk menjadi pelengkap hidup para pria. Ia yang dengan segala rasa pekanya, mampu mendidik penerus generasi para lelaki. Hingga tumbuh menjadi jiwa yang indah. Wanita sangatlah berharga. Maka, bila ada seorang lelaki yang menghormati seorang wanita di luar sana. Menandakan bahwa pria adalah orang yang baik.
“Nak, Andara benar-benar harus menjaga, Anak Bapak. Di sana nanti,”kata Pak Anjas kembali mengingatkan pemuda yang akan mengajak putrinya pergi.
“Tentu saja, Pak.” ujar Andara, “mana mungkin saya akan membiarkan, Dinda di sana seorang diri tanpa pengawasan dari saya.”
“Baiklah. Nanti malam yang menjemput, Dinda harus kamu. Begitu pula dengan pulang esok pagi.”
Menyetujui Kepergian anaknya. Bukan berarti Beliau membebaskan sang putri boleh dengan sembarang orang. Tentu saja, Andara sangat memahami hal itu, ia juga selalu melakukan penjagaan ketat terhadap adik perempuannya. Meski banyak pria yang akan mampu menjaga, Adinda. Tapi hanya Andaralah yang mempunyai hak secara resmi.
“Din, aku pulang dulu, ya ... nanti malam aku jemput,” ujar Andara masih dengan tatapan terpesona akan cantiknya sang wanita pujaan.
“Iya, terima kasih, ya. Sudah mau selalu aku repotkan, terlebih hanya untuk sekedar menjelaskan pada Ayahku,” sesal Adinda dengan wajah yang tertunduk.
“Sudah, tidak apa-apa. aku selalu senang bisa melakukan sesuatu untuk kamu.” Senyuman manis itu terukir indah.
Sang Ayah yang menyadari bahwa, Andara sangat menyukai putrinya hanya tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya. Andara seakan tersadar dari rasa takjubnya. Ia langsung menundukkan pandangannya dan langsung menghampiri, Ayah Adinda. Dia dengan penuh rasa hormat menyalami tetua tersebut, kemudian dia menatap wanita pujaannya beberapa saat. Sebelum akhirnya dia meninggalkan tempat itu.
“Dia itu kriteria menantu idaman, Ayah banget,” celetuk sang Ayah dengan senyuman lebar sambil menoleh ke arah, Adinda yang terperanjat.
“Ke-e-e-enapa ... dia, Yah?” Adinda bertanya dengan wajah yang kembali tertunduk dengan kedua pipi yang merona merah muda.
“Karena sukar dicari pemuda yang sopan, baik, ramah, ditambah dengan akidah yang bagus seperti dia. Ayah bermimpi kamu akan mendapatkan pasangan yang baik lahir batin, jangan seperti ....” kalimat yang diucapkan pria setengah senja itu pun terhenti. Ia kemudian memandangi wajah cantik putrinya dengan penuh rasa bersalah.
“Maafkan, Ayah ... dulu pernah hampir membawa kamu dan ibumu ke Neraka Jahanam.” Mukanya tertunduk dengan air mata yang mulai terbendung.
“Ayah. Mungkin benar, Ayah pernah salah dalam memilih ruang lingkup pertemanan. Tapi, yang terpenting sekarang kita semua sudah berkumpul dan tidak akan ada lagi yang menghancurkan kebahagiaan kita.” Adinda tampak sangat bijak menanggapi pernyataan sang Ayah.
Sang Ayah menaikkan wajahnya, Beliau memandang penuh haru. Pada―putrinya yang kini benar sudah beranjak dewasa. Beliau seakan takut akan kehilangan sang buah hati. Bila tidak dijaga dengan sebaik mungkin. Pengalaman buruknya di masa lalu. Selalu menjadi pengingat bagi Beliau saat ini. Beliau juga mengubah sikap dan prilaku. Agar tidak ada lagi luka di hati sang belahan jiwa. Yang diakibatkan oleh kesalahannya sebagai seorang ayah.
Begitu pula dengan, Adinda. Ia tampak sudah ikhlas menerima apa yang pernah dilakukan oleh Ayahnya. Setelah perbincangan singkat itu, Adinda kembali masuk ke kamarnya. Dengan cepat dia langsung memeriksa telepon genggamnya. Ketika dia menemukan 3 pesan singkat yang dikirimkan oleh, Giyo. Saat itu juga, ia tersenyum dengan lebar.
“Dia suka banget sama kamu. Sampai menatap kamu enggak berkedip.” Isi pesan singkat yang dikirimkan pertama kali oleh, Giyo.
“Sumpah! Adinda. Aku enggak suka lihat kamu dekat sama anak itu!” isi pesan ke dua yang membuat, Adinda semakin tersipu malu.
“Aku bahkan lebih bisa mencintai kamu dan menjaga kamu dari dia. Hanya saja aku tetap tidak akan mendapatkan tempat di hati ayahmu.”
Setelah membaca pesan terakhir yang dikirimkan oleh Giyo. Seketika garis wajahnya berubah murung. Adinda seakan tersadar bahwa pria yang saat ini tengah diharapkannya. Tidak akan diterima sebaik, Andara. Tampaknya dia juga menyadari. Bahwa apa yang saat ini sedang ia lakukan, sedikit pun tidak akan dibenarkan oleh, sang ayah.
Adinda seketika terduduk di tepi tempat tidurnya. Sorot matanya hampa tertuju pada layar telepon selulernya. Yang masih memperlihatkan isi pesan dari pemuda―ia cintai. Mendung mulai menutupi wajah yang tadinya cerah bak mentari pagi. Kini ia termenung. Meringkuk, memeluk kedua kakinya dengan pandangan layu seakan perlahan mati.
Setelah beberapa saat ia tidak merespons pesan singkat dari Giyo. Kini layar telepon selulernya menampilkan tulisan “Juara Voli Memanggil” seketika itu juga, Adinda langsung menerimanya.
“Halo, Kak.” Adinda dengan suara lembutnya langsung menyapa sang penelepon.
“Halo, kamu kenapa enggak balas pesan dari aku? Apa kamu sudah tidak mencintai aku lagi?” terdengar suara seorang pria yang halus.
Ucapannya seakan memberi ketenangan. Terlebih ketika ia melantunkan kalimat tersebut dengan pelan. Seakan sang pujangga tengah bersyair. Semuanya terdengar sangat manis. Dibumbui dengan sedikit rasa cemburu. Adinda kini telah larut. Menyatu bersama rasa yang tengah menggelora.
Tanpa sadar ia malah tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan Giyo. Jelas sekali senyum itu ditujukannya untuk sang pemuda. Ia seakan memahami makna dari kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh sang pujaan. Adinda tahu, bahkan sangat sadar pada siapa ia sedang jatuh hati. Namun, apa daya seorang gadis lugu. Ia tak akan mampu menolak atau pun menghindar.Terlebih ini kali pertama untuknya jatuh cinta kepada orang yang memiliki karakter jauh berbeda dengannya. Sebuah jalinan kasih dalam diam, yang sudah dapat dipastikan akan terus begitu. Berlaku kucing-kucingan dengan keadaan. Terkadang, ia menangis di pojok kamar dalam heningnya malam. Tentu saja ia juga ingin merasakan jatuh cinta layaknya, gadis pada umumnya.Mereka yang bisa dengan bebas bertemu. Meski di depan orang tuanya. Sayangnya hal itu tidak berlaku untuknya. Ia memilih meletakkan hatinya pada orang yang tidak disukai keluarganya. Andai ia dapat menentukan pada siapa hatinya akan terpaut, pastilah ia akan
Tak terasa, waktu sudah hampir petang. Kini sang kembang ranum sudah berhenti dengan rasa bimbangnya. Ia bersiap dengan riasan tipisnya. Gaun panjang berwarna hitam, dengan jaket berbahan jeans, ditambah dengan sepasang sepatu Sneakers senada dengan gaunnya. Adinda tampak gugup. Ia duduk di tepi tempat tidurnya. Beberapa kali ia melirik jam yang ada di dinding kamarnya. Kemudian memainkan jemari tangannya seolah mereka tengah mengalami keram.“Assalamualaikum,” terdengar suara Andara memberikan salam.“Waalaikumsallam. Eh, Nak Andara. Ayo masuk dulu. Dinda masih bersiap,” sahut Pak Anjas. Sungguh ramah dan bersahabat sikap sang ayah menyambut tamu putrinya.“Baik, Pak.”Sungguh santun perilaku, Andara. Ia langsung mencium tangan, Pak Anjas yang sudah lama menaruh rasa kagum terhadap etika sang pemuda. Semua orang tua, pasti akan menaruh hati pada pemuda yang berkelakuan baik. Ketika ada bebera
Beberapa saat berlalu, Adinda masih menanti apa yang ingin disampaikan oleh Giyo. Ia menatap pemuda itu lekat. Tahu-tahu Giyo mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Justru yang membuat sorot mata keduanya beradu. Pandangan itu seakan menyatu tak ingin dipisahkan. Namun bibir masih terkunci rapat. Seakan segalanya sudah diungkapkan hanya menggunakan bahasa kalbu. Yang hanya dapat dirasakan oleh keduanya. Siapa pun yang menyaksikan pemandangan tersebut, dapat merasakan adanya getaran cinta yang coba disembunyikan oleh mereka. Giyo secara perlahan melangkah mendekati, Adinda yang masih terpaku di tempatnya. Kini jelas sudah wajah keduanya dapat terlihat satu sama lain. Giyo tersenyum. Andara terlihat tidak nyaman. Ia sedikit menjauh dari keduanya. Sepertinya ia memberikan sedikit ruang agar Giyo bisa leluasa menyampaikan hajatnya. Namun sayangnya, Giyo masih diam dan saling tatap dengan Adinda. Suasana yang begitu ramai, seakan terasa sunyi mencekam. Jika dilih
Bima dan Hendri langsung menjauh dari dua orang yang terlihat semakin lengket. Giyo benar-benar ingin memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Andara semakin dibuat kesal karena Adinda sama sekali tidak menolak perlakuan Giyo padanya, sedangkan dia saja yang sudah lebih dulu dekat dan sering kali menyatakan isi hatinya. Tidak berani berlaku demikian terhadap wanita yang sangat dicintainya. Andara tampak kecewa, wanita yang dijaganya hanya diam saja ketika di dekap pria lain.“Dinda. Aku bahkan belum berani menggenggam tanganmu. Tapi kamu dengan mudahnya memberikan tanganmu padanya!” hardik Andara dalam remang cahaya.Ia terduduk lemas di tengah lapangan. Berteman sunyi dan gelap gulita. Dapat dipahami betapa hancur hatinya saat ini. Tak akan mudah baginya melihat wanita yang ia cintai disentuh pria lain. Andara memegangi dahinya. Mata itu terlihat berkaca-kaca. Jelas kecewa itu sangat berat dirasanya.Tidak lama setelah itu, Giyo menundukkan kepalanya. I
Adinda yang baru saja kembali bersama Andara. Tampak canggung karena teman-temannya memperhatikan mereka. Adinda tidak ingin berada dekat dengan Balai Desa. Ia memilih duduk di bagian halaman parkir yang bersebelahan dengan jalan. Tentu saja, Andara menemaninya dengan setia. Di sana keduanya hanya duduk diam tanpa bicara. “Hayo!!! Lagi apa kalian berdua di tempat remang-remang,” canda Zami dengan raut wajah riangnya. Adinda dan Andara sama-sama terperanjat. Dengan kompak melirik ke arah sumber suara. Zami dari arah belakang berjalan menghampiri keduanya. Zami satu-satunya sahabat Andara yang tidak ikut membenci pemuda itu, ketika Adinda memilih dekat dengannya. Zami juga selalu menunjukkan sikap netral. Ia memilih tak terlalu ingin berharap banyak dari gadis yang ia sendiri tahu tak akan ia dapatkan. “Hai, kalian kenapa? Roman-romannya masalah hati ini,” celetuk Zami menghampiri keduanya. “Aisshhh!” umpat Andara dengan raut wajah kesal. “Din,
Mereka yang tadinya bergembira merayakan pesta tahun baru. Beramai-ramai datang untuk melihat ada yang terjadi sebenarnya. Malam itu mereka semua menjadi saksi mata nyata. Ketika secepat kilat, Giyo menangkis laju pisau yang dihujamkan pria tadi ke bagian perut kanannya. Beberapa gadis bahkan berteriak. Untung saja kegaduhan itu tidak membangunkan orang tua Adinda yang sudah terlelap.Tidak sedikit pun, Giyo memalingkan wajahnya. Giyo terus menuntun, Adinda untuk masuk ke dalam rumah. Dengan santai dan berlaku seakan tidak terjadi apa-apa. Giyo menenangkan Adinda yang masih syok. Ibu Giyo tersadar dari tidurnya. Dan keluar kamar tidurnya dengan wajah lelah yang tampak sudah mulai dihinggapi keriput.Tampaknya Beliau terjaga karena mendengar keributan. Seketika Beliau panik melihat tangan anak bungsunya berdarah. Di sana juga ada gadis yang selama ini sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Waktu memang sudah menunjukkan tengah malam. Bahkan mendekati dini hari. Memang
Bruk! Bruk! Kini suara kegaduhan di luar sana semakin menjadi. Perlahan dia menghentikan tangan sang ibu yang tengah membersihkan lukanya. Ibunya mendongak seakan ingin protes. Akan tetapi ia sudah terlebih dahulu memberikan kode dengan mengatupkan kedua tangannya. Agar sang ibu tidak bisa mencegahnya. Setelah sang ibu mengangguk. Dia bangkit dan berjalan mendekati pintu depan rumahnya. Suara hentakan musik kini terdengar semakin jelas. Tercium juga bau menyengat dari botol minuman yang berserakan. Banyak teman-temannya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sedangkan, di bagian tempat pemanggangan banyak lagi pemuda yang berkumpul. Giyo melirik ke berbagai arah. Seakan tengah mencari sesuatu. “Di mana, Dinda!” seru seorang pria yang tengah duduk di atas sebuah sepeda motor di samping rumah Giyo. “Dia aman sama aku. Kamu enggak perlu khawatir. Aku bahkan jauh lebih mampu melindungi dia!” sergah Giyo tidak kalah sengit. Hahaha! “Melindungi katamu? Apa kausudah benar-benar mabuk, Giy
Beberapa kali Giyo pernah bermasalah dengan pria dewasa dan tua. Terlebih ketika para pria itu memiliki sifat yang buruk. Giyo akan tampil layaknya pahlawan bagi para wanita ini. Jika ditanya apa alasan ia mau melakukan hal itu, dia selalu menjawab, “ketika aku lihat pria tua menyiksa wanita. Dalam bayanganku selalu teringat sosok, Pria Bajingan yang telah mengubahku menjadi monster.” Memanglah sang ayah dari dulu dikenal Ringan Tangan. “Bagaimana dia bisa mencintai kamu, kalau kamu masih berteman dengan benda itu.” sang ibu menunjuk ke arah botol yang kini tinggal tersisa sedikit isinya. “Hmmm. Entah, ‘lah, Bu. Aku sendiri bingung. Namun aku sudah jatuh hati sejak awal melihatnya,” ujar Giyo yang kini memilih bangkit dan mempersilakan sang ibu untuk duduk di sisinya. “Ibu sangat mengenal pribadi anak itu dan keluarganya. Mereka tidak akan bisa dengan mudah menyerahkan anak semata wayangnya kepada Pemuda Brandal seperti kamu!” cetus
Tok! Tok! “Siapa?” ujar Tiwi dari balik pintu rumah Adinda. “Wi, ini aku Zenix. Aku mau ngomong sama Kak Dinda,” sahut Zenix dari balik pintu. Tiwi menoleh ke arah Adinda dan juga Angel yang di mana ia seolah meminta persetujuan. Setelah kedua sahabatnya mengangguk. Barulah Tiwi berani membukakan pintu. Saat pintu terbuka Giyo berdiri di sana dengan Zenix berada di sebelahnya. Begitu pula dengan Andika. Giyo masuk dengan raut wajah datar. Tanpa basa-basi ia menghampiri Adinda dan berhenti tepat di hadapan gadis itu. Adinda tampak gugup menghadapi Giyo yang jelas-jelas sudah ada di depannya. Zenix memberikan kode kepada Angel untuk menjauh. Gadis itu mengerti dan memilih untuk duduk bersama Tiwi di sofa ruang tamu. “Kapan aku mengiyakan kita putus? Kapan aku menyetujui omongan kamu? Kapan!” bentak Giyo dengan raut wajah memerah menahan gejolak amarah. “Tapi aku—” kalimat Adinda mendadak berhenti saat jari telunjuk Giyo menutupi bibir tipisnya. “Kamu masih pacar aku. Enggak ada pe
Giyo sudah pulih dan kembali ke rumahnya. Di sana Adinda terus berusaha mencari kesempatan untuk menjenguk kekasihnya itu. Hari itu suasana kediaman Giyo memang sangat sepi. Sedangkan kedua orang tua Adinda menghadiri pesta pernikahan saudaranya yang mengharuskan keduanya menginap selama beberapa hari di sana. Hal itu dimanfaatkan Adinda untuk merawat Giyo. “Sayang, sini aku periksa dulu lukanya,” ujar Adinda yang baru saja masuk ke kamar Giyo dengan membawa nampan berisi, perban, obat merah, dan beberapa kain kasa. “Ternyata enak juga kalau ada istri yang merawat kayak begini,” balas Giyo yang membuat Adinda tersipu malu. Wajahnya bersemu merah jambu. “Permisi, ya Sayang. Maaf kalau sakit.” “Kalau cuman kayak begini enggak ngaruh sedikit pun. Kalau kamu yang ngurusin, digosok-gosok juga aku mau.” Adinda menekan luka Giyo yang membuat pria itu meringis. Adinda tertawa. Giyo membalik tubuhnya yang membuat Adinda terkejut dan spontan mengelak. Giyo mendesak hingga tubuh Adinda berad
“Bangsat lu! Hia!”Giyo menyerang Dragon. Perkelahian antar keduanya tidak terhindarkan. Giyo sudah nyaris hampir mengalahkan Dragon. Sesaat sebelum sebuah belati menancap dipunggung kirinya. Saat menoleh Giyo melihat sang ketua berada di sana. “Apa yang buat lu rela mati demi cewek itu Gi?” ujarnya dengan tatapan kosong.“Lu rela mau ngebunuh rekan lu sendiri hanya demi satu orang gadis yang belum tentu lu bisa dapatin.”“Kenapa lu jadi sebegok ini?”Giyo tidak peduli dengan ocehan sang ketua. Kini ia malah berusaha menyerang sang ketua. Namun ia kalah jumlah, Giyo terpojok. Tubuhnya mengalami banyak luka memar. Dari punggungnya pun masih mengalir geti segar.Perlahan Giyo tampak melemah. Dan akhirnya dia terjatuh. Sang ketua membawanya ke rumah sakit. Giyo dirawat di sana. Setelah ia siuman Giyo menyadari di sampingnya ada Adinda yang terlihat lelah dan sangat khawatir. Giyo membelai kepala Adinda dengan perlahan.“Sayang aku ada di mana?” ucap Giyo lirih dengan nada yang le
Setelah perdebatan cukup panjang dengan berat hati Adinda mengizinkan Giyo pergi. Sebelum pria itu melangkah memasuki mobil berwarna hitam dengan kaca film berwarna hitam pula. Giyo memeluk erat dan memberikan ciuman kecil di kening Adinda. Air mata di sudut mata wanita itu tidak bisa dibendung lagi. Setelah Giyo benar-benar menghilang dari pandangan, Adinda terduduk dengan lemah. “Aku cuman takut. Takutku adalah takut aku yang akan kehilangan dia,” ungkap Adinda lirih dalam pelukan Tiwi. “Kamu tenang aja Din. Kak Giyo enggak akan kenapa-kenapa,” ungkap Tiwi menenangkan sahabatnya. “Aku takut Wi.” “Kakak Ipar tenang aja. Bang Giyo itu jagoan. Mana mungkin dia kalah,” sambung Zenix terlihat simpati pada kekasih ketua kelompok mereka. “Zen, apa yang bisa aku lakukan supaya abangmu bisa keluar dari gang ini?” “Enggak ada Kak. Kalian menikah pun. Abang harus tetap berada di dalam sini. Apalagi Abang terlalu banyak memegang kunci kelompok.” “Ancamannya nyawa ‘kan Zen?” setelah menye
“Din, entar siang kami main ke rumah kamu, ya,” ujar Tiwi saat bertemu di balai. “Maaf Wi. Nanti siang aku ada keperluan sama Kak Giyo,” sahut Adinda dengan santai seraya menaiki motornya. “Tapi, kita sudah lama enggak kumpul. Kamu sekarang suka menyendiri, kalau enggak pasti sama Kak Giyo.” “Iya namanya juga dia pacar aku. Udah, ya Wi aku duluan.” Semenjak kejadian hari itu, Adinda memang menutup diri. Dia menjauhi, Andara, dua sahabatnya, dan teman-temannya yang lain. Semenjak itu pula, ia terlihat sangat patuh kepada, Giyo. Sang ibu sempat merasa curiga dengan perubahan Adinda. Ibunya pernah mendesak agar, Adinda jujur mengatakan ada apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Adinda memilih tetap bungkam dan berusaha menutupi aibnya. Para tetangga pun mulai banyak membicarakan kedekatan Adinda dan Giyo yang dinilai terlalu fulgar. Banyak aduan yang diterima orang tua Adinda, akan kedekatan dirinya dan Giyo. Bahkan ada salah satu tetangga yang mengaku melihat Adinda dan Giyo berlaku ti
Setelah dua hari sehabis pertemuan keduanya di danau. Hari ini Giyo mengajak Adinda berkunjung ke rumah pamannya yang jaraknya cukup jauh dari daerah tempat tinggal mereka. Adinda beralasan kepada kedua orang tuanya ingin membeli sesuatu di kota. Yang mana sang ayah awalnya meminta Adinda untuk pergi bersama Andara saja. Namun dengan manis, Adinda beralasan kalau Andara tidak bisa menemaninya. Akhirnya sang ayah pun mengizinkan Adinda untuk pergi bersama Giyo. Sebelum keduanya berangkat, berkali-kali sang ayah berpesan agar Giyo menjaga Adinda sebagai adik. Dan Giyo tentu saja menyanggupi permintaan Pak Anjas. Keduanya pergi dengan mengendarai motor gede milik Giyo. “Good luck, Bang!” kalimat yang dilontarkan Zenix tampaknya membuat Adinda seakan bertanya-tanya. Di perjalanan Giyo banyak bercerita akan perjalanan hidupnya. Kedua tangan Adinda yang melingkar di pinggang Giyo. Membuat keduanya tidak memiliki batas. Kepala Adinda yang tidak mengenakan helm pengaman pun bersandar pada p
Semenjak kejadian itu Adinda mulai dijauhi oleh pemuda dan pemudi desa setempat. Mereka tidak menyangka Adinda yang selugu dan sebaik itu, akan berpacaran dengan pria bejat seperti Giyo. Beberapa pemuda malah berniat memisahkan mereka karena mereka tidak ingin Adinda menjadi rusak. Terlebih si Andara saingan utama Giyo. Brem! Brem! “Pulang juga lu akhirnya Bang,” ujar Zenix yang terlihat senang dengan kedatangan Giyo dengan motor gedenya. “HM.” Giyo hanya menjawab dengan nada datar. Giyo turun dari motornya, lalu melemparkan jaket kulit dengan warna cokelat gelap ke atas sofa. Lalu dengan wajah tampak letih Giyo membanting tubuhnya pada sofa yang sama. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil dan memeriksa telepon seluler miliknya. Lalu dengan kedua lengan yang bertopang pada paha. Giyo tampak mencoba menghubungi seseorang. “Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku sudah sampai di rumah ini, kamu bisa ke rumah atau nanti kita ketemu di tempat biasa?” wajahnya yang semula tampak leti
“Kak Giyo!” pekik Tiwi. “Aku harus bagaimana?” tanya Adinda cemas. “’Loh! Kenapa malah bagaimana, Din? Kamu angkat telepon itu, dan tanya sekarang dia ada di mana?” tuntun Angel yang memang selalu lebih tenang dibanding kedua sahabatnya. “Oke!” “Halo, iya, Kak?” ujar Adinda saat menerima panggilan tersebut. Tiwi memberikan kode agar Adinda mau memperdengarkan perbincangannya dengan Giyo. Dengan melakukan media sepiker yang ada di telepon seluler tersebut, Adinda mengikuti keinginan sahabatnya tersebut hingga keduanya terlihat senang. “Sayang, kamu di mana sekarang?” tanya Giyo dengan suara lembutnya. “Em! Di rumah ada apa, Kak?” sahut Adinda dengan wajah yang merona merah muda karena merasa malu. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Aku hanya khawatir sama kamu saja, aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu setelah apa yang kudengar.” “Sekarang, Kakak ada di mana? Sudah pulang dari sana?” “Masih di tempat yang aku bilang ingin datangi tadi, aku sekarang baru bisa lega dan tenang.” “Ap
Sebagai orang yang berhasil merebut hati Adinda tentu saja Giyo sangat bangga. Dia bahkan terlihat sangat puas dengan apa yang ia dapatkan saat ini. Selama ini dia suka mendapatkan ejekan dari beberapa orang temannya, bahwa Giyo ini tidak menyukai wanita. Dan kini dia bisa membuktikan bahwa dia normal. Adinda, Tiwi, dan Angel tertawa riang menertawakan cerita yang di suguhkan Tiwi. Gadis-gadis ini terlihat sangat dekat dan kompak. Meski Adinda masih baru di kampung mereka, akan tetapi dia sudah mampu bergaul dengan baik. Kepada semua pemuda dan mudi Kampung Tanjung Agung. “Eh, Din, kamu tahu enggak kalau, Manda itu pernah suka sama pacarmu,” bisik Angel. Dibenarkan oleh Tiwi yang menganggukkan kepala. “Ha? Masa sih begitu? Aku enggak yakin, dia mau sama Giyo,” sahut Adinda dengan mengerutkan dahinya. “Dulu, dia suka banget sore-sore masak, berbenah rumah, dan mencuci baju Giyo,” ujar Tiwi, “orang-orang sini pada memuji dia dan berusaha menyanjung dia. Kalau dia ada di depan mereka,