Andara tampak sudah mampu menguasai dirinya. Ia sudah kembali tenang. Dengan tersenyum bahagia, Andara meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa apa yang dikatakan ayah dari wanitanya akan menjadi nyata. Yah, tentu itu juga salah satu pintanya pada sang pencipta.
“Pak, kalau begitu saya permisi dulu. Kelak malam saya akan datang lagi dan menjemput, Dinda,” ujar Andara dengan nada yang lembut.
“Baiklah, Nak. Bapak senang kalau kalian semakin dekat begini,” ujar Bapak Anjas kembali.
“Terima kasih, Pak, saya merasa sangat tersanjung mendapat dukungan secara langsung dari, Bapak.”
Andara membungkukkan badannya. Sebagi tanda hormatnya. Bapak Ajas tersenyum dan meminta pemuda itu bangkit kembali. Dari roman mukanya dapat dipastikan, sang ayah tengah bahagia. Tentu saja, tidak dengan Adinda yang nyatanya mulai mencintai orang lain. Pemuda dengan kepribadian yang tidak disukai sang ayah.
“Dinda, ini Andaranya mau pamit,” panggil Pak Anjas pada putri semata wayangnya.
“Iya, Ayah. Ini Dinda datang,” sahut sang anak dengan bergegas menuju teras rumah.
Adinda keluar dari dalam rumah dengan wajah tertunduk. Dia kemudian, mengangkat muka polos nan lugunya. Ketika berhadapan langsung dengan Andara. Terpegun sudah, pemuda yang selama ini telah banyak menolak cinta para gadis. Melihat wanita pujaannya berdiri dengan roman muka tersipu.
Seakan menatap indahnya seorang, Dewi. Tilikan itu memancarkan aura ketulusan yang mendalam. Seakan dia tak akan mampu menyakiti makhluk lemah yang ia tatap saat ini, jangankan melukai, bahkan mencubit sedikit pun ia tak akan tega. Begitulah, bila rasa cinta kasih sudah merasuki jiwa seorang kaum adam.
Ia akan memperlakukan wanitanya dengan sepenuh jiwa. Tidak akan ada keinginan buruk, apa lagi menyakiti perasaan dari makhluk perasa yang bernama wanita. Sesungguhnya, wanita dihadirkan ke dunia untuk menjadi pelengkap hidup para pria. Ia yang dengan segala rasa pekanya, mampu mendidik penerus generasi para lelaki. Hingga tumbuh menjadi jiwa yang indah. Wanita sangatlah berharga. Maka, bila ada seorang lelaki yang menghormati seorang wanita di luar sana. Menandakan bahwa pria adalah orang yang baik.
“Nak, Andara benar-benar harus menjaga, Anak Bapak. Di sana nanti,”kata Pak Anjas kembali mengingatkan pemuda yang akan mengajak putrinya pergi.
“Tentu saja, Pak.” ujar Andara, “mana mungkin saya akan membiarkan, Dinda di sana seorang diri tanpa pengawasan dari saya.”
“Baiklah. Nanti malam yang menjemput, Dinda harus kamu. Begitu pula dengan pulang esok pagi.”
Menyetujui Kepergian anaknya. Bukan berarti Beliau membebaskan sang putri boleh dengan sembarang orang. Tentu saja, Andara sangat memahami hal itu, ia juga selalu melakukan penjagaan ketat terhadap adik perempuannya. Meski banyak pria yang akan mampu menjaga, Adinda. Tapi hanya Andaralah yang mempunyai hak secara resmi.
“Din, aku pulang dulu, ya ... nanti malam aku jemput,” ujar Andara masih dengan tatapan terpesona akan cantiknya sang wanita pujaan.
“Iya, terima kasih, ya. Sudah mau selalu aku repotkan, terlebih hanya untuk sekedar menjelaskan pada Ayahku,” sesal Adinda dengan wajah yang tertunduk.
“Sudah, tidak apa-apa. aku selalu senang bisa melakukan sesuatu untuk kamu.” Senyuman manis itu terukir indah.
Sang Ayah yang menyadari bahwa, Andara sangat menyukai putrinya hanya tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya. Andara seakan tersadar dari rasa takjubnya. Ia langsung menundukkan pandangannya dan langsung menghampiri, Ayah Adinda. Dia dengan penuh rasa hormat menyalami tetua tersebut, kemudian dia menatap wanita pujaannya beberapa saat. Sebelum akhirnya dia meninggalkan tempat itu.
“Dia itu kriteria menantu idaman, Ayah banget,” celetuk sang Ayah dengan senyuman lebar sambil menoleh ke arah, Adinda yang terperanjat.
“Ke-e-e-enapa ... dia, Yah?” Adinda bertanya dengan wajah yang kembali tertunduk dengan kedua pipi yang merona merah muda.
“Karena sukar dicari pemuda yang sopan, baik, ramah, ditambah dengan akidah yang bagus seperti dia. Ayah bermimpi kamu akan mendapatkan pasangan yang baik lahir batin, jangan seperti ....” kalimat yang diucapkan pria setengah senja itu pun terhenti. Ia kemudian memandangi wajah cantik putrinya dengan penuh rasa bersalah.
“Maafkan, Ayah ... dulu pernah hampir membawa kamu dan ibumu ke Neraka Jahanam.” Mukanya tertunduk dengan air mata yang mulai terbendung.
“Ayah. Mungkin benar, Ayah pernah salah dalam memilih ruang lingkup pertemanan. Tapi, yang terpenting sekarang kita semua sudah berkumpul dan tidak akan ada lagi yang menghancurkan kebahagiaan kita.” Adinda tampak sangat bijak menanggapi pernyataan sang Ayah.
Sang Ayah menaikkan wajahnya, Beliau memandang penuh haru. Pada―putrinya yang kini benar sudah beranjak dewasa. Beliau seakan takut akan kehilangan sang buah hati. Bila tidak dijaga dengan sebaik mungkin. Pengalaman buruknya di masa lalu. Selalu menjadi pengingat bagi Beliau saat ini. Beliau juga mengubah sikap dan prilaku. Agar tidak ada lagi luka di hati sang belahan jiwa. Yang diakibatkan oleh kesalahannya sebagai seorang ayah.
Begitu pula dengan, Adinda. Ia tampak sudah ikhlas menerima apa yang pernah dilakukan oleh Ayahnya. Setelah perbincangan singkat itu, Adinda kembali masuk ke kamarnya. Dengan cepat dia langsung memeriksa telepon genggamnya. Ketika dia menemukan 3 pesan singkat yang dikirimkan oleh, Giyo. Saat itu juga, ia tersenyum dengan lebar.
“Dia suka banget sama kamu. Sampai menatap kamu enggak berkedip.” Isi pesan singkat yang dikirimkan pertama kali oleh, Giyo.
“Sumpah! Adinda. Aku enggak suka lihat kamu dekat sama anak itu!” isi pesan ke dua yang membuat, Adinda semakin tersipu malu.
“Aku bahkan lebih bisa mencintai kamu dan menjaga kamu dari dia. Hanya saja aku tetap tidak akan mendapatkan tempat di hati ayahmu.”
Setelah membaca pesan terakhir yang dikirimkan oleh Giyo. Seketika garis wajahnya berubah murung. Adinda seakan tersadar bahwa pria yang saat ini tengah diharapkannya. Tidak akan diterima sebaik, Andara. Tampaknya dia juga menyadari. Bahwa apa yang saat ini sedang ia lakukan, sedikit pun tidak akan dibenarkan oleh, sang ayah.
Adinda seketika terduduk di tepi tempat tidurnya. Sorot matanya hampa tertuju pada layar telepon selulernya. Yang masih memperlihatkan isi pesan dari pemuda―ia cintai. Mendung mulai menutupi wajah yang tadinya cerah bak mentari pagi. Kini ia termenung. Meringkuk, memeluk kedua kakinya dengan pandangan layu seakan perlahan mati.
Setelah beberapa saat ia tidak merespons pesan singkat dari Giyo. Kini layar telepon selulernya menampilkan tulisan “Juara Voli Memanggil” seketika itu juga, Adinda langsung menerimanya.
“Halo, Kak.” Adinda dengan suara lembutnya langsung menyapa sang penelepon.
“Halo, kamu kenapa enggak balas pesan dari aku? Apa kamu sudah tidak mencintai aku lagi?” terdengar suara seorang pria yang halus.
Ucapannya seakan memberi ketenangan. Terlebih ketika ia melantunkan kalimat tersebut dengan pelan. Seakan sang pujangga tengah bersyair. Semuanya terdengar sangat manis. Dibumbui dengan sedikit rasa cemburu. Adinda kini telah larut. Menyatu bersama rasa yang tengah menggelora.
Tanpa sadar ia malah tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan Giyo. Jelas sekali senyum itu ditujukannya untuk sang pemuda. Ia seakan memahami makna dari kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh sang pujaan. Adinda tahu, bahkan sangat sadar pada siapa ia sedang jatuh hati. Namun, apa daya seorang gadis lugu. Ia tak akan mampu menolak atau pun menghindar.Terlebih ini kali pertama untuknya jatuh cinta kepada orang yang memiliki karakter jauh berbeda dengannya. Sebuah jalinan kasih dalam diam, yang sudah dapat dipastikan akan terus begitu. Berlaku kucing-kucingan dengan keadaan. Terkadang, ia menangis di pojok kamar dalam heningnya malam. Tentu saja ia juga ingin merasakan jatuh cinta layaknya, gadis pada umumnya.Mereka yang bisa dengan bebas bertemu. Meski di depan orang tuanya. Sayangnya hal itu tidak berlaku untuknya. Ia memilih meletakkan hatinya pada orang yang tidak disukai keluarganya. Andai ia dapat menentukan pada siapa hatinya akan terpaut, pastilah ia akan
Tak terasa, waktu sudah hampir petang. Kini sang kembang ranum sudah berhenti dengan rasa bimbangnya. Ia bersiap dengan riasan tipisnya. Gaun panjang berwarna hitam, dengan jaket berbahan jeans, ditambah dengan sepasang sepatu Sneakers senada dengan gaunnya. Adinda tampak gugup. Ia duduk di tepi tempat tidurnya. Beberapa kali ia melirik jam yang ada di dinding kamarnya. Kemudian memainkan jemari tangannya seolah mereka tengah mengalami keram.“Assalamualaikum,” terdengar suara Andara memberikan salam.“Waalaikumsallam. Eh, Nak Andara. Ayo masuk dulu. Dinda masih bersiap,” sahut Pak Anjas. Sungguh ramah dan bersahabat sikap sang ayah menyambut tamu putrinya.“Baik, Pak.”Sungguh santun perilaku, Andara. Ia langsung mencium tangan, Pak Anjas yang sudah lama menaruh rasa kagum terhadap etika sang pemuda. Semua orang tua, pasti akan menaruh hati pada pemuda yang berkelakuan baik. Ketika ada bebera
Beberapa saat berlalu, Adinda masih menanti apa yang ingin disampaikan oleh Giyo. Ia menatap pemuda itu lekat. Tahu-tahu Giyo mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Justru yang membuat sorot mata keduanya beradu. Pandangan itu seakan menyatu tak ingin dipisahkan. Namun bibir masih terkunci rapat. Seakan segalanya sudah diungkapkan hanya menggunakan bahasa kalbu. Yang hanya dapat dirasakan oleh keduanya. Siapa pun yang menyaksikan pemandangan tersebut, dapat merasakan adanya getaran cinta yang coba disembunyikan oleh mereka. Giyo secara perlahan melangkah mendekati, Adinda yang masih terpaku di tempatnya. Kini jelas sudah wajah keduanya dapat terlihat satu sama lain. Giyo tersenyum. Andara terlihat tidak nyaman. Ia sedikit menjauh dari keduanya. Sepertinya ia memberikan sedikit ruang agar Giyo bisa leluasa menyampaikan hajatnya. Namun sayangnya, Giyo masih diam dan saling tatap dengan Adinda. Suasana yang begitu ramai, seakan terasa sunyi mencekam. Jika dilih
Bima dan Hendri langsung menjauh dari dua orang yang terlihat semakin lengket. Giyo benar-benar ingin memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Andara semakin dibuat kesal karena Adinda sama sekali tidak menolak perlakuan Giyo padanya, sedangkan dia saja yang sudah lebih dulu dekat dan sering kali menyatakan isi hatinya. Tidak berani berlaku demikian terhadap wanita yang sangat dicintainya. Andara tampak kecewa, wanita yang dijaganya hanya diam saja ketika di dekap pria lain.“Dinda. Aku bahkan belum berani menggenggam tanganmu. Tapi kamu dengan mudahnya memberikan tanganmu padanya!” hardik Andara dalam remang cahaya.Ia terduduk lemas di tengah lapangan. Berteman sunyi dan gelap gulita. Dapat dipahami betapa hancur hatinya saat ini. Tak akan mudah baginya melihat wanita yang ia cintai disentuh pria lain. Andara memegangi dahinya. Mata itu terlihat berkaca-kaca. Jelas kecewa itu sangat berat dirasanya.Tidak lama setelah itu, Giyo menundukkan kepalanya. I
Adinda yang baru saja kembali bersama Andara. Tampak canggung karena teman-temannya memperhatikan mereka. Adinda tidak ingin berada dekat dengan Balai Desa. Ia memilih duduk di bagian halaman parkir yang bersebelahan dengan jalan. Tentu saja, Andara menemaninya dengan setia. Di sana keduanya hanya duduk diam tanpa bicara. “Hayo!!! Lagi apa kalian berdua di tempat remang-remang,” canda Zami dengan raut wajah riangnya. Adinda dan Andara sama-sama terperanjat. Dengan kompak melirik ke arah sumber suara. Zami dari arah belakang berjalan menghampiri keduanya. Zami satu-satunya sahabat Andara yang tidak ikut membenci pemuda itu, ketika Adinda memilih dekat dengannya. Zami juga selalu menunjukkan sikap netral. Ia memilih tak terlalu ingin berharap banyak dari gadis yang ia sendiri tahu tak akan ia dapatkan. “Hai, kalian kenapa? Roman-romannya masalah hati ini,” celetuk Zami menghampiri keduanya. “Aisshhh!” umpat Andara dengan raut wajah kesal. “Din,
Mereka yang tadinya bergembira merayakan pesta tahun baru. Beramai-ramai datang untuk melihat ada yang terjadi sebenarnya. Malam itu mereka semua menjadi saksi mata nyata. Ketika secepat kilat, Giyo menangkis laju pisau yang dihujamkan pria tadi ke bagian perut kanannya. Beberapa gadis bahkan berteriak. Untung saja kegaduhan itu tidak membangunkan orang tua Adinda yang sudah terlelap.Tidak sedikit pun, Giyo memalingkan wajahnya. Giyo terus menuntun, Adinda untuk masuk ke dalam rumah. Dengan santai dan berlaku seakan tidak terjadi apa-apa. Giyo menenangkan Adinda yang masih syok. Ibu Giyo tersadar dari tidurnya. Dan keluar kamar tidurnya dengan wajah lelah yang tampak sudah mulai dihinggapi keriput.Tampaknya Beliau terjaga karena mendengar keributan. Seketika Beliau panik melihat tangan anak bungsunya berdarah. Di sana juga ada gadis yang selama ini sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Waktu memang sudah menunjukkan tengah malam. Bahkan mendekati dini hari. Memang
Bruk! Bruk! Kini suara kegaduhan di luar sana semakin menjadi. Perlahan dia menghentikan tangan sang ibu yang tengah membersihkan lukanya. Ibunya mendongak seakan ingin protes. Akan tetapi ia sudah terlebih dahulu memberikan kode dengan mengatupkan kedua tangannya. Agar sang ibu tidak bisa mencegahnya. Setelah sang ibu mengangguk. Dia bangkit dan berjalan mendekati pintu depan rumahnya. Suara hentakan musik kini terdengar semakin jelas. Tercium juga bau menyengat dari botol minuman yang berserakan. Banyak teman-temannya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sedangkan, di bagian tempat pemanggangan banyak lagi pemuda yang berkumpul. Giyo melirik ke berbagai arah. Seakan tengah mencari sesuatu. “Di mana, Dinda!” seru seorang pria yang tengah duduk di atas sebuah sepeda motor di samping rumah Giyo. “Dia aman sama aku. Kamu enggak perlu khawatir. Aku bahkan jauh lebih mampu melindungi dia!” sergah Giyo tidak kalah sengit. Hahaha! “Melindungi katamu? Apa kausudah benar-benar mabuk, Giy
Beberapa kali Giyo pernah bermasalah dengan pria dewasa dan tua. Terlebih ketika para pria itu memiliki sifat yang buruk. Giyo akan tampil layaknya pahlawan bagi para wanita ini. Jika ditanya apa alasan ia mau melakukan hal itu, dia selalu menjawab, “ketika aku lihat pria tua menyiksa wanita. Dalam bayanganku selalu teringat sosok, Pria Bajingan yang telah mengubahku menjadi monster.” Memanglah sang ayah dari dulu dikenal Ringan Tangan. “Bagaimana dia bisa mencintai kamu, kalau kamu masih berteman dengan benda itu.” sang ibu menunjuk ke arah botol yang kini tinggal tersisa sedikit isinya. “Hmmm. Entah, ‘lah, Bu. Aku sendiri bingung. Namun aku sudah jatuh hati sejak awal melihatnya,” ujar Giyo yang kini memilih bangkit dan mempersilakan sang ibu untuk duduk di sisinya. “Ibu sangat mengenal pribadi anak itu dan keluarganya. Mereka tidak akan bisa dengan mudah menyerahkan anak semata wayangnya kepada Pemuda Brandal seperti kamu!” cetus