Pernikahan adalah salah satu hal sakral. Setiap insan baik dari tiap gender, laki-laki atau perempuan pasti menginginkan sebuah pernikahan yang mereka dambakan.
Tepat hari ini; menit ini; detik ini, hari bahagia bagi dua belah pihak keluarga. Akan tetapi, terdapat suatu hal mengganjal di sini.
"Saya terima nikah dan kawinnya Kanaya Putri binti Keano dengan mas kawin 1 gram cincin perak dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi, sah?"
"SAH!" Seruan para hadirin sekalian menggema dalam ruang tamu di kediaman pihak perempuan.
Mama Naya menuntun putri semata wayangnya itu untuk melakukan gerakan masyhur setekah akad pernikahan berlangsung. Naya mencium punggung tangan lelaki yang saat ini telah berganti posisi menjadi suaminya. Dibalas ciuman lembut pada keningnya.
Ina selaku orang tua dari Naya terharu setelah berhasil menggugurkan kewajibannya terhadap sang putri. Tak sangka ia telah sampai pada tahap ini, menikahkan Naya dengan seorang lelaki yang sopan dan lembut seperti Serio Gananta.
Naya menghamburi mamanya dengan pelukan. Terdapat keluarga mama juga masyarakat sekitar yang menghadiri acara ini. Naya memberikan mereka semua senyuman terbaik. Hal yang cukup untuk memberi mereka informasi bahwa Naya pun bahagia dengan dilangsungkannya pernikahan ini.
Naya adalah gadis yatim. Papanya meninggal tepat di hari wisudanya di prodi management bisnis karena serangan jantung. Mas Tero abang sepupu Naya, anak dari abang mama hadir di sini sebagai wali. Para tamu undangan dipenuhi oleh keluarga Naya baik dari pihak mama maupun papa. Akan tetapi, yang mengganjal Naya sejak tadi pagi ialah karena tak seorang pun keluarga dari Rio menghadiri pernikahan ini. Hanya ada paman, bibi, dan ponakannya mewakili seluruh keluarga. Rio bilang seluruh keluarganya yang lain berada di Banjar sana. Ongkos pergi ke sini tidak sedikit, sementara Rio juga tak mampu mengongkosi seluruh keluarganya itu. Oh, ya ... apakah Naya lupa bilang bahwa Rio adalah pemuda rantauan? Ia merantau dari Banjar sana ke Jakarta.
Kedua mempelai sepasang pasutri dituntun duduk di pelaminan mereka. Orang bilang menikah adalah menjadi seorang raja dan ratu dalam kurun waktu sehari.
Rio tanpa rasa segan lagi memeluk pinggang ramping sang isteri dalam perjalanan menuju singgasana mereka. Dengan perhatian dan penuh kesabaran ia menyeimbangi langkah sang isteri tercinta yang teramat pelan itu. Pakaian yang Naya kenakan saat ini lebar mengembang juga menjuntai panjang. Membatasi gerakan Naya untuk berlaku cepat. Naya tetap tenang dalam pelukan suaminya. Ia merasa aman juga nyaman di posisi ini.
Rio mendekatkan bibirnya tepat di depan telinga kanan isterinya itu yang beriringan berdiri di samping kirinya. Ia berbisik dengan suara berat bikin Naya merinding seketika. "Maafin aku cuma bisa kasih pesta sederhana begini."
Naya tersenyum sangat manis. Ia menggeleng menyangkal perkataan suaminya itu. "Nggak papa, kok, Mas. Kamu mampunya segini, aku sebagai isteri bakal ngerti dan terima kamu apa adanya tanpa nuntut ini itu."
Karenanya senyuman Rio mengembang lebar. Ia cium secepat kilat pipi tembem isterinya itu bikin para hadirin heboh seketika. Siulan menggoda bersusulan. Rio terkekeh melihat itu, bahkan ia makin sengaja bermesra-mesraan di depan orang banyak. Pengantin baru, nih, Bos!
Sementara Naya wajahnya memanas. Ia menutup wajahnya tepat di bahu kokoh sang suami. "Ih, Mas udah, dong. Aku malu," sebalnya dengan wajah memberengut.
Kasian juga mukanya sudah memerah gitu. Rio menyudahinya. Ia menuntun dengan benar gadisnya ke atas mimbar singgasana. Mereka duduk dengan nyaman. Oh, ralat. Lebih tepatnya hanya Rio saja yang nyaman karena sekujur tubuh Naya kaku.
"Kamu kenapa, sih, hmm? Yang rileks," tegur Rio pada isterinya. Kenapa pula musti tegang begitu, 'kan?
Naya murung. Rautnya itu bikin Rio melas, tapi gemas juga secara bersamaan. "Malu ih, semuanya pada liatin aku. Kamera juga fokusnya ke aku mulu."
"Ke arah kita, Sayang ... bukan cuma ke kamu doang," sangkal Rio. "Tinggal senyumin aja udah, 'kan, beres?"
Karena Naya tak jua merilekskan ekspresi tegangnya itu, Rio mencengkeram rahang gadis itu, tetapi tak sampai melukainya. Rio membawa wajah itu untuk menghadap ke arahnya.
"Keep smile, Babe ...." Suara beratnya mengudara.
Secara perlahan masing-masing sudut bibir Naya tertarik menciptakan lengkungan indah selayak sabit. Rio puas sekali atas kepatuhan isterinya itu.
"Cantik," pujinya.
Lagi, wajah Naya memanas. Ia menarik diri dari sang suami. Namun, ternyata Rio tak mau berhenti dalam pekerjaannya sekarang. Sepertinya menggoda Naya adalah hobby barunya.
"Mau yang lebih malu, tapi enak gak?"
Naya menoleh lagi. Bibirnya mengerucut dengan bola matanya yang membesar, perubahan ekspresi spontan ketika ia tengah bingung atau sedang berpikir. Rio tersenyum miring. Tangan kekarnya menepuk-nepuk dua belah paha-nya.
"Duduk di sini ...."
3 kata untuk sebuah pernyataan itu membuat Rio mendapat tabokan pedas pada salah satu pahanya. Matanya membola. "Loh, kok, aku dipukul, sih? Parah banget kamu, baru nikah aja udah kdrt. Parah ...." Rio pundung.
"Ih maaf, sakit, ya? Abisnya kamu godain aku terus, sih. Sengaja, 'kan, mo bikin aku tambah malu?" sulut Naya.
Mengenai dekorasi dan pemilihan tempat, selayak pernikahan biasa yang sederhana, diberlangsungkannya di rumah Naya. Akadnya terlaksana di ruang tamu yang dindingnya telah didekorasi, sementara pelaminan bertempat tepat di pekarangan rumah Naya yang ukurannya cukup luas. Tenda-tenda juga dibangun untuk peneduh para tamu undangan.
Serio Gananta adalah nama panjang dari Rio, lelaki asli Banjar yang memilih merantau ke ibu kota Indonesia; Jakarta. Di kota besar ini ia numpang di tempat paman dan bibinya yang kebetulan juga tinggal di sini. Rejeki orang tak ada yang tahu di mana tempat. Bahkan sering kali tak pernah dikira sebelumnya.Ia adalah sarjana perkebunan sejak 2 tahun yang lalu. Akan tetapi, sayang beribu sayang ia tak kunjung miliki pekerjaan hingga saat ini. Niatnya merantau dan izin pada kedua orang tuanya ialah hendak merubah nasib. Mungkin saja rejekinya memang bukan di Banjar sana, tetapi di tempat lain. Contohnya saja paman dan bibinya ini.Kulitnya putih bersih, memang sudah bawaan dari sananya alias faktor keturunan. Ditambah lagi tak pernah digunakan untuk bekerja, simpelnya buat panas-panasan untuk berkebun. Big no! Tak pernah sama sekali. Wajar jika tambah mulus telapak tangannya itu.Jemarian itu dengan lincah menari di a
Sekilas info, rumah paman dan bibi Rio ini berbahan dasar kayu. Selain itu juga model panggung, asli macam rumah orang Banjar sana.Sejujurnya ada penyebab lain. Yakni untuk kesiapan menghadapi peristiwa yang sering kali terjadi di kawasan tempat tinggal mereka ini.Jika banjir datang, sebagai kesiagaan semisal air naik ke permukaan, setidaknya kedudukan rumah ini tinggi. Rumah tak akan dimasuki oleh air banjir tersebut. Walau di sekitar sini hanya rumah paman dan bibinya saja yang panggung seperti ini.Suara tapakan kaki menggema di ruang tengah sampai pada ruang tamu. Dengan sengaja Rio berlaku demikian, menghentak-hentakkan kaki seiring langkah kakinya. Ia melirik seorang bayi laki-laki yang tengah pulas tertidur di ayunan. Kembali ganas pada tindakannya tadi, Rio makin sengaja menghentak kaki dengan kuat hingga timbulkan bunyi tak nyaman bagi orang yang sedang tertidur.Sampai di ruang tamu Rio nengok
Biasanya pada dinding kamar mandi terdapat paku yang sengaja ditancap di sana untuk gantungan; cantelan; dan kegunaan yang lain sebagainya. Dan pada kamar mandi yang digunakan Rio saat ini pun sama. Ia menggunakannya untuk menggantung handuk selama ia melaksanakan ritual mandi. Usai mandi lelaki itu menyambar handuk yang tercantel tersebut dan memakainya untuk menutupi bagian pusakanya. Rio melilitkan handuk tersebut di pinggangnya sambil menuju ke arah kaca. Di depan kaca Rio menyugar rambutnya yang basah lalu mengacak-acaknya secara asal. Rambutnya yang panjang untuk ukuran laki-laki itu jadi menutupi sebagian wajahnya, pun airnya mengalir dari kening dan menetes sampai di bawah dagu.Tampak fresh sekali dan bahkan ciptakan kesan cool yang sangat keren. Rio tersenyum smirk, penuh gaya di depan kaca entah apa faedahnya.Setelahnya tiba-tiba saja Rio terbahak, ia geleng-gelengin kepala dan segera keluar dari kama
"Aaaaaa ganteng banget, Guys! Sumpah mau pingsan gue!!"Teriakan histeris dari perkumpulan para cewek yang tengah duduk pada bangku yang tersedia di pinggir jalan itu benar-benar alihkan atensi sekitar. Baru saja Rio berlaku nakal. Kedipan satu mata ia lontarkan. Tak lupa dengan senyum miring penuh angkuh terukir pada bibir terbelah berwarna merah jambu miliknya itu. Sengaja menggoda perkumpulan cewek-cewek di seberang sana yang sedari tadi memfokuskan obsidian pada dirinya. Terpesona?"Abang ganteng ke sini, dong!" Seruan melengking salah satu dari mereka terdengar memenuhi jalanan raya yang penuh lalu lalang berbagai macam kendaraan transportasi darat.Rio menoleh pada mereka. Memberikan atensi sepenuhnya bikin cewek-cewek itu kembali belingsatan tak karuan. Merasa dikasih lampu ijo. Rio jadi terkekeh dibuatnya ketika telinganya mendengar mereka saling melempar ucapan satu sama lain. Seperti bilang ...
Jika ditelaah lebih jauh, seorang Kanaya Putri sangat pantas menyandang gelar model kelas dunia. Lihatlah bentuk body-nya dan bagaimana lekukan tubuh itu terbentuk. Cara-nya mengambil tiap langkah saja berjalan penuh keangkuhan.Jika seperti ini model wanita yang tersuguh di depan mata, memangnya laki-laki mana yang mampu menolak?Ingatkan bahwa Rio adalah seorang laki-laki normal. Pandangan matanya pun memiliki forsiran.Sejujurnya Kanaya atau kerap disapa Naya itu adalah gadis yang sangat cantik dan baik hati. Sayangnya ia berjalan seorang diri menuju cafe terdekat dari gedung kantor tempatnya bekerja.Fakta terkait Naya ... ia adalah seorang gadis berkepribadian introvert, nilai tambahnya ia cerdas dan merupakan sarjana managemen bisnis dan berada di deretan nama-nama dengan nilai tinggi.Amat wajar bila mana ia sukses meraih pekerjaan di sebuah kantor gedung sebesar dan semewa
Nuansa cafe sangat nyaman sekali. Interiornya pun didesain sedemikian rupa hingga begitu memanjakan para pelanggan. Naya dan Rio telah duduk di sini sejak setengah jam yang lalu. Tak ingin menampik, perut Rio sudah sangat keroncongan sekarang. Sumpah demi Alex! Ia sangat lapar. Maka dari itu secara perlahan ia memandang pada seorang wanita yang duduk di depannya itu. "Lo udah makan, Nay?" tanya Rio tanpa basa basi. Naya langsung ngangkat tengkuk. Ia menatap balik Rio hingga tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat. "Belum lah. Ngapain gue ke sini kalo gue udah makan," tukas Naya memutar bola matanya malas. Akibatnya Rio jadi mencibir. "Siapa tau aja, 'kan, lo ke sini mau kerja? Gue liatin dari tadi nge-cek hape mulu." Rio tak mau kalah. "Kalo gue ke cafe, ya, berarti gue belum makan lah! Ngapain gue kerja di cafe. Gue punya ruang khusus pribadi di kantor," sahut Naya balik sambil ngotot. "Mungkin aja, Ya! Mungkin aja!" Rio ba
Cafe ArionTerpampang jelas tulisan tersebut tepat di atas pintu. Rasanya sudah sering sekali Naya membaca tulisan tersebut. Bukti bahwa ia teramat sering berkunjung ke cafe ini.Asik menikmati makanan hidangan sambil diselingi juga dengan bercengkrema ringan.Tak terasa rampung sudah, kini Rio meraih selembar tisu sebagai salah satu fasilitas yang tersedia di cafe Arion ini. Ia mengelap area bibirnya agar bersih dari noda makanan.Sambil menyilangkan tangan di depan dada, Rio bersandar dengan santai di kursinya. Sementara netranya menatap dengan intens pada gadis di depannya yang saat ini tengah menikmati makanan.Diam-diam Rio tersenyum. Jujur saja, ada secuil perasaan bahagia pada sudut hatinya ketika ia sudah secara jelas mengetahui fakta bahwa Naya saat ini masih lajang.Hal tersebut terucap langsung dari bibir indah dengan ukiran terbelah juga warnan
"Duit gue hilang, Ya," lirih Rio dengan lemas. "Semuanya hilang, lo bayangin aja. Kartu kredit, ATM, semuanya gak ada. Dompet gue kosong gak ada isi."Ekspresi sedihnya itu sudah pasti bikin orang percaya. Namun, tak urung Naya mengernyit bingung. Bukankah aneh kalau yang hilang hanya isinya saja, sementara dompetnya tidak?Memangnya dompet Rio bolong hingga isinya jatuhan?Karena otak Naya tak sampai memikirkannya, akhirnya ia bertanya, "Isi dompetnya hilang? Semuanya?"Anggukan kepala Rio berikan untuk pertanyaan itu.Karena itulah makin terbentuk kernyitan di dahi gadis itu. "Kalau dompetnya hilang?"Rio menatap Naya dengan gemas. Ia membanting dompet kosong tanpa isinya tadi ke atas meja. "Dompetnya ada, isinya yang gak ada.""Ha? Kok, bisa?""Mana gue taulah!" seru Rio ngegas.Naya mengangguk-anggukkan saja kepalanya.