Sekilas info, rumah paman dan bibi Rio ini berbahan dasar kayu. Selain itu juga model panggung, asli macam rumah orang Banjar sana.
Sejujurnya ada penyebab lain. Yakni untuk kesiapan menghadapi peristiwa yang sering kali terjadi di kawasan tempat tinggal mereka ini.
Jika banjir datang, sebagai kesiagaan semisal air naik ke permukaan, setidaknya kedudukan rumah ini tinggi. Rumah tak akan dimasuki oleh air banjir tersebut. Walau di sekitar sini hanya rumah paman dan bibinya saja yang panggung seperti ini.
Suara tapakan kaki menggema di ruang tengah sampai pada ruang tamu. Dengan sengaja Rio berlaku demikian, menghentak-hentakkan kaki seiring langkah kakinya. Ia melirik seorang bayi laki-laki yang tengah pulas tertidur di ayunan. Kembali ganas pada tindakannya tadi, Rio makin sengaja menghentak kaki dengan kuat hingga timbulkan bunyi tak nyaman bagi orang yang sedang tertidur.
Sampai di ruang tamu Rio nengok lagi ke belakang. Dengusan kasar keluar dari lubang hidungnya yang mancung. "Gilak bocah gak bangun. Tidur atau mati," umpatnya.
Cowok itu mendudukkan diri di sofa yang tersedia di ruang tamu. Ia kembali main game. Belum puas rasanya kalau belum menang. Mottonya, sih, 'Pantang Mundur Sebelum Menang'. Keren, 'kan?
Tak nyaman duduk, Rio ambil posisi tiduran. Kali ini ia akan main dengan serius dan tentunya lebih fokus lagi. Pokoknya harus menang! Percayalah ... Rio tak akan berhenti main game sampai jam berapapun kalau ia tak menang-menang. Baginya menang adalah suatu keharusan. Rio memang sebatu itu.
Lama di posisi itu Rio jadi makin kegerahan, padahal ia sudah buka baju. Tak ada AC, tak ada juga kipas angin, bikin Rio emosi saja. Matanya menemukan kotak susu yang tergeletak di atas meja. Lantas saja ia keluarkan isi bungkusnya itu dan melipat-lipat asal kardus kotak tersebut untuk kemudian ia gunakan berkipas.
"Adem, sih, adem," monolognya. "Tapi kalo gue kipasan mulu kapan gue mainnya, dong?"
Terdiam sejenak memikirkan sesuatu. Rio berdecak lagi kala otaknya dapat pencerahan. "Bodo ah, gue panas!"
Rio melangkah cepat ke tempat ayunan anak dari paman dan bibinya itu. Terdapat kipas angin mini di sampingnya, bikin Rio iri saja. "Masih bocil aja sok-sokan pake kipas angin lo!" ujarnya ngegas.
Mata bayi mungil itu sedikit terbuka, tetapi hanya sebentar. Setelahnya ia kembali tertidur nyenyak. Bibir mungilnya itu mengapit dot mini yang seukuran dengan mulut kecilnya. Sungguh lucu dan menggemaskan sekali.
"Gue ambil kipasnya, gue juga panas bukan lu doang," tukas Rio lagi. Cowok itu menarik kasar colokan kipas dan mengangkatnya dengan 1 tangan saja.
"Lo bocil kipas manual aja. Masuk aingin oek oek nyusahin doang kerjaan lo bisanya." Rio ngoceh.
Ia segera berlalu dan menaruh kipas tersebut di atas meja kemudian mencolok cucukannya pada terminal yang tersedia. Diarahkan menghadap pada dadanya yang bertelanjang. Wiuhhhh, adem banget rasanya ... ah mantap!
"Perut gue udah kelemer-kelemer gini," gumam Rio meraba-raba bagian perutnya dan memencet pelan pusatnya itu. "Entaran gue olahraga biar bisa sixpacks, biar maco."
Rio tak mau pikirkan masalah perut lagi. Ia sudah ambil posisi wuenak untuk kembali main game. Akan tetapi, baru saja hendak login suara anak bibinya yang menangis memenuhi seisi rumah. Bunyinya sangat kencang bikin Rio tutup telinga saking berisiknya.
"Woilah, berisik banget! Gue main game butuh fokus! Ngerti gak lu, hah?!" geramnya.
Kepala Rio celingukan melihat ke dalam karena tangisan bocah itu tak berhenti juga. "Emaknya kemana, sih? Anaknya nangis malah dibiarin aja." Rio mencak-mencak. Cowok itu kesal setengah mampus. Mood bermainnya jadi hilang seketika.
Memilih menutup telinganya dengan earphone yang tersambung dengan hape, Rio lantas memutar lagu viral tiktok. Sejenak ia merasa lebih tenang sampai suara cempreng bibinya mengagetkan dan memenuhi seisi ruang tamu.
"RIO!"
"Babi!" Rio kaget sampai terlonjak dari sofa. Netranya menyorot bibinya yang tengah menggendong anaknya itu dengan tatapan tak suka. Ingatkan bahwa di rumah ini hanya terdiri dari 3 orang saja. Rio, bibinya, dan anaknya yang masih bayi itu. Suaminya yang tak lain ialah paman Rio telah pergi bekerja sejak jam 8 pagi tadi, sementara sekarang jam sudah tunjukkan pukul 2 siang.
"Kipas angin buat anak gue ngapa lo ambil, hah?!" murkanya. Wajah mengerikannya itu berbanding terbalik dengan perlakuan tangannya yang secara lembut dan teratur mengelus-elus kepala anaknya itu.
Wajah Rio berubah jadi masam. "Pelit banget, Bi. Gue kegerahan, nih," pundungnya.
"Lo kira gue gak kepanasan? Gue di dapur lagi sibuk masak lo malah berulah gitu nangisin Rafa. Apa gak puyeng gue?"
Rio menunduk dengan wajah melas. Ia hanya mendengarkan omelan bibinya itu tanpa menjawabnya sama sekali. Beberapa waktu terlewati dengan keterdiaman Rio, kemudian secara perlahan cowok itu mengangkat tungkai dan mendongakkan kepalanya hingga obsidian terhunus tepat pada retina adik abahnya tersebut.
Rio menarik napas dalam mengumpulkan mental untuk ungkapkan pemikiran yang sedari tadi mengganjal di otaknya. Cengiran lucu tercipta di sana tampilkan deretan gigi putih yang tersusun rapi.
"Bibi lagi PMS, yah?" tanyanya dengan amat kurang ajar.
Biasanya pada dinding kamar mandi terdapat paku yang sengaja ditancap di sana untuk gantungan; cantelan; dan kegunaan yang lain sebagainya. Dan pada kamar mandi yang digunakan Rio saat ini pun sama. Ia menggunakannya untuk menggantung handuk selama ia melaksanakan ritual mandi. Usai mandi lelaki itu menyambar handuk yang tercantel tersebut dan memakainya untuk menutupi bagian pusakanya. Rio melilitkan handuk tersebut di pinggangnya sambil menuju ke arah kaca. Di depan kaca Rio menyugar rambutnya yang basah lalu mengacak-acaknya secara asal. Rambutnya yang panjang untuk ukuran laki-laki itu jadi menutupi sebagian wajahnya, pun airnya mengalir dari kening dan menetes sampai di bawah dagu.Tampak fresh sekali dan bahkan ciptakan kesan cool yang sangat keren. Rio tersenyum smirk, penuh gaya di depan kaca entah apa faedahnya.Setelahnya tiba-tiba saja Rio terbahak, ia geleng-gelengin kepala dan segera keluar dari kama
"Aaaaaa ganteng banget, Guys! Sumpah mau pingsan gue!!"Teriakan histeris dari perkumpulan para cewek yang tengah duduk pada bangku yang tersedia di pinggir jalan itu benar-benar alihkan atensi sekitar. Baru saja Rio berlaku nakal. Kedipan satu mata ia lontarkan. Tak lupa dengan senyum miring penuh angkuh terukir pada bibir terbelah berwarna merah jambu miliknya itu. Sengaja menggoda perkumpulan cewek-cewek di seberang sana yang sedari tadi memfokuskan obsidian pada dirinya. Terpesona?"Abang ganteng ke sini, dong!" Seruan melengking salah satu dari mereka terdengar memenuhi jalanan raya yang penuh lalu lalang berbagai macam kendaraan transportasi darat.Rio menoleh pada mereka. Memberikan atensi sepenuhnya bikin cewek-cewek itu kembali belingsatan tak karuan. Merasa dikasih lampu ijo. Rio jadi terkekeh dibuatnya ketika telinganya mendengar mereka saling melempar ucapan satu sama lain. Seperti bilang ...
Jika ditelaah lebih jauh, seorang Kanaya Putri sangat pantas menyandang gelar model kelas dunia. Lihatlah bentuk body-nya dan bagaimana lekukan tubuh itu terbentuk. Cara-nya mengambil tiap langkah saja berjalan penuh keangkuhan.Jika seperti ini model wanita yang tersuguh di depan mata, memangnya laki-laki mana yang mampu menolak?Ingatkan bahwa Rio adalah seorang laki-laki normal. Pandangan matanya pun memiliki forsiran.Sejujurnya Kanaya atau kerap disapa Naya itu adalah gadis yang sangat cantik dan baik hati. Sayangnya ia berjalan seorang diri menuju cafe terdekat dari gedung kantor tempatnya bekerja.Fakta terkait Naya ... ia adalah seorang gadis berkepribadian introvert, nilai tambahnya ia cerdas dan merupakan sarjana managemen bisnis dan berada di deretan nama-nama dengan nilai tinggi.Amat wajar bila mana ia sukses meraih pekerjaan di sebuah kantor gedung sebesar dan semewa
Nuansa cafe sangat nyaman sekali. Interiornya pun didesain sedemikian rupa hingga begitu memanjakan para pelanggan. Naya dan Rio telah duduk di sini sejak setengah jam yang lalu. Tak ingin menampik, perut Rio sudah sangat keroncongan sekarang. Sumpah demi Alex! Ia sangat lapar. Maka dari itu secara perlahan ia memandang pada seorang wanita yang duduk di depannya itu. "Lo udah makan, Nay?" tanya Rio tanpa basa basi. Naya langsung ngangkat tengkuk. Ia menatap balik Rio hingga tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat. "Belum lah. Ngapain gue ke sini kalo gue udah makan," tukas Naya memutar bola matanya malas. Akibatnya Rio jadi mencibir. "Siapa tau aja, 'kan, lo ke sini mau kerja? Gue liatin dari tadi nge-cek hape mulu." Rio tak mau kalah. "Kalo gue ke cafe, ya, berarti gue belum makan lah! Ngapain gue kerja di cafe. Gue punya ruang khusus pribadi di kantor," sahut Naya balik sambil ngotot. "Mungkin aja, Ya! Mungkin aja!" Rio ba
Cafe ArionTerpampang jelas tulisan tersebut tepat di atas pintu. Rasanya sudah sering sekali Naya membaca tulisan tersebut. Bukti bahwa ia teramat sering berkunjung ke cafe ini.Asik menikmati makanan hidangan sambil diselingi juga dengan bercengkrema ringan.Tak terasa rampung sudah, kini Rio meraih selembar tisu sebagai salah satu fasilitas yang tersedia di cafe Arion ini. Ia mengelap area bibirnya agar bersih dari noda makanan.Sambil menyilangkan tangan di depan dada, Rio bersandar dengan santai di kursinya. Sementara netranya menatap dengan intens pada gadis di depannya yang saat ini tengah menikmati makanan.Diam-diam Rio tersenyum. Jujur saja, ada secuil perasaan bahagia pada sudut hatinya ketika ia sudah secara jelas mengetahui fakta bahwa Naya saat ini masih lajang.Hal tersebut terucap langsung dari bibir indah dengan ukiran terbelah juga warnan
"Duit gue hilang, Ya," lirih Rio dengan lemas. "Semuanya hilang, lo bayangin aja. Kartu kredit, ATM, semuanya gak ada. Dompet gue kosong gak ada isi."Ekspresi sedihnya itu sudah pasti bikin orang percaya. Namun, tak urung Naya mengernyit bingung. Bukankah aneh kalau yang hilang hanya isinya saja, sementara dompetnya tidak?Memangnya dompet Rio bolong hingga isinya jatuhan?Karena otak Naya tak sampai memikirkannya, akhirnya ia bertanya, "Isi dompetnya hilang? Semuanya?"Anggukan kepala Rio berikan untuk pertanyaan itu.Karena itulah makin terbentuk kernyitan di dahi gadis itu. "Kalau dompetnya hilang?"Rio menatap Naya dengan gemas. Ia membanting dompet kosong tanpa isinya tadi ke atas meja. "Dompetnya ada, isinya yang gak ada.""Ha? Kok, bisa?""Mana gue taulah!" seru Rio ngegas.Naya mengangguk-anggukkan saja kepalanya.
Jujur saja terdapat kenangan buruk yang menghimpit paru-paru hingga sesak dirasa. Tepat di hari wisuda Kanaya Putri, harusnya ia berbahagia telah berhasil menyelesaikan studinya di salah satu universitas ternama kota Jakarta, tak lain ialah UNJA dengan program studi yang diambil management bisnis.Berbekal kecerdasan dan keseriusan dalam belajar, Naya berhasil wisuda S1 dengan jangka waktu 3,5 tahun.Salah satu prestasi yang membanggakan selama ia hidup di dunia.Saat itu semua wajah para mahasiswa dan mahasiswi yang berhasil wisuda tampak berbinar diliputi bahagia. Namun, tidak dengan Naya beserta keluarganya yang justru bersimbah air mata.Papanya, laki-laki yang banyak berjasa dalam hidupnya, laki-laki pahlawan untuknya bahkan sampai akhir hayat, laki-laki itu menghembuskan napas terakhir di sebuah rumah sakit karena penyakit jantung yang dideritanya.Jika mengingat momen yang harusnya
Sedang asik bergelung dengan selimut sambil menikmati tontonan, suara ketukan pintu dari arah depan terdengar berulang. Tentu saja hal itu mengganggu kenyamanan Ina. Ia bahkan sengaja tak beranjak karena tadi melihat putri semata wayangnya duduk santai di ruang tamu. Namun, kenapa tak kunjung disambut juga tamunya? Karena tak bisa konsen lagi dengan tontonan, Ina mempause terlebih dahulu laptopnya kemudian beranjak turun dari ranjang meski malas-malasan. Kala kakinya sampai di ruang tamu, tepat saat itu juga ia melihat siluet tubuh anaknya sedang telentang di atas sofa. Nih, anak budek apa gimana? Main hape sampai gak sadar situasi. "Naya!" panggilnya keras. "Hmm," sahutan malas-malasan yang terdengar acuh tak acuh itu mengudara. "Dari tadi ada yang ketok pintu kenapa nggak dibukain!" Ina berakhir ngomel. Ia berja
Naya melotot bungkam atas apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Telapak tangannya menutup mulut. Terlalu syok atas apa yang disaksikannya.Bagaimana tidak? Secara jelas Naya melihat bahwa Rio baru saja menampar kepala anak kecil itu hingga kepalanya terputar dan tubuh mungil itu tersungkur.Tidak ingin Rio berbuat lebih lagi, Naya terburu-buru menyampirkan tas yang ia kenakan di pundak kemudian segera mengambil langkah menuju posisi Rio berada.Bukankah Rio terlalu berlebihan? Ini hanyalah masalah sepele. Cuma soal es fanta harga lima ribuan, tak seharusnya Rio melakukan hal sejahat itu. Emosi Naya benar-benar terpancing untuk datang."Rio!" teriaknya saat sudah dekat.Membuat si empunya nama menoleh pada panggilan dari suara yang sudah ia kenali jelas siapa pemiliknya.Raut Naya tampak datar. Tatapan matanya amat tajam menghunus Rio. Ia hanya melirik laki-laki itu sekilas dengan ekor matanya, terlalu menunjukkan secara terang-ter
"Neng, beli fanta gak?"Teguran tersebut mengalihkan atensi Naya dan Rio yang sedang bercengkrama. Terlihat seorang laki-laki paruh baya berkulit hitam legam menghampiri mereka dengan membawa sebuah nampan berukuran cukup besar yang di atasnya tersusun gelas-gelas plastik yang biasanya dipakai untuk wadah pop ice. Namun, kali ini wadah tersebut diisi oleh air fanta berwarna merah, oren, dan biru keunguan.Rio menelisik pedagang tersebut. Sudah sangat biasa jika berkunjung ke sebuah tempat wisata atau pun tempat-tempat sejenisnya, maka ada saja pedagang-pedagang es, gorengan, jajan-jajanan tusuk, yang berniaga dengan berjalan-jalan menghampiri para pengunjung. Baik yang sedang berjalan menulusuri tempat, terlebih sedang duduk bersantai pada bangku yang telah disediakan, contohnya mereka.Ia tak mau beli. Sayang duit jika dibelikan barang tak berguna. Membiarkan pedagang tersebut tetap di sini, Rio hendak melihat Naya. Apaka
Naya meraih nampan yang ada di samping kaki Rio. Kemudian ia menaruh gelasnya di atas sana. Ia juga mengambil gelas kosong Rio untuk ditaruh di atas nampan juga."Taruh aja di bawah nanti mamangnya ngambil ke sini sendiri," kata Rio."Eh, iyakah?"Rio mengangguk ringan sebagai respon untuk pertanyaan Naya. Maka gadis itu menurut. Ia menaruh nampan berisi dua gelas yang telah kosong tadi di samping kursinya.Setidaknya ia sudah merasa segar dan lebih baik dari kondisi tadi meski sinar mentari bersinar terang di bumi Jakarta. Namun, rasanya lega sudah melepas dahaga dengan minum es tebu yang sangat menyegarkan.Pun di belakang tempat duduknya terdapat pohon bintaro yang melindungi dari paparan sinar matahari."Ayok, tadi mau cerita apa? Biar aku dengerin, deh.""Oh." Rio mengangguk. "Aku sebenernya ke Jakarta itu gak serta merta ikut kata hati aja, sih, kare
Naya memiringkan kepala hendak lebih fokus mendengar jawaban apa yang akan Rio berikan."Maybe karena tebu itu cuma diambil airnya doang terus tebunya dibuang. Kalo buah lain, 'kan, sekalian sama buah-buahnya diblender terus ditambahin air. Kalau jus teksturnya juga kental karena buahnya ikut nyatu sama airnya pas diblender. Kalo tebu, kan, tektsurnya cair karena cuma diambil airnya doang. Eh, tapi gak tau, deh, soalnya gue ngarang."Seketika Naya terbahak dengan kencang. Memang asem si Rio. Padahal dirinya sudah sangat serius mendengarkan penjelasan dari awal, tapi keterangan diakhir tadi sangat membagongkan, huh!"Lagian kalo masalah buah nyatu atau enggak, jus timun disaring loh. Kan, buahnya keras tuh. Nah, selesai diblender ampasnya dibuang yang diminum cuman airnya aja. Hayoloh, namanya tetep jus timun bukan es timun. Malahan bikinnya dicampur air pemanis gitu, 'kan? Gak asli air sari dari buah itu sendiri k
Rio menerima nampan berisi dua gelas es tebu yang diulurkan oleh penjualnya. Minuman berwarna kuning itu tampak menyegarkan sekali. Terlebih dahulu Rio menaruh nampan tersebut di atas kaca berisi tebu yang telah dipotong sekira-kira berukuran seperempat meter.Kemudian ia mengeluarkan dompet dari saku celana. "Berapa, Mang?""Kayak biasa," jawab si mamang seadanya.Rio tak menjawab lagi. Ia mengangguk saja lalu mengeluarkan satu-satunya lembar uang yang ada di dalam dompet tersebut untuk dibayarkan."Uangnya gede banget. Uang kecil gak ada?"Gelengan kepala Rio berikan sebagai jawabannya. Mau tak mau si mamang memberi kembalian uang berwarna biru satu dan yang berwarna hijau dua.Namun, beberapa selang pembelinya ini tak jua beranjak dari stand-nya padahal uang kembalian sudah diberi? Maka dari itu ia bertanya, "Kenapa lagi?""Loh ini cuman 90 ribu sosokny
Dua pasang manusia yang menjadi sorot titik fokus dalam cerita ini akhirnya tiba di kedai ice cream yang mereka hendak tuju.Wanita itu bahkan sampai menge-cek hape-nya sekedar untuk mencocokkan sebuah foto temannya—yang kemarin merekomendasikan tempat es krim enak padanya—sedang berpose tepat di depan pintu kedai."Bener, 'kan?"Entah berapa kali Naya mengajukan pertanyaan yang sama sampai Rio bosan mendengarnya."Udah dicocokin belum? Kalau sama, ya, berarti ini tempatnya," jawab Rio lempeng."Coba, deh, kamu liat."Naya menyuruh Rio untuk mengamati fotonya. Namun, Rio malas nunduk-nunduk untuk melihatnya. Pun matahari sedang bersinar dengan terang membuat pandangan Rio pada benda dengan layar seperti kaca itu silau."Kayaknya bener ini."Akhirnya Rio menjawab asal. Namun, sayangnya Naya tampak belum puas.
Sepanjang perjalanan jemari mereka saling terpaut menggenggam satu sama lain. Jika dibilang tak sopan baru kenal sudah berani pegang-pegang, Rio menampiknya, tak terima dikatai seperti itu. Bukankah dia sudah izin tadi, 'kan? Naya juga tak permasalahkan.Jika memang tak suka pasti Naya sudah katakan dari awal dan Rio akan melepas tautan tangan mereka.Buktinya Naya nyaman-nyaman saja tuh. Wajar saja Rio ambil kesempatan itu. Menikmati kehalusan kulit telapak tangan gadis itu.Entah bagaimana Rio itu, tak sadar bahwa kulitnya juga lembut karena memang tak pernah bekerja."Sebenernya aku punya tempat hasil rekomendasi dari temen aku."Naya bersuara di antara keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua, seolah tengah menikmati momen dengan hati tanpa perlu banyak bicara."Apa?" Rio merespon seraya menolehkan kepala. Pandangannya turun ke bawah karena perbedaan tin
Bukan tanpa sebab Naya bertanya tentang pendidikan terakhir. Tak sedikit pun ia bermaksud menyinggung etnis seseorang.Ia hanya ingin tahu saja. Pun disamping itu bukankah Rio terlahir dari keluarga terpandang? Sudah pasti sangat mampu untuk membiayai kuliahnya.Jadi, garis bawahi bahwa tak ada yang termasuk dalam perendahan etnis di sini."Aku seorang petani berdasi," ucap Rio formal.Naya tertawa menanggapinya. Humor gadis ini memang receh sekali."Sarjana Perkebunan," tebak Naya sudah pasti tepat sasaran.Sejenak Naya terdiam memikirkan sesuatu. Ia memiringkan kepala hingga mulutnya berdekatan dengan telinga Rio. Supaya mempermudah diri sendiri saja, jadi tak perlu ribet harus mengeraskan suara. Pasalnya angin membawa suara mengudara hingga hanya terdengar samar. Ditambah kendaraan di kanan-kiri yang berlalu-lalang."... tapi bukannya lebih baik kamu di
Terpaan angin yang sepoi-sepoi sepanjang jalan membuat kibasan pada rambut Naya yang tergerai indah makin terasa.Untungnya Rio membawa motor dengan laju sedang hingga rambut itu tak disayangkan akan berantakan.Laki-laki itu seolah tahu permasalahan wanita.Selain itu juga, ke-dua-nya terlihat serasi menikmati momen kebersamaan sepanjang jalan ini.Rio memandang kaca spion yang sebelumnya telah ia atur terkait tata letak hingga dapat menantulkan bayangan dari manifestasi perempuan cantik yang tengah duduk di jok belakang.Sesekali Naya menyipitkan mata karena mendapat serangan dari angin yang menerpa wajah. Ekspresi-nya begitu menggemaskan.Ke-dua-nya sama-sama tak memakai alat pengaman berkendara motor. Rio yang memang sedari awal tak pakai helm, sedangkan Naya memang tak biasa. Kepala terasa berat jika memakai benda itu dan menimbulkan sakit pada bagian tertentu yang ra