Biasanya pada dinding kamar mandi terdapat paku yang sengaja ditancap di sana untuk gantungan; cantelan; dan kegunaan yang lain sebagainya. Dan pada kamar mandi yang digunakan Rio saat ini pun sama. Ia menggunakannya untuk menggantung handuk selama ia melaksanakan ritual mandi. Usai mandi lelaki itu menyambar handuk yang tercantel tersebut dan memakainya untuk menutupi bagian pusakanya. Rio melilitkan handuk tersebut di pinggangnya sambil menuju ke arah kaca. Di depan kaca Rio menyugar rambutnya yang basah lalu mengacak-acaknya secara asal. Rambutnya yang panjang untuk ukuran laki-laki itu jadi menutupi sebagian wajahnya, pun airnya mengalir dari kening dan menetes sampai di bawah dagu.
Tampak fresh sekali dan bahkan ciptakan kesan cool yang sangat keren. Rio tersenyum smirk, penuh gaya di depan kaca entah apa faedahnya.
Setelahnya tiba-tiba saja Rio terbahak, ia geleng-gelengin kepala dan segera keluar dari kamar mandi. Entah apa yang sedang ia pikirkan, hanya Rio dan tuhan saja yang tahu.
Ya, usai dia diomeli oleh bibinya perkara kipas angin, ah ... mengingatnya lagi hanya bikin Rio gondok saja. Setelah itu Rio benar-benar masuk kamar dan mandi. Mood main game-nya menghilang seketika! Ya, bagaimana juga mau lanjut main game, 'kan? Kalau dirinya tetap di sana, bibinya itu tak berhenti ngomel. Nambah pening kepala Rio saja. Main di kamar, kamar yang diberikan oleh paman dan bibinya di rumah ini suasananya sangat sumpek, panas, dan pengap. Mana betah Rio berlama-lama di sini. Ibaratnya tempat yang harusnya jadi kamar, tapi cuma jadi tempat simpan baju. Rio lebih suka beraktivitas di ruang tamu. Seperti tidur, main game, makan, main hape, dan apapun itu yang lainnya. Ruang tamu lebih mending, sih. Walau sama panasnya, tapi setidaknya angin bisa masuk sedikit dari celah ventilasi yang tersedia. Ganti baju entah di mana-mana, bebas saja bagi Rio. Lelaki itu tak ada malu sama sekali di sini.
Rio pakai baju kaos dengan bawahan celana setengah lutut. Cowok itu menggosok-gosok rambutnya dengan handuk ijo tadi. Akan tetapi, tetap saja tak bisa kering benar, masih saja ada sisa-sisa air menggenang. Rio malas ribet dan membiarkannya saja. Nanti juga kering sendiri.
Cowok itu nyambar dompet hitamnya yang tergeletak di atas lemari. Tanpa perlu mengeceknya lebih dulu Rio juga sudah tahu bahwa dompetnya itu memang tak ada isi. Rio memasukkannya ke dalam kantong celana. Gak papa, buat gayaan aja.
Kepalanya menunduk, lebih tepatnya menatap pada perut. Tangan putih mulusnya yang sedikit berurat itu menyentuh bagian tersebut perlahan.
"Bentar, ya, nyolong dulu makan di RM," celetuknya lalu terkekeh-kekeh tak jelas.
Bibinya memang sudah rampung masak tadi. Namun, lauknya cuma tempe, sayur, dan sambal saja. Sangat mengecewakan sekali. Rio tak mau makannya.
"3 biji doang yang dimasak lamanya minta ampun. Dasar lemot!" katanya menghina.
Cowok itu petantang-petenteng keluar dari kamarnya. Ia menemukan anak yang masih berumur 1 tahun tengah berbaring di lantai beralas kasur mini juga. Heboh sendiri mengangkat-angkat kaki dan tertawa tak jelas. Saat anak tersebut menatap Rio, Rafa langsung mengangkat tangannya dan mengarahkannya pada Rio yang berdiri di depan pintu kamar.
"Aaa, bwua baba," gumamnya tak jelas.
Rio menggaruk rambutnya yang tiba-tiba saja gatal. Ia tak paham apa yang bocil itu katakan. Dengan malas-malasan ia berjalan menghampiri adik sepupunya itu. Sementara kepalanya celingak-celinguk pada seisi rumah. Decakan kesal keluar dari bibir pink yang memang ia pakai liptin sedikit tadi.
Rio be like: Biar kayak hyung-hyung:v
"Emaknya mana, sih!" kesalnya. "Ditinggal mulu anak. Udah nangis gue yang disalahin. Kan, anjing!" Rio ngomel.
Kini obsidian Rio tertuju pada Rafa, bocil 1 tahun yang berpipi gembul. Kedua bibir bocah itu sibuk mengemut dot. Rio mengangkat dagu memandangnya.
"Apa?" tanyanya songong.
"Bwaa bababwa ...." Rafa menjawab dengan celotehan tak jelas. Matanya menatap Rio seperti minta dikasihani. Kedua tangannya terangkat ... seperti minta gendong? Entahlah, Rio hanya menebaknya saja.
Maka dari itu Rio meraih bocil itu, mengangkat tubuh mungilnya dari posisi berbaring hingga buat Rafa berteriak karena kegirangan. Bahkan dotnya sampai terjatuh. Rio memperhatikan Rafa yang sibuk sendiri dengan dunia kecilnya. Tanpa sadar sudut bibir Rio tertarik hingga ciptakan sebuah senyuman tipis. Sangat tipis sampai tak ada yang menyadari bahwa Rio baru saja tersenyum.
"Kayaknya enak, deh, kalo gue punya anak," gumam Rio sambil menghayal. Tak berapa lama matanya melotot. Ekspresinya tunjukkan raut terpukau. "Waaah ... ck, ck, ck!" Rio geleng-geleng kepala. "Enakan bikinnya, sih ... bwuahahaha!"
"Aaaaaa!" Teriakan bayi itu begitu melengking hingga menyakiti gendang telinga Rio. Saking kagetnya sampai bocah itu lepas dari gendongannya dan berakhir jatuh terjungkal ke lantai.
"Anjir!" kaget Rio. Tanpa bertanggung jawab ia langsung ngacir kabur melarikan diri keluar dari rumah. Tepat saat itu juga tangisan Rafa melengking memenuhi seisi rumah bahkan sampai ke luar.
Tak lama setelahnya menyusul amukan menggelegar dari bibinya itu.
"GAK ADA HABIS-HABISNYA LO GANGGUIN ANAK GUE, RIO! GUE LAGI BOKER PUN JADI GAK BISA TENANG GEGARA LO!"
Lia menarik kerah bajunya sambil berjalan ke pintu utama. Ekspresinya pun sudah sangat mengerikan.
"KEMANA LO, HAH?! SINI BALIK. BETUMBUK SAMA GUA!"
Di sisi lain Rio sudah berlari secepat mungkin. Percayalah jantungnya seperti berdisko di dalam sana. Dag dig dug-nya sampai terdengar di telinga Rio. Setelah merasa sudah cukup jauh ia menoleh ke belakang seraya mengelus-elus dada.
"Huft ... alhamdulillah."
"Aaaaaa ganteng banget, Guys! Sumpah mau pingsan gue!!"Teriakan histeris dari perkumpulan para cewek yang tengah duduk pada bangku yang tersedia di pinggir jalan itu benar-benar alihkan atensi sekitar. Baru saja Rio berlaku nakal. Kedipan satu mata ia lontarkan. Tak lupa dengan senyum miring penuh angkuh terukir pada bibir terbelah berwarna merah jambu miliknya itu. Sengaja menggoda perkumpulan cewek-cewek di seberang sana yang sedari tadi memfokuskan obsidian pada dirinya. Terpesona?"Abang ganteng ke sini, dong!" Seruan melengking salah satu dari mereka terdengar memenuhi jalanan raya yang penuh lalu lalang berbagai macam kendaraan transportasi darat.Rio menoleh pada mereka. Memberikan atensi sepenuhnya bikin cewek-cewek itu kembali belingsatan tak karuan. Merasa dikasih lampu ijo. Rio jadi terkekeh dibuatnya ketika telinganya mendengar mereka saling melempar ucapan satu sama lain. Seperti bilang ...
Jika ditelaah lebih jauh, seorang Kanaya Putri sangat pantas menyandang gelar model kelas dunia. Lihatlah bentuk body-nya dan bagaimana lekukan tubuh itu terbentuk. Cara-nya mengambil tiap langkah saja berjalan penuh keangkuhan.Jika seperti ini model wanita yang tersuguh di depan mata, memangnya laki-laki mana yang mampu menolak?Ingatkan bahwa Rio adalah seorang laki-laki normal. Pandangan matanya pun memiliki forsiran.Sejujurnya Kanaya atau kerap disapa Naya itu adalah gadis yang sangat cantik dan baik hati. Sayangnya ia berjalan seorang diri menuju cafe terdekat dari gedung kantor tempatnya bekerja.Fakta terkait Naya ... ia adalah seorang gadis berkepribadian introvert, nilai tambahnya ia cerdas dan merupakan sarjana managemen bisnis dan berada di deretan nama-nama dengan nilai tinggi.Amat wajar bila mana ia sukses meraih pekerjaan di sebuah kantor gedung sebesar dan semewa
Nuansa cafe sangat nyaman sekali. Interiornya pun didesain sedemikian rupa hingga begitu memanjakan para pelanggan. Naya dan Rio telah duduk di sini sejak setengah jam yang lalu. Tak ingin menampik, perut Rio sudah sangat keroncongan sekarang. Sumpah demi Alex! Ia sangat lapar. Maka dari itu secara perlahan ia memandang pada seorang wanita yang duduk di depannya itu. "Lo udah makan, Nay?" tanya Rio tanpa basa basi. Naya langsung ngangkat tengkuk. Ia menatap balik Rio hingga tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat. "Belum lah. Ngapain gue ke sini kalo gue udah makan," tukas Naya memutar bola matanya malas. Akibatnya Rio jadi mencibir. "Siapa tau aja, 'kan, lo ke sini mau kerja? Gue liatin dari tadi nge-cek hape mulu." Rio tak mau kalah. "Kalo gue ke cafe, ya, berarti gue belum makan lah! Ngapain gue kerja di cafe. Gue punya ruang khusus pribadi di kantor," sahut Naya balik sambil ngotot. "Mungkin aja, Ya! Mungkin aja!" Rio ba
Cafe ArionTerpampang jelas tulisan tersebut tepat di atas pintu. Rasanya sudah sering sekali Naya membaca tulisan tersebut. Bukti bahwa ia teramat sering berkunjung ke cafe ini.Asik menikmati makanan hidangan sambil diselingi juga dengan bercengkrema ringan.Tak terasa rampung sudah, kini Rio meraih selembar tisu sebagai salah satu fasilitas yang tersedia di cafe Arion ini. Ia mengelap area bibirnya agar bersih dari noda makanan.Sambil menyilangkan tangan di depan dada, Rio bersandar dengan santai di kursinya. Sementara netranya menatap dengan intens pada gadis di depannya yang saat ini tengah menikmati makanan.Diam-diam Rio tersenyum. Jujur saja, ada secuil perasaan bahagia pada sudut hatinya ketika ia sudah secara jelas mengetahui fakta bahwa Naya saat ini masih lajang.Hal tersebut terucap langsung dari bibir indah dengan ukiran terbelah juga warnan
"Duit gue hilang, Ya," lirih Rio dengan lemas. "Semuanya hilang, lo bayangin aja. Kartu kredit, ATM, semuanya gak ada. Dompet gue kosong gak ada isi."Ekspresi sedihnya itu sudah pasti bikin orang percaya. Namun, tak urung Naya mengernyit bingung. Bukankah aneh kalau yang hilang hanya isinya saja, sementara dompetnya tidak?Memangnya dompet Rio bolong hingga isinya jatuhan?Karena otak Naya tak sampai memikirkannya, akhirnya ia bertanya, "Isi dompetnya hilang? Semuanya?"Anggukan kepala Rio berikan untuk pertanyaan itu.Karena itulah makin terbentuk kernyitan di dahi gadis itu. "Kalau dompetnya hilang?"Rio menatap Naya dengan gemas. Ia membanting dompet kosong tanpa isinya tadi ke atas meja. "Dompetnya ada, isinya yang gak ada.""Ha? Kok, bisa?""Mana gue taulah!" seru Rio ngegas.Naya mengangguk-anggukkan saja kepalanya.
Jujur saja terdapat kenangan buruk yang menghimpit paru-paru hingga sesak dirasa. Tepat di hari wisuda Kanaya Putri, harusnya ia berbahagia telah berhasil menyelesaikan studinya di salah satu universitas ternama kota Jakarta, tak lain ialah UNJA dengan program studi yang diambil management bisnis.Berbekal kecerdasan dan keseriusan dalam belajar, Naya berhasil wisuda S1 dengan jangka waktu 3,5 tahun.Salah satu prestasi yang membanggakan selama ia hidup di dunia.Saat itu semua wajah para mahasiswa dan mahasiswi yang berhasil wisuda tampak berbinar diliputi bahagia. Namun, tidak dengan Naya beserta keluarganya yang justru bersimbah air mata.Papanya, laki-laki yang banyak berjasa dalam hidupnya, laki-laki pahlawan untuknya bahkan sampai akhir hayat, laki-laki itu menghembuskan napas terakhir di sebuah rumah sakit karena penyakit jantung yang dideritanya.Jika mengingat momen yang harusnya
Sedang asik bergelung dengan selimut sambil menikmati tontonan, suara ketukan pintu dari arah depan terdengar berulang. Tentu saja hal itu mengganggu kenyamanan Ina. Ia bahkan sengaja tak beranjak karena tadi melihat putri semata wayangnya duduk santai di ruang tamu. Namun, kenapa tak kunjung disambut juga tamunya? Karena tak bisa konsen lagi dengan tontonan, Ina mempause terlebih dahulu laptopnya kemudian beranjak turun dari ranjang meski malas-malasan. Kala kakinya sampai di ruang tamu, tepat saat itu juga ia melihat siluet tubuh anaknya sedang telentang di atas sofa. Nih, anak budek apa gimana? Main hape sampai gak sadar situasi. "Naya!" panggilnya keras. "Hmm," sahutan malas-malasan yang terdengar acuh tak acuh itu mengudara. "Dari tadi ada yang ketok pintu kenapa nggak dibukain!" Ina berakhir ngomel. Ia berja
Dengan sangat antusias Ina mencuil sedikit saja bagian dari martabak rasa keju yang tersedia di hadapannya ini. Sambil menggigit bibir bawahnya karena merasa gemas, Ina merentangkan tangannya, terulur pada bayi El seolah sudah siap untuk menggendong cucunya itu.Di keluarga orang tuanya maupun mertua, hanya ia satu-satunya yang belum memiliki cucu kandung seperti para kakak dan abang kandung maupun ipar. Ia adalah anak bungsu, dipertemukan dengan Septian yang juga merupakan anak bungsu.Menikah dan lahirlah Naya sebagai anak tunggal yang saat ini masih sibuk berkarier. Umurnya pun juga masih terbilang muda yakni 21 tahun.Jadi, Naya di sini sebagai anak perbungsuan baik ditinjau dari belah pihak mama ataupun papa-nya. Itu sebabnya ia memiliki banyak sekali abang dan kakak yang semuanya sudah berumah tangga."Sini sama oma, yuk!" ajak Ina dengan binar mata yang bahagia.Awalnya menonton han
Naya melotot bungkam atas apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Telapak tangannya menutup mulut. Terlalu syok atas apa yang disaksikannya.Bagaimana tidak? Secara jelas Naya melihat bahwa Rio baru saja menampar kepala anak kecil itu hingga kepalanya terputar dan tubuh mungil itu tersungkur.Tidak ingin Rio berbuat lebih lagi, Naya terburu-buru menyampirkan tas yang ia kenakan di pundak kemudian segera mengambil langkah menuju posisi Rio berada.Bukankah Rio terlalu berlebihan? Ini hanyalah masalah sepele. Cuma soal es fanta harga lima ribuan, tak seharusnya Rio melakukan hal sejahat itu. Emosi Naya benar-benar terpancing untuk datang."Rio!" teriaknya saat sudah dekat.Membuat si empunya nama menoleh pada panggilan dari suara yang sudah ia kenali jelas siapa pemiliknya.Raut Naya tampak datar. Tatapan matanya amat tajam menghunus Rio. Ia hanya melirik laki-laki itu sekilas dengan ekor matanya, terlalu menunjukkan secara terang-ter
"Neng, beli fanta gak?"Teguran tersebut mengalihkan atensi Naya dan Rio yang sedang bercengkrama. Terlihat seorang laki-laki paruh baya berkulit hitam legam menghampiri mereka dengan membawa sebuah nampan berukuran cukup besar yang di atasnya tersusun gelas-gelas plastik yang biasanya dipakai untuk wadah pop ice. Namun, kali ini wadah tersebut diisi oleh air fanta berwarna merah, oren, dan biru keunguan.Rio menelisik pedagang tersebut. Sudah sangat biasa jika berkunjung ke sebuah tempat wisata atau pun tempat-tempat sejenisnya, maka ada saja pedagang-pedagang es, gorengan, jajan-jajanan tusuk, yang berniaga dengan berjalan-jalan menghampiri para pengunjung. Baik yang sedang berjalan menulusuri tempat, terlebih sedang duduk bersantai pada bangku yang telah disediakan, contohnya mereka.Ia tak mau beli. Sayang duit jika dibelikan barang tak berguna. Membiarkan pedagang tersebut tetap di sini, Rio hendak melihat Naya. Apaka
Naya meraih nampan yang ada di samping kaki Rio. Kemudian ia menaruh gelasnya di atas sana. Ia juga mengambil gelas kosong Rio untuk ditaruh di atas nampan juga."Taruh aja di bawah nanti mamangnya ngambil ke sini sendiri," kata Rio."Eh, iyakah?"Rio mengangguk ringan sebagai respon untuk pertanyaan Naya. Maka gadis itu menurut. Ia menaruh nampan berisi dua gelas yang telah kosong tadi di samping kursinya.Setidaknya ia sudah merasa segar dan lebih baik dari kondisi tadi meski sinar mentari bersinar terang di bumi Jakarta. Namun, rasanya lega sudah melepas dahaga dengan minum es tebu yang sangat menyegarkan.Pun di belakang tempat duduknya terdapat pohon bintaro yang melindungi dari paparan sinar matahari."Ayok, tadi mau cerita apa? Biar aku dengerin, deh.""Oh." Rio mengangguk. "Aku sebenernya ke Jakarta itu gak serta merta ikut kata hati aja, sih, kare
Naya memiringkan kepala hendak lebih fokus mendengar jawaban apa yang akan Rio berikan."Maybe karena tebu itu cuma diambil airnya doang terus tebunya dibuang. Kalo buah lain, 'kan, sekalian sama buah-buahnya diblender terus ditambahin air. Kalau jus teksturnya juga kental karena buahnya ikut nyatu sama airnya pas diblender. Kalo tebu, kan, tektsurnya cair karena cuma diambil airnya doang. Eh, tapi gak tau, deh, soalnya gue ngarang."Seketika Naya terbahak dengan kencang. Memang asem si Rio. Padahal dirinya sudah sangat serius mendengarkan penjelasan dari awal, tapi keterangan diakhir tadi sangat membagongkan, huh!"Lagian kalo masalah buah nyatu atau enggak, jus timun disaring loh. Kan, buahnya keras tuh. Nah, selesai diblender ampasnya dibuang yang diminum cuman airnya aja. Hayoloh, namanya tetep jus timun bukan es timun. Malahan bikinnya dicampur air pemanis gitu, 'kan? Gak asli air sari dari buah itu sendiri k
Rio menerima nampan berisi dua gelas es tebu yang diulurkan oleh penjualnya. Minuman berwarna kuning itu tampak menyegarkan sekali. Terlebih dahulu Rio menaruh nampan tersebut di atas kaca berisi tebu yang telah dipotong sekira-kira berukuran seperempat meter.Kemudian ia mengeluarkan dompet dari saku celana. "Berapa, Mang?""Kayak biasa," jawab si mamang seadanya.Rio tak menjawab lagi. Ia mengangguk saja lalu mengeluarkan satu-satunya lembar uang yang ada di dalam dompet tersebut untuk dibayarkan."Uangnya gede banget. Uang kecil gak ada?"Gelengan kepala Rio berikan sebagai jawabannya. Mau tak mau si mamang memberi kembalian uang berwarna biru satu dan yang berwarna hijau dua.Namun, beberapa selang pembelinya ini tak jua beranjak dari stand-nya padahal uang kembalian sudah diberi? Maka dari itu ia bertanya, "Kenapa lagi?""Loh ini cuman 90 ribu sosokny
Dua pasang manusia yang menjadi sorot titik fokus dalam cerita ini akhirnya tiba di kedai ice cream yang mereka hendak tuju.Wanita itu bahkan sampai menge-cek hape-nya sekedar untuk mencocokkan sebuah foto temannya—yang kemarin merekomendasikan tempat es krim enak padanya—sedang berpose tepat di depan pintu kedai."Bener, 'kan?"Entah berapa kali Naya mengajukan pertanyaan yang sama sampai Rio bosan mendengarnya."Udah dicocokin belum? Kalau sama, ya, berarti ini tempatnya," jawab Rio lempeng."Coba, deh, kamu liat."Naya menyuruh Rio untuk mengamati fotonya. Namun, Rio malas nunduk-nunduk untuk melihatnya. Pun matahari sedang bersinar dengan terang membuat pandangan Rio pada benda dengan layar seperti kaca itu silau."Kayaknya bener ini."Akhirnya Rio menjawab asal. Namun, sayangnya Naya tampak belum puas.
Sepanjang perjalanan jemari mereka saling terpaut menggenggam satu sama lain. Jika dibilang tak sopan baru kenal sudah berani pegang-pegang, Rio menampiknya, tak terima dikatai seperti itu. Bukankah dia sudah izin tadi, 'kan? Naya juga tak permasalahkan.Jika memang tak suka pasti Naya sudah katakan dari awal dan Rio akan melepas tautan tangan mereka.Buktinya Naya nyaman-nyaman saja tuh. Wajar saja Rio ambil kesempatan itu. Menikmati kehalusan kulit telapak tangan gadis itu.Entah bagaimana Rio itu, tak sadar bahwa kulitnya juga lembut karena memang tak pernah bekerja."Sebenernya aku punya tempat hasil rekomendasi dari temen aku."Naya bersuara di antara keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua, seolah tengah menikmati momen dengan hati tanpa perlu banyak bicara."Apa?" Rio merespon seraya menolehkan kepala. Pandangannya turun ke bawah karena perbedaan tin
Bukan tanpa sebab Naya bertanya tentang pendidikan terakhir. Tak sedikit pun ia bermaksud menyinggung etnis seseorang.Ia hanya ingin tahu saja. Pun disamping itu bukankah Rio terlahir dari keluarga terpandang? Sudah pasti sangat mampu untuk membiayai kuliahnya.Jadi, garis bawahi bahwa tak ada yang termasuk dalam perendahan etnis di sini."Aku seorang petani berdasi," ucap Rio formal.Naya tertawa menanggapinya. Humor gadis ini memang receh sekali."Sarjana Perkebunan," tebak Naya sudah pasti tepat sasaran.Sejenak Naya terdiam memikirkan sesuatu. Ia memiringkan kepala hingga mulutnya berdekatan dengan telinga Rio. Supaya mempermudah diri sendiri saja, jadi tak perlu ribet harus mengeraskan suara. Pasalnya angin membawa suara mengudara hingga hanya terdengar samar. Ditambah kendaraan di kanan-kiri yang berlalu-lalang."... tapi bukannya lebih baik kamu di
Terpaan angin yang sepoi-sepoi sepanjang jalan membuat kibasan pada rambut Naya yang tergerai indah makin terasa.Untungnya Rio membawa motor dengan laju sedang hingga rambut itu tak disayangkan akan berantakan.Laki-laki itu seolah tahu permasalahan wanita.Selain itu juga, ke-dua-nya terlihat serasi menikmati momen kebersamaan sepanjang jalan ini.Rio memandang kaca spion yang sebelumnya telah ia atur terkait tata letak hingga dapat menantulkan bayangan dari manifestasi perempuan cantik yang tengah duduk di jok belakang.Sesekali Naya menyipitkan mata karena mendapat serangan dari angin yang menerpa wajah. Ekspresi-nya begitu menggemaskan.Ke-dua-nya sama-sama tak memakai alat pengaman berkendara motor. Rio yang memang sedari awal tak pakai helm, sedangkan Naya memang tak biasa. Kepala terasa berat jika memakai benda itu dan menimbulkan sakit pada bagian tertentu yang ra